Jumat, 11 November 2016

Nano Riantiarno dan Panggung Teater Indonesia

Nano Riantiarno 
Nano Riantiarno dan panggung teater Indonesia berkiprah di teater sejak 1965, mendirikan Teater Koma pada 1977, hingga kini di usia 67 tahun, Riantiarno masih setia menggeliatkan panggung teater Indonesia.
Ditemui di sela-sela persiapan pementasan “Opera Kecoa”, wajah Nano Riantiarno tampak tak sedikit pun menunjukkan gurat lelah. Sebagai sutradara dan pendiri grup Teater Koma, ia seolah tak sabar untuk menunjukkan karyanya itu ke hadapan publik.

“Opera Kecoa” tercatat sebagai produksi teater ke-146 miliknya bersama Teater Koma. Sebuah rentang perjalanan pementasan teater yang tak singkat, dari awal berdirinya grup teater paling produktif di Indonesia ini sejak 1977 hingga 2016.
Selama rentang itu juga, kata Nano, dirinya mengalami jatuh bangun dan sempat terpikir untuk mundur dari panggung teater. Salah satu alasannya adalah pelarangan akan pementasan karya beberapa kali di tahun 1978 hingga 1990.
“Orang-orang terdekat membuat saya kembali bangkit,” ujarnya.
Nano Rintiarno tercatat telah mendapat sejumlah penghargaan berkat kiprah dan konsistensinya di panggung teater Indonesia.
Pada 1993, ia dianugerahi Hadiah Seni, Piagam Kesenian dan Kebudayaan dari Departemen P&K, atas nama Pemerintah Republik Indonesia. Lima tahun berikutnya, ia menerima Penghargaan Sastra 1998 dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia.
Menteri Pariwisata dan Budaya juga pernah memberikan Piagam Penghargaan sebagai Seniman dan Budayawan Berprestasi pada 1999.
Di tingkat internasional, Nano meraih Sea Write Award dari Raja Thailand di Bangkok atas karyanya Semar Gugat pada 1998.
Bernama asli Norbertus Riantiarno, pria kelahiran 6 Juni 1949 itu mengaku bergelut di teater sejak 1965 di tanah kelahirannya di Cirebon. Usianya baru 16 tahun saat itu. Peran kecil di pementasan Caligula didapatnya berkat kemampuan menghafal naskah utuh, sekaligus menggantikan pemeran aslinya yang sedang sakit.
"Sepuluh hari saya digenjot sutradara, sejak itu pula tumbuh tekad saya untuk sekolah panggung," kata Nano mengenang.
Setamat dirinya dari SMA pada 1967, Nano melangkahkan kaki ke ibukota dan melanjutkan kuliah di Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI), Jakarta. Dia mengungkapkan saat itu dirinya merupakan generasi ke-lima bersama sineas Slamet Rahardjo.
Teguh Karya, senior sekaligus dosen Nano dan Slamet menjadi orang yang kemudian mengajaknya untuk ikut mendirikan Teater Populer pada 1968. Dua tahun berjalan Teater Populer berubah haluan ke ranah film, merasa sudah tak sejalan dengan mimpinya di jalur teater, dia meminta izin untuk mundur dan berkeliling Indonesia.
"Selama enam bulan saya keliling ke Lombok, Toraja, juga Nusa Tenggara mencari macam-macam, kalau ada kelompok teater saya masuk jadi pekerja. Di Nusa Tenggara salah satu teater bisa hidup tanpa uang," ujar Nano.
Sepulang berkeliling, Nano bersama Ratna, yang kemudian jadi istrinya, serta saudaranya Saiful berencana untuk membuat kelompok teater sendiri. Kelompok itu yang didirikan pada 1 Maret 1977, kemudian dinamakan Teater Koma.
Di era pemerintahan Soeharto, Nano kerap mengkritik pemerintahan dan kondisi sosial lewat teater yang dipentaskannya. Tentu itu menimbulkan masalah untuknya, dimana 'suara' yang kerap mencela pemerintahan akan dibungkam.
Meski sebagian besar kisah yang dipentaskan Nano lolos, tapi dirinya dan Teater Koma tidak lepas dari ancaman begitu saja.
Beberapa karyanya dilarang naik pentas, antara lain “Maaf.Maaf.Maaf” (1978), “Sampek Engtay” (1989) di Medan, Sumatera Utara, serta “Suksesi “dan “Opera Kecoa” (1990), keduanya di Jakarta.
Akibat pelarangan itu, rencana pementasan “Opera Kecoa” di empat kota di Jepang (Tokyo, Osaka, Fukuoka, Hiroshima) pada 1991 urung digelar pula karena alasan yang serupa, tidak mendidik.
Sejumlah pelarangan yang didapatnya itu membuat ia pun sempat menyerah dan berhenti dari panggung teater selama dua tahun.
"Saya bilang Ratna 'selama dua tahun tidak akan buat sandiwara'. Saya nulis surat dan dihampir semua surat kabar dimuat. Tapi kang Harry [Roesli] bilang, 'No kalau kamu berhenti berarti kamu kalah' terus saya pikir iya juga," ungkap Nano yang kemudian urung melakukan hal itu.
Ditemui secara terpisah, sang istri Ratna Riantiarno pun menceritakan kronologi yang terjadi saat itu. Menurutnya, saat itu pun banyak pengacara yang menawarkan untuk melakukan proses hukum atas pelarangan tersebut.
"Sempat tergoda ada pengacara hebat untuk memperkarakan tapi untung ada yang mengingatkan 'kalian mau habis waktu di meja hijau yang tidak akan selesai, lalu kreativfitas mati'," ungkap Ratna.
Nano tak jadi mundur dari dunia itu, “Opera Kecoa” pun pada Juli-Agustus 1992, dipanggungkan oleh Belvoir Theatre, salah satu grup teater garda depan di Sydney, Australia.
Tak hanya pelarangan, adanya ancaman bom saat hendak pentas pun pernah dialami Teater Koma.
"Ancaman bom dua kali “Kecoa dan Primadona”, tiga kali orang telepon ke saya. Itu sudah penuh aparat gegana. “Primadona” harusnya selesai 23.15 tapi saya ubah jadi 22.50 dengan rombak naskah ada yang tak ditampilkan karena ada tiga menteri nonton," katanya.
Hingga ancaman bom pun ternyata hanya isu semata, untuk membuat geger Teater Koma dan tak jadi pentas. Tapi Nano yakin untuk tetap pentas dan aman.
Kiprah Teater
Rekam jejak Teater Koma, gaungnya tentu terdengar hingga ke luar negeri. Tawaran pun terus berdatangan meminta Teater Koma pentas di luar negeri, tapi sejak pelarangan pergi ke Jepang, Nano tersadar akan suatu hal.
"Sudahlah jadi tuan rumah di rumah sendiri saja," kata Nano.

Tentu ucapan itu bukan tanpa alasan dilontarkan Nano, Ratna coba menguraikannya bahwa hal itu dipicu oleh sulitnya tampil di negeri sendiri.
"Dia punya pendapat waktu kecewa tidak jadi ke Jepang, 'mengapa sih main ke luar negeri menjadi tuan rumah di rumah sendiri saja sudah sulit sekali'," ungkap Ratna.
Oleh karenanya, Nano dan Ratna pun yakin bahwa menjadi tuan rumah di rumah sendiri jauh lebih penting ketimbang harus mengadu nasib ke negeri tetangga atau luar.
"Orang bilang perjuangan kami sudah sukses, apasih suksesnya, bermain dua minggu atau satu bulan dengan gedung 800 kursi, sedangkan penduduk Jakarta 15 juta belum apa-apanya," kata Ratna.
"Tapi sebetulnya kalau konsisten ya, saya bangga mas Nano memainkan pentas setahun dua kali," imbuhnya.
Gedung Pertunjukan Sendiri
Komitmen Nano untuk terus berkecimpung di dunia teater memang tak pernah pudar, di usianya yang kini sudah menginjak 67 tahun Nano masih menaruh impian.
Dia bermimpi memiliki gedung teater sendiri, yang menurutnya itu dapat menjadi museum untuk Teater Koma. Baginya itu pun dapat menjadi peluang untuknya mementaskan kembali pentas terdahulu.
"Saya sudah tua, dari tahun 1988 saya nulis di satu buku, saya selalu bilang ingin mendirikan gedung teater, jadi akan lebih bagus kalau punya itu," katanya.
Nano pesimistis dirinya dapat mewujudkan mimpinya atau mendapatkannya sebagai hadiah. "Tapi tidak ada yang mau mengongkosi saya. Mimpi? Yasudahlah sudah 67 tahun juga siapa yang mau kasih."
Ratna pun mencoba realistis dengan angan-angan Nano untuk itu.
"Dulu mimpinya punya gedung teater 200 kursi, 'gimana mau 200 kursi, Salihara saja kekecilan buat kamu. Kamu selalu buat yang besar, sudahlah kita hanya butuh bapak asuh yang bisa selalu main di gedungnya'," kata Ratna kepada Nano.
Tak hanya bermimpi memiliki gedung teater, Nano sempat berharap diakui menjadi seorang sastrawan. Dulu, selain membesarkan Teater Koma, Nano pernah menekuni pekerjaan wartawan sampai akhirnya menjadi pemimpin redaksi.
Dia bekerja di media sejak tahun 1979 sampai 2004 dan memutuskan berhenti di usianya yang ke 55 tahun.
"Ditanya kenapa mundur? Saya mau nulis novel, 'loh kenapa', justru saat ini saya buat sandiwara, sandiwara tidak dihitung. Jadi sandiwara yang saya tulis mati-matian tidak dihitung sebagai karya sartra. Harus bikin novel dan puisi," katanya.
Pasca mundur dia langsung menulis tiga novel, hingga kini Nano telah menulis lima novel.
"Saya tidak tahu itu diakui sebagai karya sastra atau tidak yasudahlah, umur sudah segini, akhirnya tidak penting juga. Novel tidak saya lanjutkan, tetap saya nulisnya sandiwara, terserah mereka mau mengakui sebagai karya sastra atau tidak silahkan saja," kata Nano.
Dari sudut pandang lain, Ratna turut merasakan betapa tidak dianggapnya penulis naskah sandiwara di dunia sastra.
"Sebagai penulis naskah sandiwara, tidak dikenal seperti yang lain. Saya juga heran ada pertemuan sastrawan saya ucap 'kok suami saya tidak diundang', 'kan dia penulis naskah teater', saya jawab 'Shakespeare apa? Sastrawan bukan?'," kata Ratna yang saat itu coba membela suaminya.
"Begitu tidak dikenal penulis naskah sandiwara ketimbang penulis novel dan buku puisi yang cuma sepotong. Padahal naskah itu sebegitu panjangnya, ada satu lagu jadi satu puisi," tambahnya.
Lantas Ratna pun tak mau menyalahkan, karena menurutnya apresiasi masyarakat terhadap teater dan naskahnya masih di bawah dan belum jadi budaya. "Menontonnya pun belum jadi budaya."
Sampai saat ini, Nano yang juga dikenal sapaan kecil seperti Jendil dan Nakula itu telah membuat 35 naskah panjang. Sementara, dirinya pun juga sudah menulis naskah sandiwara pendek untuk panggung dan televisi.
Tak hanya membuat naskah teater, Nano juga pernah menulis tiga buku kumpulan puisi, 25 naskah adaptasi, tujuh novel (limanya diterbitkan), 30 naskah film dan televisi.
Agniya Khoiri, CNN Indonesia Kamis, 10/11/2016 22:02 WIB

Sumber: CNN INDINESIA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...