Rabu, 15 Maret 2017

Menanti Generasi Emas Minangkabau Gelombang Kedua

OLEH Sondri Datuak Kayo (Budayawan)
Sondri Datuak Kayo
Membaca tulisan liputan khusus Kompas tanggal 7 Maret 2017 yang berjudul “Minangkabau, “Rumah” Para Pendiri Bangsa” menimbulkan keharuan dan kebanggaan tersendiri di hati saya sebagai generasi Minangkabau terkini. Pada pembukaan ulasan tersebut dinyatakan bahwa: Sumatera Barat menjadi rumah yang asri bagi tumbuhnya ide-ide kebangsaan pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Dari bumi Minangkabau lahir banyak tokoh dengan ide kebangkitan nasional yang acapkali tak hanya radikal, baru, dan mencerahkan, tetapi juga penuh sintesis akan berbagai pandangan kosmopolit pada eranya.

Dapat dikatakan bahwa generasi para pendiri bangsa Indonesia yang berasal dari Minangkabau tersebut merupakan generasi emas Minangkabau dan sekaligus generasi emas Indonesia. Mereka telah menancapkan sejarah yang terus menjadi buah bibir generasi hari ini dan generasi mendatang. Ada pertanyaan yang akan selalu muncul dari generasi hari ini dan mendatang, situasi apa dan kelebihan apa yang membuat mereka bisa bersinar sebagai “kejora bangsa” pada kala itu. Pertanyaan berikutnya, “ masih mungkinkah ‘rahim’ ranah Minangkabau kini melahirkan manusia-manusia unggul yang mampu berpikir dan bertindak besar melampaui orang-orang yang hidup di zaman mereka. Generasi yang mampu memintas gelombang zaman.
Para pendiri bangsa Indonesia yang berasal dari Minangkabau tidak lahir dari ruang kosong peradaban. Mereka hadir karena bentukan dan gemblengan ruang sosial budaya yang jadi pupuk bagi watak dan pandangan hidup mereka. Sejak kecil digembleng dengan instrumen kelembagaan tradisional seperti suku atau kaum dan nagari dengan berbagai perangkat pendidikannya.
Menurut sejarawan Mestika Zed dalam ulasan itu, tokoh-tokoh bangsa Indonesia asal Minangkabau adalah orang-orang yang mampu melihat keluar dan bahkan belajar ke negeri penjajah. Sejarawan Gusti Asnan menjelaskan juga tentang lingkungan yang membentuk watak dan pandangan anak-anak Minangkabau.
Berawal dari pengaruh pandangan bahwa anak laki-laki di Minang tidak baik tinggal dan selalu berada di rumah, sehingga mereka disuruh pergi ke surau. Selain itu Gusti juga menjelaskan salah satu kebiasaan masyarakat Minang dalam menambah wawasan dan wacananya di lapau-lapau. Di lapau orang Minangkabau suka membicarakan berbagai persoalan bahkan sampai persoalan internasional.   
Dari penelusuran sejarah tentang hadirnya tokoh-tokoh besar republik dari Minang ini diketahui juga bahwa mereka memadukan pendidikan dan pengetahuan tradisional dalam nagari, ilmu agama Islam yang menyebar dari tanah Arab dan pengetahuan yang berasal dari dunia barat. Selain masa kecil mereka dididik di surau-surau oleh guru-guru agama yang matang dalam pengetahuan agama, mereka kemudian bersekolah di sekolah yang didirikan pemerintah Hindia Belanda.
Pendidikan informal “Alam Minangkabau” yang kaya filosofi hidup merupakan bekal dan fondasi dasar untuk menyentuh pengetahuan agama di surau-surau dan juga pengetahuan barat di sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah Hindia Belanda. Mereka kemudian menjadi peribadi yang kukuh dalam nilai-nilai agama dan tradisional namun juga sekaligus menjadi manusia modern yang siap “beradu otak dan pengetahuan” dengan manusia barat yang notabene telah berkemajuan di masa itu. Cara pikir Minangkabau yang didasari falsafah “alam takambang jadi guru” menjadikan masyarakat Minangkabau menjadi masyarakat yang dinamis dalam menghadapi dan menerima pengetahuan dan perubahan.     
Di tengah gelombang perubahan saat ini, dimana tatanan zaman yang ada tidak lagi berada pada konstruksi akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, masih mungkinkah anak-anak Minangkabau menjadi manusia yang berada di garis depan? Menjadi penggerak perubahan dan kemajuan bangsa Indonesia.
Kita menyadari bangsa Indonesia masih berada pada garis ketertinggalan dalam perlombaan bangsa-bangsa saat ini. Zaman dan dunia global memang telah memasuki era baru penuh pengetahuan dan kecanggihan teknologi. Bangsa-bangsa yang maju terus saja berada pada garis depan dengan kecepatan yang mengagumkan dalam berbagai bidang kehidupan.
Jika demikian halnya, dalam konstalasi percaturan dunia, bangsa Indonesia masih saja berada agak ke belakang. Untuk itu dibutuhkan generasi cemerlang versi baru yang akan mendongkrak Indonesia di pentas dunia. Sebagaimana dulu generasi emas Minangkabau mendorong percepatan kemajuan bangsa Indonesia.
Dalam konteks itu masih mungkinkah putra-putra Minangkabau dapat kita “sumbangkan” kepada republik menjadi “generasi emas gelombang ke dua” yang akan jadi lokomotif gerbong bangsa ini.
Apa yang Minangkabau miliki kini? Pertanyaan itu sebagai refleksi bagi generasi Minangkabau hari ini. Pertanyaan yang akan memberikan jawaban sekaligus tanggungjawab kepada generasi hari ini untuk bersiap membangun generasi emas gelombang kedua. Sebagaimana generasi emas gelombang pertama dengan berbagai modal sosial yang telah menjadikan mereka orang-orang terdepan dalam perkembangan bangsa.
Fakta sosial penting yang harus kita sadari, bahwa Minangkabau kini tentu tidak sama lagi dengan keadaan Minangkabau akhir abad 19 dan awal abad 20. Namun yang perlu kita pahami bahwa generasi awal abad 20 tersebut juga tidak berada pada zona nyaman masa mereka. Mereka justru berada pada masa kegelapan kolonialisme. Mereka adalah secercah cahaya yang lahir dari kegelapan zaman perang.
Generasi Minangkabau hari ini adalah produk sosial budaya dan sejarah yang membentuknya. Pasca Indonesia merdeka, berbagai dinamika dan perubahan telah menjadi bumbu yang melengkapi sejarah kedirian anak-anak Minangkabau.
Konflik politik dan perang juga telah menghasilkan suatu konstruksi sosial yang tanpa disadari telah membentuk watak baru orang-orang Minang. Secara sepintas lalu, muncullah generasi pencemas dan “penakut” bahkan dalam mencetuskan pemikiran.
Dapat kita bandingkan bagaimana gairah dan gejolak pemikiran sebagai tanda-tanda akan munculnya generasi berpikir dunia di awal abad 20 di Minangkabau. Surau-surau yang notabene adalah tempat mengkaji agama ternyata bisa jadi tempat memperdebatkan ideologi komunis, yang pada saat ini sangat ditakutkan oleh kebanyakan orang Minangkabau.
Ketakutan tersebut merupakan antiklimak dari keberanian orang Minangkabau “mengunyah dan menelan” pemikiran radikal. Dapat dipahami bahwa para tokoh Minangkabau awal yang menjadi generasi emas republik adalah mereka yang sangat akrab dengan pemikiran sosialisme dan membaca marxis sebagai produk pengetahuan Barat.
Pemikiran sosialisme telah dijadikan “api” untuk mencetuskan api revolusi. Pemikiran sosialisme kemudian “diaduk” dengan berbagai kecendikiaan dan keradikalan falsafah Minang yang sangat kaya dan kemudian direkatkan dengan kekentalan tauhid yang ditanamkan oleh guru-guru yang memiliki kemampuan silat dan tarikat yang sebagian telah berguru ke Arab dan Timur Tengah. Konstruksi itulah membentuk karakter unggul generasi pendiri bangsa Indonesia asal Minangkabau.
Sesungguhnya kini, Minangkabau masih memiliki sisa-sisa modal sosial yang belum hanyut seluruhnya terbawa gelombang zaman. Masih tersisa tatanan sosial budaya dari struktur komunalisme nagari-nagari di Minangkabau.
Namun demikian kita tidak akan menarik pemikiran pada romantisme masa lalu. Saat ini kita sedang berlombang dengan arus zaman yang akan menggulung habis sisa-sisa kearifan lokal Minangkabau. Kita harus mampu beradaptasi dengan perubahan serta mampu mengawinkan kemajuan alam perubahan dengan fondasi dasar kecendikiaan falsafah Minangkabau serta kekentalan keyakinan yang dibentuk oleh pendidikan agama yang baik.
Falsafah “alam takambang jadi guru” harus menjadi kiat untuk tetap berada di atas gelombang zaman. Falsafah Minangkabau yang sangat kaya harus dilihat sebagai kekayaan manusia modern yang bisa membawa anak-anak Minangkabau berada di garis depan peradaban.
Dengan meletakan dasar berpikir “baguru ka alam” menjadikan masyarakat Minangkabau bukanlah masyarakat yang kaku karena telah didasarkan pada perubahan yang selalu pasti dalam kehidupan ini. “Baguru ka alam” hanya mampu dilakukan dengan kecepatan berpikir dan kearifan bertindak.
Orang Minangkabau kini harus merefleksikan diri kembali serta mempersiapkan tatanan masyarakat Minangkabau baru yang masih berakar kokoh pada nilai dan prinsip kearifan lokal Minangkabau.

Manusia Minangkabau kembali harus bertanya kepada dirinya “apakah hanya akan jadi pengekor atau akan menjadi kepala lagi?” Kita harus bersiap di tengah keadaan yang selalu tidak siap. Masa datang dan perubahan akan pasti datangnya ibarat singa liar. Kita akan memilih jadi mangsa singa atau akan menjadi pawang dan menungganginya. Semua tergantung dari apa yang telah kita siapkan untuk generasi mendatang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...