Wawancara Heyder Affan, Wartawan BBC Indonesia
Afrizal Malna (foto bbc indonesia |
Penyair Afrizal Malna mampu menyebarkan
semacam virus kepada penulis-penulis seangkatan dan sesudahnya, walaupun
puisi-puisinya dianggap sulit dipahami.
Pada dekade 1990-an, publik sastra di
Indonesia, dikenalkan istilah "afrizalian" oleh seorang kritikus
sastra untuk menunjukkan pengaruh gaya puitiknya yang melahirkan banyak
pengikut.
Dengan menawarkan nuansa dan gaya
puitiknya, Afrizal dianggap pula mampu melakukan terobosan dalam dunia
kepenyairan Indonesia yang cenderung didominasi puisi lirik.
Karenanya, seperti penyair Amir Hamzah,
Chairil Anwar atau Sutardji Calzoum Bachri, pria kelahiran 1957 ini disebut
ikut memberikan warna perjalanan kesusastraan Indonesia.
Sejumlah catatan karya-karya Afrizal
memilik kekhasan yaitu mengangkat tema dunia modern dan kehidupan urban, serta
objek material dari lingkungan tersebut. Tetapi Afrizal tidak melulu berkutat
dengan dunia puisi. Buktinya, namanya dikenal luas melalui karya-karya cerita
pendek,novel, esai serta teks pertunjukan teater.
Pernah sekolah di Sekolah Tinggi Filsafat
Driyarkara, Jakarta (tidak selesai), buku puisinya "Museum Penghancur
Dokumen" meraih penghargaan Khatulistiwa Award 2013.
Enam tahun silam, dia juga meraih SEA
Write Award dari Bangkok untuk buku puisi "Teman-temanku Dari Atap
Bahasa."
Lebih dari 20 buku telah dia lahirkan,
termasuk yang terakhir kumpulan puisinya Berlin Festival (2015), yang ditulis
ketika Afrizal mengikuti artis residen dari DAAD di Berlin selama stau bulan
(2012) dan dilanjutkan selama setahun (2014-2015).
Seperti hilang ditelan bumi, dan
belakangan namanya muncul "mengejutkan", setelah Afrizal Malna
menolak menerima penghargaan Achmad Bakrie 2016 lalu.
Apa alasan penolakannya itu? Bagaimana
tanggapannya atas anggapan bahwa puisi-puisinya "gelap" alias sulit
dimengerti? Berikut petikan wawancara dengan Afrizal Malna di sebuah sore di
Galeri Hanafy, Depok, Jawa Barat, Rabu (23/08) lalu.
Bisa Anda
cerita mengapa Anda menolak penghargaan Achmad Bakrie 2016?
Pertama, Bakrie Award itu sendiri sebuah
hadiah yang sudah menjadi konstruksi media sedemikian rupa, dan saya sendiri
tidak punya riset bisnis Bakrie. Kalau saya ambil, atau tidak saya ambil,
sebenarnya saya sudah menjadi bagian dari konstruksi media itu. Dan konstruksi
media di Indonesia, kadang-kadang untuk saya, tidak nyaman. Karena, kita di
kotak A atau di kotak B. Kita tidak pernah bisa di antara itu. Kenapa saya
menolak, intinya ada di sana.
Tapi Bakrie sendiri, juri-jurinya
mengirim argumentasi kenapa saya mereka pilih. Dan menurut saya ini argumentasi
yang tidak pernah terjadi di dalam anugerah yang diberikan di Indonesia kepada
saya. Sebagian besar anugerah-anugerah itu tidak punya argumentasi, bahkan tidak
ada riset. Jadi kayak semacam arisan. Sementara Bakrie, argumentasinya bagus,
dan saya menghormati para juri yang melakukan riset sedemiakn rupa untuk
karya-karya saya.
Tapi konstruksi media ini sesuatu yang
tidak mudah saya masuki. Akhirnya saya memilih semacam melengkapi wacana kritis
terhadap sastra Indonesia, paling tidak di sana ada Sitor Situmorang yang juga
ikut menolak Bakrie Award, dan saya termasuk salah-satu pengagum Sitor
Situmorang.
Biasanya kalau menolak-menolak kayak
begini, lalu ada yang mengatakan 'wah orang ini hebat banget nolak-nolak'. Saya
sendiri nggak suka sama dengan hal-hal seperti itu. Inginnya biasa-biasa saja
saya menolak karena alasan itu. Saya tidak ingin suatu dramatisasi terhadap
perisitiwa yang saya sendiri menghormati karena Bakrie Award sendiri konsisten
setiap tahun. Dan misalnya kalau ada yang menerima, menolak, itu bagus sekali,
karena terjadi dialog dan masyarakat bisa ikut berpengaruh untuk pembentukan
suatu kualitas publik.
Jadi, inti
alasan penolakan Anda adalah Anda khawatir dari konstruksi media yang membuat
Anda seolah-olah terkotak-kotak?
Ya, dan ini berkaitan erat dengan politik
sastra di Indonesia. Politik sastra di Indonesia itu satu politik yang saya
tidak tahu dikuasai oleh siapa, tapi kalau Anda melihat, misalnya, akhir-akhir
ini bagaimana Majalah Tempo mengangkat lagi Chairil Anwar, ada lagi yang
mengangkat lagi koleksi-koleksi Sukarno di galeri Nasional, ada lagi misalnya
kita melihat lagi film-film di era Sukarno, sementara kelompok-kelompok
agamawan, mengangkat lagi sastra sufi melalui Abdul Hadi dan Sutardji Calzoum
Bahri. Semua itu untuk saya seakan-akan meniadakan perkembangan sastra sekarang
ini. Jangankan generasi saya, generasi di bawah saya itu, mengalami kesulitan
untuk terjadinya regenerasi sastra. Kalau misalnya sastra dijadikan semacam
tombak, atau tonggak, atau bandul, untuk kita selalu diajak lagi kembali ke
masa lalu. Seakan-akan kita tidak pernah punya wilayah yang kita bangun sendiri
untuk di depannya.
Dan sebagian dari pemberian penghargaan
sastra juga merupakan suatu politik yang di mana pasar ikut ambil bagian.
Anugerah-anugerah ini, pertama, tidak punya argumentasi dan menciptakan semacam
pembisuan juga di sastra Indonesia, apalagi kalau misalnya penerbit-penerbit
besar ikut masuk dan ikut mempengaruhi, karya-karya akan dinilai, karena mereka
sebagian adalah sponsor dan juga penerbit untuk karya-karya yang dianggap
sebagai pemenang. Ini jadi sastra Indonesia ketiban banyak hal. Pertama, dia ketiban
oleh politik sejarah kayak begitu, dan kedua ketiban politik pasar.
Apakah
sikap Anda ini bisa dijaga terus-menerus? Karena mungkin saja kelak akan ada
penghargaan oleh pihak lain terkait karya-karya Anda?
"Kebebasan! Saya memililih
kebebasan, karena dalam kesenian sebenarnya satu-satunya yang kita pertahankan
adalah kebebasan, termasuk kebebasan untuk tidak berkarya..." ujar
Afrizal.
Ketika saya tahu bahwa saya harus hidup
di dunia sastra, dunia kesenian, saya tahu bahwa saya akan berada dalam satu
realitas kehidupan yang tidak mudah. Anggap saja kesenian atau sastra itu
adalah sebuah proyek kesenian untuk hidup saya sendiri. Dan itu jadi kayak
medan dasar untuk saya melihat hal-hal di sekitar saya. Kadang-kadang saya
ingin menghormati hadiah terutama dari negara. Dan saya pernah malu sekali saat
mendapat Anugerah Adi Budaya dari Kementerian Kebudayaan, mungkin pada tahun
2010. Saya datang setelah dibujuk kawan. Ya ok-lah saya datang untuk
menghormati negara, saya datang ke acara itu di studio TVRI yang dibikin dan
disetting seperti zaman Majapahit... ha, ha, ha. Dan yang membuat saya malu
adalah mereka memberikan saya hadiah Rp5 juta dengan tulisan Rp5 juta
besar-besar, dan saya harus mengangkat nilai Rp5 juta itu tinggi-tinggi untuk
diprotet, sementara di TV itu acara kayak tebak-tebakan itu nilainya sudah
ratusan juta.. ha, ha, ha. Dan anugerah Adi Anugerah dari negara dengan hadiah
Rp5 juta. Dan itu membuat saya traumatik. Akhirnya hadiah-hadiah itu untuk saya
jadi sebuah pertanyaan besar, kecuali saya menerima dalam arti saya mendapatkan
program. Misalnya saya pernah mendapat program dari DAAD Berlin, untuk
residensi selama setahun di Berlin, Jerman. Untuk saya itu lebih berguna dan
bisa saya pertanggungjawabkan. Karena dengan residensi itu saya tertantang
untuk berkarya dan berhadapan dengan medan yang berbeda.
