OLEH Nurmatias (Peneliti)
Sebelum kita kupas peran pemerintah dalam
pelestarian sejarah Perjuangan bangsa terutama Pemerintah Darurat Republik
Indonesia (PDRI) akan lebih baik kita memaknai kondisi pelestarian nilai
sejarah pada saat ini.
Pemerintah pusat
sudah memberikan legalitas formal tentang peran perjuangan Pemerintah Darurat
Republik Indonesia dengan ditetapkan tanggal 19 Desember sebagai Hari Bela Negara.
Perlu diketahui bahwa
satu-satunya hari bersejarah yang peristiwanya terjadi di luar Pulau Jawa hanya
Hari Bela Negara. Kita perlu memberikan apresiasi dan penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada pemerintah Republik Indonesia yang telah menetapkan
tanggal 19 Desember sebagai Hari Bela Negara.
Kendati begitu, apresiasi
pemerintah daerah dalam pengamatan penulis masih setengah hati dan terbagi-bagi
perhatiannya. Perlu campur tangan pemerintah Provinsi Sumatera Barat dalam
menyelesaikan permasalahan ini. Pemerintah Darurat Republik Indonesia adalah
milik semua masyarakat Indonesia umumnya, Sumatera Barat khususnya. Peristiwa
PDRI ini tidak disatu kabupaten saja sehingga perlu persamaan persepsi kita
bersama dalam menyikapi surat keputusan
Presiden Republik Indonesia tersebut.
Tarik menarik
kepentingan ini perlu diselesaikan dengan baik dan semua elemen masyarakat yang
memiliki ingatan kolektifnya sehingga terakomodir. Dalam perspektif ini belum
kelihatan wujud dan itikad baik dari semua elemen yang merasa memiliki sejarah
PDRI ini untuk menyatukan visi dan misi tentang keberadaan Pembangunan Monumen
Bela Negara dan perlu diwujudkan secara nyata.
Masalah ini menjadi renungan dan perhatian kita
bersama, sewaktu belum diakui kita sepaham dan setelah diakui kita bersengketa.
Perlu pemikiran jernih dalam mendudukan masalah keterlibatan semua elemen dalam
proses pembangunan Monumen Bela Negara ini.
Saya dalam perspektif
historis dan kebersamaan harus dilihat bahwa PDRI ini tercetus di Bukittinggi
dan kemudian berpindah-pindah lokasi perjuangan dalam rangka mempertahankan
kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebelum kita putuskan saya hanya
memberikan ilustrasi tentang makna dari pelestarian nilai sejarah sehingga kita
bisa mencari solusi dari permasalahan yang terjadi
Dalam era otonomi daerah sekarang ini, kekuatan paling
dominan dan domainnya untuk
mengelola kekayaan budaya dan kesejarahan merupakan kewenangan pemerintah
daerah. Penguatan akan hal ini di dasarkan pada Undang-Undang Nomor 32 tahun
2004 tentang pemerintah daerah dan Peraturan Pemerintah nomor 38 tahun
2007 tentang pembagian urusan pemerintah bidang kebudayaan.
Kecenderungan yang
terjadi selama ini kurangnya pemahaman, apresiasi, dan komitmen pemerintah
daerah di dalam pengelolaan kekayaan budaya
dan kesejarahan. Akibatnya makin menurunnya kualitas pengelolaan
kekayaan budaya dan kesejarahan.
Pengelolaan kekayaan
budaya dan kesejarahan belum sepenuhnya menerapkan prinsip tata pemerintahan
yang baik (good governance) sehingga kualitas layanannya kurang optimal,
baik dalam pengelolaan kekayaan budaya yang berwujud (tangible) maupun
pengelolaan kekayaan budaya yang bersifat tidak berwujud (intangible).
Salah-satu bentuk
pengelolaan kekayaan budaya yang bersifat tidak berwujud (intangible)
tersebut, yakni pelestarian nilai-nilai sejarah. Di samping itu, pembangunan
dalam bidang kebudayaan umumnya dan kesejarahan khususnya sampai saat ini masih
menghadapi beberapa permasalahan sebagai akibat dari berbagai perubahan tatanan
kehidupan, termasuk tatanan sosial budaya yang berdampak pada terjadinya
pergeseran nilai-nilai di dalam kehidupan masyarakat khususnya generasi muda.
Meskipun pembangunan
dalam bidang kebudayaan khususnya kesejarahan yang dilakukan melalui
revitalisasi dan reaktualisasi nilai budaya dan pranata sosial kemasyarakatan
telah menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan. Hal ini ditandai dengan
berkembangnya pemahaman terhadap pentingnya kesadaran multikultural. Selain
itu, menurunnya eskalasi konflik horizontal yang marak pascareformasi, secara
umum masih dihadapi permasalahan dalam ranah pengelolaan kebudayaan dan
kesejarahan, antara lain (1) rendahnya apresiasi dan kecintaan terhadap budaya
lokal, dan sejarah lokal; (2) semakin pudarnya nilai-nilai solidaritas sosial,
keramahtamahan sosial dan rasa cinta tanah air yang pernah dianggap sebagai
kekuatan pemersatu dan ciri khas bangsa Indonesia, serta semakin menguatnya nilai-nilai materialisme; dan (3) belum
memadainya kemampuan bangsa dalam mengelola keragaman budaya termasuk
pelestarian nilai-nilai sejarah pada tingkat lokal.
Perlunya Pelestarian Nilai-nilai Sejarah
Berpondasikan dari
persoalan di atas, risalah ini sebetulnya ingin memaparkan tentang bagaimana pelestarian
nilai-nilai sejarah di era otonomi daerah, lebih menukik lagi tentang persoalan
kenapa perlu pelestarian nilai-nilai sejarah di era otonomi daerah. Tak pelak
rasanya, kekuatan untuk melestarikan nilai-nilai sejarah semakin kuat ketika
otonomi daerah digulirkan. Hanya tinggal bagaimana pemerintah kabupaten/kota
menyikapi persoalan ini. Serta bagaimana pelestarian nilai-nilai sejarah itu
sendiri bisa dipraktikkan dan dioperasionalkan dalam kehidupan masyarakat, dan
media apa saja yang bisa digunakan dalam melaksanakan pelestarian nilai-nilai
sejarah tersebut.
Pelestarian merupakan
terjemahan dari conservation atau konservasi. Pengertian pelestarian
terhadap peninggalan lama, pada awalnya dititikberatkan pada bangunan tunggal
atau benda-benda seni, kini telah berkembang ke ruang yang lebih luas seperti
kawasan hingga kota bersejarah serta komponen yang semakin beragam seperti
skala ruang yang intim, pemandangan yang indah, suasana, dan penanaman nilai
sejarah, dan sebagainya (Adishakti, 2003).
Namun konsep
pelestarian, kini, ialah upaya untuk menjaga kesinambungan yang menerima
perubahan dan atau pembangunan. Suatu
pengertian yang berbeda dengan preservasi. Pelestarian bertujuan untuk tetap
memelihara identitas dan sumber daya lingkungan dan mengembangkan beberapa
aspeknya untuk memenuhi kebutuhan modern dan kualitas hidup yang lebih baik.
Konsekuensinya, perubahan yang dimaksud bukanlah terjadi secara drastis, namun
perubahan secara alami dan terseleksi.
Kegiatan pelestarian
ini bisa berbentuk pembangunan atau pengembangan dalam bentuk upaya preservasi,
restorasi, replikasi, rekonstruksi, revitalisasi, dan/atau penggunaan untuk
fungsi baru suatu aset masa lalu (Sidharta, 1989).
Di sini perlu
ditekankan bahwa pelestarian adalah upaya pengelolaan melalui serangkaian kegiatan yang meliputi:
kegiatan penelitian, perencanaan, perlindungan, pemeliharaan, pemanfaatan,
pengawasan, dan/atau pengembangan secara selektif untuk menjaga kesinambungan,
keserasian, dan daya dukungnya dalam menjawab dinamika jaman untuk membangun
kehidupan bangsa yang lebih berkualitas.
Sebagai sebuah bentuk
penanaman nilai, persoalan itu sendiri tidak terlepas dari aktivitas manusia
dalam hidupnya yang membawa perubahan pada masa lampau. Sejarah tidak hanya
menyangkut sesuatu yang lampau saja, tetapi juga sesuatu yang aktual, hidup,
dan sebenarnya juga mempunyai suatu ikatan antara masyarakat tersebut dengan
masa lampaunya.
Oleh karena itu,
apabila suatu bangsa melupakan sejarahnya, maka dapat dikatakan bangsa tersebut
akan terlepas dari akar kehidupan yang memberikan identitas bangsa, yaitu
warisan masa lampaunya. Kemudian secara lebih spesifik, pelestarian bertujuan:
a) Berdasarkan kekuatan aset lama, memberikan
kualitas kehidupan masyarakat yang lebih baik, melakukan pencangkokan
program-program yang menarik, kreatif dan berkelanjutan, merencanakan program
partisipasi dengan menghitung estimasi
ekonomi agar menghasilkan keuntungan dan peningkatan pendapatan, serta
pengolahan lingkungan yang ramah (Adishakti, 1999).
b) Menjadi alat
dalam mengolah transformasi dan revitalisasi suatu lingkungan bersejarah, serta
menciptakan, melestarikan nilai-nilai sejarah untuk masa mendatang (future
heritage).
c) Tetap
memelihara identitas dan sumberdaya lingkungan dan mengembangkan beberapa
aspeknya untuk memenuhi kebutuhan modern dan kualitas hidup yang lebih baik (the
total system of heritage conservation).
Konsekuensinya, perubahan yang dimaksud bukanlah terjadi secara drastis,
namun perubahan secara alami dan
terseleksi (Adishakti,1997).
d) Pelestarian berarti pula “preserving purposefully:
giving not merely continued existence but continued useful existence”. Jadi, fungsi seperti juga
bentuk menjadi pertimbangan utama dan
tujuannya bukan untuk mempertahankan pertumbuhan suatu daerah, namun manajemen
perubahan.
Secara terperinci
tentang persoalan kesejarahan khususnya dapat dibagi menjadi empat bagian pokok,
yakni tokoh sejarah, peristiwa sejarah, penjernihan sejarah, dan kesadaran
sejarah. Untuk lebih lanjut tentang persoalan ini dapat dilihat pada skema di bawah
ini:
Perlunya pelestarian
nilai-nilai sejarah tidak terlepas dari hakekat dari sejarah itu sendiri,
sebagai kaidah masa lampau dari manusia. Masa lampau adalah prologue,
totalitas pengalaman manusia di masa lampau manfaatnya amat berharga dipetik
untuk dijadikan bekal menghadapi masa depan yang terentang dihadapan kita.
Begitulah ungkapan yang dilontarkan oleh Ortega Y Gasset ketika memahami masa
lampau itu sendiri.
Berbicara tentang
masa lampau, sesungguhnya ada di dalam
memori manusia. Memori yang dibangun atau terbangun tersebut tidak
terlepas dari aktifitas manusia itu sendiri, baik yang bersifat membangun
maupun merusak, secara sadar atau tidak sadar.
Dalam zaman modern
saat sekarang ini, akumulasi berbagai macam kejadian yang dialami oleh manusia membuat kita
tersadar dan bangkit untuk mengambil ikhmah dari kesemua hal tersebut. Ketika ikhmah yang kita ambil tersebut telah
tertanam dalam diri manusia maka disaat itu pulah manusia sadar bahwa dirinya
tidak terelapas dari masa lampau.
Masa lampau itu
sendiri hanya bisa kita pahami dengan perspektif kesejarahan. Sebab sejarah itu
sendiri tidak terlepas untuk mengungkapkan aktivitas manusia di masa lampau itu
sendiri. Untuk itu kita sesungguhnya perlu belajar sejarah. Cicero mengatakan
bahwa tidak belajar dari sejarah berarti kita akan tetap menjadi kanak-kanak
untuk selamanya.
Sebagai sebuah peristiwa
masa lalu history as past actuality, maka peristiwa sejarah itu sendiri
memuat tentang pristiwa kehidupan manusia, baik kehidupan manusia yang baik
maupun yang buruk. Ketika kehidupan manusia tersebut baik maka sejarah akan
menceritakan pada generasi berikutnya tentang semua kebaikan dari kehidupan
seseorang (tokoh), masyarakat maupun suatu negara begitu juga sebaliknya.
Sesungguhnya dengan
demikian, memperlihatkan kepada kita bahwa sejarah akan mampu membuat suatu
kehidupan atau seseorang menjadi baik bahkan lebih baik lagi kegenerasi
berikutnya dan begitu juga sebaliknya sejarah akan bisa membuat suatu kehidupan
atau seseorang menjadi tercela.
Pernyatan tersebut
seiring dengan apa yang jelaskan oleh Garghan dalam bukunya berjudul “A
Guide to Historical Method” menjelaskan bahwa sejarah adalah menungkapkan
pristiwa-pristiwa pada masa lampau
dengan melukiskannya untuk kepentingan masa kini. Sejarah dapat
merupakan sarana untuk berdialog antara masa lampau dengan masa kini, sehingga
masa lampau tidak sirna begitu saja tanpa fungsi.
Tak jarang dari dari
peristiwa sejarah tersebut mengandung berbagai macam “pelajaran” , “ajaran”
bahkan pengalaman dari sisi kehidupan manusia itu sendiri.
Cerita sejarah akan
mengambarkan kepada “pengikutnya” yang membacanya dan akhirnya akan terikut
arus oleh rangsangan yang digambarkan oleh cerita sejarah serta berpengaruh
terhadap segala kegiatan manusia.
Sejarah Pemerintah
Darurat Republik Indonesia
Menurut para ahli
sejarah bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang mengenal sejarah bangsa
mereka, kemudian kita mengstilir pendapat Bung Karno jangan lupa jas merah atau
jangan lupakan sejarah. Pada zaman Ode Baru kita mengenal istilah Yogyakarta
kembali. Yogyakarta kembali ini banyak dari sebagain masyarakat Indonesia tidak
mengetahui. Pernah salah satu pemimpin meliter di Sumatera Barat ini ditanya
tentang Pemerintah Darurat Republik Indonesia dan hubungan dengan Tugu
Yogyakarta kembali yang agung-agungkan sebagian kita, makna dan arti semua itu
hampir sebagian masyarakat bangsa ini
mereka tidak tahu. Itu sesuil penggalan sejarah bangsa yang tidak diberikan
informasi yang memadai sehingga
masyarakat Indonesia tidak tahu.
Cara berpikir seperti
itu sangat merusak tatanan sejarah bangsa yang jelas memberikan makna dan arti
dalam proses mata rantai sejarah bangsa. Idealnya pemerintah memberikan ruang
dan koridor sejarah Pemerintah Darurat Republik Indonesia ini. Penafian peran
Pemerintah Darurat Republik Indonesia ini
Sebelum kita
mempelajari atau membicarakan tentang keberadaan Pemerintah Darurat Republik
Indonesia alangkah baiknya kita melihat situasi Indonesia pada saat itu.
Semenjak perang dunia kedua berakhir pada medio bulan Agustus 1945, hegemoni
Sekutu dengan Amerika sebagai sentral kekuatan pemenang perang.
Dalam kekuatan sekutu
bercokol Belanda yang ingin mengusai kembali daerah jajahan mereka selama
perang dunia kedua dibawah kendali dan jajahan Jepang. Kondisi yang ada tidak
diambil sebagai momentum dalam meraih kemerdekaannya tetapi malah sebagaian
negara-negara jajahan menerima kembali
kedatangan pihak imperium sebelum terjadinya perang dunia kedua.
Hampir sebagain negara-negara
bekas jajahan bangsa sekutu di benua Asia umumnya memproklamirkan
kemerdekaannya harus dapat restu atau kemerdekaan belas kasihan penjajah.
Kondisi ini berbeda
di Indonesia, pemimpin bangsa Indonesia sudah mempersiapkan segala cara untuk
memproklamirkan kemerdekaannya. Pemuda-pemudi bersikeras dengan jiwa
revolusioner untuk memerdekaan Indonesia secepatnya dengan cara menculik
Soekarno dan Hatta dan diasingkan di Rengasdengkok Karawang. Soekarno-Hatta di sisi
lain punya pandangan yang lain tetapi punya kesamaan tujuan, yaitu memerdekaan
Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Momen ini diambil karena terjadi
kekosongan pemerintahan di wilayah Indonesia. Belanda tidak merestui
kemerdekaan Indonesia dan mereka melancarkan Agresi yang pertama tanggal 21
Juli 1947. Kemudian melanjutkan agresi keduanya mulai tanggal 19 Desember 1948.
Agresi Belanda ini menimbulkan perlawanan bangsa Indonesia.
Dalam catatan sejarah
perjuangan bangsa Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan atau revolusi
berlangsung selama kurun waktu 1945-1949. Masa tersebut saat yang paling sulit
dalam sejarah perjuangan berdirinya republik ini. Tetapi saat terberat dalam
perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia terasa pada kurun waktu 1945-1950.
Dalam usia yang masih
muda harus menghadapi musuh dari Belanda dan juga ditikam dari belakang oleh
anak bangsa sendiri yaitu Partai Komunis
Indonesia di bawah komando Musso. Partai Komunis Indonesia (PKI)
melakukan kudeta pada bulan September 1948. Situasi yang genting ini juga
dimanfaatkan Belanda melakukan agresi militernya pada tanggal 19 Desember 1948
Dalam catatan sejarah
bangsa pada agresi Belanda kedua hampir saja negara Indonesia yang baru berdiri
ini runtuh. Belanda menyerang Indonesia dan ibukota Yogyakarta diduduki sehingga kevakuman dalam pemerintahan.
Pemimpin bangsa
seperti Sukarno, Hatta dan lainnya ditawan oleh aggressor Belanda. Secara ilmu
tatanegara kalau negara dan pemimpinnya sudah tidak ada pemerintahan atau negara
tersebut lumpuh atau tidak ada.
Pada saat itu daerah
yang dominan dalam perjuangan pergerakan kemerdekaan adalah masyarakat Jawa dan
Sumatera, koordinasi dan informasi kedua pulau ini lumpuh sehingga tidak
adalagi komunikasi yang intens. Tentara Republik Indonesia pada agresi kedua
sudah tercerai-berai dan mengungsi dengan mempersiapkan strategi/taktik di hutan
sehingga komando terputus antara divisi-divisi yang ada.
Dalam teori tata negara,
negara yang sudah tidak punya pemimpin dan ibukota negaranya dikuasai, berarti negara
tersebut sudah lumpuh/tidak ada legitimasi.
Menurut pemikiran
pemerintah Belanda, Agresi Kedua, Indonesia sudah tidak ada. Melihat kondisi
yang ada maka atas insiatif pemimpin di Yogyakarta menirimkan mandat pertama ke
Mr. Sjafroeddin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik
Indonesia (PDRI) di Sumatera. Dalam manajemen risiko dalam melakukan sesuatu
perlu jalan alternatif apabila rencana satu gagal, maka dibuat rencana kedua,
yaitu mengirimkan mandat kepada pemimpin Republik Indonesia di luar negeri.
Pemimpin Republik Indonesia yang sedang berada di luar negeri adalah Dr.
Soedarsono, Mr Maramis dan Palar.
Dalam kalangan ahli
sejarah apakah surat mandat itu sudah diterima atau belum ini tidak masalah
tetapi dalam situasi yang genting ini Mr Sjafroeddin Prawiranegara (Menteri Kemakmuran)
yang berada di Bukittinggi mengambil tindakan tepat dalam menyelamatkan
republik ini. Beliau dengan tanggap bersama pemimpin meliter dan sipil di
Sumatera membentuk Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 19 Desember 1945.
Menurut catatan
sejarah negara di benua Asia yang meraih dan mempertahankan kemerdekaan melalui
perjuangan bersenjata menhadapi negara bekas jajahan adalah Indonesia dan
Vietnam. Salah satu daerah yang mempertahankan kemerdekaan dengan gigih adalah
daerah Sumatera Barat.
Sumatera Barat
merupakan benteng pertahanan yang tangguh dalam perang kemerdekaan menghadapi
Belanda. Fenomena ini menurut ahli sejarah Audrey R. Kahin menyebutkan
perjuangan masyarakat Sumatera Barat sebagai garda terdepan Republik Indonesia
(Kahin ed, 1990;150-177)
Upaya Pemerintah
Darurat Republik Indonesia ini tetap eksis, maka dengan secepatnya pemimpin
memindahkan pusat kekuasaan dari Bukittinggi bergerak dalam tiga kelompok.
Kelompok pertama yang
dipimpin Mr. St. Mohammad Rasyid dan rombongan melanjutkan perjalanan ke Koto
Tinggi, Gunung Omeh dan kemudian mereka menetap di sana.
Kelompok kedua di bawah
pimpinan Sjafroeddin Prawiranegara dan Mr. T. Muhammad Hasan berangkat Halaban
dekat lereng Gunung Sago dan sekarang masuk wilayah Kabupaten 50 Koto dan terus
ke Bidar Alam.
Kelompok ketiga di bawah
pimpinan Kol Hidayat, Sulaiman Effendi
dan Mr. Muhammad Nasrun. Kolonel Hidayat terus mengadakan perjalanan
sampai ke Aceh. Kepala Polisi Sumatera Barat Sulaiman Effendi membuat
pertahanan yang dikenal dengan front Palupuh. Sedangkan Mr. Muhammad Nasrun
singgah dan menetap di kampung halamannya di Lubuk Sikaping.
Pemikiran dan cara ini
diambil supaya tentara Belanda tidak dapat melumpuhkan pemerintahan Republik
Indonesia. Dengan munculnya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia, mata dunia
masih menganggap pemerintahan Indonesia ada dan sah. Pemerintah dan tentara
Belanda akan mencari Pemerintahan Darurat Republik Indonesia ini agar tujuan
dan maksud untuk menjajahan serta menguasai tercapai.
Peristiwa yang perlu
kita berikan apresiasi yang tinggi dari kedua pusat perjuangan PDRI di
belantara Sumatera Barat adalah musyawarah besar di Sumpur Kudus pada tanggal 14-17
Mei 1949.
Kedua rombongan ini
berangkat dari Bidar Alam dan Koto Tinggi berjalan kaki serta naik perahu
selama berhari-hari dengan kondisi medan yang berat demi satu tekad untuk
mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia. Alasan tempat musyawarah besar
ini di Sumpur Kudus adalah alasan strategi meliter dan letak geografis, perlu
diketahui bahwa Sumpur Kudus dalam sejarah kebudayaan Minangkabau adalah tempat
bertahta Raja Ibadat.
Agenda pembicaraan
dalam musyawarah besar ini adalah menindaklanjuti hasil perjanjian Roem-Royen
yang tidak melibatkan tokoh dan masukan dari Pemerintah Darurat Republik
Indonesia yang berada di rimba Sumatera Tengah (Barat).
Para pemimpin PDRI di
Bidar Alam dan Koto Tinggi sangat
menyesalkan keputusan Delegasi Bangka dalam perjanjian Roem-Royen yang
merugikan posisi Indonesia. Dalam suasana yang emosi dan marah mereka tetap
bisa berbicara jernih, keutuhan dan semangat persatuan yang harus diutamakan.
Akhirnya semangat mempertahankan kedaulatan NKRI yang menjadi tujuan mereka
meskipun ada hal yang tidak sesuai dengan pemikiran masing-masing tokoh PDRI
tentang hasil perundingan Roem-Royen.
Dengan mobilisasi
yang tinggi Pemerintahan Darurat Republik Indonesia sehingga Mohamad Hatta dan
rombongan mencari Mr Sjafruddin Prawiranegara ke Aceh.
Utusan ini bertujuan
menjelaskan hasil perundingan Roem-Royen kepada Sjafruddin Prawiranegara dan
hasilnya mereka hanya bertemu Kol Hidayat panglima Sumatera yang baru selesai long march dari Sumatera Barat.
Keputusan ini diambil akibat keras kepala wakil Belanda yang tidak mau
mengikuti keinginan pihak Indonesia. Dengan strategi lebih baik mengalah satu
langkah tetapi maksud dan keinginan kita dapat tercapai serta kemudian
melakukan konsolidasi dalam mempertahankan keutuhan NKRI.
Kemudian Mohammad
Hatta membentuk delegasi yang dikenal (Delagasi Bangka) ke Sumatera dengan Ketua
Dr. Leimena, Mohammad Natsir, Dr. Abdul Halim serta Agus Jamal. Delegasi ini
dibentuk atas pertimbangan kedekatan Mohammad Natsir dan Abdul Halim dengan
Sjafruddin Prawiranegara sehingga pembicaraan akan cair dan mudah.
Tanggal 6 Juni 1949
terjadi pertemuan antara delegasi Bangka dan PDRI di Koto Kaciak, Talago,
Kabupaten 50 Koto. Tujuan delegasi Bangka bahwa inisitif ini diambil kelompok
Bangka merupakan hasil maksimal yang dapat diambil pemerintah pada waktu itu
dan diharapkan Sjafruddin Prawiranegara
mengembalikan mandat ke pemimpin di Yogyakarta. Pada tanggal 10 Juli
1949 mandat itu dikembalikan ke Yogyakarta.
Menurut tulisan Mestika Zed yang dikenal dengan Somewhere to the Jungle in Sumatra.
Sesuai dengan kondisi yang serba darurat dan terbatas kiprah Pemerintah Darurat
Republik Indonesia menjalankan misi kenegaraan dengan mobil. Mobilisasi
pergerakan ini dalam rangka mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia dari
kejaran Belanda. Pergerakan ini berlangsung selama 19 Desember 1948 – Juli
1949.
Peran Pemerintah dalam
Media Pelestarian Nilai-nilai Sejarah
Sesungguhnya kekuatan
sejarah terletak pada fungsi atau kegunaan sejarah itu sendiri. Banyak di antara
kita yang mempertanyakan tentang fungsi atau kegunaan dari sejarah itu sendiri.
Kita sudah cukup bosan mendengar ungkapan-ungkapan “Belajarlah dari sejarah
, jangan sekali-kali melupakan sejarah ,
sejarah telah membuktikan, sejarahnya kelabu, sejarah berulang, sejarah yang
membuat demikian” dan sebagainya,
tetapi ada benarnya kita pikirkan ungkapan-ungkapan seperti itu.
Kalau kita lihat dari
ungkapan-ungkapan tersebut secara tersirat telah membuktikan kepada kita bahwa
sejarah itu sendiri mempunyai fungsi atau kegunanan. Walaupun barang kali orang
yang mengucapkan ungkapan-ungkapan seperti itu sendiri tidak tahu apa
sebenarnya sejarah. Jika, ia memahami akan arti sejarah pasti ia akan berpikir
panjang terlebih dahulu sebelum mengucapkan unkapan-ungkapan tersebut. Banyak
di antara kita menganggap bahwa sejarah itu demikian, sejarah itu perjuangan,
kepahlawanan, perang kemerdekaan, dan segala sesuatu yang berbau memperjuangkan
kemerdekaan dengan persenjataan dan sebagainya.
Walaupun banyak
kalangan yang tidak tahu akan arti sejarah itu sendiri, tetapi mereka yakin sejarah itu berguna bagi generasi ke
generasi. Untuk lebih jelanya kegunaan sejarah dapat dilihat sebagai berikut: Pertama,
fungsi Inspiratif, sejarah membangkitkan
inspirasi atau semangat untuk mengejar ketinggalan yang disebabkan oleh peristiwa
masa lalu, berusaha semaksimal mungkin supaya masa lalu yang jelek tidak akan
terulang lagi.
Kedua, fungsi edukatif, dimana sejarah berfungsi sebagai
pendidik insan akademis, menciptakan tenaga profesional dalam bidang
kesejarahan sesuai dengan tuntutan yang ditetapkan sebagai sejarawan atau ahli
sejarah.
Ketiga, mencari riwayat masa lmpu yaitu untuk melestarikan
identitas kelompok dan memperkuat daya tahan
kelompok guna kelangsungan hidup
misalnya keluarga, klan atau suku bangsa.
Keempat, kegunaan sejarah yang berasaskan manfaat, mengambil
pelajaran dan teladan dari contoh-contoh masa lalu, kumpulan penglaman praktis
yang harus diterapkan atau harus dihindari dalam bahtera hidup
Kelima, sarana untuk pemahaman mengenai makna hidup dan mati
yaitu berdasarkan eksistensi manusia dipermukaan bumi yang memerlukan kebutuhan
mental dan spritual. Kita tidak dapat memungkirinya bahwa didalam Alquran telah
menyebutkan bahwa sejarah merupakan ilmu yang sangat penting dalam kehidupan bagi
umat Islam. Alquran merupakan kitab suci serta sebagai pedoman untuk hidupnya
di dunia maupun di akhirat.
Dalam hubungannya
dengan sejarah bahwa dinul Islam memandang bahwa sejarah dan penulisannya
merupakan persoalan yang sangat penting.
Hal ini dapat dilihat
dari kandungan Alquran sebagai sumber utama ajaran Islam, baik dari segi
penamaan surat-suratnya, maupun dari segi ayat-ayatnya banyak mengungkapkan
fakta sejarah sebagai cerminan bagi manusia. Dan bahkan ada ayat-ayat dalam Alquran
tersebut yang memerintahkan kepada manusia agar melakukan perjalanan untuk meneliti
keadaan suatu masyarakat tentang pristiwa-pristiwa yang telah terjadi pada
masyarakat pada masa lalu. Sehingga nantinya dapat menjadi bahan studi
perbandingan antara kebenaran dan ketidakbenaran sehingga dapat dijadikan
sebagai pedoman dalam kehidupan.
Keenam, sejarah berfungsi sebagai rekreatif, yaitu si pembaca
kisah sejarah dapat berkelana dalam ruang dan waktu yang terbatas. Pembaca
kisah sejarah dapat mengetahui pusat-pusat peradaban, kebudayaan, perindustrian
dan sebagainya yang ada di dunia tanpa mengunjung tempat-tenpat tersebut.
Tidak terlepas dari
persoalan di atas, yang sering dipertanyakan adalah bagaimana media dalam
menanamkan nilai-nilai sejarah dalam masyarakat. Persoalan ini sering
mengelinding ketika berbagai persoalan nilai-nilai sejarah dimunculkan,
terutama generasi muda.
Dalam peroperasian
nilai-nilai sejarah dalam kehidupan masyarakat, terutama generasi muda dapat
dilakukan dengan dua jalur, yakni:
1. Pendidikan Formal
Pendidikan sebenarnya
adalah pewarisan nilai-nilai, baik nilai budaya, sejarah dan sebagainya. Di
dalamnya berfungsilah sekolah, dalam hal sekolah sebagai preserver dan transmitter dari culture
hiratage sebagai instrumet for transforming culture. Pengalaman menunjukkan bahwa penanaman
nilai termasuk pelestarian nilai, apa yang berharga dan bernilai yang
diinginkan oleh generasi muda khususnya dapat dilakukan secara formal melalui
berbagai media.
Dalam domain ini, adapun langkah yang diambil
dalam pelestarian nilai-nilai sejarah dapat dilakukan terutama dalam materi
bahan ajar (kurikulum) disekolah-sekolah. Adapun ketentuan yang harus dilakukan
yakni:
Pertama, materi yang dikembangkan dalam pembelajaran sejarah
harus memiliki pendekatan multikultural. Muatan multikultural perlu diberikan
kepada siswa sesuai prinsip pengembangan kurikulum. Prinsip pengembangan
berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, serta kepentingan peserta didik
dan lingkungannya. Selain itu, secara realitas objektif, masyarakat Indonesia
umumnya, masyarakat Pasaman khususnya adalah masyarakat plural, baik secara
suku, agama, etnis, budaya, dan lain-lain.
Kedua, implikasi pendekatan multikultural, materi sejarah harus
mengembangkan materi sejarah lokal. Eksplorasi materi sejarah lokal bisa
bersumber dari peninggalan-peninggalan sejarah di daerah, penulisannya
berdasarkan tema-tema tertentu. Selain itu, materi sejarah lokal yang
ditampilkan bisa dilihat dari dinamika lokal yang terjadi dalam konteks sejarah
nasional atau dinamika sejarah nasional yang berdampak terhadap sejarah lokal.
Ketiga, pendekatan penyajian materi sejarah dilakukan secara
kontekstual. Artinya, sajian materi sejarah dikaitkan dengan peristiwa atau
fenomena yang terjadi saat ini. Dengan pendekatan materi seperti itu,
diharapkan siswa mampu membangun daya nalar dan tidak bersifat indoktrinasi.
Keempat, materi pembelajaran sejarah harus memiliki misi
pembentukan karakter bangsa (nation building). Hal itu dilakukan dengan
tujuan materi sejarah mampu membangun jati diri bangsa. Nilai-nilai yang
dikembangkan dari peristiwa sejarah harus bisa tertanam dalam diri siswa.
Hal ini tidak
terlepas dimana kurikulum sejarah dari waktu ke waktu cenderung lebih berpihak
kepada penguasa (sebagai alat legitimasi kekuasaan) dan tidak memberikan ruang
pada materi sejarah lokal. Padahal, banyak peristiwa lokal yang bernilai
edukatif, inspiratif, dan rekreatif yang perlu diajarkan kepada anak didik.
Pembelajaran sejarah
lokal di daerah tertentu pada gilirannya mampu mengantarkan siswa untuk
mencintai daerahnya. Kecintaan siswa pada daerahnya akan mewujudkan ketahanan
daerah. Ketahanan daerah merupakan kemampuan suatu daerah yang ditunjukkan oleh
kemampuan warganya untuk menata diri sesuai konsep yang diyakini kebenarannya
dengan jiwa yang tangguh, semangat tinggi, serta dengan memanfaatkan alam secara
bijaksana.
Semangat yang
terkandung pada era otonomi daerah adalah kemandirian. Yakni, masyarakat secara
sadar membangun dirinya menjadi manusia yang amanah dan mampu memanfaatkan
sumber daya, baik manusia dan alam, untuk kemaslahatan masyarakat.
Sejarah lokal sangat
berarti bagi anak didik kita. Dengan mempelajari sejarah lokal, anak didik kita
akan memahami perjuangan nenek moyangnya dalam berbagai kegiatan
kemasyarakatan.
Nilai-nilai kerja
keras, pantang mundur, dan tidak kenal menyerah perlu diajarkan kepada
anak-anak kita. Budaya instan yang diajarkan media massa, baik media cetak
maupun elektronika, merupakan bencana yang bisa mengancam setiap saat dan harus
ditanggulangi.
Penulisan buku
sejarah lokal tentunya sangat mendesak dilakukan. Selanjutnya perlu diikuti
oleh kegiatan edukasi yang lain agar generasi muda memperoleh peluang untuk
tumbuh menjadi manusia seutuhnya yang amanah, sehingga daerah menjadi tempat
mengabdi yang menarik bagi generasi muda. Daerah akan menjadi makmur dan mampu
menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat di negara ini.
2. Pendidikan
Informal
Media dalam
pelestarian nilai-nilai sejarah dalam domain ini dapat dalam bentuk kegiatan
lawatan sejarah, arung sejarah, jelajah budaya, dan kemah budaya. [1]
Kegiatan ini bertujuan
membangkitkan kesadaran sejarah dan menyamakan persepsi di kalangan generasi
muda dari berbagai keragaman budaya menjadi semangat persatuan untuk
memperkokoh ketahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia; menghidupkan ingatan
kolektif bangsa melalui penanaman nilai-nilai sejarah kepada generasi bangsa;
membuka cakrawala yang luas kepada generasi bangsa tentang keragaman budaya
bangsa Indonesia dan simpul-simpul yang merajut keberagaman; memperkenalkan
obyek-obyek peninggalan sejarah dan budaya guna menumbuhkan sikap gemar
melestarikan, melindungi, dan memelihara peninggalan sejarah dan tradisi;
menemukan dan mempraktikkan formula baru bagi dunia pendidikan tentang
metodologi pengajaran sejarah yang menarik dan tidak membosankan; mendorong
perjalanan wisata sejarah lokal dan Nusantara.
Ini dilatarbelakangi
oleh kondisi di mana isu krisis multidimensional yang melanda bangsa Indonesia
sejak beberapa tahun terakhir ini gencar diperbincangkan di berbagai forum.
Pada umumnya
permasalahan yang dipandang sangat serius bagi masa depan bangsa ialah ancaman
meluasnya gejala disintegrasi bangsa, konflik antar etnik, narkoba, agama,
kesenjangan ekonomi sosial, politik dan budaya.
Bila permasalahan ini
terus menggelinding dan semakin tak terkendali, maka bisa jadi merupakan
ancaman serius bagi kelangsungan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.
Sehubungan dengan itu, perlu kiranya ada perhatian dan tanggapan dari
pemerintah secara perlahan-lahan dan pasti segera berakhir krisis
multidimensional yang melanda kehidupan bangsa tersebut, terutama generasi muda
dan pelajar sebagai generasi penerus.
Satu di antara
alternatif yang dapat dilakukan untuk memperkukuh integrasi bangsa ialah
melalui kegiatan "Lawatan Sejarah”. Lawatan sejarah adalah suatu kegiatan
perjalanan mengunjungi situs bersejarah (a trip to historical sites)
yang merupakan simpul-simpul perekat keindonesiaan yang mengandung nilai-nilai
perjuangan dan persatuan untuk memperkokoh integrasi bangsa.
Kemudian juga
kegiatan jelajah budaya dan kemah budaya. Kegiatan ini bertujuan untuk
pengenalan budaya daerah terhadap generasi muda saat ini sangat diperlukan.
Mengingat para generasi muda sekarang banyak yang kurang mengetahui budaya
daerahnya sendiri dan budaya daerah lainnya yang ada di Indonesia ini. Hal ini
bukan berarti bahwa generasi muda sekarang kurang peduli terhadap budayanya
sendiri.
Pengenalan budaya
lokal lebih jauh perlu dilakukan karena dewasa ini budaya luar sudah menjamur
dalam masyarakat, sehingga budaya lokal hampir tertinggal dan akhirnya bisa
punah. Masyarakat sekarang lebih cendrung memakai budaya luar karena dirasanya
lebih praktis dan simpel, dan ini bisa diatasi dengan cara memperkenalkan
budaya yang ada di daerah kita sendiri.
Berbagai upaya dapat
dilakukan untuk mempertahankan sekaligus melestarikan budaya lokal. Salah
satunya mengadakan pergelaran/peragaan, pendokumentasian, pengkajian,
pembinaan, sosialisasi dan sebagainya.
Epilog
Dalam perspektif psikomotorik,
cognitive strukture pelestarian nilai-nilai sejarah bagi masyarakat
khususnya generasi muda memiliki peranan yang sangat vital, terutama dalam
membangkitkan kesadaran sejarah dan menyamakan persepsi di kalangan generasi
muda dari berbagai keragaman budaya menjadi semangat persatuan untuk
memperkokoh ketahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia; menghidupkan ingatan
kolektif bangsa melalui penanaman nilai-nilai sejarah kepada generasi bangsa;
membuka cakrawala yang luas kepada generasi bangsa tentang keragaman budaya
bangsa Indonesia dan simpul-simpul yang merajut keberagaman; memperkenalkan
obyek-obyek peninggalan sejarah dan budaya guna menumbuhkan sikap gemar
melestarikan, melindungi, dan memelihara peninggalan sejarah dan tradisi.
Semua itu tidak
terlepas dari guna sejarah dalam perspektif filosofisnya. Coba kita renungkan
dalam-dalam, ketika kita tidak punya masa lalu mungkin kita meraba- meraba
segala sesuatu yang akan kita kerjakan untuk masa depan, bahkan secara lebih
ekstrimnya akan menjadi orang gila yang lupa ingatan, tak tentu arah.
Begitu permasalahan
telah muncul baik pada skala individu maupun berbangsa dan bernegara, kita
tidak punya tempat berpijak untuk memutuskan sesuatu karena tidak punya suatu
pedoman yakni pengalaman, pengalaman yang semestinya merujuk kepada masa lalu
kita sebagai bahan pertimbangan untuk memutuskan suatu kebijakan atau
keputusan.
Sejarah mengenai
setiap bangsa, tidak hanya dihiasi oleh catatan mengenai keberhasilan yang
gilang gemilang (Hardi, 1988).
Sebaliknya kenyataan objektif juga menunjukkan bahwa sejarah berisi pula
lembaran-lembaran yang diliputi dengan tantangan, kelemahan, dan mungkin juga
kegagalan.
Kita juga sadar,
bahwa perjuangan suatu bangsa tidak selalu mencapai sukses besar. Bangsa yang
kokoh adalah bangsa yang tahu diri ketika ia mencapai sukses besar, dan juga
tetap memiliki semangat tinggi ketika ia mengalami masa yang sulit. Bangsa yang
kokoh adalah bangsa yang dapat keluar sebagai pemenang dalam pergumulan melawan
kesulitannya sendiri.
Akhirnya, di era
otonomi daerah saat sekarang ini pemerintah daerah dituntut untuk bergerak
labih aktif untuk melakukan pelestarian nilai-nilai sejarah dalam masyarakat
terutama generasi muda. Dengan membuat muatan lokal sejarah daerah maka
masyarakat akan paham dengan sejarah mereka dan ini menjadi tanggung jawab
pemerintah daerah dalam pelestariannya.
Pemerintah daerah
membuat instrumennya baik dalam bentuk perda, kebijakan dan hal lain yang
memberikan perhatian terhadap sejarah Pemerintah Darurat Republik Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Adishakti, Laretna T, 2003, Teknik
Konservasi Kawasan Pusaka, Jurusan Arsitektur, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
Amrin Imran , 2003 Pemerintah Darurat
Republik Indonesia dalam Perang Kemerdekaan, Perhimpunan Kekerabatan Nusantara,
Jakarta
Amran, Rusli, 1985, Sumatera Barat Plakat Panjang. Jakarta :
Sinar Harapan,
Dobbin, Christine, 1991, Kebangkitan Islam
dalam Ekonomi Petani Yang Sedang Berubah, Sumatera Tengah , 1784 :1847. Jakarta
: INIS,
Hasril Chaniago dan Khairul Jasmi, 1998
“’Brigadir Jenderal Polisi Kaharoeddin Datuk Rangkayo Basa” Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta
Kahin, Audrey, 1985, Pergolakan Daerah
pada Awal Kemerdekaan (edisi terjemahan), Jakarta Pustaka Grafitti
PPIM, 2005, Ensklopedi Minangkabau.
Jakarta : PPIM,
Rasyid, St Muhammad, 1982, Sekitar Pemerintah Darurat Republik Indonesia
(PDRI), Bulan Bintang, Jakarta
Sidharta, Eko Budihardjo, 1989, Konservasi
Lingkungan dan Bangunan Bersejarah di Surakarta, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Tim Peneliti Cerita Rakyat Daerah Sumatera
Barat, Cerita rakyat (mite dan legende) daerah Sumatera Barat dalam bahasa
daerah Minangkabau. Jakarta : Proyek inventarisasi dan dokumentasi
kebudayaan daerah pusat penelitian sejarah dan budaya Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1979/1980.
Zed, Mestika, 1981, Melayu kopi daun :
Eksploitasi kolonial dalam Sistem Tanaman Paksa Kopi di Minangkabau Sumatera
Barat (1847-1908)”. Thesis. Jakarta : Pascasarjana Bidang Studi Ilmu
Sejarah Indonesia Pengkhususan Sejarah Indonesia Universitas Indonesia,
Zed, Mestika, 1997, Pemerintah Darurat Republik Indonesia Sebuah Mata Rantai
Sejarah yang Terlupakan, Dewan Harian Daerah Angka-tan 45 Sumatera Barat. Jakarta
[1]
Kegiatan ini merupakan icon dari kegiatan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terutama oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan, dan di daerah
dilaksanakan oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB)
yang dahulunya Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional
(BPSNT) sebagai UPT (Unit Pelaksana Teknis) dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar