Selasa, 04 April 2017

Siapakah Ulama Besar dan Karismatik di Minangkabau Kini?

OLEH Sondri Datuak Kayo (Budayawan) 
Permasalahan yang mengkhawatirkan kita saat ini adalah terjadinya kemunduran kualitas manusia Minangkabau. Kemunduran dan melemahnya kualitas manusia-manusia Minangkabau tidak dapat dilepaskan dari merosotnya peran institusi-institusi tradisional dan agama sebagai fondasi pembentukan karakter.
Surau adalah salah satu di antara beberapa instrument penting bagi pembentukan watak manusia Minangkabau pada masa lalu. Surau-surau yang identik  dengan ulama-ulama besar dan kharismatik atau setidaknya dihormati oleh anak nagari kini telah berganti dengan TPA-TPA yang hanya mengajarkan teknis membaca alquran dan sedikit menulis huruf Arab.  

Perguruan-perguruan yang didirikan dan diasuh oleh para syekh dan “buya” pada masa lampau sudah tidak kedengaran lagi. Kini hanya kita lihat pesantren-pesantren modern dengan biaya yang cukup mentereng. Tak satupun saya mendengar ulama-ulama kharismatik dan memiliki karakter yang kuat yang mengasuh pesantren-pesantren. Berbeda dengan pesantren-pesantren di Jawa yang sampai saat ini masih banyak diasuh oleh ulama-ulama ternama dan kharismatik. Kalau kita bertanya kepada masyarakat Sumatera Barat tentang para ulama yang ada saat ini, berapa orang murid dan pengikutnya dan apa yang diajarkannya kepada umat.  
Keberadaan dan keadaan perguruan agama dan surau pada masa lampau di Minangkabau mirip dengan keberadaan dan keadaan pesantren dan perguruan di Jawa sampai hari ini. Para syekh dan “buya” pada masa lampau adalah panutan akhlak dan moral masyarakat dan mereka orang-orang yang telah mendalami ilmu tauhid dan agama secara sungguh-sungguh. Mereka mengabdikan diri untuk mendidik dan mengasuh anak-anak yang belajar di surau dan perguruan secara mendalam. Mereka bukan ulama-ulama karbitan, instan dan gila panggung yang begitu gampang hanyut dalam berbagai arus kehidupan ini.
Bagaimana “rahim” Minangkabau akan melahirkan orang-orang besar yang memiliki jiwa besar jika mereka tak mendapatkan “alas” mental dan pandangan hidup yang kuat dari orang-orang yang betul-betul telah  “khatam” dengan makna dan tujuan kehidupan ini.
Pendidikan dasar agama yang hanya diserahkan kepada guru-guru mengaji yang terdiri dari anak-anak madrasah dan mahasiswa-mahasiswa yang baru tamat kuliah agama tak akan mematrikan dasar-dasar tauhid dan agama yang kuat. Hanya guru-guru yang “mumpuni” yang akan mampu melahirkan murid-murid yang mumpuni. Hanya guru-guru yang besar yang akan membentuk watak orang-orang besar. Guru-guru yang telah matang akan melahirkan generasi yang percaya diri dan siap dengan berbagai keadaan. Sadarilah itu.
Bila kita layangkan lagi ingatan kita pada dekade akhir abad 19 dan awal abad 20 dapat kita sebutkan beberapa ulama besar yang sampai kini namanya sangat mudah diingat. Di antaranya syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, Syekh Tahir Jalaludin, Sekh Muhammad Jamil Jambek, Haji Abdul Karim Amrullah, Haji Abdullah Ahmad, Syekh Ibrahim Musa (Inyiak Parabek), Syekh Muhammad Saad Mungka, Syekh Khatib Ali dan Syekh Muhammad Dalil (Syekh Bayang), Syekh Abbas Qadhi dari Ladang Laweh, Syekh Sulaiman Ar-Rasuli (Inyiak Canduang), Syekh Abdul Wahid dari Tabek Gadang, Syekh Muhammad Jamil Jaho dari Padang Panjang, Syekh Arifin Al-Syardi dari Batuhampar. Pasca generasi ulama akhir abad 19, muncul Hamka, AR Sutan Mansyur, Muhammad Natsir dan beberapa ulama terkemuka lainnya di Minangkabau.
Para ulama masa lampau di Minangkabau terlibat dalam beberapa perdebatan dan pertentangan tentang pemahaman Islam. Namun yang paling menarik para ulama besar pada masa itu lebih tertarik lagi untuk memperkuat dan mendirikan perguruan-perguruan agama Islam baik itu melalui peran mereka sebagai guru dan pengasuh di surau atau mendirikan perguruan-perguruan agama yang baru sebagai upaya mendidik masyarakat.
Murid-murid para syekh dan “buya” kenamaan itulah yang kemudian menyebar ke nagari-nagari dan sebagian menjadi ulama-ulama kharismatik juga di nagari-nagari. Mereka selalu menjadi tempat bertanya dan panutan akhlak anak nagari. Mereka juga mendirikan surau dan mengasuh anak-anak nagari yang tak mendapat kesempatan berguru kepada “guru gadang” pada beberapa perguruan besar yang ternama dan memiliki pengaruh besar di tengah masyarakat Minangkabau. 
Fenomena masa itu yang juga sangat menarik kita pikirkan adalah perdebatan dan pertentangan merupakan hal biasa saja dalam mencari kebenaran. Salah satu ciri khas Minangkabau yang selalu siap berdialektika pemikiran juga terjadi di kalangan ulama-ulama besar Minangkabau. Pertentangan antara generasi ke generasi termasuk dalam pemahaman agama selalu menjadi tradisi dan kebiasaan di Minangkabau. Pemahaman yang berbeda-beda dapat tumbuh dan dapat pengikutnya masing-masing.
Pengaruh perguruan-perguruan agama ini begitu terlihat pada masa itu sampai ke nagari-nagari. Di kampung-kampung kalau ada anak nagari yang sudah pergi berguru kepada beberapa ulama besar tersebut, mereka mendapatkan penghormatan sebagai penjaga tauhid dan ahklak anak nagari. Merekalah yang menanamkan pendidikan agama secara ikhlas yang akan mempengaruhi pandangan hidup anak-anak Minangkabau masa itu.
Kini kita telah kehilangan para penjaga tauhid dan akhlak masyarakat di nagari-nagari baik di luhak dan di rantau. Pilar-pilar sosial dan moral seperti yang dicerminkan ulama-ulama masa lampau Minangkabau nyaris tak ada lagi kita dengar dan temui di nagari-nagari. Kita hanya mendengar guru mengaji yang bernama “si Anu”. Jangan-jangan yang mendidik pelajaran agama anak-anak nagari saat ini adalah mereka-mereka yang hanya kebetulan singgah dan kebetulan belum ada pekerjaaan. Mereka bukan orang-orang yang telah dididik dengan matang oleh ulama-ulama besar dan juga telah memilih mengabdikan diri dan menetap sebagai pendidik dan pengasuh anak-anak dan masyarakat.
Jadi sebenarnya mudah sekali bagi kita untuk melahirkan kembali generasi emas Minangkabau gelombang kedua. Di antara cara yang dapat kita tempuh adalah dengan mengembalikan ulama-ulama kepada jamaahnya yang berada di kampung-kampung. Generasi Minangkabau yang telah belajar agama ke berbagai pesantren dan perguruan tinggi agama baik di dalam negeri atau ke Arab dan Timur Tengah yang jauh di sana persiapkanlah diri untuk kembali hadir di tengah-tengah masyarakat menjadi pendidik dan pengasuh di surau-surau nagari dan juga pesantren-pesantren. Ulama-ulama yang telah terlalu jauh terseret ke dalam dunia politik dan carut marut kehidupan dunia ini, kembalilah ke kampung-kampung. Berdirilah di sana dengan setia sebagai “Hamba Allah” yang akan mendidik anak-anak nagari. Jangan hanya datang ke nagari-nagari sebagai penceramah, hadirlah di sana sebagai “pengasuh umat”. Sebagaimana yang diperankan oleh ulama-ulama dan guru-guru masa lalu.
Dirikanlah perguruan agama di kampung-kampung atau lanjutkanlah yang telah ada. Jika nagari-nagari memiliki ulama-ulama yang kharismatik dan setia menjadi pengasuh surau dan pesantren, ini adalah tanda akan lahir lagi manusia-manusia yang memiliki watak dan karakter yang kuat. Perguruan agama, surau dan pesantren tradisional akan lebih mampu berperan membentuk watak anak-anak nagari dibanding dengan sekolah-sekolah yang saat ini telah terbelenggu penyeragaman kurikulum pemerintah pusat.

Para ulama memiliki peran penting dalam menyiapkan generasi masa depan yang lebih kuat dan lebih tangguh. Demikian juga dengan pemerintah dan tokoh-tokoh masyarakat yang peduli terhadap masa depan generasi Minangkabau, termasuk para perantau untuk ikut mendorong hidupnya kembali surau-surau dan perguruan agama yang betul-betul menjadi pilar dan acuan bagi masyarakat.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...