Selasa, 19 April 2016

RPJMD Sumbar 2016-2021: Nyanyian Seniman dalam Jangka Menengah

OLEH Nasrul Azwar (Sekjen AKSI)
Irwan Prayitno-Nasrul Abit
Pemerintah Provinsi Sumatera Barat sedang menyusun dan merumuskan rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD) Sumatera Barat 2016-2021. Untuk menghimpun masukan, Gubernur Irwan Prayitno dan Wakil Gubernur Nasrul Abit telah membuka diskusi publik dengan pelbagai elemen dan tokoh masyarakat, dan dihadiri semua kepala-kepala dinas, badan, dan jajarannya.
Penyusunan RPJMD dikaitkan dengan visi dan misi kedua pasangan ini yang disampaikan saat kampanye pemilihan kepala daerah tahun lalu. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Sumatera Barat akan menyusun dokumen perencanaan lima tahunan (RPJMD) yang memuat visi-misi, tujuan, sasaran, strategi, arah kebijakan, program prioritas, dan indikasi pendanaannya. 
Mengacu pada UU No 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, di pasal 264 ditulis: RPJMD ditetapkan dengan peraturan daerah paling lambat 6 bulan setelah kepala daerah dilantik. Ini artinya, pada 12 Agustus 2016, RPJMD 2016-2021 harus diketuk palu dengan ditandai pengesahan perdanya. Pasangan ini dilantik Presiden Joko Widodo pada 12 Februari 20016 di Istana Negara.
Kesenian yang Terabaikan
Penyusunan RPJMD masih menyisakan waktu tiga bulan ke depan. Kendati begitu, 100 hari itu bukan masa yang panjang untuk membicangkan kebudayaan dalam pengertian yang lebih spesifik, yaitu kesenian. Kesenian adalah satu bagian yang selama ini diabaikan dalam penyusunan RPJMD.     
Membaca dokumen RPJMD 2010-2015, pengabaian pada kesenian sudah sangat kentara sekali. Dan untuk RPJMD 2016-2020, nasib serupa tak akan beranjak dari sebelumnya: Kesenian tetap akan diabaikan.
Dalam visi-misi yang “dijual” pasangan Irwan Prayitno-Nasrul Abit, yang akhirnya membawa keduanya sebagai pemenang dalam Pilgub Sumbar pada 9 Desember 2015 lalu, kesenian bukan sesuatu yang penting untuk dimasukkan dalam poin-poinnya. Dalam 10 prioritas pembangunan yang disusun Bappeda, kesenian (tradisi dan modern) juga tidak menjadi hal penting amat.
Dalam pengertian yang sederhana, hasil cipta seni adalah bagian dari usaha manusia merawat dinamika kultural yang dialektis yang dimuarakan kepada upaya transformasi nilai-nilai dari satu generasi ke generasi lain. Maka, ketika sisi ini tak diisi dalam rencana pembangunan, kehidupan satu generasi di Sumatera Barat terasa pincang.
Dalam dokumen RPJMD 2010-2015 yang terkait dengan pengembangan kebudayaan, diberi judul “Peningkatan Penerapan Ajaran Agama dan Budaya Daerah”, memang sangat normatif dan terkesan statis. Kebudayaan dipandang dalam kerangka yang kaku. 
Ada enam sub-tema yang dipaparkan yang salah satunya adalah program pemberdayaan lembaga adat, seni, dan budaya. Lima program lainnya terkait dengan agama dan pendidikan. 
Untuk program pemberdayaan lembaga adat, seni, dan budaya dinilai kurang maksimal dalam pelaksanaan kegiatannya sehingga tidak mencapai target yang diharapkan.
Menarik memang membaca RPJMD Sumbar yang disusun Bappeda itu. Tampak jelas, kebudayaan dan ikutan variasinya (kesenian, adat, dan pendidikan) sebenarnya bukan sesuatu yang serius untuk dibangun. Kebudayaan tak begitu penting ketimbang pengembangan peternakan. 
Sementara, institusi budaya budaya (adat), katakanlah LKAAM dan Bundo Kanduang,  yang didanai dari APBD, belum sepenuhnya bisa berfungsi mendorong dan menfasilitasi peningkatan apresiasi budaya Minangkabau dengan filosofi ABS-SBK. Sedangkan, lembaga seni, katakanlah Dewan Kesenian, sejak 2010 hingga hari ini, memang benar-benar tidak ada wujudnya sama sekali sehingga pemerintah pun tak bisa berbuat apa-apa.
Selain itu, di samping tidak mampu berfungsi melayani kehidupan seni dan budaya, LKAAM dan Dewan Kesenian, terkesan lebih menonjolkan konflik yang kental muatan politis daripada program yang bermutu.
Pemerintah Provinsi Sumatera Barat sendiri juga tak bisa melepaskan tanggung jawab demikian saja terhadap kevakuman Dewan Kesenian, misalnya. Pemprov Sumbar seharusnya berinisiatif  dan mendorong terbentuknya pengurus Dewan Kesenian, bukan sebaliknya, terkesan tak peduli.
Juga tak bisa membiarkan sepanjang tahun, LKAAM dan Bundo Kanduang, tanpa berkegiatan karena dananya tidak dialokasikan dalam APBD. Mengkategorikan lembaga ini dalam hibah dengan alokasi dana sekali dua tahun, layak ditinjau lagi.
RPJMD Provinsi Sumatera Barat semestinya memberikan akses yang luas untuk pengembangan aspek kebudayaan dan kesenian. Tak bisa dipungkiri, dari kesenian tak terhitung lagi seniman yang telah mengharumkan nama daerah ini, baik tingkat nasional maupun internasional. Tapi, dalam penyusunan RPJMD, seniman dan budayawan jarang dilibatkan dan diajak untuk berdiskusi.
Selain itu pula, kendati Sumbar memiliki demikian banyak seniman nasional dan internasional, sekadar menyebut nama: Gus tf (sastra), Ery Mefri dan Ali Sukri (tari), Yusril Katil (teater), Sawir Sutan Mudo (dendang saluang), Zirwen Hasri (perupa), Musra Dahrizal Katik (seni tradisi Minang), dan seterusnya, tapi Pemrov Sumbar sependek yang saya tahu, belum memberi apresiasi yang bermutu.
Tak bisa pula ditutupi, capaian prestasi karya seni yang diraih bisa dikatakan sebagai upaya dan kerja keras individu seniman atau kelompok tanpa dukungan yang layak dari Pemprov Sumbar.
Bersinergi dan Maksimalkan Potensi
RPJMD Sumbar yang tengah dikonsultasikan kepada publik, saya kira harus menjadi milik bersama. Bukan punya Gubernur dan Wakilnya, atau milik Bappeda dan SKPD,  atau DPRD sekalipun.
Pembangunan masyarakat tidak mungkin dilakukan secara individual dan sektoral, melainkan harus kolektif, bersama-sama. Budaya Minangkabau telah mengajarkan kita tentang hal ini: Barek samo dipikua, ringan samo dijinjiang. Adagium ini memberi arti tentang nilai-nilai kolektif.
RPJMD Sumbar 2016-2021, tidaklah terlambat untuk direaktualisasikan. Pun Tidaklah salah jika kebudayaan dalam makna yang luas diberi aksentuasi yang tegas karena perannya sangat strategis dalam menjawab tantangan kehidupan masyarakat.
Institusi Kesenian

Provinsi Sumatera Barat sejak tahun 2010 tidak memiliki Dewan Kesenian. Artinya, sudah enam tahun, kekosongan itu berjalan. Ada dibentuk tim yang sudah pula menghadap Gubernur untuk membentuk pengurusnya, tapi gagal fokus karena lebih banyak maota daripada kerja.
Dengan demikian, selama 6 tahun itu pula, Pemerintah Provinsi Sumatera Barat tak punya mitra berdiskusi untuk pengambilan kebijakan-kebijakan yang tersangkut dengan kebudayaan dan kesenian. Padahal salah satu fungsi Dewan Kesenian itu sebagai mitra pemerintah.
Praktis, secara formal institusi kesenian di Sumatera Barat adalah Taman Budaya, sebuah lembaga seni yang dari tahun ke tahun kian merosot kualitas iven budayanya.
Taman Budaya Sumatera Barat memang bukan sebuah harapan yang besar bagi seniman karena pengelolaan dan cara pelayanannya yang masih sangat amatiran dan birokratis.
Selain itu, Taman Budaya dalam agenda-agenda kegiatan kesenian selama ini tak memperlihatkan kerja yang sungguh-sungguh. Iven digelar sebatas hanya memenuhi target anggaran agar bisa dicairkan. Hanya itu. Tak ada upaya untuk meningkatkan kualitas iven, misalnya, dengan kuratorial yang selektif dan profesional untuk setiap seni yang dihadirkan. Untuk itu pula, lembaga ini bukan sesuatu bagi seniman.
Dari itu pula, ketika wacana untuk merestrukturisasi dan sekaligus memberdayakan kelembagaan seni dan budaya, termasuk  Taman Budaya Sumatera Barat, perlu didukung. Jika memang perlu untuk dilebur, UPTD yang berada di bawah Dinas Pendidikan dan Kebudayaan ini, juga layak disokong.
Selain Taman Budaya, kini dalam proses pembangunan adalah Pusat Kebudayaan Sumatera Barat, yang lokasinya berada di kompleks institusi yang dulu namanya Pusat Kesenian Padang ini.
Pembangunan Pusat Kebudayaan Sumatera Barat pembiayaannya dengan sistem anggaran multiyear. Jika kelak gedung modern ini selesai, diharapkan pengelolaannya diserahkan kepada pihak swasta. Banyak kalangan seniman dan budayawan di Sumbar yang tak yakin jika dikelola Taman Budaya Sumbar.
Kembali ke RPJMD Sumbar yang masih terbuka lebar untuk dilengkapi. Saya kira Pemerintah Provinsi Sumatera Barat, tidak salah jika mengundang seniman dan budayawan untuk memperkaya materi RPJMD itu. Dan ini menurut saya penting

Tapi, selain itu, sebelum konsultasi publik dengan seniman dan budayawan dilakukan, beberapa poin ini saya pikir perlu dipertimbangkan untuk RPJMD 2016-2020, antara lain, membangun dan mendorong terciptanya kantong-kantong budaya yang mandiri dan independen; memberikan penghargaan dan apresiasi bagi seniman dan budayawan; dan memfasilitasi terbentuknya Dewan Kesenian dengan alokasi anggaran yang layak dan jelas. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...