Nano Riantiarno |
Nano Riantiarno dan panggung teater
Indonesia berkiprah di teater sejak 1965, mendirikan Teater Koma pada 1977,
hingga kini di usia 67 tahun, Riantiarno masih setia menggeliatkan panggung
teater Indonesia.
Ditemui di sela-sela persiapan pementasan
“Opera Kecoa”, wajah Nano Riantiarno tampak tak sedikit pun menunjukkan gurat
lelah. Sebagai sutradara dan pendiri grup Teater Koma, ia seolah tak sabar
untuk menunjukkan karyanya itu ke hadapan publik.
“Opera Kecoa” tercatat sebagai produksi
teater ke-146 miliknya bersama Teater Koma. Sebuah rentang perjalanan
pementasan teater yang tak singkat, dari awal berdirinya grup teater paling
produktif di Indonesia ini sejak 1977 hingga 2016.
Selama rentang itu juga, kata Nano,
dirinya mengalami jatuh bangun dan sempat terpikir untuk mundur dari panggung
teater. Salah satu alasannya adalah pelarangan akan pementasan karya beberapa
kali di tahun 1978 hingga 1990.
“Orang-orang terdekat membuat saya
kembali bangkit,” ujarnya.
Nano Rintiarno tercatat telah mendapat
sejumlah penghargaan berkat kiprah dan konsistensinya di panggung teater
Indonesia.
Pada 1993, ia dianugerahi Hadiah Seni,
Piagam Kesenian dan Kebudayaan dari Departemen P&K, atas nama Pemerintah
Republik Indonesia. Lima tahun berikutnya, ia menerima Penghargaan Sastra 1998
dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia.
Menteri Pariwisata dan Budaya juga pernah
memberikan Piagam Penghargaan sebagai Seniman dan Budayawan Berprestasi pada
1999.
Di tingkat internasional, Nano meraih Sea
Write Award dari Raja Thailand di Bangkok atas karyanya Semar Gugat pada 1998.
Bernama asli Norbertus Riantiarno, pria
kelahiran 6 Juni 1949 itu mengaku bergelut di teater sejak 1965 di tanah
kelahirannya di Cirebon. Usianya baru 16 tahun saat itu. Peran kecil di
pementasan Caligula didapatnya berkat kemampuan menghafal naskah utuh,
sekaligus menggantikan pemeran aslinya yang sedang sakit.
"Sepuluh hari saya digenjot
sutradara, sejak itu pula tumbuh tekad saya untuk sekolah panggung," kata
Nano mengenang.
Setamat dirinya dari SMA pada 1967, Nano
melangkahkan kaki ke ibukota dan melanjutkan kuliah di Akademi Teater Nasional
Indonesia (ATNI), Jakarta. Dia mengungkapkan saat itu dirinya merupakan
generasi ke-lima bersama sineas Slamet Rahardjo.
Teguh Karya, senior sekaligus dosen Nano
dan Slamet menjadi orang yang kemudian mengajaknya untuk ikut mendirikan Teater
Populer pada 1968. Dua tahun berjalan Teater Populer berubah haluan ke ranah
film, merasa sudah tak sejalan dengan mimpinya di jalur teater, dia meminta
izin untuk mundur dan berkeliling Indonesia.
"Selama enam bulan saya keliling ke
Lombok, Toraja, juga Nusa Tenggara mencari macam-macam, kalau ada kelompok
teater saya masuk jadi pekerja. Di Nusa Tenggara salah satu teater bisa hidup
tanpa uang," ujar Nano.
Sepulang berkeliling, Nano bersama Ratna,
yang kemudian jadi istrinya, serta saudaranya Saiful berencana untuk membuat
kelompok teater sendiri. Kelompok itu yang didirikan pada 1 Maret 1977,
kemudian dinamakan Teater Koma.
Di era pemerintahan Soeharto, Nano kerap
mengkritik pemerintahan dan kondisi sosial lewat teater yang dipentaskannya.
Tentu itu menimbulkan masalah untuknya, dimana 'suara' yang kerap mencela
pemerintahan akan dibungkam.
Meski sebagian besar kisah yang
dipentaskan Nano lolos, tapi dirinya dan Teater Koma tidak lepas dari ancaman
begitu saja.
Beberapa karyanya dilarang naik pentas,
antara lain “Maaf.Maaf.Maaf” (1978), “Sampek Engtay” (1989) di Medan, Sumatera
Utara, serta “Suksesi “dan “Opera Kecoa” (1990), keduanya di Jakarta.
Akibat pelarangan itu, rencana pementasan
“Opera Kecoa” di empat kota di Jepang (Tokyo, Osaka, Fukuoka, Hiroshima) pada
1991 urung digelar pula karena alasan yang serupa, tidak mendidik.
Sejumlah pelarangan yang didapatnya itu
membuat ia pun sempat menyerah dan berhenti dari panggung teater selama dua
tahun.
"Saya bilang Ratna 'selama dua tahun
tidak akan buat sandiwara'. Saya nulis surat dan dihampir semua surat kabar
dimuat. Tapi kang Harry [Roesli] bilang, 'No kalau kamu berhenti berarti kamu
kalah' terus saya pikir iya juga," ungkap Nano yang kemudian urung
melakukan hal itu.
Ditemui secara terpisah, sang istri Ratna
Riantiarno pun menceritakan kronologi yang terjadi saat itu. Menurutnya, saat
itu pun banyak pengacara yang menawarkan untuk melakukan proses hukum atas
pelarangan tersebut.
"Sempat tergoda ada pengacara hebat
untuk memperkarakan tapi untung ada yang mengingatkan 'kalian mau habis waktu
di meja hijau yang tidak akan selesai, lalu kreativfitas mati'," ungkap
Ratna.
Nano tak jadi mundur dari dunia itu, “Opera
Kecoa” pun pada Juli-Agustus 1992, dipanggungkan oleh Belvoir Theatre, salah
satu grup teater garda depan di Sydney, Australia.
Tak hanya pelarangan, adanya ancaman bom
saat hendak pentas pun pernah dialami Teater Koma.
"Ancaman bom dua kali “Kecoa dan
Primadona”, tiga kali orang telepon ke saya. Itu sudah penuh aparat gegana. “Primadona”
harusnya selesai 23.15 tapi saya ubah jadi 22.50 dengan rombak naskah ada yang
tak ditampilkan karena ada tiga menteri nonton," katanya.
Hingga ancaman bom pun ternyata hanya isu
semata, untuk membuat geger Teater Koma dan tak jadi pentas. Tapi Nano yakin
untuk tetap pentas dan aman.
Kiprah Teater
Rekam jejak Teater Koma, gaungnya tentu
terdengar hingga ke luar negeri. Tawaran pun terus berdatangan meminta Teater
Koma pentas di luar negeri, tapi sejak pelarangan pergi ke Jepang, Nano
tersadar akan suatu hal.
"Sudahlah jadi tuan rumah di rumah
sendiri saja," kata Nano.
Tentu ucapan itu bukan tanpa alasan
dilontarkan Nano, Ratna coba menguraikannya bahwa hal itu dipicu oleh sulitnya
tampil di negeri sendiri.
"Dia punya pendapat waktu kecewa
tidak jadi ke Jepang, 'mengapa sih main ke luar negeri menjadi tuan rumah di
rumah sendiri saja sudah sulit sekali'," ungkap Ratna.
Oleh karenanya, Nano dan Ratna pun yakin
bahwa menjadi tuan rumah di rumah sendiri jauh lebih penting ketimbang harus
mengadu nasib ke negeri tetangga atau luar.
"Orang bilang perjuangan kami sudah
sukses, apasih suksesnya, bermain dua minggu atau satu bulan dengan gedung 800
kursi, sedangkan penduduk Jakarta 15 juta belum apa-apanya," kata Ratna.
"Tapi sebetulnya kalau konsisten ya,
saya bangga mas Nano memainkan pentas setahun dua kali," imbuhnya.
Gedung Pertunjukan
Sendiri
Komitmen Nano untuk terus berkecimpung di
dunia teater memang tak pernah pudar, di usianya yang kini sudah menginjak 67
tahun Nano masih menaruh impian.
Dia bermimpi memiliki gedung teater
sendiri, yang menurutnya itu dapat menjadi museum untuk Teater Koma. Baginya
itu pun dapat menjadi peluang untuknya mementaskan kembali pentas terdahulu.
"Saya sudah tua, dari tahun 1988
saya nulis di satu buku, saya selalu bilang ingin mendirikan gedung teater,
jadi akan lebih bagus kalau punya itu," katanya.
Nano pesimistis dirinya dapat mewujudkan
mimpinya atau mendapatkannya sebagai hadiah. "Tapi tidak ada yang mau
mengongkosi saya. Mimpi? Yasudahlah sudah 67 tahun juga siapa yang mau
kasih."
Ratna pun mencoba realistis dengan
angan-angan Nano untuk itu.
"Dulu mimpinya punya gedung teater
200 kursi, 'gimana mau 200 kursi, Salihara saja kekecilan buat kamu. Kamu
selalu buat yang besar, sudahlah kita hanya butuh bapak asuh yang bisa selalu
main di gedungnya'," kata Ratna kepada Nano.
Tak hanya bermimpi memiliki gedung
teater, Nano sempat berharap diakui menjadi seorang sastrawan. Dulu, selain
membesarkan Teater Koma, Nano pernah menekuni pekerjaan wartawan sampai
akhirnya menjadi pemimpin redaksi.
Dia bekerja di media sejak tahun 1979
sampai 2004 dan memutuskan berhenti di usianya yang ke 55 tahun.
"Ditanya kenapa mundur? Saya mau
nulis novel, 'loh kenapa', justru saat ini saya buat sandiwara, sandiwara tidak
dihitung. Jadi sandiwara yang saya tulis mati-matian tidak dihitung sebagai
karya sartra. Harus bikin novel dan puisi," katanya.
Pasca mundur dia langsung menulis tiga
novel, hingga kini Nano telah menulis lima novel.
"Saya tidak tahu itu diakui sebagai
karya sastra atau tidak yasudahlah, umur sudah segini, akhirnya tidak penting
juga. Novel tidak saya lanjutkan, tetap saya nulisnya sandiwara, terserah
mereka mau mengakui sebagai karya sastra atau tidak silahkan saja," kata
Nano.
Dari sudut pandang lain, Ratna turut
merasakan betapa tidak dianggapnya penulis naskah sandiwara di dunia sastra.
"Sebagai penulis naskah sandiwara,
tidak dikenal seperti yang lain. Saya juga heran ada pertemuan sastrawan saya
ucap 'kok suami saya tidak diundang', 'kan dia penulis naskah teater', saya
jawab 'Shakespeare apa? Sastrawan bukan?'," kata Ratna yang saat itu coba membela
suaminya.
"Begitu tidak dikenal penulis naskah
sandiwara ketimbang penulis novel dan buku puisi yang cuma sepotong. Padahal
naskah itu sebegitu panjangnya, ada satu lagu jadi satu puisi," tambahnya.
Lantas Ratna pun tak mau menyalahkan,
karena menurutnya apresiasi masyarakat terhadap teater dan naskahnya masih di
bawah dan belum jadi budaya. "Menontonnya pun belum jadi budaya."
Sampai saat ini, Nano yang juga dikenal
sapaan kecil seperti Jendil dan Nakula itu telah membuat 35 naskah panjang. Sementara,
dirinya pun juga sudah menulis naskah sandiwara pendek untuk panggung dan
televisi.
Tak hanya membuat naskah teater, Nano
juga pernah menulis tiga buku kumpulan puisi, 25 naskah adaptasi, tujuh novel
(limanya diterbitkan), 30 naskah film dan televisi.
Agniya Khoiri, CNN Indonesia Kamis,
10/11/2016 22:02 WIB
Sumber: CNN INDINESIA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar