Selasa, 04 April 2017

Bergulat di Perantauan

OLEH Sondri BS Datuak Kayo (Budayawan)
Orang Minang dalam tradisinya dibesarkan dan dididik dalam lingkungan sosial dengan masyarakat yang suka memberi penilaian terhadap hidup orang lain. Hidup di Minangkabau penuh “cemeeh” atau saling sindir dan kias yang dapat memerahkan telinga.

Dilatarbelakangi oleh faktor sosial budaya yang relatif “keras” menjadikan orang Minang, terutama kaum laki-lakinya harus cepat mandiri. Orang Minang lebih baik menanggung malu di rantau dari pada menanggung malu di kampung halaman sendiri. Betapa banyak anak-anak muda Minang yang pergi merantau ke berbagai daerah dan rela bekerja apa saja di perantauan. Di rantau apapun yang dikerjakan tak akan jadi bahan pergunjingan orang. Kalau di kampung, apa saja yang kita lakukan seolah salah dan selalu ada kurangnya. Lebih banyak umpatan daripada pujian kalau melakukan apapun di kampung halaman.
Konstruksi sosial budaya, menjadikan seorang lelaki Minang harus cepat keluar dari lingkungan keluarga dan kaumnya. Ibarat anak ayam dia harus bergegas keluar dari cangkangnya. Pola matrilineal yang menjadi dasar tradisi Minang telah mewariskan rumah dan segala harta “pusako” kepada perempuan sebagai penerima manfaat. Secara tidak langsung eksistensi lelaki Minang sudah terancam sejak kecil akibat bentukan budaya.
Di masa berkeluarga, lelaki Minang juga hanya menumpang di rumah keluarga istri dan di tengah kaum istrinya. Ibarat “Abu di atas tunggul” perumpamaan hidup kaum lelaki yang sering disebutkan. Eksistensi yang “terancam” membuat para lelaki Minang memutuskan pergi merantau untuk berusaha mendapatkan kekayaan sendiri di luar harta pusaka kaumnya dan harta pusako keluarga dan kaum istrinya. 
Merantau adalah tempat pelarian sekaligus tempat mengejar impian-impian. Di kampung rasa tiada berguna lagi, pergi merantau untuk membangkik batang tarandam. Kalau di rantau sudah mendapatkan hasil, pulang ke kampung halaman tak canggung lagi.
Banyak perantau Minang yang sudah berhasil di negeri orang menunjukan keberhasilannya di perantauan dengan memberikan berbagai bantuan untuk kampung halaman. Bantuan yang diberikan dapat berupa uang atau bahan bangunan jika sedang berlangsung pembangunan di kampung halaman. Masyarakat nagari akan memuji para perantau yang berhasil dan akan mempergunjingkan mereka yang pulang merantau dengan tangan hampa.
Pola hidup merantau bagi masyarakat Minang, sudah berlangsung sejak masa lalu. Pada zaman penjajahan Belanda, masyarakat Minang tetap saja ada yang pergi merantau ke daerah-daerah lain di nusantara. Pada umumnya orang Minang merantau ke kota-kota walaupun ada juga yang pergi ke daerah-daerah perkampungan.
Sampai kini kalau kita berjalan ke daerah manapun di Indonesia akan kita jumpai para perantau Minang. Setidak-tidaknya mereka membuka warung makan khas Minang atau sering disebut “Nasi Padang”. Sepanjang daerah yang dilalui jalan lintas Sumatera selalu kita lihat rumah makan Padang. Begitu juga di daerah Jawa, Sulawesi bahkan sampai ke Papua. Sebagian sudah berketurunan di daerah perantauan, sebagian lain ada yang baru mencoba merantau beberapa tahun yang lalu.
Di kota-kota besar Indonesia, khususnya Jakarta, berbagai profesi yang ditekuni oleh para perantau Minang. Sebagian besar tetap saja bekerja sebagai pedagang. Mereka tersebar di pasar-pasar yang ada di Jakarta dengan berbagai dagangan, seperti pakaian, obat, sepatu, tas, batu akik, barang-barang elektronik, mainan dan membuka rumah makan. Sebagian kecil ada yang jadi pegawai negeri dan menjadi karyawan swasta. Di antara perantau pedagang di Jakarta ada yang mampu menyewa toko dan sebagian hanya berdagang di emperan toko atau berdagang kaki lima. Kalau kita perhatikan tempat mereka, ada yang sudah memiliki rumah sendiri di Jakarta dan daerah sekitarnya dan ada juga yang mengontrak rumah karena hidup bersama keluarga di Jakarta. Bagi perantau yang masih bujang dan gadis memilih untuk kos-kosan.
Mungkin orang-orang di kampung tak menyaksikan kesulitan-kesulitan yang dihadapi sebagian para perantau Minang di Jakarta dan di kota-kota lainnya. Mereka ‘bergulat’ dengan kerasnya kehidupan di kota besar. Hanya “rebab dan saluang” yang akan menyampaikan keluh kesah serta duka derita mereka. Ingin pulang malu, tak pulang hidup tak juga mengalami perubahan di pusaran kota yang kian menggila.
Pembangunan yang mendesak terus kaum pinggiran yang tak memiliki modal dan mereka yang cuma mempertaruhkan hidup dengan sedikit kemampuan berdagang. Diperlukan suatu penelitian yang komprehensif untuk mengetahui kondisi sosial dan ekonomi kehidupan masyarakat perantauan Minang yang tersebar di berbagai daerah.
Banyak para perantau yang telah mampu mengangkat martabat keluarganya yang dulu miskin atau bahkan mampu mengangkat harkat dan martabat kampung halamannya yang dulu terbelakang dengan suksesnya mereka. Mereka jadi terkenal dan berpengaruh karena kaya dan telah bisa memberi manfaat kepada kampung halaman mereka. Bantuan-bantuan perantau  sangat dibutuhkan untuk menyelesaikan pembangunan masjid atau musalah. Sekurang-kurangnya satu kali dalam setahun, saat puasa dan lebaran tiba berbabagi bantuan dalam bentuk sumbangan, infak dan sedekah dikumpulkan.
Para perantau banyak juga yang senang ketika mereka pulang kampung sekali dalam setahun nama mereka tercatat di papan informasi keuangan masjid. Apalagi sebagian pengurus masjid suka mengumumkan infak, zakat dan sedekah untuk memotivasi masyarakat nagari, khususnya para perantau.
Seusai lebaran, para perantau akan kembali ke kota-kota besar, terutama Jakarta untuk berjuang “bakureh” dalam istilah Minangnya. Keadaan para perantau yang kembali ke kota ini bermacam-macam. Mereka yang telah menghabiskan hasil pencaharian selama setahun yang lalu pada saat lebaran, harus memulai lagi mengumpulkan uang untuk kebutuhan hidup sehari-hari di kota besar. Untuk kelompok yang ini, harus bekerja keras lagi. Ada juga penghasilan mereka yang lumayan tinggi sehingga mereka bisa lebih santai. Sepanjang tahun perputaran kehidupan yang seperti ini terjadi pada masyarakat Minangkabau yang berada di perantauan.
Paguyuban di Perantauan
Berbagai organisasi paguyuban para perantau Minang didirikan di setiap daerah.  Organisasi-organisasi ini ada yang melingkupi seluruh perantau Minang seperti organisasi Gebu Minang. Selain Gebu Minang ada juga beberapa organisasi perantau Minang yang dibentuk di berbagai daerah di Indonesia.
Selain mencakup seluruh perantau Minang, ada juga organisasi yang didirikan berbasiskan daerah kabupaten atau kota seperti Persatuan Keluarga Daerah Pariaman (PKDP) yang anggotanya sudah mencakup perantau manca negara, Perwatar atau KKTD untuk warga Tanah Datar.  Ada juga organisasi perantau ini yang berbasiskan nagari tempat asal perantau seperti “Sulit Aie Sepakat” (SAS). Organisasi para perantau ini kadang diikuti oleh beberapa paguyupan pelajar dan mahasiswa dengan basis-basis ke wilayahan seperti di atas.
Saat ini yang sering kali menjadi pertanyaan orang-orang Minang baik yang di kampung atau di kota, sejauhmana peran dan kontribusi para perantau melalui gerakan atau organisasi perantau yang tersebar di berbagai daerah tersebut. Apalagi beberapa organisasi paguyuban besar Minang yang diisi oleh tokoh-tokoh masyarakat Minang seringkali dipertanyakan peran dan kontribusinya terhadap kemajuan masyarakat dan daerah Sumatera Barat.
Soliditas dan solidaritas paguyuban Minang tentu ada tujuannya dalam kaitan membangun kehidupan di rantau dan di kampung halaman. Minangkabau sebagai sebuah entitas kesukuan memang membutuhkan soliditas dan solidaritas di antara puluhan suku bangsa lain di Indonesia.
Pembentukan organisasi berbasis kesukuan ini tentu untuk ikut memberikan nilai tambah bagi kemajuan daerah serta dapat memerankan fungsi ikut menjaga warisan nilai-nilai adiluhung yang dimiliki suku Minangkabau. Organisasi perantau merupakan simbol penghubung antara kehidupan masyarakat yang dinamis di adaerah perantauan dengan kehidupan yang terasa lebih  statis di kampung. Organisasi perantau hendaknya berfungsi sebagai inspirasi bagi kampung halaman untuk berpikir dinamis namun tetap memperkuat nilai-nilai positif yang dimiliki kampung halaman tercinta.  *** 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...