OLEH Virtuous Setyaka, S.IP., M.Si.[2]
Virtuous Setyaka |
Belanda Peminta Tanah!
Setelah dapat tanah sebidang,
maka dipagarilah tanah itu. Sepanjang pinggir pagar itu ditanamilah ubi jalar
(merambat). Ubi itu menjalar kian kemari keluar pagar menuju ke-empat penjuru
alam. Setelah cukup jauh menjalar keluar, maka diangsurnyalah pagar yang semula
itu, supaya dapat meliputi ubi yang sudah menjalar kian kemari itu. Memang ubi
itu adalah Hak Miliknya…katanya: dan tanah BARU yang diliputi oleh ubinya
itupun, adalah Hak Miliknya pula...katanya selanjutnya! Demikianlah Belanda
terus menjalankan dan memagari ubinya itu sampai puas hatinya..!!!
Pendahuluan
Salah satu jargon yang sangat popular beredar di
kalangan masyarakat khususnya para Aktivis di Indonesia dengan mengambil
inspirasi dari DTM adalah “Merdeka 100%”. Jargon tersebut jika ditelusuri dalam
berbagai karya DTM maka akan sering ditemukan dalam karyanya ini (Gerpolek:
Gerilya Politik Ekonomi, 1948). Dalam karyanya tersebut, DTM berfokus mengkaji
tentang politik, ekonomi, diplomasi, dan kemiliteran sebagai dasar bagi
Gerpolek. Konteks di mana Gerpolek dilakukan adalah perang, DTM menjelaskan
tentang jenis perang, persoalan pokok perang, anasir perang, syarat perang,
hukum menyerang, perang rakyat, perang gerilya, perang politik diplomat, perang
ekonomi, United Nations Organizations (UNO) atau Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB), dan serba-serbi. Jika dibaca dan diikuti jalan pemikiran DTM dalam
karyanya ini, seperti sebuah panduan untuk berpolitik khususnya berperang itu
sendiri. Politik dan perang yang dimaksud DTM dalam karyanya ini, menurut
penulis, adalah politik dan perang kelas dalam istilah Marxisme.
DTM
menyatakan bahwa segala sumber dan alat kekuasaan yang ada pada sebuah bangsa
dan negara berada di tangan rakyatnya. Begitupun semua sumber dan alat ekonomi yang
ada pada sebuah bangsa dan negara, ada di tangan rakyat. Seluruh rakyat di
sebuah bangsa dan negara semestinya secara serentak dan serempak mengambil
inisiatif untuk membentuk “laskar” dan “tentara”. Laskar dan tentara rakyat
tersebut kemudian digunakan untuk mengadakan penjagaan di setiap sudut dan si
seluruh wilayah negerinya. Mulai dari sepanjang pantai, di setiap kota dan di
setiap desa. Semua itu diselnggarakan untuk mengadakan pembelaan terhadap diri
mereka sendiri dan sekaligus juga untuk penyerbuan terhadap musuh-musuh rakyat.
Apa yang
perlu dan penting dari adanya persatuan rakyat menurut DTM adalah untuk
menentang atau melawan segala bentuk penjajahan ala kapitalisme-imperialisme. Sehingga,
untuk menyelamatkan sebuah bangsa dan negara yang mungkin terancam “karam” atau
tenggelam bahkan hancur, maka rakyat harus mau dan mampu melakukan pembentukan laskar
gerilya dimanapun, di darat dan di laut. Maka dari situlah lahir yang disebut
sebagai “Sang Gerilya” atau Gerilyawan.
Konsesi adalah Kunci Permasalahan Ekonomi Politik
Internasional
Salah
satu fokus yang diulas oleh DTM terkait politik ekonomi dalam karyanya tersebut
–kemudian mengapa diplomasi atau perang bahkan kemiliteran menjadi perlu dan
penting dipersiapkan dan dilakukan- adalah tentang “concessie” atau konsesi yang
diterjemahkan sebagai “penyerahan hak”[4].
Menurut DTM, pada hakikatnya ketika sebuah pemerintahan di suatu negara-bangsa
sudah dan sedang berhubungan dengan pemerintahan negara-bangsa lainnya, dan
pemerintah negara-bangsa lain tersebut meminta konsesi dan dilaksanakan, maka
pemerintah yang diminta tersebut sudah menerima “permintaan musuh” untuk melanggar
kedaulatannya sendiri. Salah satu contohnya ketika konsesi tersebut berupa
permintaan untuk menangkap warga-negaranya sendiri. Maka yang terjadi adalah
“kecelakaan” bagi warga-negara yang menjadi korban konsesi tersebut. Lebih
celakalah negara-bangsa yang terlanggar kedaulatannya itu.
Dalam
konteks kekinian, apakah hanya negara-bangsa lain yang bisa meminta konsesi
kepada sebuah negara-bangsa? Tidak, sebab dalam dinamika hubungan
internasional, ada aktor atau agensi internasional lainnya yang eksis diakui
selain negara-bangsa. Aktor atau agensi internasional selain negara (non-state actors/agents) tersebut adalah
–terutama- korporasi, organisasi internasional (antar pemerintah negara),
organisasi masyarakat sipil transnasional (non-pemerintahan negara), bahkan
aktor-aktor lainnya seperti organisasi kriminal transnasional yang melakukan
kriminalitas terorganisir transnasnional, kemudian organisasi teroris
transnasional, bahkan individu-individu yang mungkin sekali membentuk dan
membangun jejaring internasional untuk mempengaruhi bukan saja dinamika namun
juga struktur dan sistem internasional secara global. Kompleksitas tatanan
dunia saat ini itulah yang menarik untuk dikaji dengan membaca ulang dan
mencoba menguraikannya kembali pemikiran DTM dalam Gerpolek.
Penulis
berpikir bahwa “konsesi” atau “penyerahan hak” inilah yang justru menjadi pokok
dasar yang penting untuk dikaji dan perlu ditindaklanjuti dalam konteks
berbangsa dan bernegara saat ini. Terutama ketika dikaitkan dengan soal
kedaulatan bangsa dan negara, sehingga jika disederhanakan, ada persoalan
“kedaulatan vs konsesi”. Apalagi ketika tatanan dunia saat ini seolah-olah
diakui dan diterima begitu saja ketika terjadi globalisasi yang dalam
praktiknya membuka tanpa batas setiap sekat yang selama ini membatasi dan membentengi
setiap negara-bangsa di dunia. Bahkan seringkali tidak dilihat kembali dan
disadari apa yang sesungguhnya terjadi dan siapa yang kemudian mengambil
keuntungan dalam tatanan dunia yang berubah dan terbentuk akhirnya. Perubahan
tatanan dunia yang harus disadari adalah terjadinya perubahan struktur dan
sistem internasional yang dalam hirarkinya menempatkan adanya aktor-aktor
tertentu di posisi atas, tengah, dan bawah. Aktor-aktor tersebut kemudian
menjadi agen-agen dalam perubahan sosial pada tatanan dunia secara keseluruhan.
Jika
“konsesi” menjadi kunci dari hilangnya “kedaulatan” negara-bangsa -sehingga
mengancam/menguntungkan kehidupan rakyatnya- dalam tatanan dunia, maka siapa
aktor yang aktif bahkan agresif menjadi agen perubahan? Struktur dan sistem internasional apa yang
dibentuk? Bagaimana konsesi itu diperjuangkan dalam politik ekonomi global
kekinian? Maka jawabannya tidaklah sulit untuk ditemukan: para kapitalis,
struktur dan sistem kapitalisme global, dan imperialisasi-kapitalis atau
imperialisme global[5]. Lalu
apa relevansinya membaca ulang dan menguraikan kembali pemikiran DTM tentang
Gerpolek dalam konteks kekinian? Satu saja pokok hal yang harus kita jawab
terlebih dahulu: apakah kita masih percaya dan yakin bahwa struktur dan sistem
internasional dalam tatanan dunia saat ini masih berupa
kapitalisme-imperialisme global? Jika jawabannya tidak, maka mungkin kita bisa
menghentikan diskusi ini segera. Namun jika jawabannya iya, maka mari kita
lanjutkan diskusi dan jika memungkinkan, kita harus saling mengkritik, memberi
saran, dan membangun wacana yang konstruktif. Selanjutnya kita perlu
melanjutkannya dengan aksi nyata untuk melengkapi dilaketika yang material
dengan logika berpikir untuk memerdekakan setiap manusia dan semua bangsa 100
%.
Tentang Gerpolek dan Sang Gerilya
DTM
menjelaskan bahwa Gerpolek adalah perpaduan tiga kata, Gerilya, Politik, dan
Ekonomi. Bagi DTM, Gerpolek adalah senjata bagi “Sang Gerillya” untuk membela Proklamasi
17 Agustus 1945 dan melaksanakan Kemerdekaan 100 % yang saat ini (DTM menulis
pada tahun 1948) merosot bahkan sampai ke angka 10 %. Sang Gerilya, adalah
seorang putera/puteri, seorang pemuda/pemudi, seorang Murba/Murbi Indonesia,
yang taat dan setia kepada Proklamasi dan Kemerdekaan 100 % dengan
menghancurkan siapa saja yang memusuhi Proklamasi serta kemerdekaan 100 %. Menurut
DTM, Sang Gerilya tidak menghiraukan lamanya tempo atau waktu atau masa untuk
berjuang. Walaupun perjuangan akan membutuhkan seumur hidupnya, Sang Gerilya
dengan ketabahan dan keberanian, serta dengan bertekad dan bergembira,
melakukan kewajibannya. Hanya tercapainya kemerdekaan 100 % yang dapat
mengakhiri perjuangannya. Sang Gerilya percaya, bahwa Gerpolek akan sanggup
memperoleh kemenangan terakhir atas kapitalisme-imperialisme.
Sang Gerilya, menurut DTM, harus mempunyai sifat yang
istimewa, yaitu sifat yang berhubungan dengan penggunaan akal, perasaan,
kemauan, watak, serta budi pekerti. Haruslah dengan sekuat tenaga dan selalu tegap
dalam menghadapi musuh. Gerilya dilakukan dengan memberdayakan keadaan alam,
tempat, tempo/waktu/masa, orang-orang dan persenjataan yang ada. Melakukan
siasat baik maju ataupun mundur, tidak mengenal putus asa, melainkan selalu memegang
tekad dan keberanian serta kepercayaan atas kemenangan, pantang menyerah,
walaupun menghadapi ancaman dari semua penjuru. Selain itu, juga mempraktikkan
karakter berlaku seperti kakak kepada yang lebih muda seperti adik kepada yang
lebih tua oleh karena kelebihannya serta pengetahuan atau kesanggupan.
Tiap-tiap prajurit Sang Gerilya dapat diterima perintahnya (sebagai pemimpin) oleh
pasukannya untuk menjalankan dengan segala ketaatan dan kecepatan (sebagai yang
dipimpin) dalam persatuan perjuangan.
Mengapa
gerilya politik ekonomi yang dipercayai dan diyakini DTM untuk memenangkan
peperangan menghadapi kapitalisme-imperialisme? Menurut Penulis, pada saat itu
DTM sesungguhnya telah mengalami krisis kepercayaan dan kehilangan keyakinan
atas lembaga pemerintahan yang disebut sebagai negara. Mungkin disebabkan bahwa
sebagaian elit pemerintahan dan elit politik dalam Republik pada saat itu
justru terlibat dalam berbagai perjanjian dan diplomasi yang dinilai merugikan
warga negara atau rakyat secara keseluruhan melalui apa yang disebutnya sebagai
konsesi atau penyerahan hak yang melanggar kedaulatan tersebut. Sehingga logika
tentang Sang Gerilya adalah siapapun individu yang kemudian memahami dan
menguasai Gerpolek sebagai senjata yang digunakan untuk berperang melawan
kapitalisme-imperialisme. Individu-individu yang dimaksud sebagai Sang Gerilya
tersebut tentu saja berasal dari kelas yang bukan kapitalis, namun kelas
proletar. Sedangkan Gerpolek yang dimaksud tentu saja sebuah gerilya politik
ekonomi yang didasari oleh prinsip ideologis anti
kapitalisme-imperialisme.
Peperangan
Melawan Imperialisme-Kapitalisme
Perang penindasan yang dilakukan di zaman kapitalisme disebut
DTM sebagai perang imperialisme. Peperangan imperialisme itu didorong oleh
hasrat: pertama, keinginan para
kapitalis untuk merebut bahan pabrik serta bahan makanan dari negara yang
hendak ditaklukkannya. Dalam hal ini menurut Penulis, dapat dipahami sebagai
sumber-sumber daya yang dimiliki dan dikuasai oleh pihak yang diperangi oleh
para imperialis. Kedua, keinginan
para kapitalis untuk merebut pasar di negara yang ditaklukkan dan negara
jajahannya menjualkan atau mendistribusikan barang pabrik/produk dari negara kapitalis
yang menang atau negara penjajah. Penulis mengakui bahwa dalam konteks
kekinian, pasar adalah institusi yang sangat krusial dalam dinamika ekonomi
politik global. Ketiga, keinginan
para kapitalis untuk menanamkan modal kaum penjajah atau para kapitalis dalam perkebunan,
pertambangan, pabrik-pabrik industri, industri pengangkutan, perdagangan serta bank-bank
dan asuransinya di negeri jajahan yang dikuasainya. Pada poin ketiga inilah
menurut Penulis yang akan sangat relevan dengan persoalan konsesi yang
diuraikan di atas. Pengambilalihan kepemilikan, kekuasaan, dan hak-hak atas
sumber-sumber daya, pasar, dan modal/kapital dalam berbagai sektor dan bidang
kehidupan sosial selalu menjadi incaran para kapitalis-imperialis dalam konteks
akumulasi kapital. Ketika pada masa awal imperalisasi kapitalis dilakukan
dengan cara kolonialisasi, maka cara-cara berikutnya bisa dilakukan dengan
bergam cara mendominasi termasuk menghegemoni.
Ketiga
hasrat yang mendorong itu pada satu pihak menyebabkan bertambah kaya-raya (berupa
modal/kapital) dan kekuasaan kaum-kapitalis di Negara Penjajah tersebut. Dalam
konteks ini, menurut Penulis, DTM mencoba menyampaikan bahwa Kaum Kapitalis
tidak serta merta atau tidak sama dengan negara penjajah atau negara yang
sesungguhnya dikuasai para kapitalis. Begitupun di lain pihak, menurut DTM,
menyebabkan bertambah miskin, melarat dan bodohnya rakyat di negara jajahan.
Ini juga perlu diperhatikan bahwa rakyat di negara jajahan, artinya antara
rakyat dan negara jajahan dibedakan. Dalam konteks tersebut, Penulis mencoba
memahami pemikiran DTM bahwa kita harus berhati-hati untuk memposisikan dan
memahami perbedaan antara para kapitalis dengan negara dan dengan rakyat/warga
negara lainnya yang bukan kapitalis (proletar).
Menurut
DTM, dibalik merajalelanya kemelaratan dan penindasan itu, maka timbullah pula
gerakan kemerdekaan untuk melepaskan diri dari pemerasan dan penindasan tersebut.
Gerakan kemerdekaan itu pada satu tempo/waktu/masa di satu tempat, akan bisa
meletus menjadi perang kemerdekaan. Oleh sebab itu, DTM menjelaskan soal perang
yang dikembangkan secara konseptual teoritik dalam beragam jenis dan hal-hal
yang terkait dengan itu dalam karyanya ini.
Perang Kemerdekaaan, menurut DTM, dibagi atas dua golongan, yaitu:
pertama, Perang Kemerdekaan yang
dilakukan oleh penduduk Jajahan melawan Negara Penjajah untuk melepaskan
belenggu yang dipasangkan oleh Negara Penjajah itu atas dirinya. Perang
Kemerdekaan semacam ini sering disebut juga Perang Kemerdekaan Nasional. Kedua, Perang Kemerdekaan oleh satu
kelas dalam negara melawan kelas lain di antara sesama bangsa dan di dalam satu
negara. Perang Kemerdekaan semacam ini disebut juga Perang Saudara atau Peperangan
Sosial. Perang inilah yang menurut Penulis sering disebut sebagai Perang Kelas
oleh para Marxis. Sebab DTM melanjutkan penjelasannya bahwa perang saudara atau
perang sosial ini menurut subjek/aktor yang memulainya mempunyai dua corak pula:
pertama, bercorak borjuis, dan kedua bercorak proletaris. Artinya,
perang kelas bisa dimulai dan dikendalikan oleh para borjuis, atau sebaliknya,
dapat dimulai oleh para proletar.
DTM
menyatakan bahwa tidaklah cukup kemerdekaan nasional dan kemerdekaan politik
tanpa jaminan ekonomi. Urusan politik dan ekonomi tak bisa lagi
dipisah-pisahkan oleh bangsa dan negara manapun, khususnya di Indonesia. Dalam
konteks Indonesia, DTM meyebut bahwa Kemerdekaan Murba Indonesia berarti
keduanya, yaitu kemerdekaan politik dan perjuangan untuk mendapatkan kembali
jaminan ekonomi. Kemerdekaan nasional berarti kemerdekaan yang serentak
menjamin keadaan ekonomi dan sosial. Hasrat yang mendorong perang kemerdekaan
Indonesia tidak saja untuk melenyapkan penindasan politik imperialisme, tetapi
juga untuk melenyapkan pemerasan dan mendapatkan jaminan hidup dalam masyarakat
baru yang diperjuangkan itu. Dengan demikian maka Revolusi Indonesia
sesungguhnya mau tidak mau harus mengambil tindakan ekonomi dan sosial yang serentak
dengan tindakan merebut dan membela kemerdekaan 100%. Revolusi kemerdekaan
Indonesia tidak bisa diselesaikan dengan dibungkus revolusi nasional saja.
Perang kemerdekaan Indonesia, menurut DTM, harus diisi dengan jaminan sosial
dan ekonomi sekaligus. Maka Penulis mencoba melanjutkan pemikiran DTM bahwa
setelah adanya revolusi nasional, maka harus ada revolusi sosial.
Bagaimana revolusi dari yang nasional
berlanjut menjadi yang sosial? Untuk itulah perlu penjelasan tentang perang
rakyat, perang ekonomi dan gerilya politik ekonomi atau gerpolek.
Perang
Rakyat, Perang Ekonomi, dan Koperasi
Perang
Rakyat, menurut DTM adalah perang dalam semua lapangan hidup, dalam perkara (1)
keprajuritan (2) politik, (3) ekonomi, dan lain-lain. Dalam tiga lapangan hidup
itu, menurut DTM, harus ada persatuan yang erat di antara pemegang tampuk
perjuangan. Pada saat itu, DTM menyebutkan bahwa yang sesungguhnya memegang
tampuk perjuangan adalah kaum murba, kaum tani, rakyat dan intellekt djembel (mungkin yang dimaksud adalah para intelektual
yang pro-rakyat atau dalam istilah Gramscian sebagai intelektual organik kontra
hegemoni). Sedangkan “Siasat Gerilya” atau strategi dalam perang gerilya, berdasarkan
pada langkah-langkah maju untuk menghancurkan musuh dan mundur supaya jangan
dihancurkan oleh musuh. Dalam strategi perang gerilya menurut DTM perlu mekakukan
“serangan pura-pura” atau manuver-manuver yang digunakan untuk mengelabui musuh;
perang gerilya menghindari pertempuran (di lapangan/tempat) terbuka; langkah mundur
diperlukan ketika diserang oleh pasukan (musuh) yang (lebih) kuat; tindakan
pengepungan dan menghancurkan pasukan musuh yang kecil perlu dilakukan; kemudian
memancing musuh agar masuk ke dalam perangkap; lalu “terkamlah musuh dengan
sekonyong-konyong”; dan memusatkan tenaga ke “urat nadi” musuh; dalam perang
gerilya perlu untuk “samberlah dengan cepat-hebat seperti kilat-petir”; dan
juga “menghilanglah dengan cepat-tak-kelihatan seperti topan”. Mengapa strategi
perang gerilya ala rakyat ini dipaparkan oleh DTM pada saat itu? Atau bahkan,
mengapa DTM menuliskan karyanya (Gerpolek) ini?
Pada saat itu, setelah “perang digencat” atau gencatan
senjata dan politik “berunding” serta politik “damai” dijalankan, maka dalam
pemikiran DTM, yang terjadi kemudian adalah Belanda (penjajah Indonesia pada
saat itu) kembali masuk kebun, pabrik, tambang dan kantor. Setelah itu mereka kembali
menyuruh buruh-buruh Indonesia untuk memegang mesin, mencangkul dan memikul. Kemudian
Belanda mulai pula menjual hasil keringat para pekerja Indonesia itu keluar negeri
berupa karet, minyak, timah, teh, gula, kina dan lain-lain. Karena perdagangan
dengan luar negeri mulai hidup kembali, maka Belanda dapat meminjam uang (pinjaman/utang)
dari Amerika (Serikat) untuk memperkuat kemiliteran, keuangan dan
perekonomiannya sendiri. Sebaliknya, Belanda terus melakukan blokade terhadap perdagangan
Republik (Indonesia). Kapal Republik yang keluar dari Indonesia untuk mengangkut
barang dagangan disita atau ditembaki. Maksud Belanda ialah supaya dirinya kian
hari kian kaya dan kian kuat, tetapi Republik kian hari kian miskin, dan kian
lemah. Daerah Republik yang sudah dalam keadaan kekuarangan makanan dan pakaian
itu ditambah kacau-balau pula oleh perang uang yang dilakukan oleh Belanda
terhadap uang Republik. Bermacam tindakan jahat yang langsung atau tidak, telah
dilakukan oleh Belanda, untuk memerosotkan harga uang Republik. Akibatnya,
ialah kehidupan Rakyat makin sukar karena harga uang semakin merosot dan barang
keperluan hidup (seperti makanan dan pakaian) semakin melambung harganya. Dalam
konteks kekinian, Belanda mungkin sudah tidak ada[6],
namun harus dilihat bahwa Belanda dalam konteks saat itu adalah representasi
dari kapitalis-imperialis. Dalam konteks sekarang, ada kapitalis-imperialis
lain yang sudah dan sedang bercokol di bumi pertiwi atau nusantara. Dan
praktik-praktik yang dilakukan mirip atau hampir sama saja dengan yang
dilakukan oleh Belanda pada saat itu.
Dari uraiannya tersebut kemudian, DTM kemudian menjelaskan
bahwa perekonomian Rakyat Indonesia baru dapat diselenggarakan dalam Republik
yang merdeka 100%, yang sekurangnya 60%[7]
memiliki dan menguasai produksi, distribusi, upah, ekspor, dan import.
Mengambil sikap dan tindakan dalam ekonomi (yaitu dalam produksi, distribusi
dan lain-lain) yang bersifat merugikan perekonomian Belanda. Dan sebaliknya, mengambil
sikap dan tindakan dalam ekonomi yang bersifat menguntungkan Rakyat yang berrevolusi.
Berhubungan dengan itu, DTM menjelaskan bahwa (1) Rakyat revolusioner janganlah
sekali-kali membantu memperbesar produksi dan perdagangan (distribusi) Belanda.
Sebenarnya lebih efektif (lebih besar hasilnya) kalau di daerah pendudukan
Belanda kaum buruh sama sekali tidak mau bekerja dalam kebun, tambang, atau
pabrik dan kantor Belanda. Ditambah pula kalau Rakyat sama sekali tidak mau
membeli barang dari para Saudagar Belanda dan tidak mau bekerja dengan Belanda.
Hati lemah, keadaan hidup dan 1001 alasan bisa mengizinkan Rakyat Revolusioner
bekerja juga dengan Belanda. Memang pula bisa dimasuki perusahaan Belanda itu
dengan maksud mengadakan sabotase dari dalam atau mendirikan barisan terpendam
(pasukan bawah tanah atau rahasisa untuk menghancurkan dari dalam). Tetapi tak
ada orang yang bisa menyangkal, bahwa boikot-kerja dan boikot-pembelian senjata
menjadi paling efektif untuk perlawanan terhadap Belanda. Sebaliknya pula (2)
maka semua sikap dan tindakan harus diambil untuk memperbesar produksi dan
memperbaiki distribusi bagi Rakyat Indonesia sendiri. Harus pula terutama
dipikirkan, bahwa Petani tak akan menghasilkan lebih dari pada keperluannya
sendiri, kalau kelebihan hasilnya itu tidak dapat ditukarkan dengan pakaian,
cangkul, garam, minyak dan lain-lain. Jika Petani tidak dapat membeli keperluan
yang harus dibelinya itu, maka tidak akan menghasilkan lebih dari pada
keperluan keluarganya sendiri. Dengan demikian maka hasil pertanian akan menyusut
dan merosot. Tetapi kalau Kaum Tani hanya dapat membeli barang asing (kain dan
lain-lain), maka pedagang asing dan pabrik asing yang beruntung. Jadi supaya keuntungan
tersebut tidak jatuh ke tangan musuh untuk membelanjai serdadunya, dan supaya Petani
mempertinggi hasil, maka haruslah Rakyat sendiri mendirikan pelbagai perusahaan
yang dibutuhkan oleh Rakyat sendiri.
Maka menurut DTM, sistem koperasi harus mengisi apa yang
kurang dalam perang ekonomi menghadapi ekonomi musuh. Koperasi adalah sebuah senjata
ekonomi yang hebat bersama dengan senjata politik serta karabin dan granat
ditangan Sang Gerilya. Harus bisa menyelenggarakan koperasi dimana saja berada:
di kota, di desa dan di gunung. Koperasi sebagai pengisi perekonomian Rakyat dalam
membantu politik serta gerilya itu ada berbagai macam, yakni: (1) koperasi
produksi (untuk penghasilan misalnya membikin pacul, kain, alat perkakas, dan
lain-lain); (2) koperasi distribusi (sebagai pembagian barang dagangan seperti
kain, alat perkakas dan lain-lain); (3) koperasi pengangkutan (atau
transportasi untuk mengangkut barang dari satu tempat ke tempat lainnya); (4) koperasi
kredit (bantuan keuangan untuk mendapatkan modal dengan jalan iuran sesen dua
sen, atau serupiah dua rupiah), dan (5) koperasi pasar (untuk mengendalikan
harga barang di pasar). Kelima Koperasi itu bila saja dan dimana saja dapat dan
harus diusulkan dijalankan dan diawasi oleh Sang Gerilya. Maksud koperasi adalah
untuk mendapatkan harga semurah-murahnya bagi anggotanya. Untung yang
sekecil-kecilnya dapat dipakai untuk memperbesar organisasi sendiri; untuk
kepentingan sosial serta untuk kepentingan perang gerilya. Dalam maksud itu
sudah terkandung pula pembelaan diri terhadap perekonomian musuh yang bersifat
kapitalis dan imperialistis itu. Akhirnya koperasi dalam ekonomi itu memberikan
latihan yang tepat dan praktis untuk melaksanakan persatuan dan menghidupkan
kembali semangat tolong menolong, dan gotong royong di antara Rakyat di kota, di
desa dan di gunung. Ringkasnya, tidak ada cabang penghidupan yang luput dari
mata dan terlepas dari perhatian Sang Gerilya. Disamping itu maka segala hutang
dibayarnya dan segala janji ditepatinya.
Penutup
Demikianlah uraian DTM tentang Gerilya Politik Ekonomi (Gerpolek)
atau dengan istilah lain, menurut Penulis, biasanya lebih popular dengan
istilah perang kelas menurut Marxisme. Namun dalam konteks keindonesiaan pada
saat itu, DTM mencoba untuk menjelaskan bahwa yang harus dan perlu diperhatikan
adalah:
1. Indonesia adalah bukan negara
kapitalis-imperialis, namun justru sebuah republik yang baru berdiri sebagai
sebuah negara-bangsa modern sebagai hasil dialektika keruntuhan feodalisme dan
kolonialisasi (imperialisme-kapitalisme) oleh bangsa lain melalui perang antar
negara (kolonialisme) maupun perang ekonomi (imperialisme) yang didukung oleh
korporasi/perusahaan dagang pada saat itu.
2. Maka dengan situasi dan
kondisi tersebut, yang harus dilakukan oleh Rakyat Indonesia adalah melakukan
perang rakyat sekaligus perang ekonomi dengan strategi perang gerilya karena
menurut DTM, ketika nasib rakyat dipercayakan begitu saja kepada para elit
politik dan pemerintahan negara di Republik yang baru berdiri dan
perkembangannya justru mengambil cara-cara kompromis (gencatan senjata,
berunding, dan berdiplomasi), maka tidak akan menyelesaikan masalah. Oleh sebab
itulah mengapa jargon sekaligus semangat Merdeka 100 % harus digelorakan.
3. Peperangan yang dilakukanpun
harus dipahami pada tiga konteks, yaitu: perang untuk kemerdekaan nasional
untuk merebut wilayah yang telah dijajah, perang kemerdekaan politik untuk
merebut kedaulatan politik nasional, dan perang ekonomi untuk menjamin
kesejahteraan rakyat, kemakmuran bangsa, dan keberdayaan republik. Ketika
kemerdekaan nasional dan politik haruslah dalam posisi sepenuhnya 100 %,
ternyata DTM masih mentoleransi bahwa jaminan ekonomi minimal harus dimiliki
dan dikuasai sebesar 60 %. Secara tersirat, penulis menilai bahwa DTM menyadari
tidak sepenuhnya kepemilikan dan penguasaan ekonomi bisa dilakukan sampai 100
%. Oleh sebab itu maka DTM menyebut soal konsesi, yang sesungguhnya tidak
sekedar bermakna politis, namun juga ekonomis. Dengan kata lain, persoalan
konsesi kemudian menjadi persoalan politik ekonomi atau ekonomi politik yang
harus disikapi dan ditindaklanjuti dengan berhati-hati. Sebab melalui konsesi
itulah sebuah negara-bangsa bisa saja merasa merdeka 100 % secara nasional dan
politis, namun tidak secara ekonomis.
4. Uraian DTM dalam Gerpolek ini
sampai saat ini atau dalam konteks kekinian masih relevan untuk direnungkan
bahkan digunakan untuk memahami sebagai pembelajaran bahkan sampai
ditindaklanjuti dalam praktik berbangsa-bernegara. Strategi gerpolek yang
dilakukan dalam perang rakyat dan perang ekonomi kemudian menggabungkan
persenjataan selayaknya yang harus dimiliki oleh Sang Gerilya, ternyata masih
relevan. Relevansi tersebut juga didukung oleh fakta bahwa sampai saat ini
tatanan dunia masih diselenggarakan secara struktural dan sistemik dengan
dominasi dan hegemoni negara-negara neoliberal kapitalistik-imperialistik.
Meskipun negara-negara tersebut kemudian mundur untuk mengedepankan
institusi-institusi dan organisasi-organisasi internasional, termasuk juga
menempatkan korporasi transnasional/multinasional sebagai panglima
bersenjatakan konsesi.
5. Untuk konteks kekinian di
Indonesia, bukankah persoalan ekonomi politik hari ini banyak disebabkan oleh
adanya konsesi-konsesi antara pemerintahan negara di tingkat pusat dan daerah
dengan negara lain, korporasi transnasional/multinasional, dan juga korporasi
nasional yang tidak berpihak kepada kemaslahatan ekonomi politik dan sosial
budaya kerakyatan? Konsesi-konsesi di perkotaan, perdesaan, pegunungan,
kehutanan, kelautan, dan di berbagai tempat yang akhirnya meminggirkan
perekonomian rakyat, menimbulkan konflik sosial berkepanjangan, dan juga menghancurkan
alam dan lingkungan bahkan kebudayaan masyarakat dan peradaban bangsa. Dan
akhirnya, pilihan politik ekonominya tetaplah sama: koperasi, bukan korporasi
yang harus diselenggarakan oleh Sang Gerilya, yaitu kita semua yang mencintai
negeri ini dan mencintai kemanusiaan dan keadilan sosial, tanpa terkecuali!
Demikianlah pembacaan ulang tentang Gerpolek sebagai salah
satu karya pemikiran DTM, mungkin saja ada yang terlewat. Oleh sebab itu,
kritik dan saran yang konstruktif sangat dibutuhkan untuk menyempurnakan
melalui diskusi atau dialog sebagai dialektika yang sehat dan menyehatkan kita
semua. Berikut ini adalah –entah puisi entah bukan, namun juga merupakan-
catatan akhir dalam Gerpolek DTM:
SANG GERILYA
Ditengah-tengah Masyarakat Rakyat Murba,
Ikut-serta bekerja di-sawah, kebun, pabrik dan tambang,
Diwaktu tiada berlatih atau berjuang!
Berlaku sebagai guru kepada murid,
Dan sebagai jururawat kepada yang sakit.
…………………………………….
Tetapi sekonyong-konyong laksana Kilat-Halilintar
…………………………………….
Mengejar halaukan musuh yang tersebar, kesasar!
…………………………………….
Langit atap-rumahnya, rumput kasurnya,
Mortir, mitraliyur karabin bantalnya
Atau dengan granat dan bambu-runcing,
Dalam panas hujan dia berbaring ………………..
…………………………………….
Sampai musuh hancur atau terpelanting!!!
Kembali dia ketengah Masyarakat-Rakyat-Murba
Sebagai Sang Gerilya
Putera dan Puteri, Tua dan Muda
Sampai Indonesia-Merdeka!
Padang, 29-30
Mei 2016.
[1] Disampaikan dalam
Dialog Kebangsaan 2 “Politik Pergerakan Kemerdekaan di Minangkabau”
diselenggarakan oleh Tan Malaka Institute dalam rangka Memperingati 119 tahun
Tan Malaka dan Menyambut Ramadan 1437 H di Galeri Taman Budaya, Jl. Diponegoro
19 Padang, Sumatera Barat, Indonesia pada Kamis 02 Juni 2016, Jam 10.00-16.00
WIB.
[2]
Dosen Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, Universitas Andalas. No.
HP/WA: 081268124099, email: vsetyaka@gmail.com
[3] Naskah yang penulis baca ulang dan menuliskan uraian
pemikiran Datuk Tan Malaka (DTM) di sini bersumber dari Tan Malaka (1948), Gerpolek: Gerilya Politik Ekonomi, Moerhan Collection (Kontributor: Abdul, Edior:
Ted Sprague, Maret 2008).
[4] Pengertian konsesi
yang paling mendekati dalam konteks ini adalah: (1) “hal yang
diberikan, terutama dalam menanggapi tuntutan”, (2) “hak untuk menggunakan tanah atau properti lainnya untuk
tujuan tertentu, yang diberikan oleh pemerintah, perusahaan, atau badan
pengendali lainnya.”
Sumber: Google.com. Diakses 30/05/2016.
[5] Para
“kapitalis-imperialis” dalam pengertian ini bisa siapa saja, artinya tidak
harus berasal dari luar negara/negeri, sebab makna dari “global” yang di maksud
di sini adalah tentang ruang dan waktu yang tidak terbatas.
[6] Penulis teringat
dengan seloroh dari Bang Yudilfan Habib dari Tan Malaka Institue (TMI) pada
saat Pelatihan Penulisan Sejarah bagi Non-Sejarawan pada 09-14 Mei 2016 di
Padang, beliau bilang: “Siapa bilang Belanda sudah tidak ada lagi di Inonesia? Ingat,
2/3 Belanda masih ada di Indonesia, perhatikanlah Bendera Nasional Indonesia”.
[7] Mengapa angka 60 %
ini dimunculkan DTM? Dari mana asal mulanya? Salah satu yang Penulis dapatkan
infonya, ternyata Presiden Soekarno pernah membuat kebijakan atau setidaknya
menyatakan demikian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar