Kamis, 08 September 2016

Chairil Anwar dan Obsesi Besar Dua Bupati Limapuluh Kota

OLEH Nasrul Azwar
Sekretaris Jenderal Aliansi Komunitas Seni Indonesia (AKSI)
Obsesi Pemerintah Kabupaten Limapuluh Kota terhadap penyair Chairil Anwar, tampaknya tak pernah putus dan surut hingga kini. Semasa kepala daerahnya dijabat Alis Marajo (2 periode 2004-2009 dan 2009-2014), pemkabnya terobsesi membangun dan menjadikan rumah orang tua laki-laki Chairil Anwar di Nagari Taeh Baruah sebagai museum dan pustaka penyair hebat nan mati muda ini. Namun keinginan ini tak pernah terealisasi hingga rumah sederhana bergonjong empat itu kian lapuk. Padahal, saat itu, pemkab tinggal melaksanakan saja dan tak perlu bersusah payah karena sudah didukung seniman dan budayawan dengan inisiasi Dewan Kesenian Sumatera Barat. 
 
Pencanangan rumah untuk monumen, museum dan pustaka dilakukan pada saat “Alek Puisi Taeh Baruah” yang digelar selama dua hari, 27-29 Mei 2005 yang dimotori Dewan Kesenian Sumatera Barat bersama dengan sastrawan dan budayawan di daerah ini.
Setelah 11 tahun berlalu, kini Irfendi Arbi menjadi Bupati Limapuluh Kota hasil pilkada 2014, ternyata menyimpan obesesi serupa dengan pendahulunya terhadap tokoh penting perpuisian modern Indonesia ini, yakni mempahlawankan Chairil Anwar. Tepatnya, Irfendi Arbi meminta Pemerintah Pusat (Jakarta) memberikan gelar pahlawan nasional untuk pujangga besar Chairil Anwar (Harian Singgalang, Selasa (2/8/2016).
Gagasan mengusulkan Chairil Anwar menjadi pahlawan nasional dikatakan Irfendi Arbi usai mengunjungi rumah gadang bako Chairil Anwar di Nagari Taeh Baruah dalam rangka memperingati secara sederhana hari kelahiran tokoh penting Angkatan 45 ini yang jatuh 26 Juli lalu.   
Respons dan apresiasi pimpinan daerah di atas terhadap tokoh penting sastra Indonesia ini, satu sisi tentu perlu didukung. Sisi lainnya, apresiasi kepala daerah ini diharapkan mampu menggugah dan menginspirasi kepala-kepala daerah lainnya yang juga memiliki tokoh-tokoh penting yang juga lahir di daerahya, untuk berbuat hal yang sama.
Hadirkan Situs Chairil Anwar
Selain punya kekayaan alam yang indah, Luhak Limopuluh ini juga banyak melahirkan tokoh-tokoh legendaris. Selain Chairil Anwar, ada Tan Malaka yang lahir di Pandan Gadang.
Domain tanah kelahiran dan rumah yang memiliki hubungan emosional dengan tokoh-tokoh itu berpotensi sebagai destinasi wisata khusus dan keunikan jika dikelola Pemkab Limapuluh Kota dengan baik dan sungguh-sungguh. Destinasi seperti ini tak dimiliki daerah lain karena keunikan itu. Ini jelas situs berharga bagi daerah ini.
Kembali kepada Chairil Anwar, sastrawan yang mati muda di Jakarta karena sakit paru dan radang usus pada 28 April 1949, sebelum Pemkab Limapuluh Kota mengusulkannya sebagai pahlawan nasional kepada kementerian terkait, beberapa hal perlu diperhatikan.   
Pertama, Pemerintah Kabupaten Limapuluh Kota terlebih dahulu merancang kembali secara komprehensif yang selanjutnya merealisasikan gagasan yang sudah 11 tahun tersimpan agar rumah orang tua laki-laki (bako) Chairil Anwar di Nagari Taeh Baruah dijadikan museum dan pustaka yang representatif.
Ide ini memang berawal dari keinginan bersama sastrawan dan budayawan Sumatera Barat pada tahun 2005 yang terdiri dari antara lain: Ivan Adilla, Sondri BS, Agus Hernawan, Koko Sudarmoko, Iyut Fitra, Adri Sandra, Gus tf, Nina Rianti, Rusli Marzuki Saria, Yusrizal KW, dan Nasrul Azwar, serta lainnya dengan difasilitasi Dewan Kesenian Sumatera Barat untuk merevitalisasi dan mereaktulaisasi situs dan artefak sejarah menjadi sesuatu yang berguna untuk generasi sekarang.
Saat itu, iven “Alek Puisi Taeh Baruah” yang digelar di nagari ini merupakan salah cara untuk membuka ingatan kolektif publik terhadap Chairil Anwar, paling tidak menyentakkan kembali kebanggaan masyarakat Taeh Baruah, dan Luhak Limopuluh Koto serta Sumbar umumnya terhadap si “Binatang Jalang” ini.
“Alek Puisi Taeh Baruah” yang dibuka resmi Gubernur Sumbar Zainal Bakar ini, selain menyasar aspek sosial-kultural juga diproyeksikan pemicu percepatan pertumbuhan ekonomi masyarakat tempatan.
Selain festival itu, juga diresmikan Rumah Pengetahuan Chairil Anwar, yang sementara memanfaatkan gedung sekolah yang tak terpakai menjelang selesai rehabitasi rumah gadang orang tua Chairil Anwar. Rumah Pengetahuan inilah yang dikesankan kelak sebagai museum karya-karya dan dokumentasi terkait tokoh penting ini.
Iven kebudayaan ini dirancang digelar setiap dua tahun sekali dengan peningkatan kualitas dan cakupan setiap gelaran, mengemban tujuan jangka panjang dan pendek.
Untuk jangka pendek, meningkatkan apresiasi pelajar dan publik luas di nagari ini tentang Chairil Anwar dan sastrawan lainnya. Selain itu, iven ini diharapkan terjalinnya silaturahmi dan komunikasi antarsastrawan dalam rangka pengembangan kesusastraan, seni dan budaya Nagari Taeh Baruah.
Sementara, untuk jangka panjangnya, hadirnya rumah pengetahuan (pustaka) dan museum kepenyairan Chairil  Anwar di Taeh Baruah yang representatif dan modern. Selain itu pula, yang tak kalah penting, menjadikan Taeh Baruah sentral kegiatan perpuisian di Sumatra Barat dan sebagai salah satu tempat wisata sastra dan budaya yang berskala nasional dan internasional.
Kedua, terkait dengan tujuan percepatan pertumbuhan dan dampak ekonomi masyarakat, tentu  hal ini bisa dicapai jika perhelatan “Alek Puisi Taeh” (Taeh Poetry Festival) menjadi perhelatan yang dilaksanakan secara berkesinambungan dan teratur.
Sementara saat bersamaan, situs Chairil Anwar sudah menjadi salah satu destinasi wisata sejarah dan sastra, yang berkembang dengan baik dan dikelola profesional yang melibatkan anak nagari. Kedatangan pengunjung yang rutin dengan jumlah terus meningkat, tentu akan mendorong munculnya kreativitas ekonomi pada masyarakat Taeh Baruah, seperti kerajinan tangan, pangan, penginapan di samping tentunya usaha-usaha jasa lainnya.
Komitmen dan keteraturan sebuah kegiatan penting saya tekankan karena selama ini, perhelatan seni yang dilaksanakan pemda acap “angek-angek cirik ayam”, yang akhirnya berujung gelaran seni mati pucuk.
Kasus seperti bisa dilihat pada Festival Musik Dunia yang dilaksanakan Pemko Payakumbuh, yang dua tahun terakhir tak digelar lagi. Kasus yang sama juga terjadi di Kota Padang Panjang. Festival “Panggung Publik Sumatera” sudah absen digelar pada 2016 ini karena perbedaan pandangan yang demikian tajam antara seniman dengan pihak Pemko Padang Panjang.
Hal yang sama sebenarnya sudah terjadi terhadap “Alek Puisi Taeh Baruah” ini. Saat itu, Pemkab Limapuluh Kota tampak ogah-ogahan terlibat secara sungguh-sungguh dalam pelaksanaan kegiatan ini. Malah saat itu tak sepeserpun Pemkab Limapuluh Kota mengalokasikan anggaran untuk acara ini. Semua dana pelaksanaan alek ditanggung penuh Dewan Kesenian Sumatera Barat.
Terobosan Luar Biasa
Kembali kepada keinginan Bupati Irfendi Arbi agar penyair besar Chairil Anwar mendapat gelar pahlawan nasional, tentu ia tak datang demikian saja. Paling tidak ada persyaratan khusus yang harus dipenuhi dan mengikuti prosedur yang telah ditentukan, serta semua itu dilakukan dengan sungguh-sungguh.
Tentu saja, menghadirkan “Alek Puisi Taeh Baruah” itu, bisa jadi merupakan entri poin untuk percepatan proses perolehan gelar pahlawan nasional itu. Selain menghidupkan “romantisme” Chairil Anwar di relung hati masyarakat, iven inipun menjadi sangat penting di saat Pemkab Limapuluh Kota sedang memokuskan pengembangan kepariwisataan. 
Wisata sejarah dan sastra merupakan salah satu item penting dalam mendorong ketertarikan wisatawan mendatangi destinasi wisata. Selain mengemban pengetahuan di dalamnya, wisatawan pun bisa melakukan proses interaktif dan pembelajaran di dalamnya, serta para penelitipun bisa melakukan riset di situs tersebut. Potensi seperti ini tak banyak dimiliki daerah lain.
Jika ini berjalan sesuai dengan yang direncanakan, maka gelar pahlawan nasional untuk Chairil Anwar tinggal menunggu surat keputusan Presiden Republik Indonesia saja.
Chairil Anwar lahir di Medan, Sumatera Utara, pada 22 Juli 1922. Ibunya bernama Saleha berasal dari Nagari Situjuah, dan ayahnya, Tulus, dari Taeh Baruah. Pada tahun 1942, dalam usia 20 tahun, Chairil remaja pulang ke kampung bakonya di Taeh Baruah. Ia sempat merasakan kehidupan budaya Minangkabau selama 6 bulan. Seperti remaja umumnya, ia ikut bermain-main ke sawah dan mendacak kerbau.
Salah satu puisinya berjudul “Nisan (Nenek)” lahir di kampung yang sejuk ini. Dari cerita Tuhilwi Tulus, adik sebapak Chairil Anwar, puisi itu ditulisnya di atas bungkus rokok 'Cap Tombak'.    
Dari perkawinannya dengan Hapsah Wiraredja, Chairil Anwar dikarunia seorang anak perempuan bernama Evawani Alissa. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...