OLEH Sondri BS Datuak Kayo (Budayawan)
Orang Minang dalam tradisinya dibesarkan
dan dididik dalam lingkungan sosial dengan masyarakat yang suka memberi
penilaian terhadap hidup orang lain. Hidup di Minangkabau penuh “cemeeh” atau
saling sindir dan kias yang dapat memerahkan telinga.
Dilatarbelakangi oleh faktor sosial
budaya yang relatif “keras” menjadikan orang Minang, terutama kaum laki-lakinya
harus cepat mandiri. Orang Minang lebih baik menanggung malu di rantau dari
pada menanggung malu di kampung halaman sendiri. Betapa banyak anak-anak muda
Minang yang pergi merantau ke berbagai daerah dan rela bekerja apa saja di
perantauan. Di rantau apapun yang dikerjakan tak akan jadi bahan pergunjingan
orang. Kalau di kampung, apa saja yang kita lakukan seolah salah dan selalu ada
kurangnya. Lebih banyak umpatan daripada pujian kalau melakukan apapun di
kampung halaman.
Konstruksi sosial budaya, menjadikan
seorang lelaki Minang harus cepat keluar dari lingkungan keluarga dan kaumnya.
Ibarat anak ayam dia harus bergegas keluar dari cangkangnya. Pola matrilineal
yang menjadi dasar tradisi Minang telah mewariskan rumah dan segala harta
“pusako” kepada perempuan sebagai penerima manfaat. Secara tidak langsung
eksistensi lelaki Minang sudah terancam sejak kecil akibat bentukan budaya.
Di masa berkeluarga, lelaki Minang juga
hanya menumpang di rumah keluarga istri dan di tengah kaum istrinya. Ibarat
“Abu di atas tunggul” perumpamaan hidup kaum lelaki yang sering disebutkan.
Eksistensi yang “terancam” membuat para lelaki Minang memutuskan pergi merantau
untuk berusaha mendapatkan kekayaan sendiri di luar harta pusaka kaumnya dan
harta pusako keluarga dan kaum istrinya.
Merantau adalah tempat pelarian sekaligus
tempat mengejar impian-impian. Di kampung rasa tiada berguna lagi, pergi
merantau untuk membangkik batang tarandam. Kalau di rantau sudah mendapatkan
hasil, pulang ke kampung halaman tak canggung lagi.
Banyak perantau Minang yang sudah
berhasil di negeri orang menunjukan keberhasilannya di perantauan dengan
memberikan berbagai bantuan untuk kampung halaman. Bantuan yang diberikan dapat
berupa uang atau bahan bangunan jika sedang berlangsung pembangunan di kampung
halaman. Masyarakat nagari akan memuji para perantau yang berhasil dan akan
mempergunjingkan mereka yang pulang merantau dengan tangan hampa.
Pola hidup merantau bagi masyarakat
Minang, sudah berlangsung sejak masa lalu. Pada zaman penjajahan Belanda,
masyarakat Minang tetap saja ada yang pergi merantau ke daerah-daerah lain di
nusantara. Pada umumnya orang Minang merantau ke kota-kota walaupun ada juga
yang pergi ke daerah-daerah perkampungan.
Sampai kini kalau kita berjalan ke daerah
manapun di Indonesia akan kita jumpai para perantau Minang. Setidak-tidaknya
mereka membuka warung makan khas Minang atau sering disebut “Nasi Padang”.
Sepanjang daerah yang dilalui jalan lintas Sumatera selalu kita lihat rumah
makan Padang. Begitu juga di daerah Jawa, Sulawesi bahkan sampai ke Papua.
Sebagian sudah berketurunan di daerah perantauan, sebagian lain ada yang baru
mencoba merantau beberapa tahun yang lalu.
Di kota-kota besar Indonesia, khususnya
Jakarta, berbagai profesi yang ditekuni oleh para perantau Minang. Sebagian
besar tetap saja bekerja sebagai pedagang. Mereka tersebar di pasar-pasar yang
ada di Jakarta dengan berbagai dagangan, seperti pakaian, obat, sepatu, tas,
batu akik, barang-barang elektronik, mainan dan membuka rumah makan. Sebagian
kecil ada yang jadi pegawai negeri dan menjadi karyawan swasta. Di antara
perantau pedagang di Jakarta ada yang mampu menyewa toko dan sebagian hanya
berdagang di emperan toko atau berdagang kaki lima. Kalau kita perhatikan
tempat mereka, ada yang sudah memiliki rumah sendiri di Jakarta dan daerah
sekitarnya dan ada juga yang mengontrak rumah karena hidup bersama keluarga di
Jakarta. Bagi perantau yang masih bujang dan gadis memilih untuk kos-kosan.
Mungkin orang-orang di kampung tak
menyaksikan kesulitan-kesulitan yang dihadapi sebagian para perantau Minang di
Jakarta dan di kota-kota lainnya. Mereka ‘bergulat’ dengan kerasnya kehidupan
di kota besar. Hanya “rebab dan saluang” yang akan menyampaikan keluh kesah
serta duka derita mereka. Ingin pulang malu, tak pulang hidup tak juga
mengalami perubahan di pusaran kota yang kian menggila.
Pembangunan yang mendesak terus kaum
pinggiran yang tak memiliki modal dan mereka yang cuma mempertaruhkan hidup
dengan sedikit kemampuan berdagang. Diperlukan suatu penelitian yang
komprehensif untuk mengetahui kondisi sosial dan ekonomi kehidupan masyarakat
perantauan Minang yang tersebar di berbagai daerah.
Banyak para perantau yang telah mampu
mengangkat martabat keluarganya yang dulu miskin atau bahkan mampu mengangkat
harkat dan martabat kampung halamannya yang dulu terbelakang dengan suksesnya
mereka. Mereka jadi terkenal dan berpengaruh karena kaya dan telah bisa memberi
manfaat kepada kampung halaman mereka. Bantuan-bantuan perantau sangat dibutuhkan untuk menyelesaikan
pembangunan masjid atau musalah. Sekurang-kurangnya satu kali dalam setahun,
saat puasa dan lebaran tiba berbabagi bantuan dalam bentuk sumbangan, infak dan
sedekah dikumpulkan.
Para perantau banyak juga yang senang
ketika mereka pulang kampung sekali dalam setahun nama mereka tercatat di papan
informasi keuangan masjid. Apalagi sebagian pengurus masjid suka mengumumkan
infak, zakat dan sedekah untuk memotivasi masyarakat nagari, khususnya para
perantau.
Seusai lebaran, para perantau akan
kembali ke kota-kota besar, terutama Jakarta untuk berjuang “bakureh” dalam
istilah Minangnya. Keadaan para perantau yang kembali ke kota ini
bermacam-macam. Mereka yang telah menghabiskan hasil pencaharian selama setahun
yang lalu pada saat lebaran, harus memulai lagi mengumpulkan uang untuk
kebutuhan hidup sehari-hari di kota besar. Untuk kelompok yang ini, harus
bekerja keras lagi. Ada juga penghasilan mereka yang lumayan tinggi sehingga
mereka bisa lebih santai. Sepanjang tahun perputaran kehidupan yang seperti ini
terjadi pada masyarakat Minangkabau yang berada di perantauan.
Paguyuban
di Perantauan
Berbagai organisasi paguyuban para
perantau Minang didirikan di setiap daerah.
Organisasi-organisasi ini ada yang melingkupi seluruh perantau Minang
seperti organisasi Gebu Minang. Selain Gebu Minang ada juga beberapa organisasi
perantau Minang yang dibentuk di berbagai daerah di Indonesia.
Selain mencakup seluruh perantau Minang,
ada juga organisasi yang didirikan berbasiskan daerah kabupaten atau kota
seperti Persatuan Keluarga Daerah Pariaman (PKDP) yang anggotanya sudah
mencakup perantau manca negara, Perwatar atau KKTD untuk warga Tanah
Datar. Ada juga organisasi perantau ini
yang berbasiskan nagari tempat asal perantau seperti “Sulit Aie Sepakat” (SAS).
Organisasi para perantau ini kadang diikuti oleh beberapa paguyupan pelajar dan
mahasiswa dengan basis-basis ke wilayahan seperti di atas.
Saat ini yang sering kali menjadi pertanyaan
orang-orang Minang baik yang di kampung atau di kota, sejauhmana peran dan
kontribusi para perantau melalui gerakan atau organisasi perantau yang tersebar
di berbagai daerah tersebut. Apalagi beberapa organisasi paguyuban besar Minang
yang diisi oleh tokoh-tokoh masyarakat Minang seringkali dipertanyakan peran
dan kontribusinya terhadap kemajuan masyarakat dan daerah Sumatera Barat.
Soliditas dan solidaritas paguyuban
Minang tentu ada tujuannya dalam kaitan membangun kehidupan di rantau dan di
kampung halaman. Minangkabau sebagai sebuah entitas kesukuan memang membutuhkan
soliditas dan solidaritas di antara puluhan suku bangsa lain di Indonesia.
Pembentukan organisasi berbasis kesukuan
ini tentu untuk ikut memberikan nilai tambah bagi kemajuan daerah serta dapat
memerankan fungsi ikut menjaga warisan nilai-nilai adiluhung yang dimiliki suku
Minangkabau. Organisasi perantau merupakan simbol penghubung antara kehidupan
masyarakat yang dinamis di adaerah perantauan dengan kehidupan yang terasa
lebih statis di kampung. Organisasi
perantau hendaknya berfungsi sebagai inspirasi bagi kampung halaman untuk
berpikir dinamis namun tetap memperkuat nilai-nilai positif yang dimiliki
kampung halaman tercinta. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar