PETANG PUISI KUBU GADANG RIANG GEMBIRA
OLEH Nasrul Azwar (Sekjen AKSI)
jangan ucap apa-apa
kalau hanya berarti
selamat malam
lalu diantarkan kita ke
berbagai persoalan
tahun-tahun hanyut.
seperti almanak terus dibuang
lengkap sudah kecemasan
berdiam di antara belah dada
kita saling meraba
peristiwa yang tak terjahit
amboi! masih perlukah
sesengguk tangis
ketika warna-warna telah
mengabur
dan kita tak diajarkan
cara memilih
...
Suara penyair Iyut Fitra membahana di
tengah-tengah hamparan sawah yang sudah diiriak.
Tanah sawah itu masih lembab dan berair. Sebagian padi tampak menguning siap
disabit tak lama lagi di sekelilingnya. Ini mungkin pertama kali di Sumatera
Barat pembacaan puisi dilakukan di tengah sawah. Kiri-kanan panggung yang
diselimut jerami, 50 “orang-orangan” terpancang bernilai artistik.
Sajak-sajak bertema “Padang Panjang” ditulis
para penyair di atas lembar-lembar karung plastik yang dipautkan di “leher
orang-orangan” itu terasa menambah alamiah suasana. Syair-syair pun
berkumandang di sela-sela “orang-orangan” yang bergoyang karena hembusan angin
sawah. Publik pun dapat membaca karya puisi yang di pajang di sana. Mereka
tampak riang gembira. Para pelisan puisi seolah mendapat napas baru lagi.
Di atas panggung yang dibungkus jerami
padi, Iyut melisankan Luka Padang, salah
satu puisi yang ditulisnya tahun 1996, dengan ekspresif dan daya ucap yang
jernih. Sepenggal baitnya saya kutipkan di atas.
Pelisanan puisi dengan melibatkan partisipasi
aktif masyarakat memang menjadi fenomena belakangan. Penyair mencoba membaur di
tengah hiruk-pikuk politik yang menyebalkan. “Hoax menyebar, puisi membersihkannya!”
Setiap jeda pembacaan puisi Iyut Fitra,
seratusan penonton menyambungnya dengan tepuk tangan. Iyut memastikan dirinya
berhasil memukau publik dalam helat bulanan “Petang Puisi, Baca Puisi Sambil
Berwisata”, Minggu (22/1/2017) di
Kampung Wisata Kubu Gadang, Nagari Gunuang, Padang Panjang.
Iyut Fitra diberi “kehormatan” yang
pertama naik pentas yang eksotis dan
artistik itu. Selanjutnya, diikuti pelisan-pelisan puisi lainnya dan diinterval
dengan pertunjukan seni pantomim, tari kolaborasi tradisi Minang, dan
puisi-musik, dan penampilan atraksi silek lanyah dari anak Kubu Gadang.
“Ada 62 orang yang meramaikan panggung
“Petang Puisi”dengan beragam penampilan yang datang dari Padang, Batusangkar,
Payakumbuh, Agam, Bukittinggi, dan Padang Panjang, masyarakat Kubu Gadang
sendiri, pelajar, mahasiswa, serta dari Pekan Baru, malah. Respons penyair dan
aktivis literasi di Sumbar dan Riau sangat positif. Kita respek,” kata Muhammad
Subhan, salah seorang inisiator kegiatan ini.
Hal serupa juga dikatakan Sulaiman Juned,
yang juga inisiator dan pengarah pada kegiatan ini. Sulaiman yang
sehari-harinya sebagai pengajar ISI Padang Panjang ini menyebutkan, tujuan
utama dari “Petang Puisi” ini ialah silaturahmi dan mengedukasi publik agar
lebih mengenal karya sastra, terutama puisi.
“Ini rangkaian kedua yang sebelumnya
digelar di Harau, Limapuluh Kota. Selain baca puisi, kita juga adakan pelatihan
penulisan fiksi dan pengenalan dasar-dasar olah tubuh dengan melibatkan anak
didik di bangku SD, SMP, dan setingkat SMA di Kubu Gadang. Ini kontribusi
sastrawan pada masyarakat,” terang sosok penyair yang baru menyelesaikan
program doktor penciptaan karya di ISI Solo ini.
Pembaca dan pelisan puisi tampil silih
berganti kendati hujan menyiram tak membuat buyar kekhusukan mereka melantunkan
syair-syairnya. Tampak di atas panggung antara lain, Endut Ahadiat, Femmy,
Yeyen Kiram, Denni Meilizon, Ayesha (putri sulung Maya Lestari Gf), Soetan Radjo Pamoentjak, Dafriansyah Putra, Muhammad
Fadli, Alizar Tanjung, Surya “Murdock” Hadi (Pekanbaru), dan sederet pelajar lainnya.
Selain baca puisi ada juga pertunjukan
tari tradisi Minang dari Sanggar Palatiang Saiyo, Kubu Gadang, monolog berjudul
"Tolong" aktor Jenny Wahyuni dari Komunitas Seni Kuflet Padang
Panjang dengan sutradara Fiqkri Aprija, dan penampilan musik puisi Muhammad
Jujur,
“Petang Puisi” yang dibuka Wali Kota
Padang Panjang Hendri Arnis dengan pembacaan puisi itu digelar masyarakat yang
tergabung dalam Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Kubu Gadang.
Poldarwis merangkul dan bersinergi dengan
komunitas-komunitas yang ada di Padangpanjang, di antaranya, Forum Aktif
Menulis (FAM) Indonesia, Komunitas Seni Kuflet, Kelas Menulis Tanda Baca,
Pondok Baca Togok, dan Palang Merah Indonesia (PMI) Padang Panjang.
Menurut Noviendy, ketua pelaksana,
“Petang Puisi” merupakan salah satu produk wisata edukasi yang sedang
dikembangkan di Kubu Gadang.
“Acara ini diharapkan memberi dampak
positif bagi kemajuan Desa Wisata Kubu Gadang sebagai daerah tujuan (destinasi)
wisata di Padang Panjang, Sumatera Barat, Indonesia, maupun mancanegara,” kata Noviendy.
Sementara itu, Yuliza Zen, sekretaris
kegiatan, berharap iven “Petang Puisi” bisa menginspirasi berbagai pemangku
kepentingan untuk mewujudkan cita-cita Padang Panjang sebagai “Kota Literasi”
di Indonesia.
“Saya berharap “Petang Puisi” ini menjadi
pintu masuk untuk merealisasikan keinginan berbagai pihak menjadikan Padang
Panjang sebagai Kota Literasi di Sumbar dan Indonesia, secara umum,” kata sosok
perempuan yang akrab disapa Liza ini.
“Kami sengaja bawa acara ini ke tengah
areal persawahan dengan panorama alam yang indah. Tujuannya memberi warna baru
bagi kegiatan baca puisi. Di lokasi persawahan ini pula, puisi-puisi karya
penyair kami pajang dalam bentuk orang-orangan sawah agar dapat dinikmati oleh
masyarakat khususnya kalangan pelajar,” tambah Noviendy.
Kubu
Gadang ke Unesco
Selain penampilan pelisanan puisi bersama
masyarakat, panitia juga menghadirkan atraksi silek lanyah yang menjadi ikon
penting di Kubu Gadang.
“Silek lanyah dalam tradisi masyarakat
Nagari Gunung Kubu Gadang merupakan seni silek yang dimainkan saat jelang
bertanam padi di sawah-sawah dalam kondisi lanyah (berlumpur). Di situlah anak
nagari bermain silek. Maka seni ini disebut
silek lanyah,” terang Jupriadi Datuak
Sati, salah seorang ninik mamak dan tuo silek Kubu Gadang.
“Kami bersama-sama dengan tim pengarah
kegiatan, merancang “Petang Puisi” tidak hanya sekadar pembacaan puisi saja, tapi juga menyajikan silek lanyah kepada tetamu yang datang.
Bukan itu saja, semua yang yang hadir juga dijamu makan bagadang samba lado di atas daun pisang yang merupakan ciri khas
tradisi Kubu Gadang,” tambah Jupriadi Datuak Sati.
Memang, sebelum “Petang Puisi” dibuka,
ratusan masyarakat berbaur dengan Wali Kota Padang Panjang Hendri Arnis, Djamardjati, peneliti dari Kemdikbud, para
kepala OPD, camat, lurah, dan puluhan
penyair, pegiat budaya dan literasi, makan bersama di atas daun pisang. Tak ada
batas dan perbedaan saat itu. Semua menyatu dalam makan bagadang samba lado yang unik ini.
Pemerintah Kota Padang Panjang, dalam
festival “Petang Puisi” itu juga meluncurkan dan mengukuhkan brand dan identitas Kampuang Wisata Kubu
Gadang, serta pencatatan seni silek sebagai warisan dunia atau Internasional
Cultural Heritage (ICL) di Unesco.
“Kita bersama-sama mendorong agar silek
Minang menjadi salah satu warisan budaya yang tercatat di Unesco. Mari kita
dukung seni tradisi kita agar terus berkembang dan lestari. Mari kita
berkontrbusi agar Kubu Gadang sukses sebagai kampun wisata,” kata Hendri Arnis
sambil menyeka lumpur di keningnya usai ia ikut permainan silek lanyah.
Berawal
dari Kegelisahan
Dr Hermawan, salah seorang peneliti
sastra yang secara intensif mengikuti kegiatan ini, mengatakan, iven seperti
ini sebagai upaya mendekatkan dan mempersempit jarak antara penyair (sastrawan)
dengan masyarakatnya.
“Gerakan baca puisi dan seni lainnya yang
dilakukan sekali sebulan ini di lokasi yang berbeda saya kira salah satu upaya
agar karya sastra mendapat apresiasi dari masyarakat luas. Memperpendek jurang
pemisahnya. Keterlibatan dan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraannya
pun perlu dimaksimalkan,” kata Hermawan yang juga pengajar sastra berbagai
perguruan tinggi di Padang ini.
Menurut Iyut Fitra, yang juga salah
seorang inisiator kegiatan penyair baca puisi bulanan ini, gagasannya dimulai
di Kafe Tanah Rawa Payakumbuh.
“Sekelompok kawan-kawan penyair di
Sumbar-Riau, terutama pegiat sastra di Sumbar, merasa gelisah karena minimnya
kegiatan sastra. Lalu, saat sambut tahun baru 2017, digelar malam puisi di
Harau mengundang pegiat sastra dari Riau dan Sumbar. Dari sini muncul keinginan
bersama dilakukan setiap bulan di berbagai tempat secara bergiliran,” terang
Iyut Fitra.
Maka, kegiatan tanpa sponsor dan bantuan
dana dari pemerintah ini, disepakati dilaksanakan setiap bulan. Setelah Kubu
Gadang Padang Panjang ini, dipilih Pesantren Parabek, Agam, sebagai tuan rumah.
Pada 11-12 Februari 2017 giliran Pesantren
Bersejarah Parabek Agam jadi sapangka.
Iven ini diberi nama "Baca Puisi Islami di Pesantren Bersejarah Parabek. Diundang
penyair, pegiat dan peminat sastra di Sumatra Barat, Riau dan Jambi,” kata Arbi
Tanjung, pegiat sastra yang sekaligus pengajar di Parabek ini.
Seni ialah kegembiraan hati, bukan
keluh-kesah dan memelas. Bulan depan kita bertemu lagi.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar