Selasa, 15 Agustus 2017

Asketik, Holistik, Paradigma “Modernity”

OLEH Gus tf (Sastrawan)

Saya gunakan istilah modernity, tidak modernisasi, karena kata ini lebih merujuk kepada pengertian modern dalam hubungannya dengan perubahan cara berpikir tanpa perlu meniru mutlak apa yang ada di Barat. Penekanan ini diperlukan mengingat istilah modernisasi, pada banyak sisi, lebih kita pahami sebagal westernisasi. Tapi apa yang lebih mengganggau adalah bahwa pembicaraan tentang modernisasi tak mungkin dipisahkan dari kerangka teori, yang berarti pula harus membicarakan teori dependensi dan teori sistem dunia yang merupakan antitesis terhadap masing-masingnya. Saya pikir, apa yang paling menyusahkan dari sebuah teori ialah keharusannya untuk menekankan titik pandang sendiri. Sedangkan tulisan ini lahir justru dari sifat sebaliknya, bahwa setiap perbedaan ingin dilihat sebagai motivasi untuk saling memahami.

Model
Dalam metode berpikir ontologis, kita sering terkecoh melihat sebuah kode sebagai dominasi pengaruh. Secara tak sadar, hal serupa telah lama kita lakukan dalam memandang Barat. Amerika sebagai model, sering kita lupakan perspektif sejarahnya: bangsa pendatang, dan karenanya terlepas dari local content; terbiasa dengan merkantalisme yang sangat imperialistis waktu dijajah Inggris, dan karenanya punya komitmen besar terhadap ekonomi nasional. Rangkaian kode ini amat perlu kita kenali untuk memahami sikap, kinerja agresif dan aktif, serta ambisi dan kompetisi bebas masyarakatnya yang sama sekali berbeda dari persepsi, sikap toleran dan solider kolektif masyarakat kita.
Dengan demikian dapat dimengerti kebijaksanaan Alexander Hamilton, Menteri Keuangan AS dalam masa pemerintahan Presiden George Washington, yang pada bulan Desember 1719 menetapkan bahwa “ekonomi nasional harus mendukung pengembangan industri”. Suatu hal yang mesti dipertanyakan relevansinya bila saat ini (lebih 250 tahun kemudian!), dalam mekanisme kode yang jelas berbeda itu tadi, khas Timur, kita juga mengambil garis kebijaksanaan yang sama. Sebuah ironi karena AS justru tengah.menyadari kekeliruannya, bahwa penekanan industri ke produk konsumer bervolume tinggi (high-volume) pada masanya akan digeser oleh yang bernilai tinggi (high-value). Dan negara yang mendahuluinya, ternyata Jepang.
Melihat Jepang sebagai model, juga tak tepat. Walau dibungkus oleh realitas kultur yang khas Timur, rangkaian kode yang menyertainya: agama satu, etnik satu (kecuali suku kecil Ainu di Jepang utara). Perbedaan ini akan lebih kompleks bila mengingat bahwa negara ini dipenuhi oleh sejarah “tertutup” yang panjang. Menarik mengikuti uraian Umesao Tadao yang mengumpamakan masyarakat “isolasionis” Jepang sebagai black-hole, lubang hitam di jagat raya, yang tidak pernah mengirim “pesan” apa pun tetapi dengan rakus menyerap semua informasi dari sekelilingnya.
Jadi, tidak ada model. Apa yang kita inginkan dalam tulisan ini, memang adalah perbedaan. JPB de Josselin de Jong mendasarkan studinya tentang Indonesia pada “kesatuan dan keragaman di dalamnya”, suatu mekanisme kode yang sebetulnya tak bisa hanya dilihat dari sudut antropologi budaya.
Jadi, kita berbeda. Lebih daripada itu, apa yang amat buruk dari pembicaraan suatu model adalah kenyataan bahwa salah satu pihak berada dalam posisi pasif—dan karenanya ada hal penting yang lebih dulu harus ditanggalkan, yakni inisiatif.
Pluralistik, pemusatan kebenaran
Kesadaran akan perbedaan, dengan demikian merupakan kode penting dalam memahami realitas pluralistik kebudayaan kita. Ada 350 bahasa, 180 suku, dan masing-masingnya sangat menyatu dengan orientasi kesadaran kosmologis (jagat makna) masyarakatnya. Dalam metode pandang ekologis, setiap karya budaya selalu merupakan hasil tarik-ulur antara masyarakat dengan konsensus kosmologis ini. Maka setiap kode.yang datang dari luar harus dipahami hanya sebagai obyek, dan semata-mata adalah “bahan mentah” dalam tujuannya menciptakan “keselarasan” baru. Jadi, keinginan untuk meletakkan suatu formulasi kebudayaan induk tak lain hanyalah akan menempatkannya sebagai kegaduhan (noise).
Dalam menziarahi kebenaran, hal pertama yang harus kita terima adalah kenyataan bahwa ada banyak kebenaran. Bila pandangan dunianya fungsional, maka kebenaran diterjemahkan sebagal keefektifan dalam fungsi; bila pandangan dunianya ekonomis, maka kebenaran dilihat dari produktivitas dan hasil keuntungan; sedangkan bila pandangan dunianya politis, stabilitaslah yang dijadikan ukuran. Ziarah menjadi muskil bila suatu kebenaran melakukan dominasi pengaruh terhadap kebenaran lain. Jika ini terjadi, dominasi pengaruh akan lahir dalam wujud pemusatan kebenaran—dan ingin saya sebut sebagai kegaduhan (noise) kedua.
Mekanisme kode dua kegaduhan ini, hanya bisa diterangkan dengan satu kalimat: “Sejauh mana Anda berguna bagiku”. Suatu hubungan subyek-obyek yang juga akan menanggalkan inisiatif, dan berbahaya, karena titik ekstrem dari pola ini adalah pemaksaan kehendak dari suatu jagat makna (atau individu) terhadap jagat makna (atau individu) lain karena pada hakikatnya dominasi pengaruh selalu dimuati oleh kekuatan.
Dengan demikian persoalan realitas pluralistik kebudayaan kita, sesungguhnya, berada pada lingkup tegangan antara dominasi pengaruh dan kemajemukan kultur-kultur penyusun keindonesiaan. Selama ketegangan ini tidak diletakkan dalam perspektif  pengendalian, maka usaha penerukaan terhadap apa yang ingin kita sebut sebagai kebudayaan nasional akan selalu mengalami pembocoran. Tidak ada “puncak-puncak kebudayaan daerah” karena dominasi pengaruh tak pernah statis dan senantiasa berubah makanya meniadakan istilah puncak. Tidak ada “kreasi baru yang berorientasi ke zaman modern berdasarkan sains dan teknologi” karena dominasi pengaruh akan membuat sains dan teknologi jadi satu-satunya kebenaran. Tidak ada “setiap orang secara potensial adalah pencipta kebudayaan” karena order terhadapnya akan membuat setiap potensi jadi panglima.
Dalam lingkup tegangan seperti yang disebut di atas, keragaman mesti diletakkan benar-benar sebagai tanda-beda. Kegaduhan yang telah kita berlakukan kepadanya hanya akan melahirkan segala sesuatu yang bersifat “pseudo” yang kondisi ekstremnya, ironis, justru kita temukan dalam nation building.
Dari atas
Pembangunan nasional yang bersifat sentralistis bila dihadapkan pada realitas pluralistik kebudayaan kita, akan selalu merupakan mekanisme kode dari atas. Ungkapan “membangun manusia Indonesia seutuhnya” adalah contoh konkret di mana manusia hanya ditempatkan sebagai obyek dan seolah merupakan benda mati. Orientasi kesadaran kosmologis masyarakat—yang selalu menempatkan kode dari luar sebagai “bahan mentah”—serta-merta akan berontak. Akibatnya, seperti yang kita lihat, lahirlah masyarakat yang defensif dan represif.
Dalam kondisi masyarakat yang defensif dan represif, setiap kode cenderung direduksi. Misalmya bila birokrasi di tangan Max Weber murni sebuah konsep sosiologi, maka dalam realitas faktual masyarakat kita ia adalah momok yang bila berurusan dengannya harus menggunakan “pelicin”. Ada kode yang tak direduksi, tapi akan segera menjadi klise. PJPT; SDM; pengentasan kemiskinan, adalah beberapa contoh.
Manusia sebagai obyek, melahirkan pandangan dunia yang fisik-materialistik. Dan pilihan pembangunan yang sektoral, yakni ekonomi, akan mempercepat datangnya kebudayaan industri seperti yang telah dan akan kita hadapi. Di tengah nilai-nilai yang bernama rasionalitas, efektivitas, dan efisiensi, masyarakat hanyalah instrumen dari suatu kebudayaan yang telah dimodifikasi sedemikian rupa untuk satu tujuan: utility, yang persis sama dengan “sejauh mana Anda berguna bagiku”.
Setiap obyek dalam mekanisme kode utility, sifatnya akan selalu kian memperkuat sentralisasi. Pakto 1988 yang merupakan deregulasi perbankan sesudah Pakjun 1983 misalnya, bisa dijadikan contoh. Memang Pakto tersebut berhasil mengubah dana menganggur jadi dana produktif di seluruh Indonesia, tapi mobilisasi dana besar-besaran itu berakhir dengan penarikan dan penumpukan dana-dana di Jakarta. Sifatnya yang selalu memperkuat ini tak ubahmya serupa percepatan dalam gerak sentripetal, yang setiap putarannya kian mengikis (dengan demikian ada yang hilang) daya internal kebudayaan daerah. “Sesuatu yang hilang” ini membuat orang-orang tak lagi survive dalam masyarakatnya, merasa asing, terkucil, dan karenanya lebih menyukai bentuk-bentuk yang standar.
Pada kebudayaan industri, standardisasi identik dengan keseragaman. Sifat utama setiap kode memvakumkan daya pikir dan tak merangsang spontanitas. Masyarakat menjelma jadi konsumen pasif, yang kalaupun berusaha mengidentifikasi diri hanyalah sampai pada batasan-batasan yang ada. Mapan, dan tidak kreatif.
Dalam masyarakat yang tak kreatif, setiap tindakan cenderung berupa pelanggengan terhadap status-quo. Usaha-usaha untuk keluar dari itu, bisa dicap sebagai subversif.
Pribadi retak, sikap curiga
Orang-orang tak lagi percaya pada jagat maknanya, karena dunia pikiran, cita-cita, selalu tak mendapatkan tempat dalam dunia nyata. Bahkan gejala yang menampak bisa saja berbeda dengan yang mewujud. Akibatnya, orang-orang takut, merasa cemas, pada realitas. Setiap kata, setiap bahasa yang mengungkapkan realitas selalu dijauhi dan bahkan disurukkan. Penyurukan ini, oleh suatu individu, bisa pula berupa peletakan kode ke “ketaksadaran”.
Sigmund Freud menjelaskan “konflik” antara individu (identifikasi pada instansi psikis yang ia sebut id) dengan dunia luar melalui apa yang ia namakan psikoanalisa. Diterangkan bahwa asal-usul suatu neurotic adalah karena ego (instansi psikis yang karena kodratnya selalu memihak pada realitas), telah berusaha me-represi beberapa bagian dari id tapi usaha itu gagal dan id membalas dendam. Kegagalan ego ini lebih dikarenakan ia melakukan represi, yakni proses psikis tak sadar di mana suatu pikiran atau keinginan yang dianggap tidak pantas disingkirkan dari kesadaran.
Lahirlah manusia-manusia berpribadi retak, yang tak mampu memahami alam pikir sendiri bisa berbeda dengan dunia nyata. Pandangan dunia mereka adalah kecurigaan, dan usaha untuk menerima suatu kode senantiasa berupa pemaksaan agar si kode sesuai dengan alam pikiran mereka—namun (tentu saja) selalu gagal. Tak mengherankan bila realitas faktual masyarakat kita menunjukkan kebutuhan dan pemakaian obat antipsikotik, antidepresan, anticemas (lihat analisis Dadang Hawari Idries) selalu meningkat setiap tahun.
Subyektivikasi
Mengembalikan manusia sebagai subyek, dengan demikian, ingin dilihat sebagai titik tolak dalam menyikapi realitas pluralistik kebudayaan kita. Psikoanalisa Freud, bila kita perhatikan, sesungguhnya bermula dari satu keniscayaan: suatu gerakan bakal macet bila inisiatif datang dari luar. Ini pula yang melatari Carl Gustaf Jung saat menaruhnya ke konteks sosial, dan esensinya membawa gumpalan traumatik sosial ke kesadaran. Terapi pertamanya, kita lihat dalam praktek, tak lain berupa usaha pengembalian, dan seterusnya menempatkan, setiap kode yang datang dari luar ke wilayah “bahan mentah”.
Apa yang sebetulnya kita lakukan, kini jadi tampak, adalah upaya untuk menyatukan local content masyarakat dengan orientasi kesadaran kosmologis masing-masing kultur, dengan “menyingkirkan” segala sesuatu yang karena kodratnya jadi penggaduh. Kenyataan yang pasti dari tesis ini tentu saja penolakan terhadap sentralisasi tapi karena solusi kita nation maka orientasinya jelaslah bukan etnik. Tapi yang pasti pula, melihat sebuah kode sebagai subyek, kita akan dihadapkan kepada wilayah otonomi yang khas yang tak pernah sama antara yang satu dengan yang lain. Namun dengan memandang setiap subyek sebagai gejala, sesuatu yang selalu berproses untuk sesuatu, maka ia sama memiliki dunia misterius yang sering kita sebut sebagai “panggilan”.
Manusia sebagai subyek, pada tingkat pemahaman seterusnya, ingin saya katakan: manusia sebagai “panggilan”. Sebab dalam kenyataan sehari-hari subyek sebetulnya hanya medium bagi “panggilan” untuk memberlakukan policy, menerima atau menolak, setiap kode yang datang dari luar. Tapi apa yang paling penting adalah kenyataan bahwa “panggilan”, karena sifatnya lebih merupakan pengabdian pada sebuah dunia, takkan pernah kita lihat dalam bentuk dominasi pengaruh.
Sosiologisme “panggilan” selalu didasari oleh pandangan dunia karena setiap manusia berbeda, maka syarat mutlak yang harus ia punya adalah kesediaan untuk saling memahami bahwa masing-masingnya memiliki akselerasi proses kreatif dan bagian dari suatu jagat makna yang bernam nation.
Setiap “panggilan” yang berada dalam akselerasi proses kreatif, dalam jagat makna nation, tidak bisa dipandang sebagai wujud ekspresi yang anonimitas. Ia lahir dari pondasi yang jelas: kesadaran kosmologis kultur-kultur penyusun keindonesiaan. Dan ini hanya mungkin, bila akselerasi proses kreatif kita letakkan pada tingkat transkultural.
Asketik, holistik
Dalam kenyataan sehari-hari, terbukti, “panggilan” memang berkecenderungan melakukan dialog transkultural. “Panggilan” seorang Sardono W Kusumo (penari dan penata tari) misalnya yang pada mulanya bertolak dari tradisi Jawa, akhirnya merupakan pengolahan dari banyak tradisi yang melibatkan Bali, Dayak, Minangkabau, dan seterusnya. Hal ini memungkinkan karena pada hakikatnya masing-masing kebudayaan daerah sama memiliki pandangan ke depan, hubungan antarmanusia, dan wawasan universal.
Pandangan ke depan, hubungan antarmanusia, dan wawasan universal ini dalam kebudayaan Minangkabau, misalnya, tercermin pada ungkapan malantai sabalun lapuak, maminteh sabalun hanyuik, ingek-ingek sabalun kanai (melantai sebelum lapuk, memintas sebelum hanyut, ingat-ingat sebelum kena). Maka semangat asketik, membiarkan diri bertekun dalam kegiatan sendiri, sesungguhnya harus dipandang sebagai benih yang akan mengalami pengkayaan pada tingkat transkultural; tentu saja bila mekanisme kode dari atas tak bekerja padanya.
Mekanisme kode dari atas, dengan demikian segera kita sadari, mestilah beralih fungsi jadi mekanisme kode dari dalam. Dan mekanisme kode dari dalam memungkinkan bila pemerintah hanya menempatkan diri sebagai motivator. Tindakan yang paling strategis, selain subsidi langsung, adalah mengembalikan para pemikir ke kantong-kantong kebudayaan di daerah. Menciptakan kondisi di mana mereka bisa cair bersama satuan-satuan kecil “panggilan”, mengalami penyelarasan, harmonisasi, mengalir dalam kebenaran dialogal konsensual.
Satuan-satuan kecil “panggilan”, oleh karenanya, juga berada pada tingkat trans-sektor. Hal ini berarti, semangat asketik sekaligus telah dipertemukan dengan semangat holistik. “Kebenaranku” yang terbatas jagat lingkupnya, pada tingkat ini, dapat dilihat sebagai suatu pendekatan untuk merencanakan dan mengelola hubungan antara berbagai sektor. Sejarah panjang ketimpangan kebudayaan kita, seperti yang sudah kita lihat, tak dapat dilepaskan dari mekanisme bagi-tugas yang departemental.
Pada jagat holistik segalanya berada dalam kondisi asketik, tanpa dominasi pengaruh dan karenanya meniadakan pandangan dunia pragmatik. Masing-masing kultur yang kita letakkan sama tinggi, masing-masing sektor yang kita yakini saling isi, berada pada suatu kebenaran yang bulat.
Dengan demikian kita berada pada suatu visi yang menyeluruh. Karena solusi kita nation, dan konsepnya: bhinneka tunggal ika.
Dengan demikian saya kembalikan kepada Anda, lebih karena kebenaran saya terbatas jagat lingkupnya. ***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...