Sabtu, 23 April 2016

Membaca Kurenah “Parewa Sato Sakaki” Rusli Marzuki Saria

OLEH Nasrul Azwar (Sekjen AKSI)
Saya tulis tentang Rusli Marzuki Saria, bukan dari sisi proses kreatif sebagai penyair. Bagian ini sudah jamak ditulis. Saya coba membaca “Papa”—demikian ia akrab disapa siapa saja—dari rubrik “Parewa Sato Sakaki” yang terbit di Harian Haluan. Kolom tetap yang ia rawat setiap Minggu hadir dalam rentang sejak 2000-2005. Lebih kurang lima tahun. Jika rata-rata setahun ada 50 tulisan, maka esai itu paling tidak kini ada sekitar 250-an.
Saya pernah menyelaraskan tulisan-tulisan ini sekitar tahun 2002. Rencananya, “Parewa Sato Sakali” ini akan  diterbitkan. Untuk penyuntingan umum, informasi dari Rusli, sudah dilakukan Eva Krisna, peneliti di Balai Bahasa Sumatera Barat, tapi belum diklasifikasikan menurut tema esai yang ditulis.
Sekalian menataletakkan esai-esai itu untuk keperluan cetak, saya mengelompokkannya menjadi beberapa kategori sesuai konten tulisan, yakni: Pasca-Kemerdakaan, PRRI, Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi.
“Buku” ini telah diberi pengantar yang kritis oleh Prof Umar Junus dari Universiti Malaya. Umar Junus putra Sumatera Barat kelahiran di Silungkang pada 2 Mei 1934 dan meninggal di Kuala Lumpur, Malaysia, pada 8 Maret 2010. Pengantar ini cukup panjang dan menarik.
Dalam pembacaan saya, “Parewa Sato Sakaki”, adalah catatan “sejarah” yang ditulis dalam perspekstif kultural Minangkabau oleh seorang yang berada dalam empat dasawarsa di kancah zamannya. Tepatnya, catatan seorang penyaksi dengan memosisikan parewa sebagai “pelaku” setiap peristiwa. Tokoh sentral dalam kisah yang ditulis adalah “Parewa”.
Menarik lagi, tulisan ini dilahirkan setelah Presiden Soeharto yang represif selama 32 tahun berkuasa, tumbang. Rusli melahirkan kolom ini pada 2000. Ini artinya, setelah Orde Reformasi. Lalu, muncul pertanyaan: apa sebabnya Rusli menghadirkan tulisan-tulisan dalam di “Parewa Sato Sakaki”, yang sebagian cukup kritis ini setelah Orde Baru tenggelam? Tentu, selain penulisnya sendiri yang tahu alasannya, paling tidak setelah Orde Barulah ruang kebebasan ekspresi terbuka seluas-luasnya. Jika ditulis saat kekuasaan Orde Baru sedang kuat-kuatnya, mungkin penulisnya sudah berurusan dengan intel.
“Parewa Sato Sakaki” yang ditulis dengan beragam dialek bahasa Minang ini, bagi saya bukan semata catatan rutinitas untuk memenuhi halaman surat kabar. Tapi lebih dalam dari itu adalah “berkas” penting dari seorang panyaksi peristiwa dan perubahan sosial-budaya-politik perjalanan bangsa ini, yang ia kini sudah berusia 80 tahun.
Mengutip Umar Junus dalam pengantarnya, dengan menokohkan “Parewa”, Rusli bermain dengan ambiguity tentang posisi sosial seorang parewa dalam masyarakat Minang.
Parewa, kata Umar Junus, biasa dicurigai karena lebih dikaitkan dengan kehidupan tanpa tujuan. Hanya ikut-ikutan–bauru-uru. Dan bukan tak mungkin keterlibatan Parewa dalam PRRI karena ikut-ikutan. Tapi parewa juga punya sisi positif. Ia selalu tampil sebagai penjaga keutuhan nagari dan sistemnya, yang juga terlihat pada peran Parewa dalam “Parewa Sato Sakaki” ini.
Kendati begitu, terlepas dari apa yang menjadi catatan Umar Junus itu, tema yang diangkat Rusli Marzuki Saria dalam “Parewa Satu Sakaki” sangat beragam dan variatif, malah mengandung nilai sejarah walau berangkat dari memori personal penulisnya.  
Sebagai pelaku sejarah meletusnya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang dideklarasikan pada tanggal 15 Februari 1958 dengan mengultimatum Pemerintah Pusat oleh Dewan Perjuangan, kumpulan tulisan ini menjadi punya makna penting.
Dalam salah satu tulisan berjudul “Daroping Sanjato Indak Jadi”, dengan latar cerita peristiwa PRRI, tampak Rusli begitu fasihnya mengisahkan secara detil kisah perang saudara itu.
“Mai 1959 ….
(Nostalgia). Parewa baru baumua 23 taun. Jo tinggi badan 161 cm, barek 53 kg, bidang bau nan agak laweh karano taruih tiok pagi naiak reng stok. Sakaciak angkek barbel, suko olahraga, labiah-labiah jalan kaki tiok pagi.
Parang sudaro sadang bajadi-jadi. Ado tantara pambarontak nan panakuik, ado pulo nan suko parang, walaupun inyo indak banomor register Pusaik (NRP), tapi sumangeknyo untuk baparang jo badia amburuh polisi model kuno. Badia amburuh nan dipakai dek upeh Kurinci taun 40-an. Bakokang ciek-ciek, jo paluru 7,7.
“Basah sarawa Mak Mantari ko,” sogah Parewa, kutiko tantara Soekarno, Tantara Pusaik masuk Gaduik taruih ka Kaluang. Capuang (kapa tabang nan tabangnyo sarupo sipatuang) nan mairiangi Tantara Pusaik, alah tadanga ngengeknyo. Sabanta alah tadanga bunyi mortir 8 inchi.
“Tantara Pusaik masuak, Tantara Pusaik masuak!” Tadanga pupuik tanduak jo tontong basaui-sauik-an. Banyak pangungsi babondong-bondong mambao arato nan ado di badan. Daripado manyarah ka OPR, labiah baiak awak bunuah diri. Itu pendirian pengungsi nan rami tu...”
Di sini jelas bagaimana posisi Rusli Marzuki Saria melihat keberadaan OPR (Organisasi Pemuda Rakyat), yang pada saat PPRI meletus menjadi “tukang tunjuk” atau mata-mata tentara pusat. Fakta sejarah tentang OPR yang terus berkembang pesat hingga meletusnya peristiwa PKI pada 1965, mempertegas pendukung PRRI sangat antikomunis.  

Selain itu, Rusli Marzuki Saria juga menyoroti perubahan sosial dan budaya, serta gaya hidup kaum remaja. Dalam tulisan “Di Lembah Anai”, ia menulis begini.
“Apo di waang?”
“Singgah subanta.”
“Aden pai sikola!”
“Bokap den lupo mambari kepeang.”
“Nyokap den pai ka pasa pagi.”
“Karanonyo, aden indak sarapan pagi ka pai sikola.”
Parewa sanang jo baaso anak-anak mudo. Anak-anak jolong gadang. Inyo eksis jo dunianyo sandiri. Dek sari inyo baaso lu jo gua, kini alah batuka aden jo waang. Ngetren sadang batuka. Angin bakisa ka tradisi: ka baaso ibu. Tapi di ateh angkutan kota (angkot), mahasiswa jo mahasiswi, masih banyak memakai baaso lu jo gua, sarupo:
“Kama lu ni?”
“Gua ka taulet sabanta!”
“Baa? Tasasak bana?”
“Pintu taulet rusak!”
“Indak namuah tabukak!”
“Bagaimana lu ni, indak namuah doh?”
Parewa tasengeang mandanga anak-anaknyo nan manjadi mahasiswa jo mahasiswi, mamakai bahaso sarupo tu. Angin sadang bakisa. Nan sadang ngetren baaso aden jo waang, nan dipakai anak-anak gadih nan sadang duduak di bangku kalaih satu SMU.
“Parewa Sato Sakaki” adalah catatan ironik yang juga penuh dengan cimeeh yang merupakan identitas kultural Minangkabau. Tentu saja, tulisan-tulisan ini akan bermakna ketika relasi sosial yang dinamis bisa mengimbanginya. Makanya, saya ingin mengatakan, tulisan yang dimuat dalam “Parewa Sato Sakaki” menarik sebagai objek kajian riset sejarah, perubahan sosial, dan bahasa.
Parewa tampak tersenyum kecut ketika mendengar sesama perempuan memanggil “waang” di depan matanta di atas sebuah angkot. Parewa pun mengeritik keras melesetnya tujuan reformasi dan seolah memberi peluang besar untuk bangkitnya komunis, yang dasawarsa 1950-an mereka tantang sangat keras. Lalu, Parewa pun mengajak anak muda untuk membaca The Animals Farm karya George Orwell, agar mereka memahami arti perencanaan dan masa depan.  
Rusli Marzuki Sarian lahir pada 26 Februari 1936 di Nagari Kamang Mudik, Tilatang Kamang, Agam, Sumatera Barat. Jumat lalu, tepat 26 Februari 2016, ia menggenapkan usianya 80 tahun. Para seniman lintas generasi merayakan ulang tahunnya dengan beragam kegiatan seni dan budaya sebagai “kado” buat Papa.
Seangkatan Rusli Marzuki Saria, kini di Sumatera Barat, hanya ia yang tinggal. Penulis buku antologi puisi Monumen Safari, diterbitkan ulang dan dibedah kemarin, dari empat penyair di dalamnya, hanya Rusli Marzuki Saria yang masih hidup. Tiga lainnya telah meninggal dunia: Chairul Harun, Leon Agusta, dan Zaidin Bakry.
Ayah Rusli bernama Marzuki, seorang kepala nagari yang juga punya usaha bendi. Ibunya bernama Sarianun. Rusli menamatkan SD di Lubuak Basilang, Payakumbuh tahun 1946. Pada tahun 1953 menamatkan SMP dan menyelesaikan SMA A pada 1957.
Pernikahannya dengan Haniza Musa pada 4 Mei 1963, dikaruniai empat orang anak: 2 laki dan 2 perempuan: Fitri Erlin Denai lahir di Padang, 23 Januari 1964, Vitalitas Fitra Sejati (Padang, 24 Januari 1966), Satyagraha (Kamang, 20 Juli 1968, dan Diogenes (Padang, 14 Mei 1970).

“Satu hal yang mungkin melengkapi kebahagian saya adalah ketika kumpulan tulisan “Parewa Sato Sakaki” diterbitkan dalam bentuk buku bersama dengan tulisan “Apresiasi Puisi” yang terbit di Haluan juga. Rasanya sesuatu banget,” katanya kepada saya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...