Pilihan
Anda untuk tidak mau masuk kotak-kotak, tidak masuk dalam konstruksi media, dan
tidak masuk dalam kelompok A atau B, tentu menimbulkan pertanyaan lanjutan:
Sejauh mana Anda bisa konsisten atas pilihan seperti itu dan tidak tergoda
masuk dalam kotak-kotak?
Ini menarik. Saya bekerja seperti bandul.
Apakah saya harus ke kanan, atau ke kiri. Saya masuk kotak A atau B.
Pertanyaannya kalau saya masuk, apakah saya bisa keluar atau tidak. Kalau saya
di luar, bisa masuk tidak. Jadi kayak ada permainan, ada kayak kesadaran untuk
memainkan bandul seperti itu, dan bandul-bandul ini, konteksnya, referensinya,
bisa berubah-ubah. Jadi kadang-kadang saya seperti ada di mana-mana, tapi juga
tidak ada di mana-mana. Tapi untuk saya itu asyik. Kalau misalnya saya masuk,
saya pasti tidak akan terlalu lama ada di situ
Jadi Anda
lebih memilih... bergerak sendiri?
Kebebasan! Saya memililih kebebasan,
karena dalam kesenian sebenarnya satu-satunya yang kita pertahankan adalah
kebebasan, termasuk kebebasan untuk tidak berkarya, kebebasan untuk berkarya
sesuai dengan riset kita. Kadang-kadang apa yang saya maksud dengan kebebasan
mungkin juga harus dipahami bagaimana seorang seniman atau seorang sastrawan dia
bekerja dengan kayak membuat batas-batas untuk memproduksi karyanya. Dan
batas-batas inilah yang saya maksud dengan kebebasan, di mana ketika saya
berhadapan dengan sebuah batas, saya harus punya kebebasan untuk mengenali
batas-batas itu.
Apa risikonya
jika Anda masuk ke dalam kelompok seni atau sastra tertentu jika dibanding Anda
memilih untuk bebas sebagai seorang seniman atau sastrawan dan dampak terhadap
karya Anda?
Karya itu sebuah representasi. Dan kita
tidak tahu teritori representasi itu akan sampai batas di mana. Apakah
teritorinya dia bisa menembus waktu atau teritorinya dia bisa menembus
batas-batas agama atau batas-batas kebudayaaan. Karena, kita tidak bisa menduga
teroritori representasi dari sebuah karya. Semasa saya hidup, saya terpaksa harus
ikut menjaga teritori itu. Karena kalau saya tidak ikut menjaga, imej-imej yang
saya terima di luar karya saya, itu akan bertpengaruh terhadap karya saya.
Terutama karena hubungan-hubungan di Indonesia lebih banyak ditentukan hubungan
personal. Misalnya ketika saya berkarya, karya saya bergerak sampai sejauh apa,
itu kadang-kadang bergantung kepada kualitas perkawanan saya, dengan
jaringan-jaringan tertentu. Kadang-kadang memang di Indonesia tidak ada
mekanismenya. Misalnya, kalau anak mudah bertanya ke saya: 'Mas, saya mau
menjadi seorang eseis, saya harus melalui apa untuk menjadi esei?' Atau 'saya
mau menjadi penyair, saya harus kemana? Apakah saya harus bergabung dengan
komunitas-komunitas tertentu, atau bagaimana caranya?' Tidak ada jawabannya,
kecuali ikut lomba-lomba atau untung-untungan kirim ke koran, kalau dimuat...
ha, ha, ha.
Kembali ke
soal penolakan Anda atas penghargaan Achmad Bakrie. Tadi Anda mengatakan
khawatir terhadap pengelompokan-pengelompokan terkait dunia sastra dan
kesenenian. Dan Anda memilih menjadi bebas, terlepas dari kelompok A atau B.
Apakah penyikapan Anda juga belajar dari sejarah, misalnya dari kejadian pada
tahun 1960-an?
Sekarang sastra Indonesia menarik ya.
Saat ini muncul banyak kelompok yang menciptakan versi-versi. Ada versi hadiah
Khatulistiwa award, ada versi Hari Puisi Indonesia, ada yang kemarin agak ramai
33 sastrawan terkenal itu ya. Saya suka cukup banyak versi-versi ini ya, tapi
yang menyedihkan adalah tidak pernah terjadi dialog antara versi-versi ini.
Kalau misalnya terjadi dialog, versi-versi ini akan memproduksi pengetahuan.
Kenapa mereka membuat versi ini, kenapa membuat versi itu. Karena tidak ada
dialong, maka yang terjadi kontraproduktif.
Dan penolakan saya terhadap kotak-kotak
ini, mungkin juga seperti itu. Saya adalah generasi yang ada di luar peristiwa
1965. Misalnya saya pernah mengalami satu peristiwa ketika Pramudya Ananta Toer
menerima Magsaysay Award di zaman Orde Baru, itu salah-satu tokoh dari Manikebu
itu menghampiri saya dan bertanya kepada saya: 'Kamu berpihak kemana Afrizal
dalam persoalan hadiah Magsaysay ini?' Terus aku bilang: 'Loh kamu 'kan pelaku
sejarah, aku di luar sejarah kamu. Kamu tidak berhak dong mewariskan dendam
atau penilaian-penilaian, orientasi kebudayaanmu terhadap generasi seperti aku.
Dan sejak itu, tokoh dari Manifes Kebudayaan itu seperti langsung menganggap
saya bukan bagian dari mereka.
Saya menerima terjadi risiko-risiko kayak
begitu. Yang penting saya sudah menyatakan sikap saya dan saya terbuka untuk
melakukan dialog. Kalau mereka tertutup, saya tidak bisa berbuat apa-apa.
Maksud saya adalah saya punya sikap dalam melihat kubu-kubu kayak begitu.
Pertanyaan saya ke kubu-kubu itu: apa yang mau mereka produksi untuk masa depan
kita bersama.
Saya
membayangkan, ketika Anda memilih bebas di luar kubu-kubu seperti, betapa Anda
kesepian?
Betul banget.. ha, ha, ha... Kesepian,
kadang-kadang saya merasa, saya bukan bagian dari sastra Indonesia. Apalagi ada
istilah yang mereka reproduksi di zaman Orde Baru yang pertama kali dicetuskan
oleh Faruk HT dari UGM yaitu Afrizalian. Mereka yang puisi-puisinya mirip
dengan puisiku disebut Afrizalian, dan ini sama-sekali tidak ada argumentasi.
Dan akhirnya saya berpikir ini adalah sebuah bandul politik yang dipakai untuk
menghantam generasi di bawah saya. Karena puisi-puisi saya puisi-puisi awal di
mana penyair seperti saya berhubungan dengan budaya urban yang pada masa itu
dianggap tidak liris. Kalau misalnya kita masukkan lapangan basket, masukkan
kulkas, masukkan buldoser ke dalam puisi kita, dianggap itu diksi-diksi yang
tidak ada hubungan dengan puisi. Nah, itu yang mereka maksud dengan Afrizalian
itu.
Ketika generasi di bawah saya menyentuh
hal yang sama, mereka menjadi ketakutan dituduh Afrizalian. Padahal mereka
harus masuk ke situ, karena di zaman Orde Baru industrialisasi, perkembangan
kota Jakarta berkembang sedemikian rupa. Karena istilah itu dijadikan bandul
politik, generasi sekarang jadi kesulitan untuk bagaimana dari budaya urban itu
mereka masuk ke perkembangan teknologi media digital yang sekarang ini
berkembang. Dan ini yang paling sulit dihadapi oleh sastra Indonesia, karena
kita terlanjur begitu percaya bahwa sastra - terutama puisi -sekan-akan tidak
pernah bisa lepas dari bahasa. Bahasa jadi media utama. Puisi jadi kesulitan
ketika muncul fenomena dari bahasa digital yang sekarang berkembang. Kayak
misalnya Festival Sastra Berlin. Di sekian banyak program-program acara
festival mereka, mereka memasukkan software, aplikasi komputer, itu sebagai
bagian program sastra. Dan ini yang paling sulit dihadapi oleh dunia sastra
kita berhadapan perubahan sekarang ini.
Seperti
Anda utarakan tadi, karya-karya Anda, kalau boleh saya katakan, awalnya
mengeksplorasi benda-benda. Sebagian orang menganggap puisi Anda
'bergelap-gelap'. Apakah anggapan seperti itu, menurut Anda, tepat untuk
menggambarkan karya-karya Anda?
Saya harus agak flashback ya. Kumpulan
puisi saya yang pertama terbit itu "Abad yang Berlari" pada tahun
1987. Ketika itu terbit, saya buka-buka, 'Oh ini bukan puisiku ini, ini puisi
sastra Indonesia'. Setelah itu, 'Loh bagaimana menulis puisiku sendiri?' Wah,
itu jawaban yang sangat tidak mudah. Kemudian, saya masuk ke banyak media, saya
masuk teater, saya ikut-ikutan sanggar seni rupa di gelanggang, naik gunung,
terus akhirnya saya ambil filsafat Driyarkarya, walaupun itu tidak selesai.
Tapi itu di antaranya cara untuk saya bisa menulis puisi dari dunia yang saya
hadapi.
Saya sekarang menyebutnya sebagai puisi
yang ditulis oleh langsung oleh pengalaman tubuh. Umumnya penyair menulis lewat
bahasa, atau sangat bergantung pada bahasa. Padahal, bahasa itu tidak bisa
dilihat, tidak bisa dipegang, nggak bisa dicium, tidak bisa dipeluk. Saya
menggunakan media seperti handycam. Kemana-mana saya bawa. Itu kayak catatan
harian saya. Dan ketika saya menulis, saya harus konfirmasi. Atau, media
teknologi itu saya pakai untuk mengkurasi puisi-puisi yang saya tulis. Jadi
pakai cara seperti itu.
Nah, dulu saya menggunakan banyak
benda-benda, karena menurut saya benda-benda itu jauh lebih berbicara daripada
kata-kata. Dia jauh lebih punya biografi daripada kata-kata. Di mana kata-kata
dalam bahasa Indonesia itu saya tidak tahu-menahu asal usulnya. Apa betul kata
tertentu artinya adalah ini. Kadang-kadang saya curiga sebagian kata-kata
Indonesia itu pengertiannya dirumuskan lewat padanannya dalam bahasa Inggris,
bukan dalam kultur kita. Dan kita tidak pernah memeriksa sejauh mana bahasa
Indonesia itu memang bisa menjelaskan memori yang tersimpan di dalam bahasa itu
jauh ke belakang.
Jadi, bahasa itu lebih banyak dijelaskan
oleh situasi modern daripada situasi dari sejarah bahasa itu tercipta. Jadi,
saya heran misalnya benda-benda itu dianggap gelap. Mungkin dia menjadi gelap
karena puisi jadi lain di sini.
Dengan
kata lain, Anda tidak setuju dengan istilah gelap untuk menggambarkan
puisi-puisi Anda?
Saya bukan tidak setuju. Saya pikir itu
bukan problem saya. Itu saya pikir problem dari macetnya wacana-wacana atau
metode-metode kritik yang berkembang di Indonesia. Makanya, lama-lama saya
pikir kayaknya puisi itu tidak bisa sebagai karya sastra. Dia lebih
inspiratifatau dia lebih bisa memproduksi wacananya sendiri kalau diperlakukan
sebagai karya seni.
Setelah menggeluti puisi yang memberi
tempat pada benda-benda, seperti apa perjalanan Anda sekarang di tengah situasi
yang sudah berubah? Apakah Anda sudah mengalami metamorfosa?
Saya ketika reformasi terjadi, saya tidak
tahu sikap yang harus saya lakukan. Waktu itu saya aktif di Rakyat Miskin Kota
(RMK) sekitar lima tahun. Dan untuk saya selama lima tahun itu, saya seperti
sembunyi dari hiruk-pikuk dunia sastra dan saya belajar dari rakyat di bawah.
Terutama saya belajar untuk merelatifkan nilai-nilai yang saya percayai dalam
memandang dunia kesenian. Dan setelah tidak aktif di RMK, saya juga belum tahu
langkah apa yang harus saya bikin. Saya pindah ke Solo, pindah ke Yogya. Waktu
itu entah kenapa saya ingin menjadi seseorang yang bukan siapa-siapa. Itu
sekitar delapan tahun saya menjauhi sastra dan kesenian, walaupun saya sesekali
datang.
Itu sebuah periode yang menurut saya
menarik, karena itu juga saat-saat saya hidup tanpa buku. Dan itu pengalaman
yang luar biasa. Biasanya setiap saya menulis itu peristiwa yang gampang karena
sudah banyak buku tersedia di perpustakaan saya. Ketika saya kembali menulis di
sekitar saya tidak ada buku, saya seperti orang buta kehilangan tongkat. Dan
itu untuk kedua kalinya, saya belajar lagi belajar menulis dengan tubuh saya.
Secara kebetulan, saya diundang ke Berlin
selama setahun ini. Ini periode yang melengkapi situasi-situasi di mana saya
menjadi seorang yang nothing. Karena saya tidak bisa bahasa Inggris dan bahasa
Jerman. Jadi selama setahun di Berlin, untuk saya kayak pembersihan akhir dari
kebingungan-kebingungan ini. Dan di sana, yang menarik, saya tidak lagi menulis
dengan aplikasi word. Di sana, karena banyak waktu senggang, saya menulis
dengan aplikasi grafis. Saya pakai adobe in design. Jadi menulis langsung kemungkinan-kemungkinan
grafis yang saya lakukan. Dan itu membuat program itu membantu saya menulis
puisi. Akhirnya puisi-puisi itu bercampur aduk dengan sendirinya dengan
aplikasi grafis yang di dalam seni rupa sudah ada istilahnya. Bagaimana sebuah
program A, misalnya dibuka dengan program B, terus efeknya kayak apa. Nah saya
main-main kayak begitu, akhirnya dari situ terbit buku "Berlin
Proposal" (2015).
Nah buku ini di Jerman beberapa kali
keliling baca puisi, menurut saya berhasil akhirnya, tapi ketika dibawa ke
Indonesia, hasilnya jeblok. Karena oleh teman-teman di Indonesia dikembalikan
ke puisi konkret yang sejarahnya berbeda sama-sekali.
Itu perkembangan terakhir saya, bagaimana
puisi semakin masuk ke dalam perkembangan media sekarang ini, dan akibatnya
cukup menarik.
Bagaimana
Anda memandang dunia sastra Indonesia ketika ada semacam label yang mengatakan
bahwa kritik sastra sudah mati, lalu media tidak memberi tempat yang layak
kepada sastra...
Situasi ini menurut saya tidak menarik.
Kalau misalnya sastra Indonesia berada dalam situasi kematian yang betul-betul,
menurut saya jauh lebih menarik. Tapi sekarang ini, pertama, kritik sastra
tidak ada. Saya tidak tahu apakah kritik sastra itu memang tidak ada atau tidak
perlu. Kalau misalnya sekian lama kita ribut terus 'oh, tidak ada kritik
sastra, tidak ada kritik sastra'. Kalau misalnya kenyataannya itu realitas
kita, kita tidak bisa teriak lagi 'tidak ada kritik sastra, tidak ada kritik
sastra'.
Terus solusinya seperti apa. Mungkin ini
justru representasi dari tidak bisanya kita membangun medan produksi memori
kita sendiri. Saya ingin melihat, misalnya, Indonesia memiliki ratusan bahasa.
Dan ini menurut saya, itu satu-satunya laboratorium kebudayaaan yang paling
unik di dunia. Karena di sebuah kawasan, yang daerah-daerahnya kecil-kecil,
memproduksi begitu banyak bahasa. Kalau ini dipikirkan dan pemerintah membuat
museum bahasa, menurut saya ini bagus sekali.
Mungkin juga tidak adanya kritik sastra
dan hal-hal seperti ini, berkaitan kepada kegagalan kita untuk melembagakan
hulu dari medan kebudayaan kita. Kalau misalnya hulunya bahasa, lebih baik kita
membuat museum bahasa itu dulu, di mana bnayk suara, aksara, rupa yang bisa
kita olah di sana, dan ini mungkin menjadi titik tolak untuk mengisi mata
rantai yang hilang. Kalau mata rantai yang hilang itu terisi, mata rantai yang
baru akan tercipta. Kalau misalnya hulu dan hilir ini memang sudah kuat, dengan
sendirinya kritik sastra akan ada tempatnya untuk ada.
Kalau kritik sastra berhubungan dengan
mata rantai yang tidak jelas juga dari kesusastraan kita. Kesusastraan kita ini
kesusastraan apa sih? (Tertawa pelan) Sementara bahasa Indonesia saja amburadul
sejak 1973, yaitu ketika Bahasa Indonesia disempurnakan dan itu membunuh sekian
banyak memori kita. Dan sekarang Bahasa Indonesia semakin bengkak, semakin
besar dengan menyerap begitu banyak istilah dari luar. Menurut saya, kalau
mislanya sebuah bahasa, di mana perkembangan bahasa itu tidak sepadan dengan
perkembangan sains di negeri sendiri, perkembangan filsafat, perkembangan
pemikiran, perkembangan teknologi, dan tiba-tiba bahasa ini menyerap begitu
banyak bahasa dari luar, yang di sini tidak ada, itu akan membuat bahasa
Indonesia semakin autis. Dia besar tapi tidak ada isinya.
Sumber: BBC INDONESIA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar