OLEH Sondri Datuak Kayo
(Budayawan)
Tak
terlihatnya lagi orang Minang yang menjadi elite politik level satu telah
menjadi kerisauan tokoh-tokoh yang berasal atau berdarahkan Minang. Peran level
satu dapat kita tafsirkan sebagai tokoh yang mewarnai kepemimpinan nasional
baik sebagai pimpinan partai politik, pimpinan-pimpinan lembaga tinggi negara
seperti presiden dan wakil presiden, DPR dan MPR yang merupakan muara dari
ketokohan politik seseorang. Selain menduduki jabatan pada lembaga-lembaga
strategis negara, elite politik level satu ini bisa juga sebagai negarawan dan
tokoh yang memiliki karisma dan pengaruh politik yang luas.
Seperti
orang kehilangan tongkat komando, orang Minang tak bisa lagi memegang kemudi
dan memiliki peran signifikan sebagai penentu arah negara dan bangsa Indonesia.
Hal ini sungguh jauh berbeda bila dibandingkan di masa pergerakan kemerdekaan
dan pada masa awal kemerdekaan Indonesia. Ketokohan dan kemumpunian tokoh-tokoh
dari daerah ini telah dicatat dalam sejarah bangsa Indonesia. Mereka dikenal
sebagai generasi emas yang memiliki karakter, kecerdasan dan kecerdikan dan
mampu memberikan andil sebagai pemimpin dan membentuk karakter kebangsaan
Indonesia.
Tokoh
Minang di masa pergerakan kemerdekaan yang kemudian mengisi jabatan-jabatan
penting setelah Indonesia merdeka adalah mereka yang memiliki semangat
nasionalisme dan visi kebangsaan sangat kuat. Mereka menyiapkan diri mereka
untuk memimpin bangsa Indonesia dan mempertaruhkan kehidupan mereka untuk
seluruh rakyat dan bangsa Indonesia. Mentalitas dan watak yang mereka miliki
menjadikan mereka orang-orang yang berpengaruh dan diikuti banyak orang. Sebut
saja; Tan Malaka, Hatta, St Syahril, Natsir, Agus Salim, Hamka, M. Yamin dan
lainnya.
Kemerosotan
ketokohan yang berasal dari Minang menurut sebagian orang diawali dengan
pecahnya PRRI yang dianggap sebagai masa kekalahan orang Minang. Masa ini
dianggap juga sebagai masa kejatuhan mentalitas orang Minang. Sejak masa itu
sampai masuknya era kekuasaan Orde Baru orang Minang seperti tak bertaji lagi.
Di masa Orde Baru mentalitas orang kalah pasca PRRI berganti dengan mentalitas
kaum oportunis yang cenderung bersikap pragmatis berhadapan dengan kekuasaan. Kekuasaan
otoriter Soeharto dan rezim Orde Baru benar-benar telah menjatuhkan mentalitas
orang Minang ke taraf terendah dengan cenderung sebagai kaum penjilat. Kekuasaan
Orde Baru dengan cerdik menarik tokoh-tokoh ke dalam lingkaran kekuasaan
sehingga seluruh perkembangan di Sumatera Barat dan Minangkabau bisa diatur dan
didikte sedemikian rupa.
Masa
Orde Baru, keterlibatan beberapa orang tokoh Minang dalam kabinet Soeharto
telah diatur sedikian rupa dan membentuk pola ketokohan orang Minang yang
berlindung di bawah bayang-bayang kekuasaan Soeharto dan Orde Baru. Hal ini
akan menutup ruang kemungkinan munculnya ketokohan orang Minang dari jalur dan
pikiran yang berbeda. Mereka yang dianggap tokoh adalah mereka yang berhasil
mendekat dan melekat pada kekuasaan Soeharto dan Orde Baru. Di antara mereka
yaitu Harun Zein, Azwar Anas dan Hasan Basri Durin ditambah beberapa orang yang
tumbuh dan besar dalam berbagai kancah politik, ekonomi dan kebudayaan seperti
Taufiq Ismail.
Di
era reformasi ini muncul lagi fase ketokohan orang Minang yang cenderung kembali
tampil sebagai kaum intelektual. Di antara mereka yaitu Buya Safi’i Ma’arif, Azyumardi
Azra, Rizal Ramli, Asvi Warman Adam, Fasli Jalal, Karni Ilyas, Saldi Isra, Fadli
Zon, Indra J Piliang, Andrinof Chaniago, Jeffrie Geovanie. Sedang
beberapa orang Minang yang memegang jabatan startegis dan politis, yaitu
Gamawan Fauzi sebagai menteri kabinet SBY dan Irman Gusman sebagai Ketua DPD
RI.
Sulit
juga mendefenisikan ketokohan dan diperlukan indikator yang lebih objektif
untuk itu. Tapi untuk sementara saya
coba melihat dari peran yang mereka mainkan di tingkat nasional. Baik itu
jabatan strategis dan politis atau peran dalam berbagai bidang yang berhubungan
dengan peran inteletual atau pemikiran.
Anggapan
sementara waktu, untuk ketokohan dan kemampuan dalam berbagai bidang lain selain
peran kebangsaan dan politik, orang Minang masih memiliki keunggulan. Sebut saja
dalam bidang kesusastraan dari dulu sampai kini, Sumatra Barat atau Minangkabau
masih tercatat sebagai daerah yang banyak melahirkan para sastrawan. Di antara mereka
selain dari Angkatan Balai Pustaka, Pujangga Baru dan Angkatan 45, dapat kita
sebut A.A Navis, Taufiq Ismail, Chairul Harun, Leon Agusta, Rusli Marzuki
Saria, Wisran Hadi, Hamid Djabar, Harris Effendi Thahar, Darman Moenir, Gus Tf
Sakai, Iyut Fitra, Yusrizal KW serta banyak lagi. Begitu juga sastrawan muda
yang terus tumbuh dan eksis saat ini.
Kini
yang cukup terasa, orang Minang agak ‘berkecil hati’ dengan minimnya peran
politik dan strategis yang bisa dimainkan. Ini menunjukkan menurunnya kapasitas
atau kemampuan lingkungan sosial dan budaya Minangkabau atau Sumatera Barat untuk
melahirkan tokoh dan kepemimpinan yang siap menjadi pemimpin nasional.
Menyiapkan Tokoh Nasional dari Sumatera Barat
Menyikapi
hilangnya jejak ketokohan politik yang bisa memainkan peran signifikan di
tingkat nasional perlu strategi masyarakat Sumatera Barat dan para tokoh
masyarakat Sumatera Barat. Apalagi kini, saat bangsa ini membutuhkan
manusia-manusia berkarakter dan memiliki visi kebangsaan yang kuat untuk menata
arah bangsa ke depan. Rasa sangat sedih
sebagai daerah yang awal-awal pendirian bangsa banyak menyumbangkan
manusia-manusia terbaiknya kini seperti tak berkutik dan tak berdaya saat
negeri ini membutuhkan.
Masyarakat
serta tokoh-tokoh dari Sumatera Barat perlu menyepakati satu strategi dalam
mendorong ketokohan dan kepimpinan dari daerah ini yang dipersiapkan untuk
memainkan peran signifikan untuk tingkat nasional. Harus ada investasi sosial
hari ini untuk membangun dan menciptakan ketokohan dari kalangan pemuda yang
potensial. Pemuda yang memiliki karakter kuat, memiliki bakat kepemimpinan yang
baik dan berpengalaman serta memiliki visi kebangsaan yang baik. Tidak banyak
sesungguhnya anak-anak muda yang demikian yang dimiliki daerah ini. Barangkali
ada yang aktif secara intelektual dan aktif di berbagai organisasi pemuda, namun
tentu mesti dilihat dulu sejauh mana keterujian mereka saat memimpin berbagai
organisasi yang ada.
Para
pemuda yang memiliki bakat lebih dan kecerdikan seorang Minangkabau perlu
menjadi perhatian para tokoh masyarakat Sumatera Barat. Mereka tentunya biasa
menggembleng diri pada berbagai organisasi, seperti bung Hatta dan Tan Malaka
yang berkecimpung pada organisasi sejak muda belia. Selayaknyalah tokoh-tokoh
muda dan berkarakter didorong bersama-sama dan dipersiapkan untuk dapat
memainkan peran strategis dan politis untuk masa depan Indonesia. Karena untuk
soal ini diperlukan kedewasaan politik, terutama dari tokoh-tokoh masyarakat
Sumatera Barat saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar