OLEH Nasrul Azwar
Sekretaris
Jenderal Aliansi Komunitas Seni Indonesia (AKSI)
Obsesi Pemerintah Kabupaten Limapuluh
Kota terhadap penyair Chairil Anwar, tampaknya tak pernah putus dan surut
hingga kini. Semasa kepala daerahnya dijabat Alis Marajo (2 periode 2004-2009
dan 2009-2014), pemkabnya terobsesi membangun dan menjadikan rumah orang tua
laki-laki Chairil Anwar di Nagari Taeh Baruah sebagai museum dan pustaka penyair
hebat nan mati muda ini. Namun keinginan ini tak pernah terealisasi hingga rumah
sederhana bergonjong empat itu kian lapuk. Padahal, saat itu, pemkab tinggal
melaksanakan saja dan tak perlu bersusah payah karena sudah didukung seniman
dan budayawan dengan inisiasi Dewan Kesenian Sumatera Barat.
Pencanangan rumah untuk monumen, museum
dan pustaka dilakukan pada saat “Alek Puisi Taeh Baruah” yang digelar selama
dua hari, 27-29 Mei 2005 yang dimotori
Dewan Kesenian Sumatera Barat bersama dengan sastrawan dan budayawan di daerah
ini.
Setelah 11 tahun berlalu, kini Irfendi
Arbi menjadi Bupati Limapuluh Kota hasil pilkada 2014, ternyata menyimpan obesesi
serupa dengan pendahulunya terhadap tokoh penting perpuisian modern Indonesia
ini, yakni mempahlawankan Chairil Anwar. Tepatnya, Irfendi Arbi meminta
Pemerintah Pusat (Jakarta) memberikan gelar pahlawan nasional untuk pujangga besar
Chairil Anwar (Harian Singgalang,
Selasa (2/8/2016).
Gagasan mengusulkan Chairil Anwar menjadi
pahlawan nasional dikatakan Irfendi Arbi usai mengunjungi rumah gadang bako
Chairil Anwar di Nagari Taeh Baruah dalam rangka memperingati secara sederhana
hari kelahiran tokoh penting Angkatan 45 ini yang jatuh 26 Juli lalu.
Respons dan
apresiasi pimpinan daerah di atas terhadap tokoh penting sastra Indonesia ini, satu
sisi tentu perlu didukung. Sisi lainnya, apresiasi kepala daerah ini diharapkan
mampu menggugah dan menginspirasi kepala-kepala daerah lainnya yang juga
memiliki tokoh-tokoh penting yang juga lahir di daerahya, untuk berbuat hal
yang sama.
Hadirkan
Situs Chairil Anwar
Selain punya kekayaan alam yang indah, Luhak
Limopuluh ini juga banyak melahirkan tokoh-tokoh legendaris. Selain Chairil
Anwar, ada Tan Malaka yang lahir di Pandan Gadang.
Domain tanah kelahiran dan rumah yang memiliki
hubungan emosional dengan tokoh-tokoh itu berpotensi sebagai destinasi wisata
khusus dan keunikan jika dikelola Pemkab Limapuluh Kota dengan baik dan sungguh-sungguh.
Destinasi seperti ini tak dimiliki daerah lain karena keunikan itu. Ini jelas
situs berharga bagi daerah ini.
Kembali kepada
Chairil Anwar, sastrawan yang mati muda di Jakarta karena sakit paru dan radang
usus pada 28
April 1949, sebelum Pemkab Limapuluh Kota mengusulkannya sebagai pahlawan
nasional kepada kementerian terkait, beberapa hal perlu diperhatikan.
Pertama, Pemerintah Kabupaten Limapuluh Kota terlebih
dahulu merancang kembali secara komprehensif yang selanjutnya merealisasikan
gagasan yang sudah 11 tahun tersimpan agar rumah orang tua laki-laki (bako)
Chairil Anwar di Nagari Taeh Baruah dijadikan museum dan pustaka yang
representatif.
Ide ini memang
berawal dari keinginan bersama sastrawan dan budayawan Sumatera Barat pada
tahun 2005 yang terdiri dari antara lain: Ivan Adilla, Sondri BS, Agus
Hernawan, Koko Sudarmoko, Iyut Fitra, Adri Sandra, Gus tf, Nina Rianti, Rusli
Marzuki Saria, Yusrizal KW, dan Nasrul Azwar, serta lainnya dengan difasilitasi
Dewan Kesenian Sumatera Barat untuk merevitalisasi dan mereaktulaisasi situs
dan artefak sejarah menjadi sesuatu yang berguna untuk generasi sekarang.
Saat itu, iven
“Alek Puisi Taeh Baruah” yang digelar di nagari ini merupakan salah cara untuk
membuka ingatan kolektif publik terhadap Chairil Anwar, paling tidak
menyentakkan kembali kebanggaan masyarakat Taeh Baruah, dan Luhak Limopuluh
Koto serta Sumbar umumnya terhadap si “Binatang Jalang” ini.
“Alek Puisi Taeh Baruah” yang dibuka resmi Gubernur Sumbar Zainal Bakar
ini, selain menyasar aspek sosial-kultural juga diproyeksikan pemicu percepatan
pertumbuhan ekonomi masyarakat tempatan.
Selain festival itu, juga diresmikan Rumah Pengetahuan Chairil Anwar,
yang sementara memanfaatkan gedung sekolah yang tak terpakai menjelang selesai
rehabitasi rumah gadang orang tua Chairil Anwar. Rumah Pengetahuan inilah yang
dikesankan kelak sebagai museum karya-karya dan dokumentasi terkait tokoh
penting ini.
Iven kebudayaan ini dirancang digelar setiap dua tahun sekali dengan
peningkatan kualitas dan cakupan setiap gelaran, mengemban tujuan jangka
panjang dan pendek.
Untuk jangka pendek, meningkatkan apresiasi pelajar dan publik luas di
nagari ini tentang Chairil Anwar dan sastrawan lainnya. Selain itu, iven ini
diharapkan terjalinnya silaturahmi dan komunikasi antarsastrawan dalam rangka
pengembangan kesusastraan, seni dan budaya Nagari Taeh Baruah.
Sementara, untuk jangka panjangnya, hadirnya rumah pengetahuan (pustaka) dan
museum kepenyairan Chairil Anwar di Taeh
Baruah yang representatif dan modern. Selain itu pula, yang tak kalah penting,
menjadikan Taeh Baruah sentral kegiatan perpuisian di Sumatra Barat dan sebagai
salah satu tempat wisata sastra dan budaya yang berskala nasional dan internasional.
Kedua, terkait dengan
tujuan percepatan pertumbuhan dan dampak ekonomi masyarakat, tentu hal ini bisa dicapai jika perhelatan “Alek Puisi Taeh” (Taeh Poetry
Festival) menjadi perhelatan yang dilaksanakan secara berkesinambungan dan
teratur.
Sementara saat bersamaan, situs Chairil Anwar sudah menjadi salah satu
destinasi wisata sejarah dan sastra, yang berkembang dengan baik dan dikelola
profesional yang melibatkan anak nagari. Kedatangan pengunjung yang rutin
dengan jumlah terus meningkat, tentu akan mendorong munculnya kreativitas
ekonomi pada masyarakat Taeh Baruah, seperti kerajinan tangan, pangan,
penginapan di samping tentunya usaha-usaha jasa lainnya.
Komitmen dan keteraturan sebuah kegiatan penting saya tekankan karena
selama ini, perhelatan seni yang dilaksanakan pemda acap “angek-angek cirik
ayam”, yang akhirnya berujung gelaran seni mati pucuk.
Kasus seperti bisa dilihat pada Festival Musik Dunia yang dilaksanakan
Pemko Payakumbuh, yang dua tahun terakhir tak digelar lagi. Kasus yang sama
juga terjadi di Kota Padang Panjang. Festival “Panggung Publik Sumatera” sudah
absen digelar pada 2016 ini karena perbedaan pandangan yang demikian tajam
antara seniman dengan pihak Pemko Padang Panjang.
Hal yang sama sebenarnya sudah terjadi terhadap “Alek Puisi Taeh Baruah”
ini. Saat itu, Pemkab Limapuluh Kota tampak ogah-ogahan terlibat secara
sungguh-sungguh dalam pelaksanaan kegiatan ini. Malah saat itu tak sepeserpun
Pemkab Limapuluh Kota mengalokasikan anggaran untuk acara ini. Semua dana
pelaksanaan alek ditanggung penuh Dewan Kesenian Sumatera Barat.
Terobosan
Luar Biasa
Kembali kepada keinginan Bupati Irfendi Arbi agar penyair besar Chairil
Anwar mendapat gelar pahlawan nasional, tentu ia tak datang demikian saja.
Paling tidak ada persyaratan khusus yang harus dipenuhi dan mengikuti prosedur
yang telah ditentukan, serta semua itu dilakukan dengan sungguh-sungguh.
Tentu saja, menghadirkan “Alek Puisi Taeh Baruah” itu, bisa jadi
merupakan entri poin untuk percepatan proses perolehan gelar pahlawan nasional
itu. Selain menghidupkan “romantisme” Chairil Anwar di relung hati masyarakat,
iven inipun menjadi sangat penting di saat Pemkab Limapuluh Kota sedang
memokuskan pengembangan kepariwisataan.
Wisata sejarah dan sastra merupakan salah satu item penting dalam
mendorong ketertarikan wisatawan mendatangi destinasi wisata. Selain mengemban
pengetahuan di dalamnya, wisatawan pun bisa melakukan proses interaktif dan
pembelajaran di dalamnya, serta para penelitipun bisa melakukan riset di situs
tersebut. Potensi seperti ini tak banyak dimiliki daerah lain.
Jika ini berjalan sesuai dengan yang direncanakan, maka gelar pahlawan
nasional untuk Chairil Anwar tinggal menunggu surat keputusan Presiden Republik
Indonesia saja.
Chairil Anwar lahir di Medan, Sumatera Utara, pada 22 Juli 1922. Ibunya
bernama Saleha berasal dari Nagari Situjuah, dan ayahnya, Tulus, dari Taeh
Baruah. Pada tahun 1942, dalam usia 20 tahun, Chairil remaja pulang ke kampung
bakonya di Taeh Baruah. Ia sempat merasakan kehidupan budaya Minangkabau selama
6 bulan. Seperti remaja umumnya, ia ikut bermain-main ke sawah dan mendacak
kerbau.
Salah satu puisinya berjudul “Nisan (Nenek)” lahir di kampung yang sejuk
ini. Dari cerita Tuhilwi Tulus, adik sebapak Chairil Anwar, puisi itu
ditulisnya di atas bungkus rokok 'Cap Tombak'.
Dari perkawinannya dengan Hapsah Wiraredja, Chairil Anwar dikarunia
seorang anak perempuan bernama Evawani Alissa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar