OLEH Nasrul Azwar
Sekjen
Aliansi Komunitas Seni Indonesia (AKSI)
Sumatera Barat tak pernah masuk 10 besar dalam ajang FLS2N
antarprovinsi. Delapan tahun FLS2N, Sumbar terkesan “mati gaya” di ajang
ini.
Penyelenggaraan
kompetisi antarsiswa setiap jenjang pendidikan di bidang seni yang disebut
Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional atau FLS2N, sudah dimulai sejak tahun
2008.
Alek nasional yang
dilakukan menyeleksian sejak tingkat kabupaten dan kota, provinsi, dan bertem
lalu beradu di tingkat nasional ini, sebelumnya bernama Jambore Seni Siswa
Nasional yang dimulai pada 2004. Pada 2008 berganti baju menjadi FLS2N hingga
kini.
Kegiatan FLS2N merupakan
salah satu program utama Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan selain iven lainnya seperti olimpiade dan
sains antarsiswa.
FLS2N diikuti semua
jenjang pendidikan di Indonesia: Taman Kanak-kanak (TK), Sekolah Dasar (SD),
Sekolah Menengah Pertama (SMA), Sekolah Menengah Atas (SMA), Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK), dan Sekolah Luar Biasa (SLB).
Setiap tahun, para
utusan terbaik masing-masing jenjang pendidikan, bertemu di kota yang telah
ditunjuk untuk penyelenggaraan kompetesi tingkat nasional ini. Untuk tahun ini,
FLS2N digelar di Kota Menado, Sulawesi Utara. Sebelumnya, 2015, siswa yang
menjadi perwakilan provinsi masing-masing ini, beradu kepiawaian seni dan
keterampilan lainnya di Kota Palembang, Sumatera Selatan.
Saya pribadi, sesuai
dengan kompetensi saya, berpartisipasi dalam kegiatan FLS2N di Sumatera Barat
sejak 2011 sebagai dewan juri untuk jenjang pendidikan menengah pertama dan
atas, serta kejuruan, baik seleksi tingkat kota maupun provinsi. Paling acap
menjadi juri bidang puisi dan cerpen pada FLS2N tingkat Provinsi Sumatera
Barat.
Dari pengalaman selama
lima tahun sebagai juri itu (puisi dan cerpen) di tingkat Provinsi Sumatera
Barat, saya mencoba memberikan catatan penting dan kritis terhadap proses dan
cara lomba cipta cerpen dan puisi yang diikuti siswa, baik itu pada
jenjang pendidikan SMP, SMA, maupun SMK
pada FLS2N yang telah memasuki usia 1 windu pelaksanaannya, dan 12 tahun jika
diambil sejak bernama Jambore Seni Siswa Nasional.
Birokrasi Panjang
Selain cabang cipta
puisi dan cerpen, ada beberapa cabang lainnya yang dilombakan di ajang ini.
Tapi, saya hanya membatasi catatan ini untuk cipta dan menulis cerpen serta
puisi saja.
Dalam pedoman buku
“Pedoman Pelaksanaan FLS2N” yang diterbitkan Direktorat Jenderal Pendidikan
Dasar dan Menengah setiap tahun penyelenggaraan kegiatan ini, yang rata-rata
tebalnya mencapai 80 halaman, sudah sangat lengkap dan detil diterangkan
tujuan, capaian dan teknis, serta hingga standar kompetensi juri, dijelaskan.
Kendati terkesan buku
pedoman ini salin ulang dari isi buku sebelumnya tapi untuk acuan umum
tampaknya sudah lengkap dan terang. Masalah kerap muncul ketika memasuki
implementasi dan koordinasi yang dimulai sejak pada tingkat pusat
(Kemendikbud), dinas pendidikan di provinsi, kota-kabupaten, dan kecamatan
serta hingga sampai ke sekolah-sekolah, yang merupakan jalan panjang yang
dilewati untuk sebuah kegiatan bernama FLS2N ini. Jalan panjang inilah selalu
menjadi sasaran sebagai penyebab FLS2N dinilai kurang maksimal.
Selain itu, berbelitnya
jalur birokrasi dan tak sedikit aparatur sipil negara semua tingkatan yang
masih mengemban mentalitas menunggu “petunjuk” atasan ketika berkerja, bisa
jadi salah satu faktor apa yang diinginkan dari FLS2N ini tergerus di tengah
jalan. Cita-cita FLS2N yang demikian bersahaja yang dipaparkan dalam buku
pedoman itu pun terkikis karena tidak maksimalnya dilaksanakan.
Dampak dari ini, tak
heran kita kerap mendengar pihak sekolah kesulitan menyeleksi siswa-siswanya
sesuai pedoman karena terlambat mendapatkan informasi dan lain sebagainya
sehingga utusan sekolah untuk ikut FLS2N hanya ditunjuk saja, bukan melewati
proses kompetisi di lingkungan sekolah. Dan untuk kasus ini, sejak dari tingkat
bawah hingga pusat, tak menutup semua pihak saling menyalahkan.
FLS2N jelas bukan kegiatan
yang datang serta merta dan juga tidak dilakukan secara mendadak. Program ini
sudah jadi rutinitas di lingkungan institusi pendidikan di Indonesia. Jadi
masalah teknis penyelenggaraan bukan lagi hal baru yang sulit dilaksanakan. Alokasi
dana untuk ini juga cukup besar dari APBN dan APBD.
Selain itu, jajaran yang
terkait dengan FLS2N, sudah dipastikan jelang pelaksanaan, melakukan rapat
koordinasi yang membahas soal-soal seputar kompetisi ini. Saya kira, prosedur
ini sudah ditempuh sejak tingkat sekolah sebagai ujung tombak, hingga pejabat
dinas pendidikan di kecamatan, kota-kabupaten, dan provinsi, terus ke pusat.
Evaluasi terhadap jalannya kegitan ini pun tentu dilakukan. Tak terkecuali di
Sumatera Barat, tentunya, juga dilaksanakan.
Masalahnya sekarang:
Apakah jajaran dinas pendidikan di Sumatera Barat sungguh-sungguh dan serius
melakukan rapat koordinasi itu? Apakah hanya sekadar seremonial belaka? Sejauh
mana monitoring dan evaluasinya? Bagaimana capaian prestasi Provinsi Sumatera
Barat selama digelarnya FLS2N ini? Apakah Provinsi Sumatera Barat punya target
dan capaian tertinggi setiap FLS2N digelar? Di mana posisi peringkat prestasi
Provinsi Sumatera Barat di antara provinsi-provinsi lainnya setiap FLS2N
dilaksanakan? Apa cabang seni unggulan dari Provinsi Sumatera Barat?
Menjawab pertanyaan di
atas itu, tentu harus dilihat dari hasil yang diraih siswa siswa daerah ini
selama mengikuti kegiatan FLS2N itu.
Dari informasi yang ada, belum ada siswa atau kelompok dari Provinsi Sumatera Barat
yang mampu meraih juara pertama di semua cabang yang dilombakan dalam FLS2N di
seluruh jenjang pendidikan. Artinya, secara umum Provinsi Sumatera Barat belum
pernah meraih prestasi yang membanggakan dalam FLS2N. Sebaliknya, tentu semua
kita menginginkan siswa-siswa dari daerah ini bisa mencatatkan capaian
terbaiknya.
Kuncinya pada Guru
Selain soal birokrasi
dan koordinasi yang masih terkesan normatif di jajaran dinas-dinas pendidikan,
masalah yang cukup penting adalah terkait dengan pengetahuan guru-guru
pendamping dan pembina di sekolah-sekolah, terutama untuk cabang lomba cipta
puisi dan cerpen di Sumatera Barat.
Dalam kasus tidak
mutakhirnya pengetahuan para guru-guru, terutama guru bidang studi Bahasa
Indonesia, tentu saja pada subpelajaran sastra, hal ini terlihat dari hasil karya-karya siswa-siswa, baik itu
tingkat SMP maupun SMA dan SMK, yang ikut dalam FLS2N.
Sepanjang lima tahun
terakhir dilaksanakannya FLS2N, lalu membaca dan menilai karya cipta siswa
peserta yang berasal dari SMP, SMA, dan SMK (baru pertama digelar tahun ini),
baik berupa cerpen maupun puisi, saya berpendapat, nyaris semua karya itu,
merupakan “salinan” dari pemikiran guru-guru pendamping di sekolah
masing-masing. Siswa terkesan sebagai objek semata.
Celakanya lagi, pola,
bentuk, cara ungkap, dan gaya bahasa (metafora) agar siswa bisa melahirkan
puisi dan cerpen tersebut, caranya tak jauh berbeda dengan apa yang pernah
diterima guru-guru tersebut saat mereka menjadi murid yang belajar Bahasa dan
Sastra Indonesia di bangku sekolahnya dulu. Setiap manusia punya potensi
kreatif, sepertinya tak berlaku.
Dan pada era sekarang,
saat puisi dan cerpen, serta karya sastra Indonesia sudah mengemban daya ungkap
dan jelajah modernisasi, guru-guru Bahasa dan Sastra Indonesia di Sumatera
Barat dengan caranya sendiri masih mengajarkan menulis cerpen dengan kalimat
pembuka “Matahari bersinar lembut...” dan puisi dengan diksi “Awan berarak...”
kepada siswanya. Hal seperti ini juga terjadi bukan saja dalam iven FLS2N saja,
tapi lomba-lomba cipta fiksi yang dilaksanakan institusi lainnya.
Dari sini sebenarnya,
muncul dugaan kuat, bahwa sesungguhnya guru-guru Bahasa dan Sastra Indonesia di
jenjang pendidikan SD, SMP, hingga SMA dan SMK di Sumatera Barat, tidak membaca
dan mengikuti perkembangan sastra Indonesia mutakhir, baik itu lewat media
cetak maupun buku-buku sastra kekinian. Sekali lagi, indikasi ini terlihat
karya-karya yang dihasilkan siswa.
Selain tidak mengikuti
perkembangan sastra itu sendiri, guru-guru juga tampak “setengah hati” mengajarkan materi menulis kreatif sehingga
tak membuat siswa termotivasi untuk menulis. Juga, saya kurang tahu, apakah
dalam pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di tiga jenjang pendidikan itu,
bagian menulis kreatif ini juga diajarkan dengan jam pelajaran yang
proporsional? Karena ini terkait juga kualitas karya cipta yang ditulis siswa.
Saya tetap sangat yakin,
proses menulis kreatif tak bisa dilakukan saat mau diadakan lomba saja. Jelas,
akan berbeda sebuah mutu karya tulis yang dihasilkan oleh siswa yang melewati
proses latihan dibandingkan dengan tulisan yang dibuat semalam saja.
Di luar hal di atas,
pengalaman saya sebagai juri terkait juga dengan perilaku guru-guru yang
terkesan memaksakan kehendaknya kepada siswanya. Sang guru memaksakan sebuah
puisi atau cerpen untuk dihapal siswanya, yang kelak saat lomba, siswa tinggal
menuliskannya saja. Biasanya, sang guru menuliskan puisi atau cerpen yang
disesuikan dengan tema yang diberikan panitia atau yang ada dalam buku pedoman
pelaksanaan kegiatan lomba. Ini sudah menjadi tren di lingkungan
sekolah-sekolah. Saya tak tahu, apakah juara itu menjadi target utama sekolah
atau tuntutan dari atasan guru. Cara seperti ini jelas sangat tidak menghargai
potensi dan kreativitas siswa, dan ini tak elok dalam proses pendidikan.
Biasanya, dari
pengalaman ini, kami dari dewan juri untuk cipta puisi dan cerpen, dengan
berkoordinasi dengan panitia, menukar tema lomba dan memberitahukan kepada
peserta jelang lomba menulis akan dimulai. Cara ini untuk mengantisipasi
guru-guru yang memaksakan siswa menghapal karya yang akan dilombakan. Ada
sebagian guru-guru sudah terbiasa dengan cara mengganti tema ini, tapi tak
sedikit yang kaget.
Yakinlah pada Proses
Melahirkan sebuah karya
yang bermutu dan bagus bukan dalam semalam jadi. Ia butuh proses dan
kesinambungan berlatih dan berlatih. Untuk kegiatan kompetisi FLS2N, yang
kegiatannya sudah melembaga dan rutin berkala dilaksanakan, maka persiapan
untuk mencapai prestasi yang baik, bisa dilakukan jauh-jauh hari dengan program
yang sistematis dan terukur. Hal ini dilakukan bukan semata untuk bidang lomba
cipta puisi dan cerpen semata, tapi juga bidang lainnya: kriya, poster, nyanyi,
tari, tari, dan seterusnya.
Guru-guru yang terkait
dengan bidang-bidang yang dilombakan ini harus dimutakhirkan pengetahuannya dan
memperkuat kapasitasnya dengan melakukan lokakarya dan bengkel kerja, serta
diskusi terpumpun. Usia guru dibatasi untuk mengikuti ini. Paling tidak
diprioritaskan usia di bawah 40 tahun.
Penguatan kapasitas dan
lokakarya itu diikuti guru-guru dalam jumlah terbatas. Paling banyak 15 orang.
Tujuannya agar maksimal dan fokus. Tak masalah sering dan banyak dilaksanakan.
Pekerjaan ini bisa diambil dinas pendidikan dan kebudayaan provinsi,
kota-kabupaten mendorong dan mendukung. Kepala sekolah dan guru terkait harus
aktif merespons. Pihak dinas dan sekolah, dalam melaksanakan program ini
terbuka melibatkan para penulis dan sastrawan serta pihak lainnya yang
berkompeten.
Setelah melewati itu,
guru-guru dengan kriteria yang sudah terukur meminta siswanya untuk menulis
puisi dan cerpen. Hasil dari sini, akan diperoleh siswa yang punya potensi dan
bakat menulis. Di sinilah siswa itu diperkuat dengan proses latihan menulis
secara berkala dengan evaluasi yang terus menerus pula. Paling tidak, dalam
proses kreatif itu, siswa telah melahirkan minimal 10 puisi atau 10 cerpen.
Terserah kecenderungan kemana: puisi atau cerpen.
Jika ini dijalankan
dengan baik dan terencana serta berkesinambungan, suasana kompetisi antarkota
dan kabupaten dalam FLS2N tingkat provinsi, dipastikan menarik dan ketat. Dan
tak menutup kemungkinan, Sumatera Barat bisa berada di puncak sebagai provinsi
terbanyak memeroleh medali emas dalam FLS2N. Dan yang paling penting, menjawab
rentetan pertanyaan yang ditulis di atas ini.
Kendati begitu, sehebat
apapun konsep dan pikiran, jika tidak direalisasikan ia akan tetap tinggal
tertulis di atas kertas belaka. Cuma enak dibaca dan hanya mimpi. Saya kira,
kuncinya sangat sederhana untuk mencapai itu: komitmen untuk berubah dari
kepala-kepala dinas pendidikan, sekolah, dan orangua siswa. Jika tak ada komitmen
itu, kita, Sumatera Barat ini, akan berputar-putar dalam kain sarung saja.
Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar