OLEH Sondri Datuak Kayo (Budayawan)
Permasalahan yang mengkhawatirkan kita saat ini adalah
terjadinya kemunduran kualitas manusia Minangkabau. Kemunduran dan melemahnya
kualitas manusia-manusia Minangkabau tidak dapat dilepaskan dari merosotnya
peran institusi-institusi tradisional dan agama sebagai fondasi pembentukan
karakter.
Surau adalah salah satu di antara beberapa instrument penting
bagi pembentukan watak manusia Minangkabau pada masa lalu. Surau-surau yang
identik dengan ulama-ulama besar dan
kharismatik atau setidaknya dihormati oleh anak nagari kini telah berganti
dengan TPA-TPA yang hanya mengajarkan teknis membaca alquran dan sedikit menulis
huruf Arab.
Perguruan-perguruan yang didirikan dan diasuh oleh para syekh
dan “buya” pada masa lampau sudah tidak kedengaran lagi. Kini hanya kita lihat
pesantren-pesantren modern dengan biaya yang cukup mentereng. Tak satupun saya
mendengar ulama-ulama kharismatik dan memiliki karakter yang kuat yang mengasuh
pesantren-pesantren. Berbeda dengan pesantren-pesantren di Jawa yang sampai
saat ini masih banyak diasuh oleh ulama-ulama ternama dan kharismatik. Kalau
kita bertanya kepada masyarakat Sumatera Barat tentang para ulama yang ada saat
ini, berapa orang murid dan pengikutnya dan apa yang diajarkannya kepada umat.
Keberadaan dan keadaan perguruan agama dan surau pada
masa lampau di Minangkabau mirip dengan keberadaan dan keadaan pesantren dan
perguruan di Jawa sampai hari ini. Para syekh dan “buya” pada masa lampau adalah
panutan akhlak dan moral masyarakat dan mereka orang-orang yang telah mendalami
ilmu tauhid dan agama secara sungguh-sungguh. Mereka mengabdikan diri untuk
mendidik dan mengasuh anak-anak yang belajar di surau dan perguruan secara
mendalam. Mereka bukan ulama-ulama karbitan, instan dan gila panggung yang
begitu gampang hanyut dalam berbagai arus kehidupan ini.
Bagaimana “rahim” Minangkabau akan melahirkan orang-orang
besar yang memiliki jiwa besar jika mereka tak mendapatkan “alas” mental dan
pandangan hidup yang kuat dari orang-orang yang betul-betul telah “khatam” dengan makna dan tujuan kehidupan
ini.
Pendidikan dasar agama yang hanya diserahkan kepada
guru-guru mengaji yang terdiri dari anak-anak madrasah dan mahasiswa-mahasiswa
yang baru tamat kuliah agama tak akan mematrikan dasar-dasar tauhid dan agama
yang kuat. Hanya guru-guru yang “mumpuni” yang akan mampu melahirkan
murid-murid yang mumpuni. Hanya guru-guru yang besar yang akan membentuk watak
orang-orang besar. Guru-guru yang telah matang akan melahirkan generasi yang
percaya diri dan siap dengan berbagai keadaan. Sadarilah itu.
Bila kita layangkan lagi ingatan kita pada dekade akhir
abad 19 dan awal abad 20 dapat kita sebutkan beberapa ulama besar yang sampai
kini namanya sangat mudah diingat. Di antaranya syekh Ahmad Khatib
Al-Minangkabawi, Syekh Tahir Jalaludin, Sekh Muhammad Jamil Jambek, Haji Abdul
Karim Amrullah, Haji Abdullah Ahmad, Syekh Ibrahim Musa (Inyiak Parabek), Syekh
Muhammad Saad Mungka, Syekh Khatib Ali dan Syekh Muhammad Dalil (Syekh Bayang),
Syekh Abbas Qadhi dari Ladang Laweh, Syekh Sulaiman Ar-Rasuli (Inyiak
Canduang), Syekh Abdul Wahid dari Tabek Gadang, Syekh Muhammad Jamil Jaho dari
Padang Panjang, Syekh Arifin Al-Syardi dari Batuhampar. Pasca generasi ulama
akhir abad 19, muncul Hamka, AR Sutan Mansyur, Muhammad Natsir dan beberapa
ulama terkemuka lainnya di Minangkabau.
Para ulama masa lampau di Minangkabau terlibat dalam
beberapa perdebatan dan pertentangan tentang pemahaman Islam. Namun yang paling
menarik para ulama besar pada masa itu lebih tertarik lagi untuk memperkuat dan
mendirikan perguruan-perguruan agama Islam baik itu melalui peran mereka
sebagai guru dan pengasuh di surau atau mendirikan perguruan-perguruan agama
yang baru sebagai upaya mendidik masyarakat.
Murid-murid para syekh dan “buya” kenamaan itulah yang
kemudian menyebar ke nagari-nagari dan sebagian menjadi ulama-ulama kharismatik
juga di nagari-nagari. Mereka selalu menjadi tempat bertanya dan panutan akhlak
anak nagari. Mereka juga mendirikan surau dan mengasuh anak-anak nagari yang
tak mendapat kesempatan berguru kepada “guru gadang” pada beberapa perguruan
besar yang ternama dan memiliki pengaruh besar di tengah masyarakat
Minangkabau.
Fenomena masa itu yang juga sangat menarik kita pikirkan
adalah perdebatan dan pertentangan merupakan hal biasa saja dalam mencari
kebenaran. Salah satu ciri khas Minangkabau yang selalu siap berdialektika
pemikiran juga terjadi di kalangan ulama-ulama besar Minangkabau. Pertentangan
antara generasi ke generasi termasuk dalam pemahaman agama selalu menjadi
tradisi dan kebiasaan di Minangkabau. Pemahaman yang berbeda-beda dapat tumbuh
dan dapat pengikutnya masing-masing.
Pengaruh perguruan-perguruan agama ini begitu terlihat
pada masa itu sampai ke nagari-nagari. Di kampung-kampung kalau ada anak nagari
yang sudah pergi berguru kepada beberapa ulama besar tersebut, mereka
mendapatkan penghormatan sebagai penjaga tauhid dan ahklak anak nagari. Merekalah
yang menanamkan pendidikan agama secara ikhlas yang akan mempengaruhi pandangan
hidup anak-anak Minangkabau masa itu.
Kini kita telah kehilangan para penjaga tauhid dan akhlak
masyarakat di nagari-nagari baik di luhak
dan di rantau. Pilar-pilar sosial dan
moral seperti yang dicerminkan ulama-ulama masa lampau Minangkabau nyaris tak
ada lagi kita dengar dan temui di nagari-nagari. Kita hanya mendengar guru
mengaji yang bernama “si Anu”. Jangan-jangan yang mendidik pelajaran agama
anak-anak nagari saat ini adalah mereka-mereka yang hanya kebetulan singgah dan
kebetulan belum ada pekerjaaan. Mereka bukan orang-orang yang telah dididik
dengan matang oleh ulama-ulama besar dan juga telah memilih mengabdikan diri
dan menetap sebagai pendidik dan pengasuh anak-anak dan masyarakat.
Jadi sebenarnya mudah sekali bagi kita untuk melahirkan
kembali generasi emas Minangkabau gelombang kedua. Di antara cara yang dapat
kita tempuh adalah dengan mengembalikan ulama-ulama kepada jamaahnya yang
berada di kampung-kampung. Generasi Minangkabau yang telah belajar agama ke
berbagai pesantren dan perguruan tinggi agama baik di dalam negeri atau ke Arab
dan Timur Tengah yang jauh di sana persiapkanlah diri untuk kembali hadir di
tengah-tengah masyarakat menjadi pendidik dan pengasuh di surau-surau nagari
dan juga pesantren-pesantren. Ulama-ulama yang telah terlalu jauh terseret ke
dalam dunia politik dan carut marut kehidupan dunia ini, kembalilah ke
kampung-kampung. Berdirilah di sana dengan setia sebagai “Hamba Allah” yang
akan mendidik anak-anak nagari. Jangan hanya datang ke nagari-nagari sebagai
penceramah, hadirlah di sana sebagai “pengasuh umat”. Sebagaimana yang
diperankan oleh ulama-ulama dan guru-guru masa lalu.
Dirikanlah perguruan agama di kampung-kampung atau
lanjutkanlah yang telah ada. Jika nagari-nagari memiliki ulama-ulama yang kharismatik
dan setia menjadi pengasuh surau dan pesantren, ini adalah tanda akan lahir
lagi manusia-manusia yang memiliki watak dan karakter yang kuat. Perguruan
agama, surau dan pesantren tradisional akan lebih mampu berperan membentuk
watak anak-anak nagari dibanding dengan sekolah-sekolah yang saat ini telah
terbelenggu penyeragaman kurikulum pemerintah pusat.
Para ulama memiliki peran penting dalam menyiapkan
generasi masa depan yang lebih kuat dan lebih tangguh. Demikian juga dengan
pemerintah dan tokoh-tokoh masyarakat yang peduli terhadap masa depan generasi
Minangkabau, termasuk para perantau untuk ikut mendorong hidupnya kembali
surau-surau dan perguruan agama yang betul-betul menjadi pilar dan acuan bagi
masyarakat.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar