Jumat, 03 Maret 2017

Syair Berkumandang di Sela “Orang-orangan”

PETANG PUISI KUBU GADANG RIANG GEMBIRA
OLEH Nasrul Azwar (Sekjen AKSI)

jangan ucap apa-apa
kalau hanya berarti selamat malam

lalu diantarkan kita ke berbagai persoalan
tahun-tahun hanyut. seperti almanak terus dibuang
lengkap sudah kecemasan berdiam di antara belah dada
kita saling meraba peristiwa yang tak terjahit
amboi! masih perlukah sesengguk tangis
ketika warna-warna telah mengabur
dan kita tak diajarkan cara memilih
...
  
Suara penyair Iyut Fitra membahana di tengah-tengah hamparan sawah yang sudah diiriak. Tanah sawah itu masih lembab dan berair. Sebagian padi tampak menguning siap disabit tak lama lagi di sekelilingnya. Ini mungkin pertama kali di Sumatera Barat pembacaan puisi dilakukan di tengah sawah. Kiri-kanan panggung yang diselimut jerami, 50 “orang-orangan” terpancang bernilai artistik.  

Sajak-sajak bertema “Padang Panjang” ditulis para penyair di atas lembar-lembar karung plastik yang dipautkan di “leher orang-orangan” itu terasa menambah alamiah suasana. Syair-syair pun berkumandang di sela-sela “orang-orangan” yang bergoyang karena hembusan angin sawah. Publik pun dapat membaca karya puisi yang di pajang di sana. Mereka tampak riang gembira. Para pelisan puisi seolah mendapat napas baru lagi.
Di atas panggung yang dibungkus jerami padi, Iyut melisankan Luka Padang, salah satu puisi yang ditulisnya tahun 1996, dengan ekspresif dan daya ucap yang jernih. Sepenggal baitnya saya kutipkan di atas.
Pelisanan puisi dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat memang menjadi fenomena belakangan. Penyair mencoba membaur di tengah hiruk-pikuk politik yang menyebalkan. “Hoax menyebar, puisi membersihkannya!”
Setiap jeda pembacaan puisi Iyut Fitra, seratusan penonton menyambungnya dengan tepuk tangan. Iyut memastikan dirinya berhasil memukau publik dalam helat bulanan “Petang Puisi, Baca Puisi Sambil Berwisata”,  Minggu (22/1/2017) di Kampung Wisata Kubu Gadang, Nagari Gunuang, Padang Panjang.   
Iyut Fitra diberi “kehormatan” yang pertama naik  pentas yang eksotis dan artistik itu. Selanjutnya, diikuti pelisan-pelisan puisi lainnya dan diinterval dengan pertunjukan seni pantomim, tari kolaborasi tradisi Minang, dan puisi-musik, dan penampilan atraksi silek lanyah dari anak Kubu Gadang.
“Ada 62 orang yang meramaikan panggung “Petang Puisi”dengan beragam penampilan yang datang dari Padang, Batusangkar, Payakumbuh, Agam, Bukittinggi, dan Padang Panjang, masyarakat Kubu Gadang sendiri, pelajar, mahasiswa, serta dari Pekan Baru, malah. Respons penyair dan aktivis literasi di Sumbar dan Riau sangat positif. Kita respek,” kata Muhammad Subhan, salah seorang inisiator kegiatan ini.
Hal serupa juga dikatakan Sulaiman Juned, yang juga inisiator dan pengarah pada kegiatan ini. Sulaiman yang sehari-harinya sebagai pengajar ISI Padang Panjang ini menyebutkan, tujuan utama dari “Petang Puisi” ini ialah silaturahmi dan mengedukasi publik agar lebih mengenal karya sastra, terutama puisi.
“Ini rangkaian kedua yang sebelumnya digelar di Harau, Limapuluh Kota. Selain baca puisi, kita juga adakan pelatihan penulisan fiksi dan pengenalan dasar-dasar olah tubuh dengan melibatkan anak didik di bangku SD, SMP, dan setingkat SMA di Kubu Gadang. Ini kontribusi sastrawan pada masyarakat,” terang sosok penyair yang baru menyelesaikan program doktor penciptaan karya di ISI Solo ini.
Pembaca dan pelisan puisi tampil silih berganti kendati hujan menyiram tak membuat buyar kekhusukan mereka melantunkan syair-syairnya. Tampak di atas panggung antara lain, Endut Ahadiat, Femmy, Yeyen Kiram, Denni Meilizon, Ayesha (putri sulung Maya Lestari Gf),  Soetan Radjo Pamoentjak, Dafriansyah Putra, Muhammad Fadli, Alizar Tanjung, Surya “Murdock” Hadi (Pekanbaru), dan sederet pelajar lainnya.
Selain baca puisi ada juga pertunjukan tari tradisi Minang dari Sanggar Palatiang Saiyo, Kubu Gadang, monolog berjudul "Tolong" aktor Jenny Wahyuni dari Komunitas Seni Kuflet Padang Panjang dengan sutradara Fiqkri Aprija, dan penampilan musik puisi Muhammad Jujur,
“Petang Puisi” yang dibuka Wali Kota Padang Panjang Hendri Arnis dengan pembacaan puisi itu digelar masyarakat yang tergabung dalam Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Kubu Gadang.
Poldarwis merangkul dan bersinergi dengan komunitas-komunitas yang ada di Padangpanjang, di antaranya, Forum Aktif Menulis (FAM) Indonesia, Komunitas Seni Kuflet, Kelas Menulis Tanda Baca, Pondok Baca Togok, dan Palang Merah Indonesia (PMI) Padang Panjang.
Menurut Noviendy, ketua pelaksana, “Petang Puisi” merupakan salah satu produk wisata edukasi yang sedang dikembangkan di Kubu Gadang.
“Acara ini diharapkan memberi dampak positif bagi kemajuan Desa Wisata Kubu Gadang sebagai daerah tujuan (destinasi) wisata di Padang Panjang, Sumatera Barat, Indonesia, maupun mancanegara,” kata Noviendy.
Sementara itu, Yuliza Zen, sekretaris kegiatan, berharap iven “Petang Puisi” bisa menginspirasi berbagai pemangku kepentingan untuk mewujudkan cita-cita Padang Panjang sebagai “Kota Literasi” di Indonesia.
“Saya berharap “Petang Puisi” ini menjadi pintu masuk untuk merealisasikan keinginan berbagai pihak menjadikan Padang Panjang sebagai Kota Literasi di Sumbar dan Indonesia, secara umum,” kata sosok perempuan yang akrab disapa Liza ini.
“Kami sengaja bawa acara ini ke tengah areal persawahan dengan panorama alam yang indah. Tujuannya memberi warna baru bagi kegiatan baca puisi. Di lokasi persawahan ini pula, puisi-puisi karya penyair kami pajang dalam bentuk orang-orangan sawah agar dapat dinikmati oleh masyarakat khususnya kalangan pelajar,” tambah Noviendy.
Kubu Gadang ke Unesco
Selain penampilan pelisanan puisi bersama masyarakat, panitia juga menghadirkan atraksi silek lanyah yang menjadi ikon penting di Kubu Gadang.
“Silek lanyah dalam tradisi masyarakat Nagari Gunung Kubu Gadang merupakan seni silek yang dimainkan saat jelang bertanam padi di sawah-sawah dalam kondisi lanyah (berlumpur). Di situlah anak nagari bermain silek. Maka seni ini disebut silek lanyah,” terang Jupriadi Datuak Sati, salah seorang ninik mamak dan tuo silek Kubu Gadang.
“Kami bersama-sama dengan tim pengarah kegiatan, merancang “Petang Puisi” tidak hanya sekadar  pembacaan puisi saja, tapi juga menyajikan silek lanyah kepada tetamu yang datang. Bukan itu saja, semua yang yang hadir juga dijamu makan bagadang samba lado di atas daun pisang yang merupakan ciri khas tradisi Kubu Gadang,” tambah Jupriadi Datuak Sati.
Memang, sebelum “Petang Puisi” dibuka, ratusan masyarakat berbaur dengan Wali Kota Padang Panjang Hendri Arnis,  Djamardjati, peneliti dari Kemdikbud, para kepala OPD, camat, lurah,  dan puluhan penyair, pegiat budaya dan literasi,  makan bersama di atas daun pisang. Tak ada batas dan perbedaan saat itu. Semua menyatu dalam makan bagadang samba lado yang unik ini.
Pemerintah Kota Padang Panjang, dalam festival “Petang Puisi” itu juga meluncurkan dan mengukuhkan brand dan identitas Kampuang Wisata Kubu Gadang, serta pencatatan seni silek sebagai warisan dunia atau Internasional Cultural Heritage (ICL) di Unesco.
“Kita bersama-sama mendorong agar silek Minang menjadi salah satu warisan budaya yang tercatat di Unesco. Mari kita dukung seni tradisi kita agar terus berkembang dan lestari. Mari kita berkontrbusi agar Kubu Gadang sukses sebagai kampun wisata,” kata Hendri Arnis sambil menyeka lumpur di keningnya usai ia ikut permainan silek lanyah.
Berawal dari Kegelisahan
Dr Hermawan, salah seorang peneliti sastra yang secara intensif mengikuti kegiatan ini, mengatakan, iven seperti ini sebagai upaya mendekatkan dan mempersempit jarak antara penyair (sastrawan) dengan masyarakatnya.
“Gerakan baca puisi dan seni lainnya yang dilakukan sekali sebulan ini di lokasi yang berbeda saya kira salah satu upaya agar karya sastra mendapat apresiasi dari masyarakat luas. Memperpendek jurang pemisahnya. Keterlibatan dan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraannya pun perlu dimaksimalkan,” kata Hermawan yang juga pengajar sastra berbagai perguruan tinggi di Padang ini.
Menurut Iyut Fitra, yang juga salah seorang inisiator kegiatan penyair baca puisi bulanan ini, gagasannya dimulai di Kafe Tanah Rawa Payakumbuh.
“Sekelompok kawan-kawan penyair di Sumbar-Riau, terutama pegiat sastra di Sumbar, merasa gelisah karena minimnya kegiatan sastra. Lalu, saat sambut tahun baru 2017, digelar malam puisi di Harau mengundang pegiat sastra dari Riau dan Sumbar. Dari sini muncul keinginan bersama dilakukan setiap bulan di berbagai tempat secara bergiliran,” terang Iyut Fitra.
Maka, kegiatan tanpa sponsor dan bantuan dana dari pemerintah ini, disepakati dilaksanakan setiap bulan. Setelah Kubu Gadang Padang Panjang ini, dipilih Pesantren Parabek, Agam, sebagai tuan rumah.
Pada 11-12 Februari 2017 giliran Pesantren Bersejarah Parabek  Agam jadi sapangka. Iven ini diberi nama "Baca Puisi Islami di Pesantren Bersejarah Parabek. Diundang penyair, pegiat dan peminat sastra di Sumatra Barat, Riau dan Jambi,” kata Arbi Tanjung, pegiat sastra yang sekaligus pengajar di Parabek ini.  
Seni ialah kegembiraan hati, bukan keluh-kesah dan memelas. Bulan depan kita bertemu lagi.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...