Aleta Baun |
World Culture Forum 2016 di Nusa Dua Bali
Convention Center dibuat bergetar oleh pidato Aleta Baun. Berikut pidato
lengkapnya:
Saya Aleta Baun. Ibu dari tiga anak.
Perempuan adat Mollo di Kabupaten Timor Tengah Selatan, propinsi Nusa Tenggara
Timur (NTT).
Mollo merupakan salah satu kawasan paling
kering di Indonesia. Makanan pokok kami Jagung. Sebagian besar kami bertani.
Menanam jagung, ubi, sorgum, padi, sayuran, beternak– kuda, babi, sapi dan
ayam.
Nenek moyang kami mengajarkan hidup
bersama alam, karena tubuh alam bagaikan tubuh manusia.
Fatu, nasi, noel, afu amsan a’fatif neu
monit mansian. Artinya; batu, hutan, air dan tanah bagai tubuh manusia.
Tapi sejak lama, alam kami—lahan, hutan,
sumber air, batu—mendapatkan ancaman sehingga mempengaruhi kehidupan kami.
Kebun dan hutan adat kami banyak diubah
menjadi hutan milik negara. Akibatnya banyak mata air yang dangkal dan hilang.
Banyak ternak tak bisa lagi merumput dan minum.
Pohon-pohon hutan ditebas. Ditanami mahoni, jati, akasia dan gemilina.
Lebih seragam.
Lahan kami tak hanya menyempit. Kayu
bakar juga susah dicari, pun kayu untuk pagar kebun dan bertani. Status hutan adat
dibuat menjadi kabur. Lantas diklaim menjadi hutan negara.
Pada beberapa kasus, masyarakat didorong
menebang hutan adatnya. Kemudian ditanami tanaman yang seragam, atau jenis
baru, lantas diubah statusnya menjadi kawasan Hutan Tanaman Industri (HTI).
Pada 1990-an, tanpa bertanya kepada kami,
pemerintah juga mengeluarkan izin-izin pertambangan yang mengijinkan
perusahaan membongkar gunung-gunung
batu.
Mereka adalah PT So’e Indah Marmer dan PT
Karya Asta Alam yang mendapat izin menambang Fatu Naususu–Anjaf di Fatukoto.
Sementara PT Setia Pramesti mendapat
konsesi untuk batu Nua Mollo di Ajobaki.
PT Semesta Alam Marmer mendapatkan gunung
batu Naetapan di Desa Tunua.
PT Sagared Mining diberikan konsesi
tambang untuk batu Fatumnut, dan PT Teja Sekawan mendapat izin untuk menambang
Fatulik dan Fatuob di Fatumnasi–Kuanoel.
Kerusakan alam telah berdampak terhadap
tubuh manusia, perempuan, laki-laki dan anak-anak, termasuk budaya kami.
Kami saling bermusuhan antar saudara,
bapak dan anak, lahan-lahan pertanian
longsor, perempuan dan anak-anak sakit.
Hal itu membuat kami tak bisa tinggal
diam. Tambang-tambang itu membongkar gunung batu keramat: Naususu, ibu dari
gunung-gunung batu–yang mana nama-nama marga kami berasal.
Saya anak seorang amaf. Tapi saya
perempuan. Menurut adat, saya tidak punya hak untuk bersuara atau menjadi
pemimpin. Tapi saya tak bisa tinggal diam. Saya memimpin perjuangan menolak
tambang.
Perempuan menghadapi banyak tantangan dan
ancaman saat berjuang melawan perusakan alam oleh pemerintah dan perusahaan,
termasuk saya.
Saya dianggap sebagai pelacur karena
sering berada di luar rumah, siang maupun malam untuk melakukan
pengorganisasian.
Saya mendapat teror dari aparat keamanan.
Mereka mengancam saya akan ditangkap dan dipenjara karena dianggap menggangu
program pembangunan dari pemerintah.
Bagi pemerintah, tambang marmer akan
mendatangkan pendapatan daerah.
Saya dan perempuan lain juga dipukul oleh
preman dari perusahaan tambang. Kekerasan itu dilakukan di rumah, juga di
pengadilan saat kami ajukan gugatan menutup tambang.
Saya dibacok dengan parang, dipukul, dan
diancam akan dibunuh, saat pulang ke rumah malam hari. Padahal saya pulang ke
rumah untuk menyusui bayi saya yang berumur dua bulan.
Satu minggu setelah itu, ada ancaman lagi
dari pekerja tambang, rumah saya dikepung, sehingga saya tidak bisa masuk
rumah.
Saya harus lari ke hutan membawa bayi
saya, dan berpisah dengan suami dan dua anak saya yang lain selama enam bulan.
Keluarga saya juga mendapat kekerasan.
Anak kedua, laki-laki, mendapat lemparan batu di kepala sampai bocor. Anak-anak
tidak nyaman bersekola belajar di kota, sehingga harus bersekolah di kampung.
Kami ditangkap dan dipenjara. Di tambang
Faut Lik, laki-lak ditangkap dan
dipenjara 8 bulan. Di tambang batu
Naitapan, 20 orang perempuan dan laki-laki ditangkap dan dipenjara selama 20
hari.
Saya dan perempuan yang berjuang tidak
bisa ke pasar karena dihadang preman dan mengancam memukuli perempuan.
Kami, laki-laki dan perempuan harus
berjuang untuk menyelamatkan tubuh kami, tubuh alam, adat kami.
Adat istiadat merupakan senjata kami
berjuang, sebab itu yang mengikat kami dengan nenek moyang, dengan alam.
Banyak langkah yang kami lakukan untuk
mengusir tambang dari tanah kami. Dan itu butuh energi dan waktu yang panjang.
Sekitar 13 tahun.
Banyak pelajaran yang kami dapat dari
perjuangan tersebut. Pengorganisasian dilakukan untuk mencapai tujuan yang
sama.
Dukungan keluarga sangat penting.
Laki-laki dan perempuan harus bekerjasama. Saling menghargai dan menghormati.
Kekuatan harus disatukan dalam berbagi peran melawan tambang.
Kami melakukan berbagai strategi.
Termasuk menghidupkan ritual-ritual adat, berdoa di gereja, membuat tim intel
kampung, konsolidasi, melakukan demonstrasi–dan segala cara agar tambang tidak
beroperasi.
Termasuk bekerjasama dengan kelompok
lain, LSM di lokal maupun nasional, gereja dan kelompok agama, kelompok
mahasiswa, media lokal dan nasional.
Kami juga melakukan diskusi-diskusi
tentang filosofi hubungan manusia dengan bumi, dimana bumi dilambangkan sebagai
tubuh manusia. Dan kami menang, satu persatu tambang yang merusak itu kami
tutup.
Tapi kemenangan itu tak cukup. Tantangan
berikutnya adalah bagaimana memulihkan alam yang rusak, dan berpikir jauh ke
depan untuk memilih ekonomi yang berkelanjutan.
Kami berpikir keras untuk menemukan
caranya. Kami membuat diskusi dengan tokoh adat dengan anak muda, kami membuat
ritual.
Kami memutuskan sikap untuk menolak
ekonomi yang merusak alam, merusak adat kami. Kami harus menata produksi dan
konsumsi kami.
Dalam sebuah pertemuan adat, kami
mengikrarkan hanya akan menjual apa yang bisa kami buat–produksi. Kami tak akan
menjual lahan, sungai, hutan gunung, air dan laut.
Tiap dua tahun kami berkumpul di bawah
batu Naususu dan mengadakan Festival Ningkam Haumeni.
Pada festival itu kami merayakan
perjuangan kami dan bertukar pengalaman dengan warga dari berbagai kampung di
kabupetan TTS.
Kami membentuk kelompok perempuan
penenun, dan kelompok pertanian organik serta kelompok ternak.
Kami melakukan penghijauan di sekitar
sumber air dengan tanaman asli, dan membangun lumbung-lumbung pangan.
Perjuangan kami masih banyak, termasuk
memperluas hutan perlindungan mata-mata air.
Dua tahun lalu, rakyat berhasil
memperjuangkan saya duduk di DPRD, mewakili mereka di propinsi. Peran ini
membuat tantangan yang kami hadapi lebih besar lagi.
Apalagi propinsi NTT dan wilayah lain di
Indonesia, kini menghadapi dampak perubahan iklim yang membuat kami makin sulit
memprediksi waktu tanam, dan mempengaruhi ketersediaan pangan kami.
Tapi apapun bentuknya tantangan itu, adat
istiadat kami mengajarkan untuk memperlakukan alam seperti memperlakukan tubuh
kami.
Oleh karenanya pilihan ekonomi: hanya
menjual apa yang bisa kami produksi, tak bisa lagi ditawar-tawar. Dan sebagai
perempuan adat Mollo, saya juga mendorong kita semua melakukan hal yang sama. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar