OLEH Akbar Yumni
Dalam perkembangannya, ‘representasional’ dalam bidang seni sudah dianggap
tidak lagi memadai untuk menggambarkan perkembangan realitas masyarakat
kontemporernya yang semakin kompleks, serta keragaman ruang ruang kesadaran
masyarakat yang melingkupinya yang semakin spasial.
Seni seakan mengalami perkembangan mengikuti ‘bentangan’(landscape)
sosial yang melingkupi nya semakin cair, dimana seiring dengan perkembangan
teknologi komunikasi yang turut membentuk ‘ruang sosial’ baru juga mempengaruhi
pembentukkan kesadaran masyarakat kekinian.
Jika ‘representasional’ dimaknai sebagai pemaknaan bersama dari konsep
representasi sebuah tindakan simbolisme yang mana cerminan sebuah objek dunia
yang independen[i].
Representasi tidak melibatkan korespondensi antara tanda-tanda dan objek namun
menciptakan ‘efek representasional’ dari realisme. Namun dalam pandangan kajian
budaya, ‘representasi’ adalah pembentukan pemaknaan yang tidak netral, karena
dipengaruhi oleh konstruksi sosial tertentu, serta disajikan kepada dan oleh
kita dalam pemaknaan tertentu.
Refleksi dan kritik terhadap pandangan ‘representasionalisme’ inilah yang
kemudian, dalam perkembangan seni kontemporer lebih menghadirkan ‘present’,
sebagai sesuatu yang lebih kontingen dan sanggup menjangkau relung realitas
kekinian yang lebih kompleks dan spasial.
Postdramatik; Teater dari Representasi ke ‘Kehadiran’ (Present)
Teater sendiri sebenarnya adalah seni yang paling dekat dengan pengertian ‘present’, hal ini disebabkan kodrat teater itu sendiri sebagai seni yang dekat dengan ‘peristiwa’. Ontologi teater ini kemudian menjadikan ia sebagai medium yang selalu terbuka di sekeliling peristiwa seninya.
Teater sendiri sebenarnya adalah seni yang paling dekat dengan pengertian ‘present’, hal ini disebabkan kodrat teater itu sendiri sebagai seni yang dekat dengan ‘peristiwa’. Ontologi teater ini kemudian menjadikan ia sebagai medium yang selalu terbuka di sekeliling peristiwa seninya.
Pada tahun 1999, muncul istilah Postdramatic Theatre oleh
Hans-Thies Lehmann, sebagai upayanya untuk membaca perkembangan teater
kontemporer yang terbuka terhadap pengertian-pengertian ‘realitas teater’.
Lehmann telah melihat bentuk teater kontemporer macam teater image (image
theatre) Robert Wilson, drama non-dramatik nya Peter Handke, Tanztheatre,
dan lain sebagainya, yang menandakan sebuah penyimpangan radikal dari definisi
klasik dari drama. Apa yang dilakukan oleh Lehmann adalah melanjutkan karya
Peter Scondi dalam membaca perkembangan teater modern.
Secara umum pengertian drama dalam konteks postdramatic ini
sendiri adalah sebagai sebuah bentuk absolut yang ‘bisa menjadi dengan sadar
dari tidak adanya apapun di luar dirinya sendiri.
Pandangan postdramatic di dalam teater ini, bisa dilihat
sebagai sebuah usaha untuk mengkonseptualisasaikan seni dalam makna yang mana ia
menawarkan bukan sebuah representasi namun sebuah pengalaman ‘yang tidak
diintervensi’ secara intensional dari yang real (waktu, ruang, tubuh)[ii].
Dari pengalaman tentang yang real inilah kemudian batas-batas antara teater
dan bentuk praktik seperti performans menjadi tampak mengabur, menampilkan
bentuk-bentuk yang memperjuangkan sebuah pengalaman yang ‘real’.
Dari pengalaman yang real inilah kemudian antara seniman dan penonton
seakan membentuk pengelaman bersama sebagai basis performans nya. Istilah-istilah
‘peristiwa’ (event) dan ‘kehadiran’ (presence) menjadi sebuah
modus utama pementasan menggantikan pengertian representasi dalam pembacaan
terhadap teater kontemporer dari tradisi teater di masa sebelumnya.
Pengertian postdramatic pada teater pada dasarnya adalah
mengandaikan sebuah teks yang ‘terbuka’, dimana pementasan bukan sebuah
teaterikalitas yang tetap atau bahkan sudah ditentukan dalam dominasi tekstual.
Postdramatic mengandaikan sebuah pementasan yang membutuhkan
‘orang lain’ atau penonton sebagai bagian dari penulisan naskah, sehingga bisa
menghasilkan sebuah pementasan yang aktif. Dalam hal ini, penonton bukan lagi
entitas yang pasif dan tidak lagi berguna dalam mengisi jarak dalam naskah yang
dramatik, namun mereka diberikan peluang dan tawaran untuk menjadi saksi yang
aktif dalam mengolah makna yang termuat pementasan itu sendiri.
Estetika itu sendiri sebenarnya tidak bisa lepas dari partisipasi para
penonton, dimana dimungkinkan dalam estetika tersebut memberikan peluang bagi
para penontonnya untuk mengkontruksikan maknanya sendiri. Partisipasi inilah,
yang kemudian menurut Jasques Ranciere memiliki potensi politik dalam estetika,
jika di andaikan bahwa esensi politik adalah kesetaraan, maka estetika itu
sendiri sebenarnya bisa memberikan kesetaraan melalui partisipasi penontonnya.
Pengertian politik dalam teater postdramatic bukan dalam
kerangka nilai politi langsung yang terkandung di dalam teater, namun politik
yang secara tidak langsung terkait refleksi terhadap gugatannya dalam pandangan
representasional.
Semengat membawa teater pada semangat performativitas—dalam kerangka
pengertian speech act theory J.L. Austin—yang sanggup membawa pertunjukkan ke
arah distabilitas tentang representasional isu-isu yang ada di realitas
masyarakat. Pemaknaan politik dari teater dalam kerangka postdramatik adalah
lewat sesuatu yang Lehmann sebuat sebagai ‘Afformance art’, dimana
menempatkan nilai politik di dalam persepsi nilai itu sendiri[iii].
Keragaman Kultur Teater kontemporer Indonesia sebagai Bagian Globalitas
Seni
Teater postdramatic Lehmann sendiri secara umum memang
adalah tamsil-tamsil teater yang berada di Eropa. Namun yang menarik dari
bacaan Lehmann dalam pembacaan perkembangan teater kontemporer di Eropa adalah,
pengertian teaterpostdramatic yang berbeda dari pengertian teater
postmodern.
Hal ini memungkinkan pembacaan teater di luar Eropa melalui pembacaan
teater postdramatic, karena pendasaran dari postdramatic yang sebenarnya tidak
lagi merujuk pengertian ‘drama’ yang bagi Lehmann masih melekat dalam teater
postmodern.
Dalam modernisme Eropa sendiri, sejarah ‘bentuk’ (form) dalam seni
memang sangat terukur sekali sebagai pembacaan perkembangan estetika, di mana
melalui pandangan Hegel tentang apa-apa yang menjadi produk seni dalam segala
zaman adalah perwujudan dari Roh Absolut (Absolute Spirit).
“Dalam seluruh bentuk dari Roh Absolut, subyek membuat dirinya sendiri ke
dalam sebuah objek, atau objek yang menjadi subyek. Dalam karya seni, ide dan
maksud dari Roh diekspresikan atau diwujudkan dalam berbagai material-material[iv]. Bagi Hegel, Ide
Abosolut, yang mengatasi dikotomi antara subyek dan obyek, adalah ‘perwujudan’
dalam masing-masing bentuk dari Roh Absolut. Dikotomi tersebut juga berlaku
bagi Hegel yang membedakan seberapa baik konseptual ‘isi’ (contents)
karya seni dan material medium nya yang diharmoniskan. Dalam pandangan postdramatic,
pembacaan terhadap bentuk teater yang bisa jadi lepas dari kesejarahan bentuk
teater melalui pandangan Hegel di atas.
Teater dalam pandangan postdramatic, bisa jadi adalah sesuatu
yang memang lahir di luar dari kerangka Roh Absolut nya Hegel, sehingga ia
dimungkinkan sebagai produk estetika yang memang lahir tanpa rujukan
kesejarahan bentuk atau semacam ‘globalitas’ seni dari jejaring horizontal
estetika yang melingkupinya.
Istilah postdramatic sendiri, sebenarnya bukan diawali
oleh Lehmann. Pada tahun 1980 an, Andrej Wirth, dimana Lehman sempat bekerja
sebagai asistennya pada salah satu departemen ‘teatrology terapan’
di Universitas Giessen, telah membuat rujukan penggunaan postdramatic ketika
melihat fenomena teater yang tidak lagi dimonopoli oleh teater
berbicara—seperti penggunaan sound-mixing, tanztheatre. Demikian
juga Richard Schecner yang mengambil istilah ‘postdramatic’ dalam
kerangka pandangan post humanis.
Helga Finter, pada tahun 1985 bahkan telah menggunakan istilah postdramatic yang
lebih sistematis sebagai pembeda teater postmodern. Pengertian drama dalam postdramatic sebenarnya
bukan mengandaikan momen spesifik dari teater setelah/melampaui drama secara
eksklusif namun lebih ke ko-eksis (coexist)”.
Momen postdramatic ini memungkinkan teater sebagai sebuah sesuatu
yang heterogen bentuk untuk menghancurkan kepastian metodelogis yang di
masa-masa sebelumnya telah menjadi bagian dari perkembangan seni.
Kemungkinan-kemungkinan pada teater postdramatic membuka
peluang seluas mungkin sebagai sebuah fenomena estetika yang dipengaruhi kultur
masyarakat mana pun, yang juga bagian dari globalitas seni yang mulai hadir
sebagai pendasaran dari seni kontemporer.
Hal inilah yang memungkin, dalam konteks teater kontemporer Indonesia juga
bisa di baca bagian dari perayaan keragaman yang terdapat di dalam semangat
teater postdramatic. Seperti hal nya teater image macam
Robert Wilson—sutradara yang juga paling awal ditamsilkan oleh Lehmann, yang
sempat memainkan salah satu naskah mitologi di Indonesia, I La Galigo sejak
tahun 2004, bisa dianggap bagian dari globalitas seni yang dimungkinkan dalam
anasir-anasir teateris kekiniaan.
Globalitas seni itu, seperti halnya dalam kerangka postdramatic,
adalah kemungkinan estetika teater yang sebangun dengan fenomena globalisasi.
Dalam hal ini, globalisasi seni bisa jadi tidak lagi merujuk pada sejarah seni
karena pengaruh proses horisontal dalam jejaring estetika dunia hari ini,
dimana lintas kultural sangat dimungkinkan ketika satu entitas menganasir
sebuah identitas di wilayah lain dalam praktik estetikanya.
Selain itu, globalitas seni pada teater tidak semata-mata dipengaruhi relasi
kuasa globalitas yang melingkupinya, namun juga perayaan terhadap ‘keseharian’
sebagai bahan baku estetika kekiniaan. Teater postdramatic bagi Lehmann sesungguhnya bukan sebuah kategori yang
sesuai bagi teater baru bukan pada action
namun lebih pada situasi. “Situasi adalah sebuah konfigurasi estetika teater,
memperlihatkan sebuah formasi ketimbang sebuah kisah, meskipun kehidupan para
aktor bermain didalamnya[v]”.
Pementasan 100% Yogyakarta oleh Rimini Protokoll—juga salah satu kelompok
yang ditamsilkan dalam buku Postdramatic Theatre Hans-Thies
Lehmann—pada tahun 2015, juga adalah satu di antara praktik bagaimana
pengertian teater postdramatic yang memungkinkan lintas
kultural dalam praktik berteater, karena berangkat dari pemahaman pementasan
yang berdasarkan situasi sosial masyarakat yang melingkupi peristiwa teater
tersebut.
Rimini Protokoll, sendiri adalah sekolompok teater dari Jerman yang
berusaha membawa kehidupan sehar-hari masyarakat ke atas panggung. Melalui
‘expert of the everyday’, kelompok teater kontemporer ini berusaha membawa
pengalaman partikular para pemainnya yang diambil dari para masyarakat langsung
sebagai sebuah dimensi estetika yang ditentukan oleh situasi yang berlangsung
dalam keseharian masyarakat, para orang-orang ‘nyata’, dan peristiwa yang
dianggap biasa untuk coba direfleksikan dan dipersepsikan ulang bersama
penonton.
Secara tidak langsung postdramatic bisa diandaikan sebagai
‘seni global’, sebagai sebuah kelangsungan praktik estetika dan pemaknaan yang
tidak lagi merujuk pada sejarah bentuk di dalam seni. Postdramatic bisa
dianggap sebagai sebuah perayaan keberagaman estetika teater yang tidak lagi
dimonopoli dalam suatu kerangka metodelogi yang baku.
Teater postdramaticmenjadi sesuatu yang terbuka, dimana
peluang-peluang ini tentu memungkinkan potensi keragaman kultural pada teater
di Indonesia untuk turut serta memberikan khasanah keragaman dalam bahasa
teater di dunia.
Jakarta, 17
Oktober 2016
[i] “Representation”, dalam Chris
Barker, The SAGE Dictionary of Cultural Studies (London: SAGE
Publications 2004) hlm. 177
[ii] Hans-Thies Lehmann,
Postdramatic Theatre ( London and New York: Routledge 2006) hlm. 134
[iii] Ibid. 179-180
[iv] “Art”, dalam Glenn Alexander
Magee, The Hegel Dictionary (New York: Continuum 2010), hlm. 42
Tidak ada komentar:
Posting Komentar