OLEH Nasrul Azwar (Sekjen AKSI)
Irwan Prayitno-Nasrul Abit |
Pemerintah Provinsi Sumatera Barat sedang menyusun dan
merumuskan rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD) Sumatera Barat 2016-2021.
Untuk menghimpun masukan, Gubernur Irwan Prayitno dan Wakil Gubernur Nasrul
Abit telah membuka diskusi publik dengan pelbagai elemen dan tokoh masyarakat,
dan dihadiri semua kepala-kepala dinas, badan, dan jajarannya.
Penyusunan RPJMD dikaitkan dengan visi dan misi kedua pasangan
ini yang disampaikan saat kampanye pemilihan kepala daerah tahun lalu. Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Sumatera Barat akan menyusun dokumen perencanaan lima tahunan (RPJMD) yang memuat visi-misi, tujuan, sasaran, strategi, arah kebijakan, program prioritas, dan indikasi pendanaannya.
Mengacu pada UU No 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, di
pasal 264 ditulis: RPJMD ditetapkan dengan peraturan daerah paling lambat 6 bulan
setelah kepala daerah dilantik. Ini artinya, pada 12 Agustus 2016, RPJMD
2016-2021 harus diketuk palu dengan ditandai pengesahan perdanya. Pasangan ini
dilantik Presiden Joko Widodo pada 12 Februari 20016 di Istana Negara.
Kesenian
yang Terabaikan
Penyusunan RPJMD masih menyisakan waktu tiga bulan ke
depan. Kendati begitu, 100 hari itu bukan masa yang panjang untuk membicangkan
kebudayaan dalam pengertian yang lebih spesifik, yaitu kesenian. Kesenian
adalah satu bagian yang selama ini diabaikan dalam penyusunan RPJMD.
Membaca dokumen RPJMD 2010-2015, pengabaian pada kesenian
sudah sangat kentara sekali. Dan untuk RPJMD 2016-2020, nasib serupa tak akan
beranjak dari sebelumnya: Kesenian tetap akan diabaikan.
Dalam visi-misi yang “dijual” pasangan Irwan
Prayitno-Nasrul Abit, yang akhirnya membawa keduanya sebagai pemenang dalam
Pilgub Sumbar pada 9 Desember 2015 lalu, kesenian bukan sesuatu yang penting
untuk dimasukkan dalam poin-poinnya. Dalam 10 prioritas pembangunan yang
disusun Bappeda, kesenian (tradisi dan modern) juga tidak menjadi hal penting
amat.
Dalam pengertian yang sederhana, hasil cipta seni adalah
bagian dari usaha manusia merawat dinamika kultural yang dialektis yang
dimuarakan kepada upaya transformasi nilai-nilai dari satu generasi ke generasi
lain. Maka, ketika sisi ini tak diisi dalam rencana pembangunan, kehidupan satu
generasi di Sumatera Barat terasa pincang.
Dalam dokumen RPJMD 2010-2015 yang terkait dengan
pengembangan kebudayaan, diberi judul “Peningkatan Penerapan Ajaran Agama dan
Budaya Daerah”, memang sangat normatif dan terkesan statis. Kebudayaan
dipandang dalam kerangka yang kaku.
Ada enam sub-tema yang dipaparkan yang salah satunya
adalah program pemberdayaan lembaga adat, seni, dan budaya. Lima program
lainnya terkait dengan agama dan pendidikan.
Untuk program
pemberdayaan lembaga adat, seni, dan budaya dinilai kurang maksimal dalam
pelaksanaan kegiatannya sehingga tidak mencapai target yang diharapkan.
Menarik memang
membaca RPJMD Sumbar yang disusun Bappeda itu. Tampak jelas, kebudayaan dan
ikutan variasinya (kesenian, adat, dan pendidikan) sebenarnya bukan sesuatu
yang serius untuk dibangun. Kebudayaan tak begitu penting ketimbang
pengembangan peternakan.
Sementara, institusi
budaya budaya (adat), katakanlah LKAAM dan Bundo Kanduang, yang didanai dari APBD, belum sepenuhnya bisa
berfungsi mendorong dan menfasilitasi peningkatan apresiasi budaya Minangkabau
dengan filosofi ABS-SBK. Sedangkan, lembaga seni, katakanlah Dewan Kesenian,
sejak 2010 hingga hari ini, memang benar-benar tidak ada wujudnya sama sekali
sehingga pemerintah pun tak bisa berbuat apa-apa.
Selain itu, di samping
tidak mampu berfungsi melayani kehidupan seni dan budaya, LKAAM dan Dewan
Kesenian, terkesan lebih menonjolkan konflik yang kental muatan politis daripada
program yang bermutu.
Pemerintah Provinsi
Sumatera Barat sendiri juga tak bisa melepaskan tanggung jawab demikian saja
terhadap kevakuman Dewan Kesenian, misalnya. Pemprov Sumbar seharusnya
berinisiatif dan mendorong terbentuknya
pengurus Dewan Kesenian, bukan sebaliknya, terkesan tak peduli.
Juga tak bisa
membiarkan sepanjang tahun, LKAAM dan Bundo Kanduang, tanpa berkegiatan karena
dananya tidak dialokasikan dalam APBD. Mengkategorikan lembaga ini dalam hibah
dengan alokasi dana sekali dua tahun, layak ditinjau lagi.
RPJMD Provinsi Sumatera
Barat semestinya memberikan akses yang luas untuk pengembangan aspek kebudayaan
dan kesenian. Tak bisa dipungkiri, dari kesenian tak terhitung lagi seniman
yang telah mengharumkan nama daerah ini, baik tingkat nasional maupun
internasional. Tapi, dalam penyusunan RPJMD, seniman dan budayawan jarang
dilibatkan dan diajak untuk berdiskusi.
Selain itu pula,
kendati Sumbar memiliki demikian banyak seniman nasional dan internasional,
sekadar menyebut nama: Gus tf (sastra), Ery Mefri dan Ali Sukri (tari), Yusril
Katil (teater), Sawir Sutan Mudo (dendang saluang), Zirwen Hasri (perupa),
Musra Dahrizal Katik (seni tradisi Minang), dan seterusnya, tapi Pemrov Sumbar
sependek yang saya tahu, belum memberi apresiasi yang bermutu.
Tak bisa pula
ditutupi, capaian prestasi karya seni yang diraih bisa dikatakan sebagai upaya
dan kerja keras individu seniman atau kelompok tanpa dukungan yang layak dari
Pemprov Sumbar.
Bersinergi
dan Maksimalkan Potensi
RPJMD Sumbar yang tengah dikonsultasikan kepada publik,
saya kira harus menjadi milik bersama. Bukan punya Gubernur dan Wakilnya, atau
milik Bappeda dan SKPD, atau DPRD
sekalipun.
Pembangunan masyarakat tidak mungkin dilakukan secara
individual dan sektoral, melainkan harus kolektif, bersama-sama. Budaya Minangkabau
telah mengajarkan kita tentang hal ini: Barek
samo dipikua, ringan samo dijinjiang. Adagium ini memberi arti tentang nilai-nilai
kolektif.
RPJMD Sumbar 2016-2021, tidaklah terlambat untuk direaktualisasikan.
Pun Tidaklah salah jika kebudayaan dalam makna yang luas diberi aksentuasi yang
tegas karena perannya sangat strategis dalam menjawab tantangan kehidupan
masyarakat.
Institusi
Kesenian
Provinsi Sumatera
Barat sejak tahun 2010 tidak memiliki Dewan Kesenian. Artinya, sudah enam
tahun, kekosongan itu berjalan. Ada dibentuk tim yang sudah pula menghadap
Gubernur untuk membentuk pengurusnya, tapi gagal fokus karena lebih banyak
maota daripada kerja.
Dengan demikian,
selama 6 tahun itu pula, Pemerintah Provinsi Sumatera Barat tak punya mitra
berdiskusi untuk pengambilan kebijakan-kebijakan yang tersangkut dengan
kebudayaan dan kesenian. Padahal salah satu fungsi Dewan Kesenian itu sebagai
mitra pemerintah.
Praktis, secara
formal institusi kesenian di Sumatera Barat adalah Taman Budaya, sebuah lembaga
seni yang dari tahun ke tahun kian merosot kualitas iven budayanya.
Taman Budaya
Sumatera Barat memang bukan sebuah harapan yang besar bagi seniman karena pengelolaan
dan cara pelayanannya yang masih sangat amatiran dan birokratis.
Selain itu, Taman
Budaya dalam agenda-agenda kegiatan kesenian selama ini tak memperlihatkan
kerja yang sungguh-sungguh. Iven digelar sebatas hanya memenuhi target anggaran
agar bisa dicairkan. Hanya itu. Tak ada upaya untuk meningkatkan kualitas iven,
misalnya, dengan kuratorial yang selektif dan profesional untuk setiap seni
yang dihadirkan. Untuk itu pula, lembaga ini bukan sesuatu bagi seniman.
Dari itu pula,
ketika wacana untuk merestrukturisasi dan sekaligus memberdayakan kelembagaan
seni dan budaya, termasuk Taman Budaya Sumatera
Barat, perlu didukung. Jika memang perlu untuk dilebur, UPTD yang berada di
bawah Dinas Pendidikan dan Kebudayaan ini, juga layak disokong.
Selain Taman Budaya,
kini dalam proses pembangunan adalah Pusat Kebudayaan Sumatera Barat, yang
lokasinya berada di kompleks institusi yang dulu namanya Pusat Kesenian Padang
ini.
Pembangunan Pusat
Kebudayaan Sumatera Barat pembiayaannya dengan sistem anggaran multiyear. Jika
kelak gedung modern ini selesai, diharapkan pengelolaannya diserahkan kepada
pihak swasta. Banyak kalangan seniman dan budayawan di Sumbar yang tak yakin
jika dikelola Taman Budaya Sumbar.
Kembali ke RPJMD
Sumbar yang masih terbuka lebar untuk dilengkapi. Saya kira Pemerintah Provinsi
Sumatera Barat, tidak salah jika mengundang seniman dan budayawan untuk
memperkaya materi RPJMD itu. Dan ini menurut saya penting
Tapi, selain itu,
sebelum konsultasi publik dengan seniman dan budayawan dilakukan, beberapa poin
ini saya pikir perlu dipertimbangkan untuk RPJMD 2016-2020, antara lain,
membangun dan mendorong terciptanya kantong-kantong budaya yang mandiri dan independen;
memberikan penghargaan dan apresiasi bagi seniman dan budayawan; dan
memfasilitasi terbentuknya Dewan Kesenian dengan alokasi anggaran yang layak
dan jelas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar