OLEH Bachtiar Abna, SH.MH. Dt. Rajo
Suleman
A. Lahirnya Pepatah Adat Basandi Syarak Syarak Basandi
Kitabullah (ABSSBK)
Menurut
Prof. Dr. Hamka Dt. Indomo, dalam bukunya: Islam
dan Adat Minangkabau, Minangkabau sudah pernah menempuh zaman kebesaran dan
kejaaan semasa 500 atau 600 tahun yang lalu, tidaklah dapat dipungkiri lagi.
Dalam tahun 1286 Baginda Maharaja Kertanegara mengirimkan patung Budha ke
Minangkabau sebagai tanda perhubungannya dengan raja-raja keturunan Jawa itu.
Di
Pariaman terjadi perebutan kekuasaan Portugis dengan Aceh, dan di zaman
Iskandar Muda yang mula memerintah tahun 1604, terjadi perebutan pengaruh yang
hebat. Bersamaan dengan serangan politik, Aceh membawa juga penyiaran agama
Islam. Dua paham bertentangan pada masa itu, yaitu paham Syekh Abdurrauf dan
Nuruddin Arraniri yang mempertahankan paham Ahlissunnah, Wihdatussyuhud yang
menyatakan, bahwa alam itu bekas kuasa Tuhan dengan paham Hamzah Al Fanshuri
dan Syamsuddin As Samatrani yang berpaham Wihdatul Wujud, beriktikad bahwa alam
itu adalah sebagian dari pada Tuhan, laksana buih lautan itu sebagain dari pada
ombak.
Murid
Abdurrauf datang ke Minangkabau, bertempat di Ulakan Pariaman, bernama
Burhanuddin, karena mendengar bahwa pengikut Hamzah Fanshuri telah masuk pula
ke Minangkabau dan memilih Cangking sebagai pusatnya. Demikianlah duduknya
iktikad dan agama sampai kepada permulaan abad ke-19.
Pada
waktu itu datanglah gerakan baru yang amat hebat, yang mula-mula menggoncang
batu sendi adat istiadat, dengan datangnya kaum Paderi dari Mekkah di bawah
pimpinan Haji Miskin di Pandai Sikek. Mereka telah melihat kekerasan beragama
yang digerakkan kaum Wahabi di tanah Arab.
Menurut
keyakinan mereka, perjalanan agama secara damai sebagai selama ini,
menghilangkan sifat pelajaran agama yang sejati, sehingga tercampur dengan
pelajaran agama lain. Orang Wahabi di tanah Arab memandang orang yang tidak sepaham
dengan mereka sebagai musuh, walaupun sama-sama Islam. Sebab keislaman mereka hanya
tinggal nama saja. Mereka telah memperserikatkan Tuhan dengan yang lain.
Kaum
Padri memandang tidak ada tanda-tanda Islam yang hidup, raja-raja masih mencampurkan
upacara Hindu dan Islam. Guru-guru agama masih berkhidmat kepada kubur-kubur
orang yang dianggap keramat. Pemuda masih mengadu ayam. Negeri baru akan
selamat kalau pemerintahan yang lemah dan tidak baragama itu dihapuskan dan
diganti dengan pemerintahan kaum agama semata-mata. Pergerakan Padri amatlah
hebat sampai jatuhnya Bonjol ke tangan Belanda.
Dengan
jatuhnya Bonjol, banyak perubahan terjadi di Minangkabau, Islam telah dapat
menempuh suasana baru. Kaum adat menambah lagi memasukkan anasir Islam ke dalam
adat, sehingga timbul pepatah adat: “Syarak
nan mengata, adat nan memakai. Sudah adat ka balairung, sudah syarak ke masjid.
Setelah agama Islam dibawa masuk kemari, agama itu pun dicocokkan pula dengan
masyarakat. Adat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah (ABSSBK). Syarak
mengata adat memakai. Masjid sebuah balairung seruang.
Menurut Darwis Tahaib Dt. Sidi Bandaro, di
antara keputusan-keputusan yang diambil dalam Kerapat Luhak Nan Tigo ada satu
yang amat penting, yaitu keputusan rapat pangulu-pangulu dengan alim ulama yang
diadakan di Bukit Marapalam Batusangkar. Keputusan itu terkenal dengan nama
Piagam Bukit Marapalam, yaitu: Adat
Bapaneh Syarak Balinduang; Syarak Mangato Adat Mamakai. Kesimpulan piagam
itu kemudian terkenal dengan: Adat dan
Syarak Sandar Manyandar. Ada juga diringkaskan menjadi: Adat Basandi Syarak
Piagam
Bukit Marapalam yang menjadi hasil keputusan rapat orang Tiga Luhak kira-kira
di permulaan abad ke-19 itu menjadi amat penting, karena pada waktu itu dapat
mengatasi kesulitan yang terjadi dalam nagari, karena sebelumnya pernah terjadi
pergeseran. Isinya tidak saja dapat mengatasi kesulitan, tetapi dapat mencapai
keserasian antara adat dan syarak. Secara positif melalui hikmat kebijaksanaan.
Piagam Bukit Marapalam itu dinyatakan dalam kata-kata pantun petitinya: Alah bakarih samparono; Bingkisan Rajo
Majopahik; Tuah Basabab Bakarano; Pandai Batenggang di Nan Rumik. Tajam alah
calakpun ado; tingga di bawa manyimpaikan; Adat alah syarak pun ado; tingga di
awak mamakaikan.
Piagam Bukit
Marapalam tersebut merupakan ayat terakhir dari Undang-undang Luhak, sehingga
menjadi cupak usali, harus diseragamkan-selaraskan berlakunya di seluruh
negeri.
Menurut
BJO. Schrieke dalam bukunya yang diterjemahkan dengan judul Pergolakan Agama di Sumatera Barat, juga
menjelaskan tentang terjadinya konflik antara kaum Wahabi dengan aliran agama
Islam lainnya di Sumatera Barat seperti dikemukan oleh penulis terdahulu. Pepatah
terkenal: adat basandi syarak, syarak
basandi adat telah kita jumpai dalam salah satu sumber kita yang
tertua.
Dari
uraian para penulis di atas dan dikaitkan dengan sejarah Minangkabau secara
keseluruhan maka dapat ditarik kesimpulan :
1. Sebelum masuknya
agama Islam ke Minangkabau, masyarakatnya sudah hidup teratur dengan menggunakan
hukum satu-satunya, yaitu hukum adat, jika adat diibaratkan sebagai mamak
rumah, maka syarak diibaratkan sebagai urang sumando ;
2. Awalnya agama Islam
disiarkan ke Minangkabau dengan cara
damai, seperti yang dilakukan pada zaman nabi;
3. pada awal abad ke-19
masuk ajaran kaum Wahabi yang menyatakan bahwa orang yang tidak melaksanakan
syarak secara keseluruhan adalah kafir dan boleh diperangi, sehingga timbul
konflik besar-besaran di Minangkabau, sehingga syarak dapat diibaratkan sebagai
sumando kacang miang;
4. Lahirnya pepatah
Adat Basandi Syarak yang dikenal sebagai Piagam Bukik Marapalam merupakan
keputusan yang amat penting karena mampu menyelesaikan konflik besar yang
terjadi sebelumnya, sehingga menjadi Undang-Undang Luhak yang harus
dilaksanakan di seluruh Minangkabau, dan menjadikan syarak sebagai sumando
niniak mamak.
B. Status Pepatah ABSSBK secara Yuridis
Pepatah
ABSSBK dimulai dengan sampiran: Alah
bakarih samparono dan Tajam alah
calakpun ado. Pepatah yang dimulai dengan menyebut nama senjata (karih=keris)
atau sifat dari senjata (tajam) merupakan sumpah
satie yang isinya akan dipertahankan sampai mati, jika perlu dengan
peperangan dan pertumpahan darah.
Memang
tepat apa yang dikatakan oleh Darwis Tahaib Dt. Sidi Bandaro, bahwa Piagam
Bukik Marapalam tentang ABSSBK tersebut merupakan keputusan yang amat penting
di antara keputusan-keputusan yang diambil dalam Kerapatan Luhak Nan Tigo.
Bila
ditinjau secara yuridis, pepatah ini merupakan dasar hukum bagi berlaku
tidaknya hukum adat dan hukum Islam di Minangkabau. Pepatah ini wajib menjadi
panduan, tidak saja bagi hakim yang bertugas mengadili sengketa, tetapi juga
bagi para ahli hukum, baik ahli hukum adat maupun hukum Islam yang akan memberi
pendidikan kepada generasi penerus baik di Unand, UNP, IAIN, UMSB, UBH, TAMSIS,
dan sebagainya, pemuka adat, pemuka agama, legislator, petugas Pamong Praja, serta
bagi semua anak Minang untuk diimplementasikan dalam perilaku sehari-hari.
Menurut
Pasal 25 ayat (1) Undang-undang No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman,
segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan
tersebut, memuat pula pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk
mengadili. Menurut Pasal 28 ayat (1), hakim wajib menggali, mengikuti, dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Sumber hukum tidak tertulis, nilai-nilai hukum
dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat Minang adalah adat dan syarak
seperti dimuat dalam pepatah ABSSBK. Seorang hakim Pengadilan Negeri ataupun
Pengadilan Agama yang akan memutus perkara anak Minang, harus menyebutkan
pepatah ini sebagai dasar hukum berlakunya hukum adat dan Islam di ranah
Minang, karena bagaimanapun seseorang secara yuridis harus diadili menurut
hukum mereka masing-masing. Adalah melanggar HAM bila anak Minang diadili
dengan hukum Saudi Arabia, Iran, dan sebagainya walaupun dengan baju hukum
Islam, Kompilasi Hukum Islam, Quran dan Hadis. Adalah mimpi di siang bolong,
jika seorang hakim akan menerapkan hukum Mesir yang dipelajarinya di
Universitas Al Azhar Kairo, hukum Belanda yang dipelajarinya di Uversitas
Leiden bagi anak Minang.
Dengan
demikian terhadap pepatah ABSSBK ini harus diadakan penyamaan persepsi dan
pemahaman, karena pemahaman yang keliru akan menyebabkan terjadinya kekeliruan
dalam pembuatan aturan hukum (legislasi), penerapan aturan hukum (aplikasi) dan
penegakan aturan hukum (yudikasi), yang akan memperkosa rasa kaedilan yang
telah hidup dan berkembang sejak nenek moyang masyarakat Minang.
C. Makna Adat dalam Pepatah ABSSBK
Variabel
pertama yang perlu dipahami dari pepatah ABSBSK adalah adat. Dalam catatan
kakinya yang cukup panjang, Idrus Hakimi Dt. Rajo Pangulu menjelaskan bahwa
kata “Adat” lebih tua dari ‘adat. Adat bahasa Sangskerta dibentuk dari “a”
artinya tidak dan “dato” artinya sesuatu yang bersifat kebendaan. Adat pada
hakekatnya adalah segala sesuatu yang tidak bersifat kebendaan. Adat pada
tingkat pertama tak lain dari pada kesempurnaan rohani. Hasil usaha melepaskan
diri dari pengaruh alam sanggup mengantarkan seseorang asseet, orang saleh
ketingkat beradat. Aset dan pengikut demikian terdapat di India sejak beribu
tahun silam. Tutur bahasanya dan tingkah-lakunya memberi manfaat di
tengah-tengah masyarakat. Pada taraf berikutnya adat ikut mengatur masyarakat,
yang meliputi seluruh dataran Asia. Setelah melalui berbagai pergolakan ekonomi
dan politik, adat ikut mengatur alam kebendaan. Mulanya adat menjadi
kepercayaan untuk dunia dan akhirat, tetapi setelah masuknya agama Hindu dan
Budha adat lalu terpisah menjadi urusan dunia saja.
Menurut
Idrus, adat Minangkabau adalah suatu pandangan hidup yang berpangkal pada budi
yang berdasar pada ketentuan yang nyata pada alam yang bersifat memberi tidak
mengharap balas.
Dalam
bahasa Minang sehari-hari dikenal pula istilah ‘datu’, artinya dukun ilmu
hitam, yang perangainya tidak senonoh. Sehingga bila digabung dengan istilah
‘a’ yang artinya tidak maka adat artinya adalah perangai orang yang bukan datu,
tetapi perangai orang yang baik-baik. Dengan demikian, perangai jahat, seperti
orang yang suka maling, menipu, judi, dsb. tidak dapat diakatakan sebagai adat.
Menurut
Drs. Asymuni A.Rahman, Dosen IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, ‘adat menurut
bahasa berarti perulangan. Menurut pengertian ahli ushul fiqih, ‘adat
(kebiasaaan) ialah sesuatu yang berulang terjadi. Menurut Ibnu Abidien, ‘adat
itu diambil dari kata mu’widah (bahasa Arab); yaitu mengulang-ulangi. Karena
diulang-ulangi menjadi terkenal dan dipandang baik atau dapat diterima oleh
akal sehat dan perasaan. ‘adat dan ‘urf searti walaupun berlainan mafhum. Adat
dalam pengertian luasnya mencakup setiap keadaan yang berulang-ulang, baik
sebab alami seperti umur baligh seseorang, masaknya buah-buahan atau hal-hal
yang ditimbulkan karena keinginan syahwat manusia seperti makan-minum, atau
hal-hal yang dapat menimbulkan kerusakan akhlak.
Dari
makna yang diberikan orang terhadap istilah adat tersebut, manakah yang
diapakai dalam pepaah ABSSBK?
Pertama dari segi ucapan, orang Minang tidak pernah menyebut
istilah ‘adat, walaupun orang Minang pada asasnya dapat menyebut huruf ‘ain, kecuali orang yang terpengaruh oleh
bahasa Arab, tetapi mereka tetap menyebut istilah adat.
Kedua, bila berasal dari bahasa Arab ‘adat, maka ke dalamnya akan
termasuk perbuatan-perbuatan jelek, maka perbuatan orang yang suka main judi,
maling, minum arak, adu ayam, adu kerbau, dan sebagainya dipandang sebagai adat
juga.
Berdasarkan
pertimbangan itu, penulis berkesimpulan bahwa yang dimaksud adat dalam Rapek
Urang Tigo Luhak adalah adat dalam makna pertama, ke dalamnya hanya masuk perilaku
yang baik-baik saja.
Di dalam
pepatah ABSSBK, adat dihadapkan dengan syarak. Syarak berasal dari istilah
syar’i dalam bahasa Arab yang digunakan untuk menyebut hukum yang berkenaan dengan
aturan-aturan yang ditetapkan manusia untuk digunakan dalam kehidupan bersama.
Dalam bahasa Arab, istilah hukum yang berasal dari istilah hakama, yang artinya bijaksana, juga diartikan dalam arti luas. Contoh:
nun mati atau tanwin disambut huruf dal hukumnya echfa, di sini hukum artinya tata bahasa.
Berdasarkan
pertimbangan tersebut, maka istilah adat dalam pepatah ini berarti hukum adat,
seperti yang dimaksudkan oleh Van Vollenhoven sebagai Bapak Ilmu Hukum Adat.
Menurut
Seminar hukum adat di Yogyakarta tahun 1975, hukum adat diartikan sebagai hukum
asli bangsa Indonesia yang di sana sini dipengaruhi oleh unsur-usur agama.
Hukum adat tersebut adalah aturan hidup yang oleh masyarakat dalam kehidupannya
sehari-hari ditetapkan. Aturan-aturan tersebut dapat berasal dari kebiasaan
positif dalam masyarakat maupun dari aturan hukum agama yang direspsi menjadi
bagian dari hukum adat itu.
D.
Perbedaan Makna
Syarak dan Addin
Variabel
kedua adalah syarak, yang harus
dibedakan dengan addin. Syarak berasal
dari bahasa Arab syar’i, yang sering
pula diterjemahkan menjadi syari’at.
Istilah ini sering disalahtafsirkan dengan addin
yang berarti agama. Agama Islam sebagai dinullahi
intinya adalah ajaran tentang akhlak, sesuai dengan hadis: bahwa sesungguhnya
aku diutus untuk kesempurnaan akhlak yang mulia, akhlakul karimah. Agama Islam
dimulai dari ajaran tauhid atau monoteisme dengan mengesankan Tuhan, La ilaha illa Allah. Ma’rifat, tarikat
dan ibadat yang bertujuan untuk mengabdikan diri tidak lain kepada Allah dalam
rangka mendekatkan diri kepada Allah untuk memperoleh keredaannya. Di samping
itu Islam juga membawa ajaran tentang hukum yang disebut dengan istilah syar’i.
Ada
berbagai paham mengenai syar’i ini dalam perkembangan Islam, khususnya di Minangkabau. Menurut Prof. Hamka, kaum
Wahabi di tanah Arab berpendapat bahwa perjalanan agama secara damai selama ini,
menghilangkan sifat pelajaran agama yang sejati, sehingga tercampur dengan
pelajaran agama lain, yang bukan berasal dari agama itu sendiri. Mereka
memandang orang yang tidak sepaham dengan dia sebagai musuh, walaupun sama-sama
Islam. Sebab keislaman mereka tinggal nama saja, mereka telah memperserikatkan
Tuhan dengan yang lain.
Kaum
Padri Minangkabau juga berpendirian begitu, maka amat hebatlah pergerakan Padri
sejak bagian pertama (1801-1806), yaitu zaman menyusun, dan bagian kedua (1826-1837)
zaman berperang menyiarkan paham, sampai jatuhnya Bonjol ke tangan Belanda.
Tuanku Nan
Renceh termasuk penganut paham ini, sehingga dia tega membunuh ibunya yang
tidak mau dilarangnya makan sirih dan tembakau. Para penganut paham Wahabi,
termasuk Haji Miskin dari Pandai Sikek dan Haji Sumaniek, menghendaki
diberlakukannya syariat Islam sepenuhnya. Dia ingin merombak secara total hukum
adat Minangkabau, ingin mengganti sistem matrilineal ke patrilineal atau
parental, membagi-bagi harta pusaka sesuai al
faraidh.
Padahal
di dalam hukum Islam sendiri, seperti dikemukakan oleh Drs. H. Asymuni A.
Rahman, Dosen IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, ‘urf atau adat kebiasaan diakui di dalam hukum Islam. ‘Urf atau adat kebiasaan dapat diterima
jika membawa kemaslahatan dan telah
terkenal dalam masyarakat dan dipandang baik.
Berdasarkan
uraian di atas, terlihat bahwa ada dua pandangan mengenai syarak. Pertama, pandangan yang menginginkan
berlakunya hukum Islam seluruhnya dengan mengubah seluruh adat kebiasaan yang
ada dalam masyarakat yang telah ada sebelumnya yang diekanal dengan kaum Wahabi.
Kedua, pandangan yang membenarkan berlakunya hukum adat (‘urf) yang ada dalam masyarakat
setempat.
E.
Perbedaan Makna
Sandi dan Asas
Variabel
kedua adalah Sandi yang harus dibedakan dengan asas. Dipilihnya istilah sandi
dalam pepatah ABSSBK ini merupakan hasil dari hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan yang terjadi di Bukik Marapalam, karena dengan dipakainya
istilah ini konflik berkepanjangan yang terjadi di Minangkabau dapat diakiri.
Selama
ini sering terjadi salah paham mengenai pepatah ABSSBK karena kesadaran
menggunakan bahasa Indonesia yang tinggi dari anak Minang, yang dahulu disebut bahasa
Melayu Tinggi, yang menterjemahkan istilah sandi menjadi sendi sehingga berarti
asas atau dasar.
Di dalam
ilmu hukum dan penegakan hukum, pemberian makna terhadap suatu aturan hukum
dilakukan dengan menggunakan penafsiran hukum (recht interpretatie), terdiri dari: penafsiran otentik, gramatikal,
sosiologis, ekstensif, restriktif, analogis, dan argumentum a contrario. Terhadap istilah sandi dalam pepatah ini
harus digunakan penafsiran gramatikal, berdasarkan tata bahasa yang berlaku pada
saat dibentuknya aturan hukum itu.
Di
Minangkabau, pada awal abad ke-19 orang membangun rumah dari kayu, belum ada
rumah permanen. Beda dengan pembangunan rumah permanen sekarang yang dimulai
dengan pembuatan fondasi, pada rumah kayu, tiang kayu didirikan lebih dahulu di
atas tanah. Jika tiang kayu berdiri di atas tanah saja, tiang itu akan cepat
lapuk karena kayu yang lembab akan
diamakan rayap. Karena itu, setelah bentuk rumahnya harmonis, diadakanlah
upacara manyandi. Masing-masing tiang
diangkat dengan pengungkit dan diselipkan batu kali, batu kali itulah yang
disebut dengan istilah sandi.
Dari
cara penempatan sandi itu terlihat bahwa tiang ditegakkan dahulu, baru kemudian
diberi sandi. Sandi bukan unsur esensial dari tiang, karena tanpa sandi tiang
tetap bisa berdiri, cuma akan cepat lapuk. Dengan demikian fungsi sandi adalah
untuk memperkokoh tiang.
Apabila
yang dimaksudkan dalam rapat di Bukik Marapalam itu istilah sandi diartikan
sebagai dasar, alas atau fondasi, tidak akan mereka gunakan istilah sandi,
sebab dalam bahasa Arab, dasar, alas atau fondasi itu ada istilah khusus, yaitu
asas.
F.
Penyamaan Persepsi tentang
ABSSBK
Terjadinya
konflik antara kaum Wahabi dengan niniak mamak yang juga telah menganut agama
Islam disebabkan karena kaum Wahabi ingin memaksakan berlakunya syariat Islam
sepenuhnya dengan mengaharamkan hukum
adat Minangkabau yang telah ada selama ini dan memerangi mereka yang
mempertahankannya.
Niniak
mamak memandang bahwa bila hukum Islam diterapkan seluruhnya, Minangkabau akan
kehilangan minangnya, karena ciri khas Minangkabau seperti hukum keluarga
dengan sistem matrilineal, hukum harta kekayaan, pewarisan kolektif harta
pusaka, tanah ulayat, nagari dengan suku ibu, hukum perkawinan, hukum
perjanjian, pemerintahan nagari, san sebagainya harus diganti dengan sistem
patrlineal dengan segala akibat hukumnya. Suku harus diganti dengan suku ayah,
nagari yang tersusun atas empat suku ibu harus dibubarkan, pangulu dan ninik
mamak sebagai pimpinan suku ibu harus diberhentikan, Kerapatan Adat Nagari yang
merupakan kerapatan dari wakil-wakil suku ibu harus dibubarkan, harta bersama
harus dibagi secara al faraidh, dan
seterusny. Masyarakat Minang akan kocar-kacir dan akan terjadi pertumpahan
darah yang dahsyat. Mudaharatnya lebih besar dari manfaatnya.
Berdasarkan
makna sandi yang digunakan dalam pepatah ini seperti diuraikan di muka, maka
pepatah ini harus diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Adat diperkokoh oleh syarak, syarak diperkokoh
oleh Kitabullah.
Hal ini
sesuai dengan sejarah, bahwa di Minangkabau hukum adat lebih dahulu adanya dari
hukum Islam. Demikian pula dengan syariat Islam, karena ‘urf atau adat Saudi Arabia yang kemudian menjadi sebagian hukum
Islam itu telah ada sebelum turunnya Kitabullah.
Adat jo syarak sanda manyanda bak tabiang jo aua, tabiang
indak runtuah aua indak taban. Syarak mangato adat mamakai. Adat bapaneh syarak
balindung. Antara hukum adat dengan syarak seperti anyaman tikar, helaian vertikal
(syarak) jalin menjalin dengan helaian horizontal (adat). Dalam bidang tertentu
dipakai adat, di bidang lain dipakai syarak. Sepanjang menyangkut dosa, pahala,
halal, dan haram dipakailah syarak, selebihnya tetap dipakai hukum adat.
Untuk
menjelaskan berlakunya hukum Islam di Minangkabau dapat digunakan teori resepsi
dari Snouck Hurgronje atau teori keputusan (beslissingen
leer) dari Ter Haar. Menurut Snouck Hurgronje, hukum agama yang berlaku
bagi pemeluk agama itu sepanjang yang telah diterima menjadi bagian dari hukum
adat mereka. Jadi bagian yang belum diterima, tidak dapat diterapkan begitu
saja oleh hakim. Menurut Ter Haar, hukum agama diterapkan bagi pemeluknya
apabila telah diputuskan oleh fungsionaris hukum masyarakat yang bersangkutan.
Menurut
J.Prins, yang membedakan antara agama Kristen dengan agama Islam ialah
bahwa agama Kristen tidak mengembangkan
ilmu pengetahuan undang-undang, agama Kristen bukanlah undang-undang. Sebaliknya
agama Islam mempunyai ajaran fikihnya yang mengatakan memberikan peraturan
Tuhan Allah untuk segala bidang kehidupan, dalam segala keadaan dan berlaku
untuk segala zaman. Tentu sudah Anda ketahui, bahwa betapa besarpun keinginan
tersebut, di bagian-bagian Indonesia yang bergama Islam dan negeri muslim
lainnya hanya terdapat beberapa aturan atau pasal saja dari fikih itu yang
berlaku bagi kehidupan hukum penganut agama Islam. Untuk selanjutnya hukum fikih
itu dianggap sebagai hukum idaman.
Kekeliruan
pemahaman selama ini adalah karena diterjemahkannya istilah sandi ke dalam
bahasa Indonesia menjadi sendi, sehingga berarti dasar, alas atau asas.
Akibatnya, hukum Islam dipandang sebagai hukum yang tinggi (lex superior) sedangkan hukum adat
sebagai hukum yang rendah (lex inferiori).
Akibatnya berlaku asas dalam hukum yang berbunyi: lex superior derogaat lex inferiori, hukum yang tinggi menghacurkan
hukum yang rendah. Pemahaman inilah yang dimaksudkan oleh penganut kaum Wahabi,
yang ingin mengganti semua hukum di ranah Minang ini dengan syariat Islam yang katanya,
sejati.
Kalaulah,
makna pepatah ini seperti yang dimaksudkan kaum Wahabi, tentu niniak mamak
tidak akan mau menyetujuinya. Kalau memang mereka setuju, tentu kini suku Koto
telah berganti dengan suku Quraisy, setidaknya jadi orang yang tak bersuku.
Tapi nyatanya, sistem kekerabatan, pemerintahan, kewarisan, dan sebagainya di
Minangkabau tetap seperti sedia kala, malah dewasa ini kita telah kembali lagi
ke dalam sistem pemerintahan nagari.
Dari
uraian ini, mungkin di antara pembaca yang budiman, akan mencap penulis sebagai
anti syariat Islam. Di satu sisi mungkin ada benarnya, jika yang mereka artikan
dengan syariat Islam adalah apa yang dimaksudkan oleh pengikut Wahabi. Tetapi
mereka yang memandang syariat Islam seperti yang dimaksudkan oleh Drs. H.
Asymuni A. Rahman, ‘urf atau adat
kebiasaan yang membawa kemaslahatan masyarakat diakui di dalam hukum Islam, hukum
adat adalah hukum, akan mengatakan bahwa penulis bukanlah demikian.
G.
Aplikasi Yuridis
ABSSBK
Seperti
telah diuraikan di atas, masyarakat Minang menerima Islam sebagai agama (addin). Mereka menerima ajaran tentang
tauhid, ma’rifatullah, iman, ihsan, ibadah, dan sebagainya. Malah bukanlah
orang Minang namanya kalau tidak Islam. Tetapi berkenaan dengan syariat (hukum
Islam) sepanjang menyangkut hubungan antarmanusia di dunia ini, mengenai aturan
yang akan dipakai dalam hidup bersama yang secara tegas ditetapkan padahan
(sanksi)nya, tunggu dulu. Mereka menerima hukum Islam apabila menyangkut dengan
dosa, pahala, halal dan haram.
a.
Hukum Perkawinan
Mengenai
peminangan, pertunangan, pesta, domisili, hak dan kewajiban suami isteri,
penguasaan harta perkawinan dan status anak tetap dipakai hukum adat. Hukum
Islam hanya dipakai dalam formalitas pengesahan perkawinan, karena adalah dosa
kalau perkawinan tidak dilaksanakan melalui ijab kabul antara wali mempelai
perempuan dengan mempelai laki-laki, pembayaan mahar, dihadiri dua saksi dan
dilangsungkan karena Allah.
Demikian
pula dalam pengesahan perceraian, karena adalah dosa kalau seorang perempuan
yang perceraiannya dengan suami terdahulu belum disyahkan melalui pengucapan
talak oleh suami atau putusan hakim, kawin lagi dengan laki-laki lain.
Dengan
demikian terlihat bahwa selama ini telah terjadi pelanggaran HAM dalam
penyelesaian sengketa perkawinan anak Minang oleh pengadilan agama karena
kehidupan perkawinan mereka diatur oleh hukum adat, sementara perceraian mereka
diadili menurut hukum Islam saja.
b.
Hukum Kekerabatan
Berkenaan
dengan hukum kekerabatan, yang menyangkut dengan hukum pertalian darah,
mayoritas masyarakat Minang (kecuali perantau) tetap menggunakan hukum adat,
yakni berupa ikatan ibu-anak, mamak- - kamanakan, ayah-anak, ipa-bisan, bako-anak
pisang, dan sebagainya. Hanya mereka yang hidup di rantau, tidak merasakan
bagaimna hidup menurut tatanan hukum adat Minangkabau, sehingga muncul
keinginan untuk merombak sistem kekerabatan ini.
c.
Hukum Waris
Dalam seminar
Hukum Tanah dan Waris Minangkabau tahun 1968 disimpulkan bahwa pewarisan harta
pusaka dilaksanakan sesuai dengan hukum adat. Sedangkan harta pancarian
laki-laki, yaitu setengah dari harta yang diperoleh selama perkawinan
berlangsung ditambah harta bawaan sendiri, diwarisi menurut al faraidh dan dapat dihibahkan kepada
kamanakan maksimal sepertiga.
Berbeda
dengan pepatah ABSSBK yang lahir dari rapat urang Tigo Luhak, kesimpulan seminar tentu tidak dapat menjadi
sumber hukum dalam rangka yudikasi. Dalam kenyataan hidup masyarakat, tidak
pernah terlaksana. Bila suami meninggal dunia, harta dikuasai oleh janda secara
keseluruhan untuk digunakan bagi kepentingan semua anaknya sesuai dengan
kebutuhan.
Jika
seorang anak perempuan akan menikah, harta yang digunakan untuk keperluannya
tidak diklaim oleh saudara laki-laki. Tidak pernah janda membagi-bagi harta
pancarian suaminya sesuai al faraidh,
jika tidak punya anak janda memperoleh seperempat, jika punya anak hanya
seperdelapan. Di antara anak-anak demikian pula, tidak pernah saudara laki-laki
menuntut dua kali bagian anak perempuan. Anak laki-laki pada umumnya sadar
bahwa kalau harta digunakan untuk keperluan saudara perempuannya mereka tidak
keberatan.
d.
Hukum Tanah
Pada
asasnya hukum tanah adat tetap berlaku di Minangkabau, sehingga hak-hak komunal
atas tanah masih ada, seperti ulayat suku, paruik, kaum dan nagari. Awalnya
semua tanah adalah hak komunal dari persekutuan hukum adat, dengan prinsip tanah nan sabingkah, rumpuik nan saalai pangulu
nan punyo. Mamaklah yang mengurus dan mengatur pencadangan, pemanfatan,
penggunaan, pemberian izin, dsan sebagainya terhadap bidang-bidang tanah
ulayat. Akibatnya mamak dihormati kamanakan, karena hidup kamanakan tergantung
mamak.
Dengan
masuknya sistem kewarisan individual Islam yang memperkenalkan hak milik,
muncul keinginan sebagian anak Minang untuk memiliki secara individual bidang
tanah persekutuan. Ganggam bauntuak
yang pada asasnya hanya hak pakai, diperlakukan seperti hak milik oleh anggota
kaum yang perempuan.
Pemanfaatannya
tidak lagi di bawah kontrol mamak, seolah-olah mamak tidak lagi punya hak atas
tanah itu. Mamak baru dibawaserta kalau tanah akan digadaikan. Akibatnya,
martabat mamak di mata kamanakan menjadi luntur. Terjadi pula individualisasi lahan,
menjadi lahan kecil-kecil yang dikelola secara individual, sehingga tidak
mungkin dikembangkan menjadi usaha skala besar dengan teknologi tinggi.
e.
Hukum Ekonomi
Awalnya
suku, paruik, kaum dan nagari itu merupakan lembaga ekonomi. Niniak mamak,
pangulu, dan nagari mengatur pengelolaan irigasi, jalan, turun ke sawah, pasar,
dan sebagainya secara tradisional. Walaupun nagari mendirikan pasar nagari,
pasar serikat, dan seterusnya namun sistem perdagangan yang dipakai adalah
sistem pasif.
Anak
nagari membawa produknya ke pasar lokal, menunggu datangnya konsumen, pedagang
antarkota, antarpulau dan eksportir. Pihak luar datang secara aktif dan
langsung dengan lembaga yang kuat
seperti VOC, NV, Fa, CV, dan sebagainya dengan berbagai model marketing sehingga merekalah yang
menentukan harga, baik harga jual produk maupun harga kebutuhan anak nagari.
Akibatnya
apa yang dijual anak nagari murah dan apa yang mereka beli mahal. Inilah yang perlu kita pikirkan mengatasinya,
dengan membentuk Badan Usaha Nagari dan konsorsiumnya untuk memasarkan produk
anak nagari secara aktif sampai ke konsumen, di dalam maupun luar negeri. Jika
tidak kehidupan anak nagari tidak akan mengalami perubahan. Allah mengingatkan
bahwa mengubah nasib harus dengan berkaum.
f.
Hukum Perjanjian
Dalam
kehidupan sehari-hari, perjanjian-perjanjian tetap dilaksanakan menurut hukum
adat, seperti perjanjian jual beli, sewa menyewa, bagi hasil, pinjam meminjam,
salang pinjam (gadai), tuka imbuah, dan
sebagainya baik dalam transaksi tanah maupun yang bukan tanah. Paling-paling ke
dalam transaksi adat itu ditambahkan kewajiban ijab kabul di antara para pihak,
namun itupun tidak terlaksana.
Dengan
munculnya Bank Syariah di Minangkabau, seolah-olah digunakan hukum Islam. Namun
setelah diteliti, ternyata maksud sesungguhnya adalah agar orang Islam yang
memandang bunga adalah haram mau berhubungan dengan bank. Kalau dalam
perjanjian kredit dikatakan perjanjian bagi hasil, namun ternyata hanya bagi
untung saja. Padahal bagi hasil sesungguhnya adalah bagi untung rugi. Kalau
untung sama untung, rugi sama rugi. Tetapi Bank Syariah, tetap menuntut debitur
untuk membayar bagian hasil yang telah ditetapkan lebih dulu, walaupun si
debitur mengalami kerugian dalam usahanya.
g.
Hukum Administrasi
Pemerintahan (Adat)
Ketentuan
hukum mengenai kewenangan memimpin dalam masyarakat Minang tetap seperti
sediakala, menggunakan hukum adat, misalnya tentang syarat, kewenangan, dan
kekuasaan pangulu, anggota dan pimpinan Kerapatan Adat Nagari, mamak kepala
waris, tungganai, dan sebagainya ke dalam struktur pemerintahan adat telah
dimasukkan unsur syarak, seperti adanya imam, malin, labai dan katik dalam
jabatan adat sebagai jabatan di bidang keagamaan.
Dalam
sistem ketatanegaraan RI kewengangan persekutuan hukum adat untuk mengurus
kepentingan masyarakat setempat diakui dan dihormati seperti dimuat dalam Pasal
18 B UUD 1945 dan Pasal 1 ayat 12 UU No. 32/2004. Karena itu melalui Perda No.
9 Tahun 2000 tentang Pemerintahan Nagari telah terjadi pelanggaran HAM di
Sumatera Barat, karena perda ini mencampuri kewenangan nagari dalam mengurus
kepentingan masyarakatnya. Karena itu, sistem pemerintahan nagari harus
dikembalikan sesuai dengan asas otonomi asli, asas pengakuan persekutuan hukum
adat sebagai pelaksana pemerintahan terendah seperti yang ditetapkan UU No.
32/2004, dengan menetapkan KAN sebagai pelaksana pemerintahan terendah, memilih
calon Wali Nagari untuk dipilih anak nagari dan ditetapkan Bupati melalui SK
pengangkatan Wali Nagari.
Daftar Pustaka
Aritonang;
Burhanuddin (Penghimpun dan Editor) Undang-undang
Kekuasaan Kehakiman; Pustaka Pergaulan, Jakarta, 2004
Asymuni
A.Rahman; Drs. H. Kedudukan Adat
Kebiasaan (‘Urf) Dalam Hukum Islam Penerbit CV. Bina Usaha; Yogyakarta;
1983
Darwis Thaib Dt.
Rajo Pangulu Seluk Beluk Adat Minangkabau
NV Nusantara Bukittinggi, 1965
Hamka Dt. Indomo Islam dan Adat Minangkabau, Penerbit PT
Pustaka Panjimas, Jakarta, 1985
Prins; J Pengaruh Kristen Terhadap Hukum Adat Terjemahan
: Prof. Dr. Koentjaraningrat dari Judul Aslinya : Christelijke Beinvloeding van Adatrecht Pernerbit Bhratara; Jakarta
1973
Schrieke; BJO. Pergolakan Agama di Sumatera Barat : Sebuah
Sumbangan Bibliografi Terjemahan Soegarda Poerbakawatja dari Judul : Bijdrage tot de Bibliografie van huidige
godsdienstige beweging ter Sumatra’s Westkust Penerbit Bhratara, Jakarta, 1973
Yayasan Citra Budaya
Indonesia Menelusuri Sejarah Minangkabau;
Himpunan Makalah dalam Seminar Sejarah dan Kebudayaan Minangkabau di Batu
Sangkar 1970
Tulisan ini
disampaikan dalam Lokakaya Inventarisasi dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum
Adat dari Perspektif Hak Asasi Manusia kerja sama Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia Indonesia Perwakilan Propinsi Sumatera Barat dengan Fakultas Hukum
Universitas Andalas, pada 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar