OLEH Nasrul Azwar (Sekjen AKSI)
Pementasan monolog Prodo Imitatio |
“Gelar
akan terus diburu sepanjang orang butuh... Banyak kawan-kawan yang terus dengan
gigih dan bertahan dalam bisnis jual beli gelar secara sembunyi-sembunyi dan
kamuflase tinggi. Bagiku apalagi, kecoa si kepala baja telah membuat aku sadar
dan belajar, bahwa sepanjang masih banyak orang memerlukan gelar tanpa harus
bersusah payah asalkan punya uang, bisnisku tak akan mati...”
Begitulah Riza Fadli, seorang aktor, di
atas panggung mengisahkan kebobrokan dunia pendidikan, diri, serta lingkungannya.
Riza bermonolog, tapi memaknainya lebih jauh dari itu. Artikulasi yang jernih
dengan irama dan tekanan pada makna dari teks (diksi) yang tepat, serta gerak
tubuh yang efektif, membuat “Prodo Imitatio” terasa bernyawa. Bergerak. Ia
bukan hanya sekadar monolog, tapi ia seolah “berdialog” soal mafia pendidikan
dengan bisnis di dalamnya. Pohon yang dihadirkan dengan pemaknaan sebagai
“pohon gelar” mempertegas tema yang dimaui naskah ini. Kendati terkadang terasa
monoton.
Lay Apusi alias Prodo Imitatio nyaris
sempurna merepresentasikan kegilaan dunia pendidikan kita dengan
variasi-variasi masalah sosial, dan kebijakan pemerintah yang tak adil soal penangkapan
wanita malam.
Ilustrasi di atas satu dari tiga monolog
teater yang hadir dalam perayaan Hari Pendidikan Nasional 2 Mei lalu. Ada tiga
perempuan sutradara teater yang mementaskan garapannya yang terkoneksi dengan
hari bersejarah bagi pendidikan di Indonesia.
Dari pemaknaan yang dipentaskan, tampak ketiganya
bukan sekadar meneriakkan cita-cita Ki Hajar Dewantara. Pun tagline “Nyalakan Pelita, Terangkan
Cita-cita” tak semata hanya dibacakan saat peringatan Hardiknas oleh pemimpin
upacara, tapi lebih kepada hakikat dengan merayakannya di panggung pertunjukan
seni.
Ketiga perempuan sutradara teater
Sumatera Barat itu adalah Mila K Sari dari Komunitas Seni Langit Padang,
Kurniasih Zaitun komunitas seni Hitam Putih Padang Panjang, dan Desi Susanti
dari indipenden, mementaskan monolog teater di panggung Sekolah Tinggi Keguruan
Ilmu Pendidikan (STKIP) PGRI Sumbar persis saat perayaan Hardiknas pada Senin,
2 Mei 2016.
Naskah yang diusung ke pentas, karena
ketiganya terkoneksi sebagai pendidik, tak jauh-jauh dari profesi mereka di
kampus sebagai pengajar: Kurniasih Zaitun dan Desi Susanti mengajar di ISI Padang
Panjang, Mila K Sari di STKIP PGRI Sumbar, Padang.
Ketiga naskah yang dipanggungkan itu,
“Aku Sang Presiden” ditulis Hermana HMT dengan sutradara Mila K Sari dan aktor
Betria, “Prita Istri Kita” karya Arifin C Noer disutradarai Desi Susanti dengan
aktor Marsya Rachmania Karsihati, dan “Prodo Imitatio” naskah ditulis Arthur S
Nalan, sutradara Kurniasi Zaitun dengan pemainnya Riza Fadli.
Pertunjukan monolog teater yang
masing-masing berdurasi 30 menit itu, tak saya duga, berhasil mengikat penonton
yang semuanya mahasiswa calon guru ini, hingga tuntas, kendati ruang
pertunjukan agak panas. Tampaknya, potensi penonton seni di Sumatera Barat itu,
memang dari kalangan ini.
Seperti umumnya naskah-naskah karya almarhum
Arifin C Noer, yang menjadikan persoalan kalangan masyarakat miskin sebagai
tema, “Prita Istri Kita” tak lepas dari problem serupa.
Di atas panggung, Desi Susanti sebagai
sutradara “Prita Istri Kita”, sejak awal telah mengantarkan imajinasi penonton
dengan ikon kemiskinan ala Arifin ini. Meja kayu kumal dan lapuk dengan
seperangkat alat-alat yang sederhana berupa piring, tempat air minum berbahan
plastik, dan gelas, serta kursi yang reot dihadirkan di atas pentas.
Juga, tubuh aktor yang diperankan Marsya
Rachmania Karsihati direpresentasikan dengan ikon-ikon kemiskinan yang identik
secara sosial: Berpakaian kumal dengan raut wajah awut-awutan. Sudah lazim pula
dalam naskah tokoh teater dan film ini, dengan cara kaum kusam itu, mereka
mengekspresikan percintaannya bahasa yang gamblang. Lakon ini mengisahkan
keluarga sederhana pasangan suami istri Prita dan Broto. Broto berprofesi
sebagai guru. Prita ibu rumah tangga.
Pemeranan yang dieksplorasi Marsya untuk
lakon Prita, terasa tak semaksimal “Prita” menjalani hidupnya yang ia anggap
mencegangkan itu. Kendati begitu, bawaan Marsya di atas panggung cukup
komunikatif dengan penonton.
Pemeranan “Aku Sang Presiden” yang dibawa
Betria, memang beda dari dua naskah yang disebutkan di atas. Naskah ini menceritakan
seorang tokoh pengusaha dan juga politik yang di masa tuanya terkena stroke sehingga bibir dan wajahnya
terlihat tak normal. Namanya Gus Sar.
Penulis naskah ini, Hermana HMT membagi
tiga fase kehidupan Gus Sar. Masa kecil, remaja, dan masa tua. Masing-masing
fase itu, punya kisah dan konflik yang beda satu sama lainnya. Tiga kehidupan
inilah yang diperankan Betria. Memang terasa berat tapi cukup lancar dibawakan
aktor Komunitas Langit ini.
Di atas pentas sutradara menghadirkan
semacam kerangka kayu dengan tiga frame atau bingkai. Kerangka kayu ini mirip
kerangkeng atau kamar. Gus Sar membatin dan menghabiskan masa-masa tuanya di
dalamnya.
“Mereka
memanggilku Gus Sar Sang Presiden. Betul. Presiden bagi para bajingan. Aku sang
presiden bagi para penjahat. Aku sebagai sang presiden lebih penting
dibicarakan daripada membicarakan kampanye capres dan cawapres atau pilgub.” Kata-kata ini membahana
diucapkan Gus Sar.
Monoton
yang Tak Terhindar
Pramana Padmodarmaya, seorang pemikir teater dan film yang meninggal di
Jakarta, 16 Januari 2013 lalu, dalam buku Pertemuan
Teater 80 yang diterbitkan Dewan Kesenian Jakarta menguraikan panjang lebar
masalah monolog ini.
Monolog menurutnya, di atas panggung, ia mungkin sebuah bentuk lain dari
sebuah permainan seorang diri. Maka, apa yang terjadi di atas pentas ada dua
hal: Pemeran akan mengikuti konsep dirinya sendiri, atau akan mengikuti konsep
dari luar (sutradara dan lingkungan).
Dalam proses latihan hingga pementasan, ada tiga hal yang dihadapi
langsung pemeran atau aktor: Pertama dirinya sendiri, kedua sutradara, dan
ketiga lingkungannya (properti, setting, penonton dan lainnya).
Merujuk dari uraian Pramana Padmodarmaya atau yang dikenal dengan Pramana
Pmd, menjadi menarik membaca lebih jauh tiga pertunjukan monolog teater yang
disutradarai tiga perempuan itu.
Pertama, dibaca dari aspek elemen teater dan panggung, serta konsep
sutradara dan pemeranan. Ini tentu sangat teknis, tapi penting dikoneksikan
dalam kerangka merekonstruksi seni teater yang kian terpinggirkan dari atas
panggung. Teater kian tenggelam ketika pelaku dan sutradaranya lebih gemar
menyebut seni pertunjukan tinimbang seni peran (teater).
Kedua, terkoneksi dengan teks yang berada di luar teks teater itu
sendiri. Ini artinya, pementasan monolog cukup diapresiasi publik, khusus
mahasiswa. Penonton di STKIP PGRI Sumatera Barat, siang itu, membuktikan seni
pemeranan monolog cukup mendapat tempat.
Ini memang bukan pertama kali pertunjukan monolog di Sumatera Barat. Tapi,
triwulan pertama 2016, saya kira inilah yang terpantau. Mungkin ada di tempat
lain yang luput dari saya.
Peristiwa seni memang tak serta merta
dihadirkan, termasuk tiga monolog menghiasi perayaan Hardiknas itu. Ada proses
dan perencanaan sebelumnya. Dan ini relatif memakan waktu dan tenaga, serta
pikiran.
Saya sendiri tidak intensif mengikuti
proses latihan ketiga monolog itu. Jika pun ada, cuma proses latihan terakhir monolog
“Aku Sang Presiden”. Tapi saya meyakini, ketiganya melewati proses dan tahapan
laiknya sebuah pementasan. Dan ini memang terasa saat mereka tampil di atas
pentas bahwa apa yang tersaji bukan dimulai kemarin sorenya.
Kendati begitu, ada beberapa catatan yang
saya lakukan terhadap pertunjukan tersebut walau garis besar sudah saya
singgung di atas.
Kita semua sudah tahu, proses dan tahapan
kehadiran pementasan monolog tidak berbeda dengan proses teater yang garapannya lebih dari satu pemain. Dipastikan
ada bedah naskah bersama sutradara disertai tentu dengan dramaturginya, lalu pembacaan
terhada naskah.
Ini sebenarnya tahap krusial dalam proses
pematangan konsep panggung dan penyutradaraan. Pemeran sendiri harus duduk dulu
dan paham bagian ini. Sutradara dan pemeran harus satu persepsi untuk melangkah
ke tahap selanjutnya, yakni pemeranan tokoh dalam naskah yang digarap.
Pada bagian ini, saya menengarai, ketiga
monolog itu tidak melewati proses ini secara maksimal dan matang. Pemeran masih
sangat kentara baru mencapai “hapal naskah” belum masuk pada hakikat karakter,
psikis dan fisik (rohaniah dan jasmaniah), sosiologis dan antropologis tokoh
dan latar ceritanya. Dampak dari hal ini cukup besar terhadap tiga pementasan,
yaitu lepas dan lempang: Pementasan seperti “yatim-piatu” saja.
Sementara itu, ketiga sutradara secara
serempak kayanya juga tak maksimal mengembangkan konsep panggungnya: bahwa
problem yang akan dihadapi adalah ruang dan waktu serta kondisi tempat
pementasan. Ini luput diselaraskan ketiga sutradara sehingga pementasan menjadi
tak “berwarna” alias monoton. Tapi, kemonotonan itu tampak agak terminimalisir
dengan beberapa dialog yang cair dan komunikatif. Ada pesan yang direspons
publik penonton.
Jika ketiga pementasan monolog ini akan
dilanjutkan penggarapannya, maka dua poin di atas jadi sangat penting, selain
tentu saja penajaman wawasan dan karakter pemeran.
Literasi dasar yang menjadi komponen
penting dalam setiap proses berkesenian adalah membaca. Membaca itu bukan
semata teks fisik tapi juga teks psikis, yang memang bisa muncul karena
terasahnya sensitivitas dan kepekaan batin. Pemeranan yang baik dan tepat bukan
kerja semalam. Bukan instan. Sutradara yang piawai adalah saat ia berhasil
mentransformasikan gagasan dan konsepnya kepada pemainnya. Saat itulah aktor
muncul.
Tetapi di luar dari teks-teks kesenian,
ternyata kolaborasi dan sinergitas antarkampus perguruan tinggi, taruhlah ISI
Padang Panjang dengan STKIP PGRI Sumbar ini, membuka kemungkinan bergairahnya
kesenian, terutama seni teater. Lalu, mengapa hal yang positif ini tidak
dikembangkan dengan yang lainnya, misal Unand, UNP, UBH, UPI, UMSB, IAIN, dan
seterusnya. Jika ini terjalin baik, tak mustahil akan muncul festival-festival
seni antarkampus di Sumbar. Dan ini jelas sangat membahagiakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar