OLEH Linda Christanty (Sastrawan)
Salah satu seniman Indonesia yang paling mendunia ini mempelajari memori
tubuh dengan menelusuri teks-teks sejarah dan menyembuhkan traumanya dengan
berkarya.
MUSIM SEMI 1994 di Braunschweig, sebuah kota di Jerman. Melati Suryodarmo
duduk di bangku kebun raya, memandangi kolam. Bunga-bunga teratai bermekaran.
Ia sering merenung, membaca, ataupun menulis di tempat ini. Seorang perempuan
berkacamata Ray-Ban dan bersepatu tumit tinggi duduk di sebelahnya, yang
kemudian menyapa ramah, “Kamu dari mana? Apa yang kamu kerjakan di sini?”
Mereka bercakap-cakap.
“Dia ternyata Anzu Furukawa, penari butoh dan profesor seni rupa di HBK
(Hochschule für Bildende Künste Braunschweig/Braunschweig University of Art),”
kenang Melati, yang disebut sebagai ‘salah satu seniman pertunjukan asal
Indonesia yang paling mendunia’ oleh suratkabar New York Times.
Melati tidak asing terhadap butoh atau seni pertunjukan tradisional Jepang.
Ia menuturkan kepada Anzu pengalamannya menyertai ayahnya yang bekerja sama
dengan kelompok butoh Kyoto dua tahun lalu. Anzu lantas menawarinya menjadi
mahasiswa tamu. Setahun kemudian ia mendaftarkan diri secara resmi dan diterima
belajar di HBK.
Pertemuan tak sengaja dengan Anzu merupakan satu titik penting yang
mengubah jalan hidupnya hingga menjadi seorang seniman. Ketika itu ia baru saja
tiba di Jerman, tengah menyesuaikan diri dengan budaya setempat dan hubungannya
dengan pasangan sedang menuju babak paling sulit.
Sebelum pergi ke Braunschweig, ia menamatkan belajar di Jurusan Hubungan
Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Padjadjaran
di Bandung. Ia juga mengenal sastra, berkesenian, dan mengasah sikap kritis di
kota itu. Di Bandung pula ia pertama kali mendengar kata ‘performance art’
('seni rupa pertunjukan'), yang menjadi mata kuliah di kelas Anzu.
“Marintan Sirait mengajak menonton pameran di Goethe Institut yang
menayangkan video dokumenter pertunjukan Joseph Beuys,” tuturnya. Marintan,
seniman kontemporer yang tinggal di Bandung, sedangkan Beuys adalah seniman
Jerman dan salah satu ikon seni rupa pertunjukan. Video tersebut merekam
pertunjukan Beuys pada 1974. Ia menentang tindakan militer Amerika Serikat di
Perang Vietnam dan menolak bersentuhan dengan apa pun di Amerika, kecuali
dengan seekor coyote. Tindakan itu sebuah cara seni melawan hegemoni.
Di kelas Anzu, para mahasiswa belajar menganalisis memori tubuh. “Kami
mencoba menengok sejarah dengan mengeksperimenkan tubuh kepada konteks sejarah
tersebut. Kami mempelajari sejarah kegelapan dalam peradaban manusia. Kalau
kita tahu sejarah kita seperti apa, kita akan lebih legowo," kisah
Melati.
Setelah berguru pada Anzu dari tahun 1994 hingga 1997, ia menjadi murid
Marina Abramovic, seniman terkemuka asal Serbia. Melati menganggap Marina telah
mengembalikan dirinya kepada akarnya, “Kami diajak retret ke Spanyol Selatan di
musim panas, ketika suhu mencapai 40 derajat Celcius. Selama dua minggu kami
tidak boleh bicara, tidak makan apa pun dan hanya minum air putih. Orang Jawa
bilang seperti ngelakoni.”
Masa kecil hingga remaja Melati di Solo akrab dengan spiritualisme Jawa. Ia
sering menemani ayahnya bermeditasi di candi-candi. Sang ayah, Suprapto
Suryodarmo, memelopori gerakan baru dalam kesenian dengan memperkenalkan metode
Amerta pada 1970-an. “Dulu disebut movement meditation,” katanya.
Orang-orang dari berbagai negara dan profesi datang ke Solo untuk belajar pada
ayahnya, yang juga sering diundang ke luar negeri untuk mengajar. Berbeda
dengan ayahnya yang berjiwa pembaru, ibunya, Siti Nuryamtinah, penari Jawa
klasik yang taat pakem. “Tapi mereka saling dukung,” ujar Melati.
Banyak peristiwa di masa itu yang mendekatkannya kepada seni. Dulu ia
tinggal di Sasono Mulyo, dalam lingkungan keraton, yang menjadi cikal-bakal
Institut Seni Indonesia Surakarta. Di halaman pendopo, ia pernah menyaksikan
latihan karya eksperimental Sardono W. Kusumo, Dongeng dari Dirah.
Penari utama, Sukmawati Soekarno, bertelanjang dada. Rambut panjang terurai.
Mata besar, dipulas pidih. Melati tercengang. Usianya baru 5 tahun.
Kelak ia belajar menari Jawa pada Ngaliman Tjondro Pangrawit, seorang mpu tari.
Masa remajanya dilalui dengan merawat ibu yang mengidap kanker. Ayahnya
khawatir ia tumbuh menjadi pemurung lalu meminta putri sulungnya belajar
meditasi Sumarah yang bertujuan menerima hidup. “Aku belajar Sumarah dari
umur 13 tahun sampai lulus SMA dengan Pak Suwondo.” Laura Romano, perempuan
Italia yang menetap di Indonesia sejak 1973 dan teman baik orangtuanya,
mendampingi Melati belajar ketika itu. Ia akhirnya kehilangan ibu, “Menjelang
aku kuliah di Bandung, ibuku meninggal. Adikku yang bungsu, yang baru berumur 4
tahun diadopsi tanteku di Jakarta. Adikku yang nomor dua tinggal berdua dengan
bapakku di Solo.” Ayahnya kelak mendirikan Padepokan Lemah Putih untuk
mengenang mendiang ibunya.
Pada 2005, ia sering pulang ke Indonesia. Sejak 2007 Melati
menyelenggarakan festival seni rupa pertunjukan di Solo, Undisclosed
Territory. Festival ini berlangsung setahun sekali. Untuk membangun kerja
sama dengan senimandan institusi seni di luar arus utama, ia menyempatkan
datang ke festival-festival independen yang diselenggarakan jaringan
internasional seni rupa pertunjukan.
Sosok ayah yang kreatif dan gigih mengilhami Melati mendirikan Studio
Plesungan di Karanganyar, Jawa Tengah, pada 2012, dengan niat mendukung
perkembangan seni rupa pertunjukan dan seni pertunjukan. “Aku mengadaptasi
model sustainability bapakku. Dia menghidupkan tempatnya sendiri,
membuat jaringan sendiri. Ini model kedaulatan ekonomi yang bisa menjadi masa
depan.”
Dalam 30 tahun, Melati telah mencipta 50 karya. Butter Dance paling
mengundang perhatian publik. Video pertunjukan ini yang ditayangkan tiga tahun
lalu di Youtube memperoleh 1.720.939 “like” dan 2.631 komentar. Butter Dance
mengetengahkan sensitivitas manusia dalam menolong diri sendiri untuk
bangkit dari situasi yang tidak nyaman. Melati mengenakan gaun mini ketat dan
sepatu bertumit tinggi, menari di atas mentega, jatuh bangun mencari
keseimbangan. Karya ini memiliki berlapis-lapis makna. Perempuan Asia yang
mengenakan pakaian ketat dan sepatu bertumit tinggi sering dipandang negatif di
Eropa, dianggap perempuan murahan. Citra itu terbentuk oleh rasisme. Wujudnya
adalah diskriminasi. Menari di atas mentega bagi Melati adalah ungkapan dari
pengalaman pribadi. Mentega, selain seni, telah mengubah hidupnya. Ia rutin
mengonsumsi mentega sejak tinggal di Jerman, “Berat badanku naik 13 kilogram
dalam tiga bulan pertama di negara itu dan tidak turun-turun lagi.”
Seperti Beuys, Melati kadang kala menggunakan binatang untuk pementasan. Ia
pernah mengendalikan kuda dalam Lullaby for the Ancestors di Italia pada
2001. Ia terkurung dalam kotak kaca bersama tujuh kelinci ketika mementaskan Perception
of Patterns in Timeless Influence di Swedia pada 2007. Katanya, “Kelinci
adalah salah satu binatang yang dipakai sebagai simbol mitos. Suku Maya, bangsa
Cina dan Jepang menjadikannya simbol kesuburan dan kemakmuran. Ilmu psikologi
modern memanfaatkan kelinci yang sensitif sebagai penyembuh trauma. Anak-anak
yang mengalami trauma berat akibat kecelakaan atau perang disarankan memelihara
kelinci.” Pementasan ini mengetengahkan dampak kolonialisme terhadap korban.
Tapi ia tidak pernah memaksa publik berpikir sama dengan dirinya. “Mungkin
aku salah satu orang yang tidak menyukai bentuk sebagai hasil akhir. Kalau aku
membuat instalasi, aku membuat instalasi yang interaktif. Orang bisa
menyentuhnya dan bukan sesuatu yang dipajang.”
Ada yang menganggap karyanya ‘kebarat-baratan’. Ia sama sekali tidak
menyangkal, “Jerman seperti Tanah Airku yang kedua. Aku bukan kebarat- baratan.
Aku memang pernah hidup di Barat. Buku-bukuku waktu kuliah dulu dari Barat,
meski aku sekolah di Indonesia. Aku bersekolah seni di Jerman, pendidikan
Barat. Tapi apa salahnya aku punya paspor Indonesia? Aku masih bisa menulis
aksara Jawa halus, masih mengerti tata ritual Jawa. Mungkin sudah saatnya kita
tidak mempertentangkan antara Barat dan Timur atau Jawa atau Nusantara
lagi."
Tiga bulan sekali ia terbang ke Jerman. Ia tidak pernah melupakan
pertemuannya dengan Anzu Furukawa di negara itu. ”Dia hadir di saat aku tidak
tahu tujuan hidup dan masa depan,” katanya. Ia merasa memiliki ikatan batin
yang mendalam dengan sang guru. Pada 2001 Anzu meninggal dunia di Berlin,
karena kanker. Namun ia terus berkarya. Duka cita dari masa lalunya
tersembuhkan. Katanya, “Sebagai seniman, berkarya adalah caraku menyembuhkan
trauma.”
*Pertama kali diterbitkan di rubrik “Profil” Majalah Dewi edisi Mei 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar