OLEH Sondri (Ketua Badan Pelaksana Jaringan Masyarakat Pegiat Demokrasi (Jampers Indonesia)
Perkembangan
demokrasi di Indonesia pasca reformasi 1998 di satu sisi merupakan hal yang
menggembirakan, namun di sisi lain merupakan tantangan besar bagi seluruh
elemen bangsa dalam menata arah bangsa Indonesia selanjutnya. Sistem demokrasi
yang saat ini dijalankan oleh bangsa Indonesia mestinya bertujuan untuk mewujudkan
adanya kesamaan dan kesetaraan hak dan kewajiban serta terwujudnya
kesejahteraan yang merata dan berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun
banyak persoalan yang terjadi, seperti maraknya korupsi, belum adanya
pemerataan kesempatan dan kesejahteraan serta masih lambatnya pemerataan
pembangunan dalam berbagai bidang telah menimbulkan pertanyaan bagi banyak
orang tentang tujuan dari kehidupan berdemokrasi di Indonesia kini.
Poin penting
kehidupan demokrasi yang sudah berjalan yaitu baru pada kebebasan bagi anak
bangsa untuk menjalankan berbagai kegiatan. Jika dulu orang-orang berada
dibawah bayang-bayang ketakutan dalam mengemukakan pendapat, berserikat dan
berkumpul kini berbagai kebebasan telah didapatkan kembali oleh seluruh rakyat
Indonesia. Salah satu bentuk kebebasan yang paling terlihat saat ini yaitu
kebebasan pers. Berbagai informasi, kritik,, silang pendapat sudah terlihat
biasa saja terjadi pada berbagai media masa cetak dan elektronik.
Bagi masyarakat
Minangkabau sebagai masyarakat yang sudah terbiasa dengan corak kehidupan yang demokratis
kembalinya bangsa ini ke alam demokrasi tentu sangat menguntungkan sekali. Masyarakat
Minangkabau yang tumbuh dan terbiasa dalam perbedaan-perbedaan pemikiran dengan
proses berpikir dialektis kembali mendapatkan ruang. Basilang kayu ditungku di sinan api mako ka iduik merupakan
cerminan kesiapan orang Minang untuk berbeda pendapat dan saling menguji
kebenaran serta mempertahan kebenaran. Perbedaan pendapat dipandang sebagai hal
yang akan mencerahkan dalam memperdalam penggalian terhadap subtansi kebenaran
dan perumusan tujuan-tujuan.
Minangkabau yang
telah berkembang sejak berabad-abad lalu menganut dua tonggak sistem adat dan
kemasyarakat, yaitu paham kelarasan, Bodi
Chaniago dan Koto Piliang. Kedua
kelarasan tersebut memiliki sistem masing-masing dengan prinsip yang berbeda.
Kelarasan Bodi Chaniago dengan
prinsip mambasuik dari bumi (button up) dan Koto Piliang dengan prinsip titiak
dari ateh (top down). Bodi Chaniago memiliki prinsip
partisipatif serta landasan azas kesetaraan seperti demokrasi yang berasal dari
konsep Barat. Bodi Chaniago
berprinsip duduak samo randah, tagak samo
tinggi yang merupakan cerminan kesataraan (egaliter) dengan tetap menekankan pada prinsip musyawarah dalam
setiap proses pengambilan keputusan .
Sikap egaliter ini
tercermin juga dari bagaimana masyarakat Minang memandang dan menghormati orang
lain dari sikap dan kepribadian. Masyarakat Minang tidak akan memandang orang
dari kebesaran atau kebangsawanan keluarga dan harta kekayaan. Sebagaimana yang
tercermin dalam pepatah berikut ini, nan
merah sago, nan kuriak kundi, nan elok baso nan baiak budi. Begitu juga
dalam memilih dan mengangkat pemimpin
tak menganut paham patron klan atau tanpa memandang keturunan atau
kebangsawanan seseorang.
Pola musyawarah
sebagai salah satu cermin dari kehidupan yang demokratis juga sangat lazim
dilakukan dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Berbagai petuah dan petitih
Minangkabau mencerminkan proses pengambilan keputusan dilalui dengan musyawarah
dan mufakat. Sebuah keputusan telah bisa ditetapkan jika sudah benar-benar
matang seperti dalam petatah petitih bulek
aia ka pambuluah, bulek kato ka mupakaik, buleklah bisa digoloangkan, picaklah
buliah dilayangkan. Dalam upacara adat seperti prosesi pasambahan
musyawarah antar pihak merupakan sesuatu yang mesti dilakukan.
Perbedaan Demokrasi Leberal dan Demokrasi Ala Minangkabau
Walau
prinsip-prinsip demokrasi telah berjalan saat ini dan terlihat dengan adanya
berbagai bentuk kebebasan dalam kehidupan berbangsa, namun ada perbedaan
prinsipil dalam pola demokrasi yang berlaku saat ini dengan demokrasi ala
Minangkabau.
Arah demokrasi
Indonesia saat ini lebih mengarah pada demokrasi liberal yang bercorak
kapitalistik. Terjadinya persaingan bebas dalam bidang ekonomi dan ditambah sistem
Pemilu langsung sebagai perwujudan demokrasi kini telah memberi ruang kepada
para pemodal untuk menguasai sektor ekonomi dan politik dengan penguasaan
individu. Secara otomatis demokrasi liberal yang membuka persaingan bebas,
dengan membiarkan mekanisme pasar menentukan akan menyebabkan terjadinya gap
antara pemilik modal dengan masyarakat yang bukan pemilik modal. Para pemilik modal berpotensi memainkan peran
politik kekuasaan dan seluruh lini kehidupan, sehingga tak ada yang menjamin
pemerataan kesempatan bagi masyarakat lain yang tak memiliki kekuatan
modal.
Geoff Mulgan menyampaikan kritiknya terhadap paradoks demokrasi yang
bercorak demokrasi liberal. Pertama, demokrasi cenderung melahirkan oligarki
dan teknokrasi. Bagaimana mungkin tuntutan rakyat banyak bisa diwakili dan
digantikan oleh segelintir orang yang menilai politik sebagai karier untuk menambang
keuntungan finansial?
Kedua, prinsip-prinsip demokrasi seperti keterbukaan, kebebasan dan
kompetisi juga telah dibajak oleh kekuatan modal. Yang disebut keterbukaan,
hanya berarti keterbukaan untuk berusaha bagi pemilik modal besar, kebebasan
artinya kebebasan untuk berinvestasi bagi perusahaan multinasional, kompetisi
dimaknai sebagai persaingan pasar bebas yang penuh tipu daya.
Ketiga, media yang mereduksi partisipasi rakyat. Kelihaian media mengemas
opini publik membuat moralitas politik menjadi abu-abu, juga cenderung
menggantikan partisipasi rakyat. Ini berujung pada semakin kecil dan
terpinggirkannya ‘partisipasi langsung’ dan ‘kedaulatan langsung’ rakyat. Tidak
hanya itu, sesat pikir kaum demokrasi prosedural juga karena ia menyembunyikan
fakta tentang negara dan kekuasaan.
Negara, seperti kita semua maklum, adalah tempat akses dan relasi ekonomi,
politik, hukum berlangsung. Di ujung jalan, tampaknya kapitalismelah yang
berkuasa. Atas nama kemajuan dan perdagangan bebas, ia mulai mengangkangi
negara. Atas nama pertumbuhan ekonomi, ia mulai menyiasati demokrasi. Lalu
muncullah makhluk lama dengan baju yang baru: neoliberalisme. Sebuah makhluk
yang mengendap-endap muncul, lalu menjalankan taktik “silent takeover”. Istilah
terakhir ini dipinjam dari Noreena Heertz, artinya kurang lebih sebuah
penjajahan yang terselubung (www.http.wikipedia.org)
Mengingat potensi negatif dari demokrasi liberal dalam memanipulasi partisipasi dan suara rakyat seperti yang dikemukakan Mulgan,
maka bangsa Indonesia perlu melakukan refleksi kembali tentang arah demokrasi
Indonesia kini. Di tengah kehidupan
rakyat Indonesia yang masih timpang dan banyak yang berada di bawah garis
kemiskinan serta pengetahuan dan pemahaman yang lemah terhadap berbagai
perubahan tentu akan semakin rentan jadi korban demokrasi liberal yang dimaksud
Mulgan. Perkembangan demokrasi liberal ini justru akan menjadikan rakyat kian
pragmatis dengan berbagai strategi taktik kelompok kapitalis.
Berbeda dengan
demokrasi dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Demokrasi ala Minangkabau
tetap berpijak pada kekuatan komunal masyarakat adat atau nagari. Keberadaan
pusako sebagai aset komunal merupakan sumber penghidupan anak kemenakan kaum
atau suku. Ini menegaskan bahwa
demokrasi ala Minangkabau adalah demokrasi bercorak sosialis.
Demokrasi yang
dilandasi prinsip-prinsip musyawarah dan mufakat sebagaimana juga prinsip
demokrasi yang termuat pada Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Demokrasi
Minangkabau menjaga persamaan hak dan pemerataan kesempatan untuk mendapatkan
akses ekonomi dan penghidupan melalui pemanfaatan pusako. Bahkan seorang pimpinan seperti niniak mamak atau pangulu
hanya berkewenangan mengatur pemanfaatan harta pusaka oleh anak kemenakan dan
dia sendiri tak boleh sewenangan-wenang menjual dan memanfaatkan harta pusaka
kaumnya. Sedang demokrasi liberal ‘mempersilahkan’ para pemilik modal menguasai
semua akses ekonomi dan sumber daya yang ada di negeri ini dan bahkan
kekuasaan. Jadilah demokrasi liberal dengan corak kapitalistik ini akan
bertentangan dengan ‘demokrasi Minangkabau’, demokrasi warisan nenek moyang
kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar