OLEH H.
Kamardi Rais Dt. P. Simulie (Ketua Umum LKAAM Sumbar)
Pada hari
ini, 98 tahun yang silam, persisnya, tanggal 12 Agustus 1902, lahirlah seorang putra bangsa di Bukittinggi, Minangkabau. Putra itu adalah Dr. H. Mohammad Hatta yang kita kenal sebagai
Proklamator Kemerdekaan RI, Wakil Presiden pertama, Perdana Menteri RI dan
Perdana Menteri RIS 1949/1950.
Barangkali tidak perlu dijelaskan lagi
bahwa tokoh Proklamator Kemerdekaan RI ini seorang tokoh teladan, jujur, lurus,
disiplin, sederhana, taat beragama dan tokoh politik dan ekonom yang merakyat.
Nah, dalam rangka memperingati hari lahir
Bung Hatta dan mengenang
jasa-jasanya untuk negara dan bangsa, penulis ingin mengemukakan secuil episode
perjuangan kepemimpinan Bung Hatta dan hubungannya dengan PDRI (Pemerintah
Darurat Republik Indonesia) yang berpusat di Sumatera 1948/1949.
Sungguh amat langka kita baca hubungan
Hatta dengan PDRI atau betapa dan
bagaimana peranan Bung Hatta dalam PDRI.
Penulis mencoba membalik-balik buku catatan harian lama, sekitar 30 tahun yang
silam, ketika saya masih aktif dalam dunia kewartawanan. Saya merasa berbahagia
sekali dapat mewawancarai Mr. Sjafruddin Prawiranegara, mantan Ketua PDRI yang
berkunjung ke Sumatera Barat selaku Ketua Husami (Himpunan Usahawan Muslim
Indonesia), pada tahun 1970.
Selain dari Padang dan Bukittinggi,
Sjafruddin menyempatkan diri untuk mengunjungi Payakumbuh dan Suliki, daerah
pedalaman yang dipilihnya sebagai basis perjuangan, baik pada tahun 1948/49,
ketika memimpin Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), maupun pada tahun
1958/1961 ketika memimpin Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).
Ia berbicara di depan masyarakat Suliki dan
Koto Tinggi yang sudah 10 tahun pula ditinggalkannya. Saya catat pesan-pesannya
yang pendek tidak lebih dari 10 menit karena tenggorokannya tersekat oleh isak
tangisnya yang sekonyong-konyong.
“Saudara-saudaraku …,” katanya. Dua kali
kita berjuang menentang kezaliman.
Pertama, menentang kezaliman
penjajahan Belanda 1948/1949 yang hendak mencengkramkan kukunya kembali di
tanah air kita. Kita tegakkan PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia).
Lalu perjuangan kita yang kedua, menentang kezaliman diktator Soekarno yang dibantu oleh orang-orang PKI
yang atheis. Kita namakan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia).
Kita berjuang dengan hati yang tulus. Penuh ikhlas untuk menegakkan kebenaran
di bumi ini sebagai suruhan agama kita, Islam. Setelah amnesti dan abolisi,
Pemerintah Soekarno memenjarakan kita. Pak Natsir, Pak Prawoto, Bung Sjahrir,
wartawan Muchtar Lubis, dan Buya HAMKA distrom supaya mengaku berbuat yang
tidak-tidak. Demikian di zamannya Orde Lama.
Sekarang
Orde Baru sudah berdiri di bawah Jendral Soeharto. Apakah pemerintah
Orde Baru itu demokratis atau mau zalim pula?
Tak tahulah! Yang jelas Pak Prawoto mau
merehabilitir Masjumi, juga partainya Bung Sjahrir PSI yang dibubarkan Diktator
Soekarno tak dapat izin dari Jendral Soeharto.” Sjafruddin kemudian tak sanggup
meneruskan pidatonya. Lalu ia menangis terisak-isak. Saya layangkan pandangan
kepada masyarakat yang hadir, semuanya menekurkan kepala ikut terharu dan
menangis pula.
Kemudian Bupati 50 Kota Ahmad Sjahdin Datuk
Bandaro berdua DP Sati Alimin memapah Sjafruddin dari podium ke tempat
duduknya.
Setelah rombongan kembali ke Payakumbuh,
sampai di depan gerbang kantor Bupati 50 Kota seraya memandang ke jalan tengah
Pasar Payakumbuh, saya ingatkan Pak Sjafruddin Prawiranegara bahwa dari jalan
tengah pasar ini terus sampai 20 km ke selatan, kita akan sampai ke Halaban di
lereng Gunung Sago, tempat Bapak Sjaf melahirkan PDRI, 22 Desember 1948.
Pak Sjafruddin kembali menghapus air
matanya. “Waduh, Saya tak mungkin ke Halaban sekarang karena saya sudah
dijadwalkan memberi ceramah di Padang,” katanya.
PDRI
Konsep Hatta
Siap makan malam di rumah Pak A. Siar Dt. Rajo Pilihan (Ketua Husami
Payakumbuh), saya duduk berdekatan dengan Pak Sjafruddin Prawiranegara di
dampingi ayahanda DP Sati Alimin. Beliau DP. Sati Alimin adalah bekas guru saya
di HIS/SNI di Payakumbuh dulu dan penghimpun karangan terpilih Mohd. Natsir
yang berjudul Capita Selekta. Sementara itu, saya ingin konfirmasi dengan tokoh
No. 1 PDRI tersebut. Yang saya tanyakan, “Benarkan Pak Sjafruddin tidak
menerima mandat dari Presiden Soekarno dan Wapres Hatta yang memberi kuasa
kepada Menteri Kemakmuran RI Mr. Sjafruddin Prawiranegera yang sedang berada di
Bukittinggi untuk membentuk Pemerintah Darurat di Sumatera?”
Apa jawab Sjafruddin? “Memang benar, saya
tak pernah terima mandat itu. Saya tanya Kapten Islam Salim, Pak Hidayat, dan
lain-lain juga tak pernah terima. Mungkin ada kalangan masyarakat yang pernah
dengar dari radio, kabar itulah yang berkembang,” katanya.
Yang menjadi tanda tanya besar sekarang,
kalau memang Bapak tidak pernah terima mandat yang dikirimkan Bung Karno dan
Bung Hatta dari Kepresidenan Yogyakarta tersebut, “Kenapa Bapak telah bertindak
membentuk PDRI persis menurut mandat itu?” tanya saya lagi.
“Nah,” jawab Pak Sjafruddin.
“Tampaknya sebelum kami berangkat ke Bukittinggi saya perlu cerita sedikit
tentang itu.”
Lalu beliau meneruskan. “Sebenarnya
strategi dan konsep ini adalah konsep Bung Hatta yang pada waktu itu menjadi
Wapres dan Perdana Menteri. Situasi Tanah Air semakin gawat dan ada tanda-tanda
bahwa perundingan RI-Belanda akan menghadapi jalan buntu. Maka menurut konsep
Bung Hatta, Presiden Soekarno akan memimpin Pemerintahan Indonesia dari luar
negeri (Exile Government). Hatta akan memimpin Pemerintah Darurat di
Sumatera. Sedangkan Dr. Sukiman, Kiayi Masykur, Susanto, Jendral Sudirman,
Simatupang dan A.H. Nasution akan tetap memimpin gerilya di Pulau Jawa.
Lalu pada pertengahan Nopember 1948, PM
Hatta diminta Mr. Teuku Hassan, mantan Gubernur Sumatera pada waktu itu untuk
datang ke Bukittinggi menyelesaikan konflik Mayor Bejo dengan Mayor Malau di
Tapanuli. Saya diikutsertakan dengan rombongan tersebut bersama Rusli Rahim
dari Pusat Koperasi. Saya akan membantu administrasi keuangan buat Provinsi
Sumatera.
Apa yang terjadi kemudian?
Begitu Bung Hatta kembali dari Tapanuli
menyelesaikan perselisihan antara Mayor Bejo dengan Mayor Malau, dalam keadaan
capek, Bung Hatta memanggil saya di Istana Wapres di Bukittinggi.
Bung Hatta bilang,”Sjaf! Keadaan semakin
gawat. Nada-nadanya Belanda mau mengangkangi Perjanjian Renville. Saya diminta
Bung Karno kembali ke Yogya. “Sjaf tinggal di sini dulu. Konsep kita kan sudah
ada. Tinggal kita melaksanakan saja. nanti saya datang lagi.” Pesan Bung Hatta.
Demikian secuil keterangan dari mantan
Ketua PDRI, Mr. Sjafruddin Prawiranegara menyingkapkan peranan Bung Hatta
menyangkut dengan kehadiran Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Embryo PDRI sudah ada di Bukittinggi dan lahir dari rahim Ibu Pertiwi Indonesia
di nagari Halaban, sekitar 20 km selatan Kota Payakumbuh, di gedung pabrik teh
di lereng Gunung Sago, 22 Desember 1948.
Pesan Bung Hatta kepada Sjafruddin sebelum
berangkat ke Yogya dari lapangan udara Gadut, Bukittinggi, dilaksanakan
Sjafruddin dan kawan-kawan yakni membentuk PDRI di Sumatera.
Menurut strategi atau ilmu siasat perang
yang dikembangkan Bung Hatta yang intinya bilamana Belanda dengan sekutunya
bermaksud menduduki kota-kota di Indonesia, maka Bung Karno akan memimpin
Indonesia dari luar negeri (negaranya belum ditunjuk). Bung Hatta akan memimpin
PDRI di Sumatera dan dr. Soekiman, Kiayi Masykur, Jendral Sudirman, Kolonel
Simatupang dan Kolonel A.H. Nasution akan meneruskan perjuangan gerilya di
hutan-hutan Jawa.
Ternyata para Pemimpin Republik mulai dari
Bung Karno, Hatta, Sjahrir, Agus Salim, dalam rapat kabinet memutuskan untuk tetap
tinggal di Kepresidenan Yogya dan kemudian ditawan Belanda begitu Lapangan
Maguo diserbu di halimun subuh dan Yogya diduduki pada 19 Desember 1948 itu.
Sementara itu, hubungan Jawa dengan
Sumatera putus. Hatta tak jadi memimpin PDRI di Sumatera. Bung Karno urung
memimpin RI sebagai exile government di suatu negara lain. Namun, PDRI
tetap eksis sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah di Indonesia. Panglima
Sudirman dan KASAP Simatupang tunduk kepada PDRI. Begitu juga tokoh-tokoh sipil
Jawa seperti Mr. Susanto, Soekiman, LJ. Kasimo, Kyai Masykur, dan lain-lain.
Tulisan ini berangkat dari pertanyaan: Benarkah
Mr. Sjafruddin Prawiranegara tak pernah menerima mandat dari Bung Karno dan
Bung Hatta yang dikirimkan dari Yogyakarta, 19 Desember 1948? Jawabannya
adalah sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, rupanya apa yang dinamakan
strategi Hatta ini, bak kato urang Minang, “bagi Sjafruddin
Prawiranegara sudah dalam paruik Panghulu.” *
Dimuat
pertama kali di Harian Singgalang, 12 Agustus 2000 dan Buku Mesin Ketik Tua karya H. Kamardi
Rais Dt. P. Simulie, pada 2006.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar