OLEH
Gus tf (Sastrawan)
Saya
gunakan istilah modernity, tidak modernisasi, karena kata ini lebih
merujuk kepada pengertian modern dalam hubungannya dengan perubahan cara
berpikir tanpa perlu meniru mutlak apa yang ada di Barat. Penekanan ini
diperlukan mengingat istilah modernisasi, pada banyak sisi, lebih kita pahami
sebagal westernisasi. Tapi apa yang
lebih mengganggau adalah bahwa pembicaraan tentang modernisasi tak mungkin
dipisahkan dari kerangka teori, yang berarti pula harus membicarakan teori
dependensi dan teori sistem dunia yang merupakan antitesis terhadap
masing-masingnya. Saya pikir, apa yang paling menyusahkan dari sebuah teori
ialah keharusannya untuk menekankan titik pandang sendiri. Sedangkan tulisan
ini lahir justru dari sifat sebaliknya, bahwa setiap perbedaan ingin dilihat
sebagai motivasi untuk saling memahami.
Model
Dalam
metode berpikir ontologis, kita sering terkecoh melihat sebuah kode sebagai
dominasi pengaruh. Secara tak sadar, hal serupa telah lama kita lakukan dalam
memandang Barat. Amerika sebagai model, sering kita lupakan perspektif
sejarahnya: bangsa pendatang, dan karenanya terlepas dari local content; terbiasa dengan merkantalisme yang sangat
imperialistis waktu dijajah Inggris, dan karenanya punya komitmen besar
terhadap ekonomi nasional. Rangkaian kode ini amat perlu kita kenali untuk
memahami sikap, kinerja agresif dan aktif, serta ambisi dan kompetisi bebas
masyarakatnya yang sama sekali berbeda dari persepsi, sikap toleran dan solider
kolektif masyarakat kita.
Dengan
demikian dapat dimengerti kebijaksanaan Alexander Hamilton, Menteri Keuangan AS
dalam masa pemerintahan Presiden George Washington, yang pada bulan Desember
1719 menetapkan bahwa “ekonomi nasional harus mendukung pengembangan industri”.
Suatu hal yang mesti dipertanyakan relevansinya bila saat ini (lebih 250 tahun
kemudian!), dalam mekanisme kode yang jelas berbeda itu tadi, khas Timur, kita
juga mengambil garis kebijaksanaan yang sama. Sebuah ironi karena AS justru
tengah.menyadari kekeliruannya, bahwa penekanan industri ke produk konsumer
bervolume tinggi (high-volume) pada
masanya akan digeser oleh yang bernilai tinggi (high-value). Dan negara yang mendahuluinya, ternyata Jepang.
Melihat
Jepang sebagai model, juga tak tepat. Walau dibungkus oleh realitas kultur yang
khas Timur, rangkaian kode yang menyertainya: agama satu, etnik satu (kecuali
suku kecil Ainu di Jepang utara). Perbedaan ini akan lebih kompleks bila
mengingat bahwa negara ini dipenuhi oleh sejarah “tertutup” yang panjang.
Menarik mengikuti uraian Umesao Tadao yang mengumpamakan masyarakat
“isolasionis” Jepang sebagai black-hole,
lubang hitam di jagat raya, yang tidak pernah mengirim “pesan” apa pun tetapi
dengan rakus menyerap semua informasi dari sekelilingnya.
Jadi,
tidak ada model. Apa yang kita inginkan dalam tulisan ini, memang adalah
perbedaan. JPB de Josselin de Jong mendasarkan studinya tentang Indonesia pada
“kesatuan dan keragaman di dalamnya”, suatu mekanisme kode yang sebetulnya tak
bisa hanya dilihat dari sudut antropologi budaya.
Jadi,
kita berbeda. Lebih daripada itu, apa
yang amat buruk dari pembicaraan suatu model adalah kenyataan bahwa salah satu
pihak berada dalam posisi pasif—dan karenanya ada hal penting yang lebih dulu
harus ditanggalkan, yakni inisiatif.
Pluralistik,
pemusatan kebenaran
Kesadaran
akan perbedaan, dengan demikian merupakan kode penting dalam memahami realitas
pluralistik kebudayaan kita. Ada 350 bahasa, 180 suku, dan masing-masingnya
sangat menyatu dengan orientasi kesadaran kosmologis (jagat makna)
masyarakatnya. Dalam metode pandang ekologis, setiap karya budaya selalu
merupakan hasil tarik-ulur antara masyarakat dengan konsensus kosmologis ini.
Maka setiap kode.yang datang dari luar harus dipahami hanya sebagai obyek, dan
semata-mata adalah “bahan mentah” dalam tujuannya menciptakan “keselarasan”
baru. Jadi, keinginan untuk meletakkan suatu formulasi kebudayaan induk tak
lain hanyalah akan menempatkannya sebagai kegaduhan (noise).
Dalam
menziarahi kebenaran, hal pertama yang harus kita terima adalah kenyataan bahwa
ada banyak kebenaran. Bila pandangan dunianya fungsional, maka kebenaran
diterjemahkan sebagal keefektifan dalam fungsi; bila pandangan dunianya
ekonomis, maka kebenaran dilihat dari produktivitas dan hasil keuntungan;
sedangkan bila pandangan dunianya politis, stabilitaslah yang dijadikan ukuran.
Ziarah menjadi muskil bila suatu kebenaran melakukan dominasi pengaruh terhadap
kebenaran lain. Jika ini terjadi, dominasi pengaruh akan lahir dalam wujud
pemusatan kebenaran—dan ingin saya sebut sebagai kegaduhan (noise) kedua.
Mekanisme
kode dua kegaduhan ini, hanya bisa diterangkan dengan satu kalimat: “Sejauh
mana Anda berguna bagiku”. Suatu hubungan subyek-obyek yang juga akan
menanggalkan inisiatif, dan berbahaya, karena titik ekstrem dari pola ini
adalah pemaksaan kehendak dari suatu jagat makna (atau individu) terhadap jagat
makna (atau individu) lain karena pada hakikatnya dominasi pengaruh selalu
dimuati oleh kekuatan.
Dengan
demikian persoalan realitas pluralistik kebudayaan kita, sesungguhnya, berada
pada lingkup tegangan antara dominasi pengaruh dan kemajemukan kultur-kultur
penyusun keindonesiaan. Selama ketegangan ini tidak diletakkan dalam
perspektif pengendalian, maka usaha
penerukaan terhadap apa yang ingin kita sebut sebagai kebudayaan nasional akan
selalu mengalami pembocoran. Tidak ada “puncak-puncak kebudayaan daerah” karena
dominasi pengaruh tak pernah statis dan senantiasa berubah makanya meniadakan
istilah puncak. Tidak ada “kreasi baru yang berorientasi ke zaman modern
berdasarkan sains dan teknologi” karena dominasi pengaruh akan membuat sains
dan teknologi jadi satu-satunya kebenaran. Tidak ada “setiap orang secara
potensial adalah pencipta kebudayaan” karena order terhadapnya akan membuat setiap potensi jadi panglima.
Dalam
lingkup tegangan seperti yang disebut di atas, keragaman mesti diletakkan
benar-benar sebagai tanda-beda. Kegaduhan yang telah kita berlakukan kepadanya
hanya akan melahirkan segala sesuatu yang bersifat “pseudo” yang kondisi ekstremnya,
ironis, justru kita temukan dalam nation
building.
Dari atas
Pembangunan
nasional yang bersifat sentralistis bila dihadapkan pada realitas pluralistik
kebudayaan kita, akan selalu merupakan mekanisme kode dari atas. Ungkapan
“membangun manusia Indonesia seutuhnya” adalah contoh konkret di mana manusia
hanya ditempatkan sebagai obyek dan seolah merupakan benda mati. Orientasi
kesadaran kosmologis masyarakat—yang selalu menempatkan kode dari luar sebagai
“bahan mentah”—serta-merta akan berontak. Akibatnya, seperti yang kita lihat,
lahirlah masyarakat yang defensif dan represif.
Dalam
kondisi masyarakat yang defensif dan represif, setiap kode cenderung direduksi.
Misalmya bila birokrasi di tangan Max Weber murni sebuah konsep sosiologi, maka
dalam realitas faktual masyarakat kita ia adalah momok yang bila berurusan
dengannya harus menggunakan “pelicin”. Ada kode yang tak direduksi, tapi akan
segera menjadi klise. PJPT; SDM; pengentasan kemiskinan, adalah beberapa
contoh.
Manusia
sebagai obyek, melahirkan pandangan dunia yang fisik-materialistik. Dan pilihan
pembangunan yang sektoral, yakni ekonomi, akan mempercepat datangnya kebudayaan
industri seperti yang telah dan akan kita hadapi. Di tengah nilai-nilai yang
bernama rasionalitas, efektivitas, dan efisiensi, masyarakat hanyalah instrumen dari suatu kebudayaan yang
telah dimodifikasi sedemikian rupa untuk satu tujuan: utility, yang persis sama dengan “sejauh mana Anda berguna bagiku”.
Setiap
obyek dalam mekanisme kode utility,
sifatnya akan selalu kian memperkuat sentralisasi. Pakto 1988 yang merupakan
deregulasi perbankan sesudah Pakjun 1983 misalnya, bisa dijadikan contoh.
Memang Pakto tersebut berhasil mengubah dana menganggur jadi dana produktif di
seluruh Indonesia, tapi mobilisasi dana besar-besaran itu berakhir dengan
penarikan dan penumpukan dana-dana di Jakarta. Sifatnya yang selalu memperkuat
ini tak ubahmya serupa percepatan dalam gerak sentripetal, yang setiap
putarannya kian mengikis (dengan demikian ada yang hilang) daya internal
kebudayaan daerah. “Sesuatu yang hilang” ini membuat orang-orang tak lagi survive dalam masyarakatnya, merasa
asing, terkucil, dan karenanya lebih menyukai bentuk-bentuk yang standar.
Pada
kebudayaan industri, standardisasi identik dengan keseragaman. Sifat utama setiap
kode memvakumkan daya pikir dan tak merangsang spontanitas. Masyarakat menjelma
jadi konsumen pasif, yang kalaupun berusaha mengidentifikasi diri hanyalah
sampai pada batasan-batasan yang ada. Mapan, dan tidak kreatif.
Dalam
masyarakat yang tak kreatif, setiap tindakan cenderung berupa pelanggengan
terhadap status-quo. Usaha-usaha
untuk keluar dari itu, bisa dicap sebagai subversif.
Pribadi
retak, sikap curiga
Orang-orang
tak lagi percaya pada jagat maknanya, karena dunia pikiran, cita-cita, selalu
tak mendapatkan tempat dalam dunia nyata. Bahkan gejala yang menampak bisa saja
berbeda dengan yang mewujud. Akibatnya, orang-orang takut, merasa cemas, pada
realitas. Setiap kata, setiap bahasa yang mengungkapkan realitas selalu dijauhi
dan bahkan disurukkan. Penyurukan ini, oleh suatu individu, bisa pula berupa
peletakan kode ke “ketaksadaran”.
Sigmund
Freud menjelaskan “konflik” antara individu (identifikasi pada instansi psikis
yang ia sebut id) dengan dunia luar
melalui apa yang ia namakan psikoanalisa.
Diterangkan bahwa asal-usul suatu neurotic
adalah karena ego (instansi psikis
yang karena kodratnya selalu memihak pada realitas), telah berusaha me-represi beberapa bagian dari id tapi usaha itu gagal dan id membalas dendam. Kegagalan ego ini lebih dikarenakan ia melakukan represi, yakni proses psikis tak sadar
di mana suatu pikiran atau keinginan yang dianggap tidak pantas disingkirkan
dari kesadaran.
Lahirlah
manusia-manusia berpribadi retak, yang tak mampu memahami alam pikir sendiri
bisa berbeda dengan dunia nyata. Pandangan dunia mereka adalah kecurigaan, dan
usaha untuk menerima suatu kode senantiasa berupa pemaksaan agar si kode sesuai
dengan alam pikiran mereka—namun (tentu saja) selalu gagal. Tak mengherankan
bila realitas faktual masyarakat kita menunjukkan kebutuhan dan pemakaian obat
antipsikotik, antidepresan, anticemas (lihat analisis Dadang Hawari Idries)
selalu meningkat setiap tahun.
Subyektivikasi
Mengembalikan
manusia sebagai subyek, dengan demikian, ingin dilihat sebagai titik tolak
dalam menyikapi realitas pluralistik kebudayaan kita. Psikoanalisa Freud, bila
kita perhatikan, sesungguhnya bermula dari satu keniscayaan: suatu gerakan
bakal macet bila inisiatif datang dari luar. Ini pula yang melatari Carl Gustaf
Jung saat menaruhnya ke konteks sosial, dan esensinya membawa gumpalan
traumatik sosial ke kesadaran. Terapi pertamanya, kita lihat dalam praktek, tak
lain berupa usaha pengembalian, dan seterusnya menempatkan, setiap kode yang
datang dari luar ke wilayah “bahan mentah”.
Apa
yang sebetulnya kita lakukan, kini jadi tampak, adalah upaya untuk menyatukan local content masyarakat dengan
orientasi kesadaran kosmologis masing-masing kultur, dengan “menyingkirkan”
segala sesuatu yang karena kodratnya jadi penggaduh. Kenyataan yang pasti dari
tesis ini tentu saja penolakan terhadap sentralisasi tapi karena solusi kita nation maka orientasinya jelaslah bukan
etnik. Tapi yang pasti pula, melihat sebuah kode sebagai subyek, kita akan
dihadapkan kepada wilayah otonomi yang khas yang tak pernah sama antara yang satu dengan yang lain. Namun dengan
memandang setiap subyek sebagai gejala, sesuatu yang selalu berproses untuk
sesuatu, maka ia sama memiliki dunia
misterius yang sering kita sebut sebagai “panggilan”.
Manusia
sebagai subyek, pada tingkat pemahaman seterusnya, ingin saya katakan: manusia
sebagai “panggilan”. Sebab dalam kenyataan sehari-hari subyek sebetulnya hanya
medium bagi “panggilan” untuk memberlakukan policy,
menerima atau menolak, setiap kode yang datang dari luar. Tapi apa yang paling
penting adalah kenyataan bahwa “panggilan”, karena sifatnya lebih merupakan
pengabdian pada sebuah dunia, takkan pernah kita lihat dalam bentuk dominasi
pengaruh.
Sosiologisme
“panggilan” selalu didasari oleh pandangan dunia karena setiap manusia berbeda, maka syarat mutlak yang harus ia
punya adalah kesediaan untuk saling memahami bahwa masing-masingnya memiliki
akselerasi proses kreatif dan bagian dari suatu jagat makna yang bernam nation.
Setiap
“panggilan” yang berada dalam akselerasi proses kreatif, dalam jagat makna nation, tidak bisa dipandang sebagai
wujud ekspresi yang anonimitas. Ia lahir dari pondasi yang jelas: kesadaran
kosmologis kultur-kultur penyusun keindonesiaan. Dan ini hanya mungkin, bila
akselerasi proses kreatif kita letakkan pada tingkat transkultural.
Asketik, holistik
Dalam
kenyataan sehari-hari, terbukti, “panggilan” memang berkecenderungan melakukan
dialog transkultural. “Panggilan” seorang Sardono W Kusumo (penari dan penata
tari) misalnya yang pada mulanya bertolak dari tradisi Jawa, akhirnya merupakan
pengolahan dari banyak tradisi yang melibatkan Bali, Dayak, Minangkabau, dan
seterusnya. Hal ini memungkinkan karena pada hakikatnya masing-masing
kebudayaan daerah sama memiliki pandangan ke depan, hubungan antarmanusia, dan
wawasan universal.
Pandangan
ke depan, hubungan antarmanusia, dan wawasan universal ini dalam kebudayaan
Minangkabau, misalnya, tercermin pada ungkapan malantai sabalun lapuak, maminteh sabalun hanyuik, ingek-ingek sabalun
kanai (melantai sebelum lapuk, memintas sebelum hanyut, ingat-ingat sebelum
kena). Maka semangat asketik, membiarkan diri bertekun dalam kegiatan sendiri,
sesungguhnya harus dipandang sebagai benih yang akan mengalami pengkayaan pada
tingkat transkultural; tentu saja bila mekanisme kode dari atas tak bekerja
padanya.
Mekanisme
kode dari atas, dengan demikian segera kita sadari, mestilah beralih fungsi
jadi mekanisme kode dari dalam. Dan mekanisme kode dari dalam memungkinkan bila
pemerintah hanya menempatkan diri
sebagai motivator. Tindakan yang paling strategis, selain subsidi langsung,
adalah mengembalikan para pemikir ke kantong-kantong kebudayaan di daerah.
Menciptakan kondisi di mana mereka bisa cair
bersama satuan-satuan kecil “panggilan”, mengalami penyelarasan, harmonisasi,
mengalir dalam kebenaran dialogal konsensual.
Satuan-satuan
kecil “panggilan”, oleh karenanya, juga berada pada tingkat trans-sektor. Hal
ini berarti, semangat asketik sekaligus telah dipertemukan dengan semangat
holistik. “Kebenaranku” yang terbatas jagat lingkupnya, pada tingkat ini, dapat
dilihat sebagai suatu pendekatan untuk merencanakan dan mengelola hubungan
antara berbagai sektor. Sejarah panjang ketimpangan kebudayaan kita, seperti
yang sudah kita lihat, tak dapat dilepaskan dari mekanisme bagi-tugas yang departemental.
Pada
jagat holistik segalanya berada dalam kondisi asketik, tanpa dominasi pengaruh
dan karenanya meniadakan pandangan dunia pragmatik. Masing-masing kultur yang
kita letakkan sama tinggi, masing-masing sektor yang kita yakini saling isi,
berada pada suatu kebenaran yang bulat.
Dengan
demikian kita berada pada suatu visi yang menyeluruh. Karena solusi kita nation, dan konsepnya: bhinneka tunggal ika.
Dengan
demikian saya kembalikan kepada Anda, lebih karena kebenaran saya terbatas
jagat lingkupnya. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar