Minggu, 08 Mei 2016

Membaca Pementasan Tiga Monolog Sutradara Perempuan Sumbar

OLEH Nasrul  Azwar (Sekjen AKSI)
Pementasan monolog Prodo Imitatio 
“Gelar akan terus diburu sepanjang orang butuh... Banyak kawan-kawan yang terus dengan gigih dan bertahan dalam bisnis jual beli gelar secara sembunyi-sembunyi dan kamuflase tinggi. Bagiku apalagi, kecoa si kepala baja telah membuat aku sadar dan belajar, bahwa sepanjang masih banyak orang memerlukan gelar tanpa harus bersusah payah asalkan punya uang, bisnisku tak akan mati...”

Begitulah Riza Fadli, seorang aktor, di atas panggung mengisahkan kebobrokan dunia pendidikan, diri, serta lingkungannya. Riza bermonolog, tapi memaknainya lebih jauh dari itu. Artikulasi yang jernih dengan irama dan tekanan pada makna dari teks (diksi) yang tepat, serta gerak tubuh yang efektif, membuat “Prodo Imitatio” terasa bernyawa. Bergerak. Ia bukan hanya sekadar monolog, tapi ia seolah “berdialog” soal mafia pendidikan dengan bisnis di dalamnya. Pohon yang dihadirkan dengan pemaknaan sebagai “pohon gelar” mempertegas tema yang dimaui naskah ini. Kendati terkadang terasa monoton.
Lay Apusi alias Prodo Imitatio nyaris sempurna merepresentasikan kegilaan dunia pendidikan kita dengan variasi-variasi masalah sosial, dan kebijakan pemerintah yang tak adil soal penangkapan wanita malam.
Ilustrasi di atas satu dari tiga monolog teater yang hadir dalam perayaan Hari Pendidikan Nasional 2 Mei lalu. Ada tiga perempuan sutradara teater yang mementaskan garapannya yang terkoneksi dengan hari bersejarah bagi pendidikan di Indonesia.
Dari pemaknaan yang dipentaskan, tampak ketiganya bukan sekadar meneriakkan cita-cita Ki Hajar Dewantara. Pun tagline “Nyalakan Pelita, Terangkan Cita-cita” tak semata hanya dibacakan saat peringatan Hardiknas oleh pemimpin upacara, tapi lebih kepada hakikat dengan merayakannya di panggung pertunjukan seni.
Ketiga perempuan sutradara teater Sumatera Barat itu adalah Mila K Sari dari Komunitas Seni Langit Padang, Kurniasih Zaitun komunitas seni Hitam Putih Padang Panjang, dan Desi Susanti dari indipenden, mementaskan monolog teater di panggung Sekolah Tinggi Keguruan Ilmu Pendidikan (STKIP) PGRI Sumbar persis saat perayaan Hardiknas pada Senin, 2 Mei 2016.   
Naskah yang diusung ke pentas, karena ketiganya terkoneksi sebagai pendidik, tak jauh-jauh dari profesi mereka di kampus sebagai pengajar: Kurniasih Zaitun dan Desi Susanti mengajar di ISI Padang Panjang, Mila K Sari di STKIP PGRI Sumbar, Padang.
Ketiga naskah yang dipanggungkan itu, “Aku Sang Presiden” ditulis Hermana HMT dengan sutradara Mila K Sari dan aktor Betria, “Prita Istri Kita” karya Arifin C Noer disutradarai Desi Susanti dengan aktor Marsya Rachmania Karsihati, dan “Prodo Imitatio” naskah ditulis Arthur S Nalan, sutradara Kurniasi Zaitun dengan pemainnya Riza Fadli.
Pertunjukan monolog teater yang masing-masing berdurasi 30 menit itu, tak saya duga, berhasil mengikat penonton yang semuanya mahasiswa calon guru ini, hingga tuntas, kendati ruang pertunjukan agak panas. Tampaknya, potensi penonton seni di Sumatera Barat itu, memang dari kalangan ini.
Seperti umumnya naskah-naskah karya almarhum Arifin C Noer, yang menjadikan persoalan kalangan masyarakat miskin sebagai tema, “Prita Istri Kita” tak lepas dari problem serupa.
Di atas panggung, Desi Susanti sebagai sutradara “Prita Istri Kita”, sejak awal telah mengantarkan imajinasi penonton dengan ikon kemiskinan ala Arifin ini. Meja kayu kumal dan lapuk dengan seperangkat alat-alat yang sederhana berupa piring, tempat air minum berbahan plastik, dan gelas, serta kursi yang reot dihadirkan di atas pentas. 
Juga, tubuh aktor yang diperankan Marsya Rachmania Karsihati direpresentasikan dengan ikon-ikon kemiskinan yang identik secara sosial: Berpakaian kumal dengan raut wajah awut-awutan. Sudah lazim pula dalam naskah tokoh teater dan film ini, dengan cara kaum kusam itu, mereka mengekspresikan percintaannya bahasa yang gamblang. Lakon ini mengisahkan keluarga sederhana pasangan suami istri Prita dan Broto. Broto berprofesi sebagai guru. Prita ibu rumah tangga.
Pemeranan yang dieksplorasi Marsya untuk lakon Prita, terasa tak semaksimal “Prita” menjalani hidupnya yang ia anggap mencegangkan itu. Kendati begitu, bawaan Marsya di atas panggung cukup komunikatif dengan penonton.       
Pemeranan “Aku Sang Presiden” yang dibawa Betria, memang beda dari dua naskah yang disebutkan di atas. Naskah ini menceritakan seorang tokoh pengusaha dan juga politik yang di masa tuanya terkena stroke sehingga bibir dan wajahnya terlihat tak normal. Namanya Gus Sar.
Penulis naskah ini, Hermana HMT membagi tiga fase kehidupan Gus Sar. Masa kecil, remaja, dan masa tua. Masing-masing fase itu, punya kisah dan konflik yang beda satu sama lainnya. Tiga kehidupan inilah yang diperankan Betria. Memang terasa berat tapi cukup lancar dibawakan aktor Komunitas Langit ini.
Di atas pentas sutradara menghadirkan semacam kerangka kayu dengan tiga frame atau bingkai. Kerangka kayu ini mirip kerangkeng atau kamar. Gus Sar membatin dan menghabiskan masa-masa tuanya di dalamnya. 
“Mereka memanggilku Gus Sar Sang Presiden. Betul. Presiden bagi para bajingan. Aku sang presiden bagi para penjahat. Aku sebagai sang presiden lebih penting dibicarakan daripada membicarakan kampanye capres dan cawapres atau pilgub.” Kata-kata ini membahana diucapkan Gus Sar.
Monoton yang Tak Terhindar
Pramana Padmodarmaya, seorang pemikir teater dan film yang meninggal di Jakarta, 16 Januari 2013 lalu, dalam buku Pertemuan Teater 80 yang diterbitkan Dewan Kesenian Jakarta menguraikan panjang lebar masalah monolog ini.
Monolog menurutnya, di atas panggung, ia mungkin sebuah bentuk lain dari sebuah permainan seorang diri. Maka, apa yang terjadi di atas pentas ada dua hal: Pemeran akan mengikuti konsep dirinya sendiri, atau akan mengikuti konsep dari luar (sutradara dan lingkungan).
Dalam proses latihan hingga pementasan, ada tiga hal yang dihadapi langsung pemeran atau aktor: Pertama dirinya sendiri, kedua sutradara, dan ketiga lingkungannya (properti, setting, penonton dan lainnya).
Merujuk dari uraian Pramana Padmodarmaya atau yang dikenal dengan Pramana Pmd, menjadi menarik membaca lebih jauh tiga pertunjukan monolog teater yang disutradarai tiga perempuan itu.
Pertama, dibaca dari aspek elemen teater dan panggung, serta konsep sutradara dan pemeranan. Ini tentu sangat teknis, tapi penting dikoneksikan dalam kerangka merekonstruksi seni teater yang kian terpinggirkan dari atas panggung. Teater kian tenggelam ketika pelaku dan sutradaranya lebih gemar menyebut seni pertunjukan tinimbang seni peran (teater). 
Kedua, terkoneksi dengan teks yang berada di luar teks teater itu sendiri. Ini artinya, pementasan monolog cukup diapresiasi publik, khusus mahasiswa. Penonton di STKIP PGRI Sumatera Barat, siang itu, membuktikan seni pemeranan monolog cukup mendapat tempat.
Ini memang bukan pertama kali pertunjukan monolog di Sumatera Barat. Tapi, triwulan pertama 2016, saya kira inilah yang terpantau. Mungkin ada di tempat lain yang luput dari saya. 
Peristiwa seni memang tak serta merta dihadirkan, termasuk tiga monolog menghiasi perayaan Hardiknas itu. Ada proses dan perencanaan sebelumnya. Dan ini relatif memakan waktu dan tenaga, serta pikiran.
Saya sendiri tidak intensif mengikuti proses latihan ketiga monolog itu. Jika pun ada, cuma proses latihan terakhir monolog “Aku Sang Presiden”. Tapi saya meyakini, ketiganya melewati proses dan tahapan laiknya sebuah pementasan. Dan ini memang terasa saat mereka tampil di atas pentas bahwa apa yang tersaji bukan dimulai kemarin sorenya.
Kendati begitu, ada beberapa catatan yang saya lakukan terhadap pertunjukan tersebut walau garis besar sudah saya singgung di atas.
Kita semua sudah tahu, proses dan tahapan kehadiran pementasan monolog tidak berbeda dengan proses teater yang  garapannya lebih dari satu pemain. Dipastikan ada bedah naskah bersama sutradara disertai tentu dengan dramaturginya, lalu pembacaan terhada naskah.
Ini sebenarnya tahap krusial dalam proses pematangan konsep panggung dan penyutradaraan. Pemeran sendiri harus duduk dulu dan paham bagian ini. Sutradara dan pemeran harus satu persepsi untuk melangkah ke tahap selanjutnya, yakni pemeranan tokoh dalam naskah yang digarap.
Pada bagian ini, saya menengarai, ketiga monolog itu tidak melewati proses ini secara maksimal dan matang. Pemeran masih sangat kentara baru mencapai “hapal naskah” belum masuk pada hakikat karakter, psikis dan fisik (rohaniah dan jasmaniah), sosiologis dan antropologis tokoh dan latar ceritanya. Dampak dari hal ini cukup besar terhadap tiga pementasan, yaitu lepas dan lempang: Pementasan seperti “yatim-piatu” saja.
Sementara itu, ketiga sutradara secara serempak kayanya juga tak maksimal mengembangkan konsep panggungnya: bahwa problem yang akan dihadapi adalah ruang dan waktu serta kondisi tempat pementasan. Ini luput diselaraskan ketiga sutradara sehingga pementasan menjadi tak “berwarna” alias monoton. Tapi, kemonotonan itu tampak agak terminimalisir dengan beberapa dialog yang cair dan komunikatif. Ada pesan yang direspons publik penonton.
Jika ketiga pementasan monolog ini akan dilanjutkan penggarapannya, maka dua poin di atas jadi sangat penting, selain tentu saja penajaman wawasan dan karakter pemeran.
Literasi dasar yang menjadi komponen penting dalam setiap proses berkesenian adalah membaca. Membaca itu bukan semata teks fisik tapi juga teks psikis, yang memang bisa muncul karena terasahnya sensitivitas dan kepekaan batin. Pemeranan yang baik dan tepat bukan kerja semalam. Bukan instan. Sutradara yang piawai adalah saat ia berhasil mentransformasikan gagasan dan konsepnya kepada pemainnya. Saat itulah aktor muncul.

Tetapi di luar dari teks-teks kesenian, ternyata kolaborasi dan sinergitas antarkampus perguruan tinggi, taruhlah ISI Padang Panjang dengan STKIP PGRI Sumbar ini, membuka kemungkinan bergairahnya kesenian, terutama seni teater. Lalu, mengapa hal yang positif ini tidak dikembangkan dengan yang lainnya, misal Unand, UNP, UBH, UPI, UMSB, IAIN, dan seterusnya. Jika ini terjalin baik, tak mustahil akan muncul festival-festival seni antarkampus di Sumbar. Dan ini jelas sangat membahagiakan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...