OLEH Sondri Datuak Kayo (Budayawan)
Nagari
merupakan tempat yang paling menyenangkan dalam memori seorang Minang, namun
kadangkala menjadi tempat yang tidak mengenakkan juga. Antara keinginan pergi
merantau dan keinginan pulang ke kampung adalah dua rasa yang bertolak belakang
dalam jiwa seorang Minang. Perasaan ini sering dituangkan dalam syair-syair
lagu dan dendang serta pepatah orang Minang. Sepertinya sedikit jalan untuk
menjadi besar di kampung halaman. Kalau ingin mencari tuah dan kejayaan mesti
merantau dulu. Seperti pepatah yang sudah sangat hafal bagi seluruh orang
Minang “karatau madang di ulu, babuah
babungo balun, marantau bujang daulu, di kampuang paguno balun”. Ketika di rantau
kampung halaman terasa ‘memanggil-manggil’.
Nagari
yang dibentuk berdasarkan inisiatif orang Minangkabau masa lampau bermula dari
taratak, taratak kemudian manjadi dusun, dusun manjadi koto, koto manjadi cikal
terbentuknya nagari. Nagari dilengkapi
dengan beberapa sarana nagari yang kemudian dianggap sebagai prasyarat
berdirinya satu nagari. Nagari yang dihuni beberapa suku lalu membentuk
struktur adat yang mengikat nagari dalam suatu sistem kesatuan adat yang
kemudian diistilahkan dengan “Adat
Salingka Nagari”. Dengan itu maka nagari dikenal sebagai suatu wilayah
otonom sejak masa lampau, termasuk ketika berdirinya kerajaan-kerajaan di
Minangkabau.
Suku-suku
yang ada juga dilengkapi dengan struktur kepemimpinan yang merupakan suatu sistem organisasi
tradisional. Adanya Niniak Mamak, Manti,
Malin dan Dubalang serta berbagai perangkat struktur adat dalam suku
menunjukkan bahwa Minangkabau sesungguhnya telah maju dalam sistem
keorganisasian masyarakatnya sejak dulu kala. Masing-masing struktur adat di
nagari dan suku telah ditentukan fungsi-fungsinya.
Pengaturan
yang baik mulai dari tingkat suku sampai tingkat nagari ini telah mencakup berbagai
aspek kehidupan dan telah memiliki undang-undang dan norma adat yang berlaku
serta memiliki wibawa di tengah anak kemenakan dan anak nagari. Selama
berabad-abad telah mampu memayungi kehidupan komunitas anak kemenakan dan anak nagari
di Minangkabau.
Perkara Sako dan Pusako
Indahnya
romantisme terhadap kampung halaman tak lepas dari berbagai permasalahan yang selalu
ada dalam nagari. Di antaranya, soal pusako suku yang sering memancing sengketa
dan ketegangan yang berketerusan antara sesama anak kemenakan atau antar mamak
dan kemenakan dalam satu suku disebabkan adanya perasaan-perasaan ketidakadilan,
kecemburuan dalam pemakaian dan pemanfaatan harta pusaka. Perkembangan jumlah
anak kemenakan yang terus menerus, tak diiringi dengan perkembangan jumlah
lahan baik untuk pertanian atau perumahan telah menimbulkan permasalahan baru.
Disamping
persoalan pusako, permasalahan sengketa sako juga tak jarang terjadi dalam suku
dan nagari. Adanya istilah orang asal dan bukan asal seringkali menimbulkan
perpecahan antar kemenakan suatu suku, yang kemudian menginginkan didirikannya suku
baru dan ‘mengangkat datuk’ baru.
Sengketa
dan perselisihan yang dulunya biasa diselesaikan oleh para Mamak dan Niniak
Mamak dan Kerapatan Adat Nagari kini seringkali harus melalui jalur hukum
positif. Bahkan pertengkaran-pertengkaran kecil kini telah langsung diadukan ke
intitusi kepolisian. Gugat menggugat perkara pusako sampai ke pengadilan antar
kemenakan satu suku, atau antar mamak dan anak kemenakan juga sudah sering
terjadi. Situasi ini menggambarkan kian melemahnya peran dan fungsi struktur
adat. Kenyataan ini secara perlahan namun kian pasti terus dihadapi oleh masyarakat
Minangkabau.
Zaman Praktis
Relasi
komunalisme kian melemah, apalagi dengan makin tumbuhnya sikap individualis.
Sikap hidup individualistis ini terdorong oleh terjadinya perubahan dalam pola
ekonomi masyarakat Minang yang dulu bergantung pada aset-aset komunal (pusako)
dengan dikepalai oleh Niniak Mamak. Kini perkembangan profesi dan pekerjaan
secara perlahan dan pasti meninggalkan sistem ekonomi sosialis (kumunal) yang
mengandalkan potensi harta pusaka dengan sistem pengelolaan bersama menjadi
ekonomi berbasiskan individu. Pekerjaan-pekerjaan baru dan kota-kota telah
menyuburkan ekonomi liberalisme yang kemudian semakin mengukuhkan
kekuatan-kekuatan ekonomi kapitalistis yang dikuasai oleh para
pemodal.
Seorang
mamak tak akan sempat lagi memikirkan atau membantu kesejahteraan kemenakan.
Tak ada lagi lumbung di rumah gadang sebagai tempat penyimpanan padi bersama.
Bahkan untuk membangun rumah seorang kemenakan, kini lebih mudah diborongkan
saja, tidak digotongroyongkan seperti dulu lagi.
Surau
suku tempat mengaji kini telah berganti jadi sekolah-sekolah TPA yang identik
dengan pendidikan formal. Tak ada lagi seorang guru mengaji yang
memperdengarkan kaba menjelang tidur di surau pada malam hari dan mengajarkan
budi pekerti. Silek kian asing dari kehidupan anak-anak dan remaja yang lebih
menggandrungi bela diri dari luar sana serta kegandrungan baru terhadap
teknologi yang telah banyak mengisi hari-hari anak-anak Minang.
Hanya
ada satu dua anak-anak yang belajar pasambahan di kampung-kampung, karena waktu
anak-anak telah habis di sekolah-sekolah dari pagi sampai sore hari. Sedang
mereka yang belajar pasambahan, mereka yang tak melanjutkan pendidikan lagi ke
perguruan tinggi. Tuntutun-tuntutan pendidikan formal telah menggeser kebutuhan
akan pendidikan informal atau tradisional yang memiliki sentuhan berbeda. Pendidikan
tradisional melalui surau dan sasaran-sasaran silek tradisilah yang turut
menjadi dasar pembentukan karakter kuat dari seorang Minangkabau, terutama
laki-lakinya.
Dengan
ini jelaslah bahwa beberapa kearifan lokal (local
genue) tak terwariskan lagi dengan baik kepada anak-anak Minang.
Tranformasi nilai-nilai melalui pendidikan informal atau tradisional sebagai
dasar pendidikan karakter, kecerdik cendikiaan serta kecekatan seorang
Minangkabau telah semakin jauh berkurang.
Pertanyaan
sekarang, tanpa proses pendidikan tradisional di atas masih mampukah
Minangkabau melahirkan manusia-manusia unggul? Ataukah kini telah terjadi
generalisasi transformasi nilai dengan kuatnya arus globalisasi informasi.
Ataukah nasionalisasi serta penyeragaman sistem pendidikan pada akhirnya juga akan
menjadikan sumber daya manusia Minang sama saja dengan yang lain.
Pertanyaan-pertanyaan
di atas, menjadi dasar pikiran apakah nagari kini masih relevan sebagai akar
pembentuk manusia Minangkabau. Bisa jadi nagari dalam satu konsep dan kesatuan
sosial budaya—bukan dalam artian pemerintahan terendah—sesungguhnya telah
ditinggalkan secara perlahan dan bahkan dilepaskan oleh generasi kini dan
mendatang. Jika nagari sebagai basis sosial budaya hanya melahirkan permasalahan-permasalahan
dan menjadi beban bagi generasi mendatang, nagari tidak akan lagi memberi
pengaruh apa-apa terhadap manusia Minangkabau. Nagari hanya akan dipandang
sebagaimana sebuah desa dalam tataran pemerintahan. Hal ini tentu seiring
dengan semakin melemahnya fungsi struktur adat yang diiringi melemahnya ikatan
orang Minang dengan sistem kebudayaan Minangkabau itu sendiri.
Sebagian
orang Minang masih beromantisme tentang nagari dan kampung halaman yang
diimpikan dan dikenang. Membicarakan nagari kini bagi sebagian manusia-manusia
Minang yang hidup di perkotaan dalam pengaruh globalisasi atau industrialisasi hanyalah
seperti membicarakan dongeng masa lalu.
Kemudian mereka ingin menyusun sebuah cerita hebat tentang kata “dulu” ketika
mereka tumbuh dan berkembang di nagari dengan berbagai ‘perasaian hidup’.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar