OLEH Sondri Datuak Kayo (Budayawan)
Sondri Datuak Kayo |
Membaca tulisan liputan khusus Kompas tanggal 7 Maret 2017 yang berjudul “Minangkabau, “Rumah”
Para Pendiri Bangsa” menimbulkan keharuan dan kebanggaan tersendiri di hati
saya sebagai generasi Minangkabau terkini. Pada pembukaan ulasan tersebut
dinyatakan bahwa: Sumatera Barat menjadi
rumah yang asri bagi tumbuhnya ide-ide kebangsaan pada akhir abad ke-19 dan
awal abad ke-20. Dari bumi Minangkabau lahir banyak tokoh dengan ide kebangkitan
nasional yang acapkali tak hanya radikal, baru, dan mencerahkan, tetapi juga
penuh sintesis akan berbagai pandangan kosmopolit pada eranya.
Dapat dikatakan bahwa generasi para pendiri bangsa Indonesia
yang berasal dari Minangkabau tersebut merupakan generasi emas Minangkabau dan
sekaligus generasi emas Indonesia. Mereka telah menancapkan sejarah yang terus
menjadi buah bibir generasi hari ini dan generasi mendatang. Ada pertanyaan
yang akan selalu muncul dari generasi hari ini dan mendatang, situasi apa dan
kelebihan apa yang membuat mereka bisa bersinar sebagai “kejora bangsa” pada
kala itu. Pertanyaan berikutnya, “ masih mungkinkah ‘rahim’ ranah Minangkabau kini
melahirkan manusia-manusia unggul yang mampu berpikir dan bertindak besar
melampaui orang-orang yang hidup di zaman mereka. Generasi yang mampu memintas
gelombang zaman.
Para pendiri bangsa Indonesia yang berasal dari
Minangkabau tidak lahir dari ruang kosong peradaban. Mereka hadir karena
bentukan dan gemblengan ruang sosial budaya yang jadi pupuk bagi watak dan
pandangan hidup mereka. Sejak kecil digembleng dengan instrumen kelembagaan
tradisional seperti suku atau kaum dan nagari dengan berbagai perangkat
pendidikannya.
Menurut sejarawan Mestika Zed dalam ulasan itu,
tokoh-tokoh bangsa Indonesia asal Minangkabau adalah orang-orang yang mampu
melihat keluar dan bahkan belajar ke negeri penjajah. Sejarawan Gusti Asnan menjelaskan
juga tentang lingkungan yang membentuk watak dan pandangan anak-anak
Minangkabau.
Berawal dari pengaruh pandangan bahwa anak laki-laki di
Minang tidak baik tinggal dan selalu berada di rumah, sehingga mereka disuruh
pergi ke surau. Selain itu Gusti juga menjelaskan salah satu kebiasaan
masyarakat Minang dalam menambah wawasan dan wacananya di lapau-lapau. Di lapau
orang Minangkabau suka membicarakan berbagai persoalan bahkan sampai persoalan
internasional.
Dari penelusuran sejarah tentang hadirnya tokoh-tokoh
besar republik dari Minang ini diketahui juga bahwa mereka memadukan pendidikan
dan pengetahuan tradisional dalam nagari, ilmu agama Islam yang menyebar dari
tanah Arab dan pengetahuan yang berasal dari dunia barat. Selain masa kecil
mereka dididik di surau-surau oleh guru-guru agama yang matang dalam
pengetahuan agama, mereka kemudian bersekolah di sekolah yang didirikan
pemerintah Hindia Belanda.
Pendidikan informal “Alam Minangkabau” yang kaya filosofi
hidup merupakan bekal dan fondasi dasar untuk menyentuh pengetahuan agama di
surau-surau dan juga pengetahuan barat di sekolah-sekolah yang didirikan
pemerintah Hindia Belanda. Mereka kemudian menjadi peribadi yang kukuh dalam
nilai-nilai agama dan tradisional namun juga sekaligus menjadi manusia modern
yang siap “beradu otak dan pengetahuan” dengan manusia barat yang notabene
telah berkemajuan di masa itu. Cara pikir Minangkabau yang didasari falsafah
“alam takambang jadi guru” menjadikan masyarakat Minangkabau menjadi masyarakat
yang dinamis dalam menghadapi dan menerima pengetahuan dan perubahan.
Di tengah gelombang perubahan saat ini, dimana tatanan
zaman yang ada tidak lagi berada pada konstruksi akhir abad ke-19 dan awal abad
ke-20, masih mungkinkah anak-anak Minangkabau menjadi manusia yang berada di
garis depan? Menjadi penggerak perubahan dan kemajuan bangsa Indonesia.
Kita menyadari bangsa Indonesia masih berada pada garis
ketertinggalan dalam perlombaan bangsa-bangsa saat ini. Zaman dan dunia global
memang telah memasuki era baru penuh pengetahuan dan kecanggihan teknologi.
Bangsa-bangsa yang maju terus saja berada pada garis depan dengan kecepatan
yang mengagumkan dalam berbagai bidang kehidupan.
Jika demikian halnya, dalam konstalasi percaturan dunia,
bangsa Indonesia masih saja berada agak ke belakang. Untuk itu dibutuhkan
generasi cemerlang versi baru yang akan mendongkrak Indonesia di pentas dunia.
Sebagaimana dulu generasi emas Minangkabau mendorong percepatan kemajuan bangsa
Indonesia.
Dalam konteks itu masih mungkinkah putra-putra
Minangkabau dapat kita “sumbangkan” kepada republik menjadi “generasi emas
gelombang ke dua” yang akan jadi lokomotif gerbong bangsa ini.
Apa yang Minangkabau miliki kini? Pertanyaan itu sebagai
refleksi bagi generasi Minangkabau hari ini. Pertanyaan yang akan memberikan
jawaban sekaligus tanggungjawab kepada generasi hari ini untuk bersiap
membangun generasi emas gelombang kedua. Sebagaimana generasi emas gelombang
pertama dengan berbagai modal sosial yang telah menjadikan mereka orang-orang
terdepan dalam perkembangan bangsa.
Fakta sosial penting yang harus kita sadari, bahwa
Minangkabau kini tentu tidak sama lagi dengan keadaan Minangkabau akhir abad 19
dan awal abad 20. Namun yang perlu kita pahami bahwa generasi awal abad 20
tersebut juga tidak berada pada zona nyaman masa mereka. Mereka justru berada
pada masa kegelapan kolonialisme. Mereka adalah secercah cahaya yang lahir dari
kegelapan zaman perang.
Generasi Minangkabau hari ini adalah produk sosial budaya
dan sejarah yang membentuknya. Pasca Indonesia merdeka, berbagai dinamika dan
perubahan telah menjadi bumbu yang melengkapi sejarah kedirian anak-anak
Minangkabau.
Konflik politik dan perang juga telah menghasilkan suatu
konstruksi sosial yang tanpa disadari telah membentuk watak baru orang-orang
Minang. Secara sepintas lalu, muncullah generasi pencemas dan “penakut” bahkan
dalam mencetuskan pemikiran.
Dapat kita bandingkan bagaimana gairah dan gejolak
pemikiran sebagai tanda-tanda akan munculnya generasi berpikir dunia di awal
abad 20 di Minangkabau. Surau-surau yang notabene adalah tempat mengkaji agama ternyata
bisa jadi tempat memperdebatkan ideologi komunis, yang pada saat ini sangat
ditakutkan oleh kebanyakan orang Minangkabau.
Ketakutan tersebut merupakan antiklimak dari keberanian
orang Minangkabau “mengunyah dan menelan” pemikiran radikal. Dapat dipahami
bahwa para tokoh Minangkabau awal yang menjadi generasi emas republik adalah
mereka yang sangat akrab dengan pemikiran sosialisme dan membaca marxis sebagai
produk pengetahuan Barat.
Pemikiran sosialisme telah dijadikan “api” untuk
mencetuskan api revolusi. Pemikiran sosialisme kemudian “diaduk” dengan
berbagai kecendikiaan dan keradikalan falsafah Minang yang sangat kaya dan
kemudian direkatkan dengan kekentalan tauhid yang ditanamkan oleh guru-guru
yang memiliki kemampuan silat dan tarikat yang sebagian telah berguru ke Arab
dan Timur Tengah. Konstruksi itulah membentuk karakter unggul generasi pendiri
bangsa Indonesia asal Minangkabau.
Sesungguhnya kini, Minangkabau masih memiliki sisa-sisa
modal sosial yang belum hanyut seluruhnya terbawa gelombang zaman. Masih
tersisa tatanan sosial budaya dari struktur komunalisme nagari-nagari di
Minangkabau.
Namun demikian kita tidak akan menarik pemikiran pada
romantisme masa lalu. Saat ini kita sedang berlombang dengan arus zaman yang
akan menggulung habis sisa-sisa kearifan lokal Minangkabau. Kita harus mampu
beradaptasi dengan perubahan serta mampu mengawinkan kemajuan alam perubahan
dengan fondasi dasar kecendikiaan falsafah Minangkabau serta kekentalan
keyakinan yang dibentuk oleh pendidikan agama yang baik.
Falsafah “alam takambang jadi guru” harus menjadi kiat
untuk tetap berada di atas gelombang zaman. Falsafah Minangkabau yang sangat
kaya harus dilihat sebagai kekayaan manusia modern yang bisa membawa anak-anak
Minangkabau berada di garis depan peradaban.
Dengan meletakan dasar berpikir “baguru ka alam”
menjadikan masyarakat Minangkabau bukanlah masyarakat yang kaku karena telah
didasarkan pada perubahan yang selalu pasti dalam kehidupan ini. “Baguru ka
alam” hanya mampu dilakukan dengan kecepatan berpikir dan kearifan bertindak.
Orang Minangkabau kini harus merefleksikan diri kembali
serta mempersiapkan tatanan masyarakat Minangkabau baru yang masih berakar
kokoh pada nilai dan prinsip kearifan lokal Minangkabau.
Manusia Minangkabau kembali harus bertanya kepada dirinya
“apakah hanya akan jadi pengekor atau akan menjadi kepala lagi?” Kita harus
bersiap di tengah keadaan yang selalu tidak siap. Masa datang dan perubahan akan
pasti datangnya ibarat singa liar. Kita akan memilih jadi mangsa singa atau
akan menjadi pawang dan menungganginya. Semua tergantung dari apa yang telah
kita siapkan untuk generasi mendatang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar