CATATAN PAMERAN SENI RUPA
OLEH Nasrul
Azwar (Sekretaris Jenderal Aliansi Komunitas Seni Indonesia (AKSI) Padang
Rantau Cino karya Rafki Ismail dipamerkan dalam Matrilini |
RANAH seni rupa Indonesia terguncang ketika lukisan
yang menampilkan lebih kurang 400 tokoh penting dalam perjalanan sejarah
Indonesia di Terminal Tiga Bandara Sukarno-Hatta, Tengerang, Banten, diturunkan secara paksa atas
desakan dan kemarahan netizen
(sebutan masyarakat untuk pengguna internet) di media sosial pada Jumat, 12
Agustus 2016.
Alasan netizen marah karena dalam lukisan berjudul #Indonesia Idea (.ID/Ide)
karya perupa otodidak Galam Zulkifli, hadirnya sosok Ketua Partai Komunis
Indonesia (PKI), Dipa Nusantara Aidit (DN Aidit) yang ukurannya kecil jika dibandingkan
tokoh lainnya. DN Aidit dinilai tak
layak tampil bersama-sama dengan ratusan tokoh lainnya. Kemarahan itu direspons
pihak Angkasa Pura II dengan menurunkan lukisan yang di pajang dinding
terminal.
Kurator lukisan yang sempat
terpajang dua hari itu, Chris Darmawan, kepada wartawan mengatakan, pemajangan tidak
ada maksud politik atau niat apapun untuk menampilikan sosok DN Aidit dalam
lukisan besar tersebut. Tapi, pihak pengelola bandara tak mau ambil risiko dan
menuruti kemauan netizen. Akhirnya lukisan
perjalanan anak bangsa ini diturunkan dengan paksa.
Lukisan #Indonesia Idea
(.ID/Ide) adalah lukisan akrilik berukuran 400 cm x 600 cm. Lukisan ini satu
dari sekian banyak karya seni yang di pajang di Terminal Tiga yang baru
dioperasionalkan ini belum lama ini.
Galam Zulkifli adalah seniman otodidak, pembelajar yang
keras. “Bukan lulusan Institut Seni Indonesia (ISI), tapi mempelajari secara homeschooling silabus perkuliahan
mahasiswa formal secara mandiri,” tulis Muhidin M. Dahlan, pemikir muda di
Jogjakarta dalam blognya.
Lukisan #Indonesia Idea
(.ID/Ide) dilukis secara manual tanpa teknologi sablon atau pun proyektor,
dengan cermat dan presisi. Secara umum, wajah D.N. Aidit tidak begitu menonjol.
Galam Zulkifli, sang
pelukis, dalam narasi pada lukisan itu menulis, Indonesia bukanlah sebuah
antinomi yang memperlihatkan wajah yang tunggal. Ia adalah sebuah pembayangan
bersama yang ditopang dari ide yang beragam.
Selanjutnya, pelukis realis
ini mengatakan, proses menjadi Indonesia adalah sesungguhnya kerja coba-coba
yang serius. Bukan saja proses ini melahirkan pahlawan, tapi juga pemberontak.
“Empat ratus wajah dengan
latar ide(ologi) dan praksis (kerja) di atas kanvas adalah ikhtiar menaikkan
yang terinjak, memunculkan yang hilang, dan menyatukan yang terserak. "The
Indonesian Idea" adalah ikhtiar atas ide-ide besar peradaban memaklumatkan
keindonesiaan yang di satu sisi utuh, satu, berkemanusiaan, demokratik, dan
dialogis; namun di sisi yang lain kebesaran yang ideal itu adalah ilusi,” tulis
Galam.
Satu sisi, banyak pihak yang
menyesalkan penurunan lukisan tersebut kendati kasus intimidasi dan intervensi
pada karya seni bukan pertama kali terjadi di negeri yang sedang merayakan 71
tahun kemerdekaannya ini.
***
Lalu, di saat perayaan 71
tahun Indonesia menyatakan kemerdekaannya itu, di Padang, Sumatera Barat,
dilangsungkan pemeran seni rupa mengangkat tema Matrilini #1 yang digelar pada 22-27 Agustus 2016 diikuti puluhan perupa. Pameran ini dilaksanakan di Galeri Taman Budaya
Sumatera Barat kerja sama dengan Yayasan Seni Rupa Sumatera Barat yang
dikuratori Anton Rais Makoginta dan Iswandi.
Tema yang dipilih,
teridentifikasi pameran seni rupa ini tampaknya berkelanjutan karena ditulis
dengan tagar atau lakuran (tanda pagar)
#1. Mungkin kelak nanti ada Matrilini #2, dan seterusnya.
Cakupan tema yang cukup luas
secara kultural dan sosial ini, tentu tak datang serta merta. Kurator
dipastikan punya alasan memilih tema matrilinieal yang merupakan sebuah
sistem kekerabatan di Minangkabau
berdasarkan keturunan perempuan.
Berpijak dari sini, saya
belum bisa memberi apresiasi terhadap karya-karya yang dipamerkan karena belum
menyaksikannya sebelum di pajang. Tapi, paling tidak, tema ini sependek ingatan
saya, belum pernah dijadikan basis sebuah helatan pameran seni rupa, terutama
di Sumatera Barat. Jelas ini menarik. Dan saya berharap, muncul lukisan dengan
pemaknaan terhadap sistem Matrilineal Minangkabau dalam perspektif abnormal,
berani, tentu tanpa diskriminatif.
Harapan ini bersetuju dengan
kredo Galam Zulkifli, yang menyebutk bahwa dengan latar ide(ologi) dan praksis
(kerja) di atas kanvas adalah ikhtiar menaikkan yang terinjak, memunculkan yang
hilang, dan menyatukan yang terserak. "The Indonesian Idea" adalah
ikhtiar atas ide-ide besar peradaban memaklumatkan keindonesiaan yang di satu
sisi utuh, satu, berkemanusiaan, demokratik, dan dialogis; namun di sisi yang
lain kebesaran yang ideal itu adalah ilusi.
Minangkabau adalah bagian
kecil dari Indonesia yang luas ini tapi sudah membuktikan dirinya berkontribusi
signifikan dan besar bagi sejarah bangsa ini. Gagasan besar peradaban dan
kebangsaan yang cemerlang muncul dari sini: Minangkabau. Itu sulit
dipungkiri.
Pemaknaan sistem matrilineal
dengan variannya, membuka dialektika-dinamika pemikiran yang telah berlangsung
berabad-abad lalu hingga kini yang dianut para perawat Minangkabau itu—dalam
konteks berbeda dari zaman ke zaman— yang ujungnya menghasilkan karya-karya
yang fenomenal, dan juga sebaliknya: normal dan biasa saja. Sejarah telah
memberikan bukti untuk hal ini.
Namun demikian, dalam
perjalanan seni rupa Sumater Barat, jika dirunut sejak kehadiran Kweek School pada 1
April 1856 di Kota Bukittinggi, munculnya Seniman Muda Indonesia (SEMI), terus pelukis
Wakidi (1890-1979), berbagai komunitas
yang mengesankan “primordial” dan “nepotisme” hadir di pelbagai kota di
Indonesia, terutama di Jogjakarta dan Bandung, hingga selanjutnya lahirnya Komunitas
Belanak dan Rumah Ada Seni (RAS) di Padang di era 2000-an, perlu ditelisik
lebih dalam sejauh mana karya lukis yang dihasilkan perupa asal Minangkabau
dari masa ke masa itu, menghasilkan “letupan-letupan” yang kontroversial,
abnormal, diluar kebiasaan, dan mengganggu katakanlah kekuasaan, publik, atau
sekelompok orang sehingga karya itu
dilabel “dilarang”. Saya kira, publik luas ingin mengetahui daftar lukisan yang
digolongkan “di luar dari rel” itu. Dan tentu akan sangat menarik jika bisa
pula dipamerkan.
Selepas Reformasi 1998,
publik tampaknya menjadi salah satu elemen yang cukup berpengaruh sebagai
kontrol terhadap karya-karya seni, dan juga karya intelektual lainnya, serta
aktivitas masyarakat yang mereka nilai “ganjil” secara umum.
Jika semasa pemerintahan Orde
Baru, komunikasi budaya cenderung diinstruksikan dari atas sehingga berbagai
potensi kultural publik tidak mendapat tempat artikulasinya secara baik. Di
saat ini institusi negara sebagai eksekutor, tapi kini media sosial dijadikan
“lembaga” nonformal sebagai pertimbangan untuk memutuskan sebuah kebijakan oleh
lembaga publik, seperti Angkasa Pura II itu . Contoh kasus lukisan #Indonesia
Idea (.ID/Ide) seperti disinggung di atas.
Nasib Seni
Saat ini kita menyaksikan dan saksi di dalamnya arus
gerak budaya yang paradoksal, antara arus budaya global yang bersifat
sentrifugal, yang bergerak menjauh dari pusat, yang kekuataannya merobohkan elemen
dasar budaya. Ssebaliknya sentripetal, arus yang bergerak menuju pusat, yang
mendorong tumbuhnya sentimen dan primordial lokal yang eksklusif dengan isi semangat
etnis-religius.
Secara umum, yang sebenarnya ini problem yang
dihadapi para pelaku budaya (tradisi) dan seni modern di atas dunia ini,
termasuk Minangkabau, tentunya. Hasil karya seni (rupa) dan kini juga terang-terangan
telah menyentuh seni pertunjukan dan sastra, arus kuat “besi berani” yang sentrifugal
dengan motif kapitalisasi dan ambisi kekekuasaan, makin sarat terjadi. Ia telah
menjadi tujuan utama berkesenian. Kapitalisasi (isme) telah mengungkung proses
kreativitas berkeseniannya. Dan hal kaya begini dikategorikan sebagai seniman
hebat. Selain itu, seniman yang masuk
arus sentrifugal ini, didukung dengan kepesatan teknologi informasi.
Sementara, di sisi lainnya, gerak sentripetal
dipicu oleh semangat ideologis untuk mempertahankan sebuah identitas budaya
yang berakar pada sentimen etnis dan keagamaan, terkadang menjauh dari
kebergunaan teknologi informasi dan modernitas.
Pada bagian ini—tersebab keterbatasan informasi dan
pengetahuan saya miliki pada seni rupa—saya belum bisa menempatkan posisi mana
puluhan karya-karya rupa yang lolos dari kurasi pada pameran ini: sentrifugal atau sentripetal, atau mengombinasikan keduanya.
Tema “Matrilini #1” yang digelar di Geleri Taman Budaya
Sumatera Barat tentu membuka kemungkinan menempatkan posisi karya-karya itu
berada pada posisi yang masih kuat tergantung pada sudut pandang masing-masing
yang memang tak bisa disamakan.
Pada batas yang demikian, sesungguhnya di
Minangkabau telah berlangsung etnisitas yang berujung pada dekonstruksi yang
belum final, belum berakhir, tapi kemungkinannya akan berakhir pada kebutuhan
simbolisasi yang profan, massa, dan romantisme. Dan seni rupa Sumatera Barat
dengan ketersentuhan perupa pada kondisi sosial dan ekonomi, bisa dipetakan.
Tapi, tentu bukan saat ini momentumnya.
Lebih luas, mesti dipahami, Minangkabau sekarang adalah
Minangkabau yang berada dalam cengkeraman gurita konglomerasi-konglomerasi
urban yang bertindak sebagai titik-titik komando dan kontrol bagi berbagai
aktivitas ekonomi yang beragam, termasuk di dalamya seni rupa. Minangkabau
telah terseret dalam kota-kota global sebagai situs akumulasi, distribusi, dan
sirkulasi modal, sekaligus juga merupakan titik-titik simpul pertukaran
informasi dan proses pembuatan keputusan. Di sanalah seni rupa itu lahir dan tumbuh,
dalam gurita kapitalisme.
Posisi dan peta seni rupa Sumatera Barat, diyakini tak
bisa menghindar dari persoalan demikian, tapi tak menutup kemungkinan mampu
melakukan perlawanan kultural. Kasus penurunan lukisan #Indonesia Idea
(.ID/Ide) karya Galam Zulkifli tentu bisa menginspirasi perupa, dan siapa saja.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar