Senin, 26 September 2016

Afrizal Malna, Politik Sastra dan Puisi Gelap

Wawancara Heyder Affan, Wartawan BBC Indonesia
Afrizal Malna (foto bbc indonesia
Penyair Afrizal Malna mampu menyebarkan semacam virus kepada penulis-penulis seangkatan dan sesudahnya, walaupun puisi-puisinya dianggap sulit dipahami.
Pada dekade 1990-an, publik sastra di Indonesia, dikenalkan istilah "afrizalian" oleh seorang kritikus sastra untuk menunjukkan pengaruh gaya puitiknya yang melahirkan banyak pengikut.
Dengan menawarkan nuansa dan gaya puitiknya, Afrizal dianggap pula mampu melakukan terobosan dalam dunia kepenyairan Indonesia yang cenderung didominasi puisi lirik.
Karenanya, seperti penyair Amir Hamzah, Chairil Anwar atau Sutardji Calzoum Bachri, pria kelahiran 1957 ini disebut ikut memberikan warna perjalanan kesusastraan Indonesia.
Sejumlah catatan karya-karya Afrizal memilik kekhasan yaitu mengangkat tema dunia modern dan kehidupan urban, serta objek material dari lingkungan tersebut. Tetapi Afrizal tidak melulu berkutat dengan dunia puisi. Buktinya, namanya dikenal luas melalui karya-karya cerita pendek,novel, esai serta teks pertunjukan teater.
Pernah sekolah di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta (tidak selesai), buku puisinya "Museum Penghancur Dokumen" meraih penghargaan Khatulistiwa Award 2013.
Enam tahun silam, dia juga meraih SEA Write Award dari Bangkok untuk buku puisi "Teman-temanku Dari Atap Bahasa."
Lebih dari 20 buku telah dia lahirkan, termasuk yang terakhir kumpulan puisinya Berlin Festival (2015), yang ditulis ketika Afrizal mengikuti artis residen dari DAAD di Berlin selama stau bulan (2012) dan dilanjutkan selama setahun (2014-2015).
Seperti hilang ditelan bumi, dan belakangan namanya muncul "mengejutkan", setelah Afrizal Malna menolak menerima penghargaan Achmad Bakrie 2016 lalu.

Apa alasan penolakannya itu? Bagaimana tanggapannya atas anggapan bahwa puisi-puisinya "gelap" alias sulit dimengerti? Berikut petikan wawancara dengan Afrizal Malna di sebuah sore di Galeri Hanafy, Depok, Jawa Barat, Rabu (23/08) lalu.
Bisa Anda cerita mengapa Anda menolak penghargaan Achmad Bakrie 2016?
Pertama, Bakrie Award itu sendiri sebuah hadiah yang sudah menjadi konstruksi media sedemikian rupa, dan saya sendiri tidak punya riset bisnis Bakrie. Kalau saya ambil, atau tidak saya ambil, sebenarnya saya sudah menjadi bagian dari konstruksi media itu. Dan konstruksi media di Indonesia, kadang-kadang untuk saya, tidak nyaman. Karena, kita di kotak A atau di kotak B. Kita tidak pernah bisa di antara itu. Kenapa saya menolak, intinya ada di sana.
Tapi Bakrie sendiri, juri-jurinya mengirim argumentasi kenapa saya mereka pilih. Dan menurut saya ini argumentasi yang tidak pernah terjadi di dalam anugerah yang diberikan di Indonesia kepada saya. Sebagian besar anugerah-anugerah itu tidak punya argumentasi, bahkan tidak ada riset. Jadi kayak semacam arisan. Sementara Bakrie, argumentasinya bagus, dan saya menghormati para juri yang melakukan riset sedemiakn rupa untuk karya-karya saya.
Tapi konstruksi media ini sesuatu yang tidak mudah saya masuki. Akhirnya saya memilih semacam melengkapi wacana kritis terhadap sastra Indonesia, paling tidak di sana ada Sitor Situmorang yang juga ikut menolak Bakrie Award, dan saya termasuk salah-satu pengagum Sitor Situmorang.
Biasanya kalau menolak-menolak kayak begini, lalu ada yang mengatakan 'wah orang ini hebat banget nolak-nolak'. Saya sendiri nggak suka sama dengan hal-hal seperti itu. Inginnya biasa-biasa saja saya menolak karena alasan itu. Saya tidak ingin suatu dramatisasi terhadap perisitiwa yang saya sendiri menghormati karena Bakrie Award sendiri konsisten setiap tahun. Dan misalnya kalau ada yang menerima, menolak, itu bagus sekali, karena terjadi dialog dan masyarakat bisa ikut berpengaruh untuk pembentukan suatu kualitas publik.
Jadi, inti alasan penolakan Anda adalah Anda khawatir dari konstruksi media yang membuat Anda seolah-olah terkotak-kotak?
Ya, dan ini berkaitan erat dengan politik sastra di Indonesia. Politik sastra di Indonesia itu satu politik yang saya tidak tahu dikuasai oleh siapa, tapi kalau Anda melihat, misalnya, akhir-akhir ini bagaimana Majalah Tempo mengangkat lagi Chairil Anwar, ada lagi yang mengangkat lagi koleksi-koleksi Sukarno di galeri Nasional, ada lagi misalnya kita melihat lagi film-film di era Sukarno, sementara kelompok-kelompok agamawan, mengangkat lagi sastra sufi melalui Abdul Hadi dan Sutardji Calzoum Bahri. Semua itu untuk saya seakan-akan meniadakan perkembangan sastra sekarang ini. Jangankan generasi saya, generasi di bawah saya itu, mengalami kesulitan untuk terjadinya regenerasi sastra. Kalau misalnya sastra dijadikan semacam tombak, atau tonggak, atau bandul, untuk kita selalu diajak lagi kembali ke masa lalu. Seakan-akan kita tidak pernah punya wilayah yang kita bangun sendiri untuk di depannya.
Dan sebagian dari pemberian penghargaan sastra juga merupakan suatu politik yang di mana pasar ikut ambil bagian. Anugerah-anugerah ini, pertama, tidak punya argumentasi dan menciptakan semacam pembisuan juga di sastra Indonesia, apalagi kalau misalnya penerbit-penerbit besar ikut masuk dan ikut mempengaruhi, karya-karya akan dinilai, karena mereka sebagian adalah sponsor dan juga penerbit untuk karya-karya yang dianggap sebagai pemenang. Ini jadi sastra Indonesia ketiban banyak hal. Pertama, dia ketiban oleh politik sejarah kayak begitu, dan kedua ketiban politik pasar.
Apakah sikap Anda ini bisa dijaga terus-menerus? Karena mungkin saja kelak akan ada penghargaan oleh pihak lain terkait karya-karya Anda?
"Kebebasan! Saya memililih kebebasan, karena dalam kesenian sebenarnya satu-satunya yang kita pertahankan adalah kebebasan, termasuk kebebasan untuk tidak berkarya..." ujar Afrizal.
Ketika saya tahu bahwa saya harus hidup di dunia sastra, dunia kesenian, saya tahu bahwa saya akan berada dalam satu realitas kehidupan yang tidak mudah. Anggap saja kesenian atau sastra itu adalah sebuah proyek kesenian untuk hidup saya sendiri. Dan itu jadi kayak medan dasar untuk saya melihat hal-hal di sekitar saya. Kadang-kadang saya ingin menghormati hadiah terutama dari negara. Dan saya pernah malu sekali saat mendapat Anugerah Adi Budaya dari Kementerian Kebudayaan, mungkin pada tahun 2010. Saya datang setelah dibujuk kawan. Ya ok-lah saya datang untuk menghormati negara, saya datang ke acara itu di studio TVRI yang dibikin dan disetting seperti zaman Majapahit... ha, ha, ha. Dan yang membuat saya malu adalah mereka memberikan saya hadiah Rp5 juta dengan tulisan Rp5 juta besar-besar, dan saya harus mengangkat nilai Rp5 juta itu tinggi-tinggi untuk diprotet, sementara di TV itu acara kayak tebak-tebakan itu nilainya sudah ratusan juta.. ha, ha, ha. Dan anugerah Adi Anugerah dari negara dengan hadiah Rp5 juta. Dan itu membuat saya traumatik. Akhirnya hadiah-hadiah itu untuk saya jadi sebuah pertanyaan besar, kecuali saya menerima dalam arti saya mendapatkan program. Misalnya saya pernah mendapat program dari DAAD Berlin, untuk residensi selama setahun di Berlin, Jerman. Untuk saya itu lebih berguna dan bisa saya pertanggungjawabkan. Karena dengan residensi itu saya tertantang untuk berkarya dan berhadapan dengan medan yang berbeda.
Pilihan Anda untuk tidak mau masuk kotak-kotak, tidak masuk dalam konstruksi media, dan tidak masuk dalam kelompok A atau B, tentu menimbulkan pertanyaan lanjutan: Sejauh mana Anda bisa konsisten atas pilihan seperti itu dan tidak tergoda masuk dalam kotak-kotak?
Ini menarik. Saya bekerja seperti bandul. Apakah saya harus ke kanan, atau ke kiri. Saya masuk kotak A atau B. Pertanyaannya kalau saya masuk, apakah saya bisa keluar atau tidak. Kalau saya di luar, bisa masuk tidak. Jadi kayak ada permainan, ada kayak kesadaran untuk memainkan bandul seperti itu, dan bandul-bandul ini, konteksnya, referensinya, bisa berubah-ubah. Jadi kadang-kadang saya seperti ada di mana-mana, tapi juga tidak ada di mana-mana. Tapi untuk saya itu asyik. Kalau misalnya saya masuk, saya pasti tidak akan terlalu lama ada di situ
Jadi Anda lebih memilih... bergerak sendiri?
Kebebasan! Saya memililih kebebasan, karena dalam kesenian sebenarnya satu-satunya yang kita pertahankan adalah kebebasan, termasuk kebebasan untuk tidak berkarya, kebebasan untuk berkarya sesuai dengan riset kita. Kadang-kadang apa yang saya maksud dengan kebebasan mungkin juga harus dipahami bagaimana seorang seniman atau seorang sastrawan dia bekerja dengan kayak membuat batas-batas untuk memproduksi karyanya. Dan batas-batas inilah yang saya maksud dengan kebebasan, di mana ketika saya berhadapan dengan sebuah batas, saya harus punya kebebasan untuk mengenali batas-batas itu.
Apa risikonya jika Anda masuk ke dalam kelompok seni atau sastra tertentu jika dibanding Anda memilih untuk bebas sebagai seorang seniman atau sastrawan dan dampak terhadap karya Anda?
Karya itu sebuah representasi. Dan kita tidak tahu teritori representasi itu akan sampai batas di mana. Apakah teritorinya dia bisa menembus waktu atau teritorinya dia bisa menembus batas-batas agama atau batas-batas kebudayaaan. Karena, kita tidak bisa menduga teroritori representasi dari sebuah karya. Semasa saya hidup, saya terpaksa harus ikut menjaga teritori itu. Karena kalau saya tidak ikut menjaga, imej-imej yang saya terima di luar karya saya, itu akan bertpengaruh terhadap karya saya. Terutama karena hubungan-hubungan di Indonesia lebih banyak ditentukan hubungan personal. Misalnya ketika saya berkarya, karya saya bergerak sampai sejauh apa, itu kadang-kadang bergantung kepada kualitas perkawanan saya, dengan jaringan-jaringan tertentu. Kadang-kadang memang di Indonesia tidak ada mekanismenya. Misalnya, kalau anak mudah bertanya ke saya: 'Mas, saya mau menjadi seorang eseis, saya harus melalui apa untuk menjadi esei?' Atau 'saya mau menjadi penyair, saya harus kemana? Apakah saya harus bergabung dengan komunitas-komunitas tertentu, atau bagaimana caranya?' Tidak ada jawabannya, kecuali ikut lomba-lomba atau untung-untungan kirim ke koran, kalau dimuat... ha, ha, ha.
Kembali ke soal penolakan Anda atas penghargaan Achmad Bakrie. Tadi Anda mengatakan khawatir terhadap pengelompokan-pengelompokan terkait dunia sastra dan kesenenian. Dan Anda memilih menjadi bebas, terlepas dari kelompok A atau B. Apakah penyikapan Anda juga belajar dari sejarah, misalnya dari kejadian pada tahun 1960-an?
Sekarang sastra Indonesia menarik ya. Saat ini muncul banyak kelompok yang menciptakan versi-versi. Ada versi hadiah Khatulistiwa award, ada versi Hari Puisi Indonesia, ada yang kemarin agak ramai 33 sastrawan terkenal itu ya. Saya suka cukup banyak versi-versi ini ya, tapi yang menyedihkan adalah tidak pernah terjadi dialog antara versi-versi ini. Kalau misalnya terjadi dialog, versi-versi ini akan memproduksi pengetahuan. Kenapa mereka membuat versi ini, kenapa membuat versi itu. Karena tidak ada dialong, maka yang terjadi kontraproduktif.
Dan penolakan saya terhadap kotak-kotak ini, mungkin juga seperti itu. Saya adalah generasi yang ada di luar peristiwa 1965. Misalnya saya pernah mengalami satu peristiwa ketika Pramudya Ananta Toer menerima Magsaysay Award di zaman Orde Baru, itu salah-satu tokoh dari Manikebu itu menghampiri saya dan bertanya kepada saya: 'Kamu berpihak kemana Afrizal dalam persoalan hadiah Magsaysay ini?' Terus aku bilang: 'Loh kamu 'kan pelaku sejarah, aku di luar sejarah kamu. Kamu tidak berhak dong mewariskan dendam atau penilaian-penilaian, orientasi kebudayaanmu terhadap generasi seperti aku. Dan sejak itu, tokoh dari Manifes Kebudayaan itu seperti langsung menganggap saya bukan bagian dari mereka.
Saya menerima terjadi risiko-risiko kayak begitu. Yang penting saya sudah menyatakan sikap saya dan saya terbuka untuk melakukan dialog. Kalau mereka tertutup, saya tidak bisa berbuat apa-apa. Maksud saya adalah saya punya sikap dalam melihat kubu-kubu kayak begitu. Pertanyaan saya ke kubu-kubu itu: apa yang mau mereka produksi untuk masa depan kita bersama.
Saya membayangkan, ketika Anda memilih bebas di luar kubu-kubu seperti, betapa Anda kesepian?
Betul banget.. ha, ha, ha... Kesepian, kadang-kadang saya merasa, saya bukan bagian dari sastra Indonesia. Apalagi ada istilah yang mereka reproduksi di zaman Orde Baru yang pertama kali dicetuskan oleh Faruk HT dari UGM yaitu Afrizalian. Mereka yang puisi-puisinya mirip dengan puisiku disebut Afrizalian, dan ini sama-sekali tidak ada argumentasi. Dan akhirnya saya berpikir ini adalah sebuah bandul politik yang dipakai untuk menghantam generasi di bawah saya. Karena puisi-puisi saya puisi-puisi awal di mana penyair seperti saya berhubungan dengan budaya urban yang pada masa itu dianggap tidak liris. Kalau misalnya kita masukkan lapangan basket, masukkan kulkas, masukkan buldoser ke dalam puisi kita, dianggap itu diksi-diksi yang tidak ada hubungan dengan puisi. Nah, itu yang mereka maksud dengan Afrizalian itu.
Ketika generasi di bawah saya menyentuh hal yang sama, mereka menjadi ketakutan dituduh Afrizalian. Padahal mereka harus masuk ke situ, karena di zaman Orde Baru industrialisasi, perkembangan kota Jakarta berkembang sedemikian rupa. Karena istilah itu dijadikan bandul politik, generasi sekarang jadi kesulitan untuk bagaimana dari budaya urban itu mereka masuk ke perkembangan teknologi media digital yang sekarang ini berkembang. Dan ini yang paling sulit dihadapi oleh sastra Indonesia, karena kita terlanjur begitu percaya bahwa sastra - terutama puisi -sekan-akan tidak pernah bisa lepas dari bahasa. Bahasa jadi media utama. Puisi jadi kesulitan ketika muncul fenomena dari bahasa digital yang sekarang berkembang. Kayak misalnya Festival Sastra Berlin. Di sekian banyak program-program acara festival mereka, mereka memasukkan software, aplikasi komputer, itu sebagai bagian program sastra. Dan ini yang paling sulit dihadapi oleh dunia sastra kita berhadapan perubahan sekarang ini.
Seperti Anda utarakan tadi, karya-karya Anda, kalau boleh saya katakan, awalnya mengeksplorasi benda-benda. Sebagian orang menganggap puisi Anda 'bergelap-gelap'. Apakah anggapan seperti itu, menurut Anda, tepat untuk menggambarkan karya-karya Anda?
Saya harus agak flashback ya. Kumpulan puisi saya yang pertama terbit itu "Abad yang Berlari" pada tahun 1987. Ketika itu terbit, saya buka-buka, 'Oh ini bukan puisiku ini, ini puisi sastra Indonesia'. Setelah itu, 'Loh bagaimana menulis puisiku sendiri?' Wah, itu jawaban yang sangat tidak mudah. Kemudian, saya masuk ke banyak media, saya masuk teater, saya ikut-ikutan sanggar seni rupa di gelanggang, naik gunung, terus akhirnya saya ambil filsafat Driyarkarya, walaupun itu tidak selesai. Tapi itu di antaranya cara untuk saya bisa menulis puisi dari dunia yang saya hadapi.
Saya sekarang menyebutnya sebagai puisi yang ditulis oleh langsung oleh pengalaman tubuh. Umumnya penyair menulis lewat bahasa, atau sangat bergantung pada bahasa. Padahal, bahasa itu tidak bisa dilihat, tidak bisa dipegang, nggak bisa dicium, tidak bisa dipeluk. Saya menggunakan media seperti handycam. Kemana-mana saya bawa. Itu kayak catatan harian saya. Dan ketika saya menulis, saya harus konfirmasi. Atau, media teknologi itu saya pakai untuk mengkurasi puisi-puisi yang saya tulis. Jadi pakai cara seperti itu.
Nah, dulu saya menggunakan banyak benda-benda, karena menurut saya benda-benda itu jauh lebih berbicara daripada kata-kata. Dia jauh lebih punya biografi daripada kata-kata. Di mana kata-kata dalam bahasa Indonesia itu saya tidak tahu-menahu asal usulnya. Apa betul kata tertentu artinya adalah ini. Kadang-kadang saya curiga sebagian kata-kata Indonesia itu pengertiannya dirumuskan lewat padanannya dalam bahasa Inggris, bukan dalam kultur kita. Dan kita tidak pernah memeriksa sejauh mana bahasa Indonesia itu memang bisa menjelaskan memori yang tersimpan di dalam bahasa itu jauh ke belakang.
Jadi, bahasa itu lebih banyak dijelaskan oleh situasi modern daripada situasi dari sejarah bahasa itu tercipta. Jadi, saya heran misalnya benda-benda itu dianggap gelap. Mungkin dia menjadi gelap karena puisi jadi lain di sini.
Dengan kata lain, Anda tidak setuju dengan istilah gelap untuk menggambarkan puisi-puisi Anda?
Saya bukan tidak setuju. Saya pikir itu bukan problem saya. Itu saya pikir problem dari macetnya wacana-wacana atau metode-metode kritik yang berkembang di Indonesia. Makanya, lama-lama saya pikir kayaknya puisi itu tidak bisa sebagai karya sastra. Dia lebih inspiratifatau dia lebih bisa memproduksi wacananya sendiri kalau diperlakukan sebagai karya seni.
Setelah menggeluti puisi yang memberi tempat pada benda-benda, seperti apa perjalanan Anda sekarang di tengah situasi yang sudah berubah? Apakah Anda sudah mengalami metamorfosa?
Saya ketika reformasi terjadi, saya tidak tahu sikap yang harus saya lakukan. Waktu itu saya aktif di Rakyat Miskin Kota (RMK) sekitar lima tahun. Dan untuk saya selama lima tahun itu, saya seperti sembunyi dari hiruk-pikuk dunia sastra dan saya belajar dari rakyat di bawah. Terutama saya belajar untuk merelatifkan nilai-nilai yang saya percayai dalam memandang dunia kesenian. Dan setelah tidak aktif di RMK, saya juga belum tahu langkah apa yang harus saya bikin. Saya pindah ke Solo, pindah ke Yogya. Waktu itu entah kenapa saya ingin menjadi seseorang yang bukan siapa-siapa. Itu sekitar delapan tahun saya menjauhi sastra dan kesenian, walaupun saya sesekali datang.
Itu sebuah periode yang menurut saya menarik, karena itu juga saat-saat saya hidup tanpa buku. Dan itu pengalaman yang luar biasa. Biasanya setiap saya menulis itu peristiwa yang gampang karena sudah banyak buku tersedia di perpustakaan saya. Ketika saya kembali menulis di sekitar saya tidak ada buku, saya seperti orang buta kehilangan tongkat. Dan itu untuk kedua kalinya, saya belajar lagi belajar menulis dengan tubuh saya.
Secara kebetulan, saya diundang ke Berlin selama setahun ini. Ini periode yang melengkapi situasi-situasi di mana saya menjadi seorang yang nothing. Karena saya tidak bisa bahasa Inggris dan bahasa Jerman. Jadi selama setahun di Berlin, untuk saya kayak pembersihan akhir dari kebingungan-kebingungan ini. Dan di sana, yang menarik, saya tidak lagi menulis dengan aplikasi word. Di sana, karena banyak waktu senggang, saya menulis dengan aplikasi grafis. Saya pakai adobe in design. Jadi menulis langsung kemungkinan-kemungkinan grafis yang saya lakukan. Dan itu membuat program itu membantu saya menulis puisi. Akhirnya puisi-puisi itu bercampur aduk dengan sendirinya dengan aplikasi grafis yang di dalam seni rupa sudah ada istilahnya. Bagaimana sebuah program A, misalnya dibuka dengan program B, terus efeknya kayak apa. Nah saya main-main kayak begitu, akhirnya dari situ terbit buku "Berlin Proposal" (2015).
Nah buku ini di Jerman beberapa kali keliling baca puisi, menurut saya berhasil akhirnya, tapi ketika dibawa ke Indonesia, hasilnya jeblok. Karena oleh teman-teman di Indonesia dikembalikan ke puisi konkret yang sejarahnya berbeda sama-sekali.
Itu perkembangan terakhir saya, bagaimana puisi semakin masuk ke dalam perkembangan media sekarang ini, dan akibatnya cukup menarik.
Bagaimana Anda memandang dunia sastra Indonesia ketika ada semacam label yang mengatakan bahwa kritik sastra sudah mati, lalu media tidak memberi tempat yang layak kepada sastra...
Situasi ini menurut saya tidak menarik. Kalau misalnya sastra Indonesia berada dalam situasi kematian yang betul-betul, menurut saya jauh lebih menarik. Tapi sekarang ini, pertama, kritik sastra tidak ada. Saya tidak tahu apakah kritik sastra itu memang tidak ada atau tidak perlu. Kalau misalnya sekian lama kita ribut terus 'oh, tidak ada kritik sastra, tidak ada kritik sastra'. Kalau misalnya kenyataannya itu realitas kita, kita tidak bisa teriak lagi 'tidak ada kritik sastra, tidak ada kritik sastra'.
Terus solusinya seperti apa. Mungkin ini justru representasi dari tidak bisanya kita membangun medan produksi memori kita sendiri. Saya ingin melihat, misalnya, Indonesia memiliki ratusan bahasa. Dan ini menurut saya, itu satu-satunya laboratorium kebudayaaan yang paling unik di dunia. Karena di sebuah kawasan, yang daerah-daerahnya kecil-kecil, memproduksi begitu banyak bahasa. Kalau ini dipikirkan dan pemerintah membuat museum bahasa, menurut saya ini bagus sekali.
Mungkin juga tidak adanya kritik sastra dan hal-hal seperti ini, berkaitan kepada kegagalan kita untuk melembagakan hulu dari medan kebudayaan kita. Kalau misalnya hulunya bahasa, lebih baik kita membuat museum bahasa itu dulu, di mana bnayk suara, aksara, rupa yang bisa kita olah di sana, dan ini mungkin menjadi titik tolak untuk mengisi mata rantai yang hilang. Kalau mata rantai yang hilang itu terisi, mata rantai yang baru akan tercipta. Kalau misalnya hulu dan hilir ini memang sudah kuat, dengan sendirinya kritik sastra akan ada tempatnya untuk ada.
Kalau kritik sastra berhubungan dengan mata rantai yang tidak jelas juga dari kesusastraan kita. Kesusastraan kita ini kesusastraan apa sih? (Tertawa pelan) Sementara bahasa Indonesia saja amburadul sejak 1973, yaitu ketika Bahasa Indonesia disempurnakan dan itu membunuh sekian banyak memori kita. Dan sekarang Bahasa Indonesia semakin bengkak, semakin besar dengan menyerap begitu banyak istilah dari luar. Menurut saya, kalau mislanya sebuah bahasa, di mana perkembangan bahasa itu tidak sepadan dengan perkembangan sains di negeri sendiri, perkembangan filsafat, perkembangan pemikiran, perkembangan teknologi, dan tiba-tiba bahasa ini menyerap begitu banyak bahasa dari luar, yang di sini tidak ada, itu akan membuat bahasa Indonesia semakin autis. Dia besar tapi tidak ada isinya.

Sumber: BBC INDONESIA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...