OLEH Nasrul Azwar (Sekjen AKSI)
Saya tulis tentang Rusli
Marzuki Saria, bukan dari sisi proses kreatif sebagai penyair. Bagian ini sudah
jamak ditulis. Saya coba membaca “Papa”—demikian ia akrab disapa siapa
saja—dari rubrik “Parewa Sato Sakaki” yang terbit di Harian Haluan. Kolom tetap yang ia rawat setiap
Minggu hadir dalam rentang sejak 2000-2005. Lebih kurang lima tahun. Jika
rata-rata setahun ada 50 tulisan, maka esai itu paling tidak kini ada sekitar
250-an.
Saya pernah menyelaraskan
tulisan-tulisan ini sekitar tahun 2002. Rencananya, “Parewa Sato Sakali” ini
akan diterbitkan. Untuk penyuntingan
umum, informasi dari Rusli, sudah dilakukan Eva Krisna, peneliti di Balai
Bahasa Sumatera Barat, tapi belum diklasifikasikan menurut tema esai yang
ditulis.
Sekalian menataletakkan
esai-esai itu untuk keperluan cetak, saya mengelompokkannya menjadi beberapa
kategori sesuai konten tulisan, yakni: Pasca-Kemerdakaan, PRRI, Orde Lama, Orde
Baru, dan Orde Reformasi.
“Buku” ini telah diberi
pengantar yang kritis oleh Prof Umar Junus dari Universiti Malaya. Umar Junus putra Sumatera Barat kelahiran di
Silungkang pada 2 Mei 1934 dan meninggal di Kuala Lumpur, Malaysia, pada 8
Maret 2010. Pengantar ini cukup panjang dan menarik.
Dalam pembacaan saya,
“Parewa Sato Sakaki”, adalah catatan “sejarah” yang ditulis dalam perspekstif
kultural Minangkabau oleh seorang yang berada dalam empat dasawarsa di kancah
zamannya. Tepatnya, catatan seorang penyaksi dengan memosisikan parewa sebagai
“pelaku” setiap peristiwa. Tokoh sentral dalam kisah yang ditulis adalah
“Parewa”.
Menarik lagi, tulisan ini
dilahirkan setelah Presiden Soeharto yang represif selama 32 tahun berkuasa,
tumbang. Rusli melahirkan kolom ini pada 2000. Ini artinya, setelah Orde
Reformasi. Lalu, muncul pertanyaan: apa sebabnya Rusli menghadirkan tulisan-tulisan
dalam di “Parewa Sato Sakaki”, yang sebagian cukup kritis ini setelah Orde Baru
tenggelam? Tentu, selain penulisnya sendiri yang tahu alasannya, paling tidak
setelah Orde Barulah ruang kebebasan ekspresi terbuka seluas-luasnya. Jika
ditulis saat kekuasaan Orde Baru sedang kuat-kuatnya, mungkin penulisnya sudah
berurusan dengan intel.
“Parewa Sato Sakaki” yang
ditulis dengan beragam dialek bahasa Minang ini, bagi saya bukan semata catatan
rutinitas untuk memenuhi halaman surat kabar. Tapi lebih dalam dari itu adalah
“berkas” penting dari seorang panyaksi peristiwa dan perubahan
sosial-budaya-politik perjalanan bangsa ini, yang ia kini sudah berusia 80 tahun.
Mengutip Umar Junus dalam
pengantarnya, dengan menokohkan “Parewa”, Rusli bermain dengan ambiguity tentang posisi sosial seorang
parewa dalam masyarakat Minang.
Parewa, kata Umar Junus,
biasa dicurigai karena lebih dikaitkan dengan kehidupan tanpa tujuan. Hanya
ikut-ikutan–bauru-uru. Dan bukan tak
mungkin keterlibatan Parewa dalam PRRI karena ikut-ikutan. Tapi parewa juga
punya sisi positif. Ia selalu tampil sebagai penjaga keutuhan nagari dan
sistemnya, yang juga terlihat pada peran Parewa dalam “Parewa Sato Sakaki” ini.
Kendati begitu, terlepas dari apa yang
menjadi catatan Umar Junus itu, tema yang diangkat Rusli Marzuki Saria dalam
“Parewa Satu Sakaki” sangat beragam dan variatif, malah mengandung nilai
sejarah walau berangkat dari memori personal penulisnya.
Sebagai pelaku sejarah meletusnya Pemerintahan Revolusioner
Republik Indonesia (PRRI) yang dideklarasikan pada
tanggal 15 Februari 1958 dengan mengultimatum Pemerintah Pusat oleh Dewan
Perjuangan, kumpulan tulisan ini menjadi punya makna penting.
Dalam salah satu tulisan berjudul “Daroping Sanjato Indak Jadi”, dengan latar cerita
peristiwa PRRI, tampak Rusli begitu fasihnya mengisahkan secara detil kisah
perang saudara itu.
“Mai
1959 ….
(Nostalgia).
Parewa baru baumua 23 taun. Jo tinggi badan 161 cm, barek 53 kg, bidang bau nan
agak laweh karano taruih tiok pagi naiak reng stok. Sakaciak angkek barbel,
suko olahraga, labiah-labiah jalan kaki tiok pagi.
Parang sudaro sadang bajadi-jadi. Ado tantara
pambarontak nan panakuik, ado pulo nan suko parang, walaupun inyo indak banomor
register Pusaik (NRP), tapi sumangeknyo untuk baparang jo badia amburuh polisi
model kuno. Badia amburuh nan dipakai dek upeh Kurinci taun 40-an. Bakokang
ciek-ciek, jo paluru 7,7.
“Basah sarawa Mak Mantari ko,” sogah Parewa, kutiko
tantara Soekarno, Tantara Pusaik masuk Gaduik taruih ka Kaluang. Capuang (kapa
tabang nan tabangnyo sarupo sipatuang) nan mairiangi Tantara Pusaik, alah
tadanga ngengeknyo. Sabanta alah tadanga bunyi mortir 8 inchi.
“Tantara Pusaik masuak, Tantara Pusaik masuak!”
Tadanga pupuik tanduak jo tontong basaui-sauik-an. Banyak pangungsi
babondong-bondong mambao arato nan ado di badan. Daripado manyarah ka OPR,
labiah baiak awak bunuah diri. Itu pendirian pengungsi nan rami tu...”
Di sini jelas bagaimana posisi Rusli Marzuki
Saria melihat keberadaan OPR (Organisasi Pemuda Rakyat), yang pada saat PPRI meletus
menjadi “tukang tunjuk” atau mata-mata tentara pusat. Fakta sejarah tentang OPR
yang terus berkembang pesat hingga meletusnya peristiwa PKI pada 1965,
mempertegas pendukung PRRI sangat antikomunis.
Selain itu, Rusli Marzuki Saria juga
menyoroti perubahan sosial dan budaya, serta gaya hidup kaum remaja. Dalam
tulisan “Di Lembah Anai”, ia menulis begini.
“Apo di waang?”
“Singgah subanta.”
“Aden pai sikola!”
“Bokap den lupo mambari kepeang.”
“Nyokap den pai ka pasa pagi.”
“Karanonyo, aden indak sarapan pagi ka pai sikola.”
Parewa sanang jo baaso anak-anak mudo. Anak-anak jolong gadang. Inyo eksis
jo dunianyo sandiri. Dek sari inyo baaso lu jo gua, kini alah batuka aden jo
waang. Ngetren sadang batuka. Angin bakisa ka tradisi: ka baaso ibu. Tapi di
ateh angkutan kota (angkot),
mahasiswa jo mahasiswi, masih banyak memakai baaso lu jo gua, sarupo:
“Kama lu ni?”
“Gua ka taulet sabanta!”
“Baa? Tasasak bana?”
“Pintu taulet rusak!”
“Indak namuah tabukak!”
“Bagaimana lu ni, indak namuah doh?”
Parewa tasengeang mandanga anak-anaknyo nan manjadi mahasiswa jo mahasiswi,
mamakai bahaso sarupo tu. Angin sadang bakisa. Nan sadang ngetren baaso aden jo
waang, nan dipakai anak-anak gadih nan sadang duduak di bangku kalaih satu SMU.
“Parewa Sato Sakaki”
adalah catatan ironik yang juga penuh dengan cimeeh yang merupakan identitas kultural Minangkabau. Tentu saja,
tulisan-tulisan ini akan bermakna ketika relasi sosial yang dinamis bisa
mengimbanginya. Makanya, saya ingin mengatakan, tulisan yang dimuat dalam “Parewa
Sato Sakaki” menarik sebagai objek kajian riset sejarah, perubahan sosial, dan
bahasa.
Parewa tampak tersenyum
kecut ketika mendengar sesama perempuan memanggil “waang” di depan matanta di
atas sebuah angkot. Parewa pun mengeritik keras melesetnya tujuan reformasi dan
seolah memberi peluang besar untuk bangkitnya komunis, yang dasawarsa 1950-an
mereka tantang sangat keras. Lalu, Parewa pun mengajak anak muda untuk membaca The Animals Farm karya George Orwell,
agar mereka memahami arti perencanaan dan masa depan.
Rusli Marzuki Sarian lahir
pada 26 Februari 1936 di Nagari Kamang Mudik, Tilatang Kamang, Agam, Sumatera
Barat. Jumat lalu, tepat 26 Februari 2016, ia menggenapkan usianya 80 tahun.
Para seniman lintas generasi merayakan ulang tahunnya dengan beragam kegiatan
seni dan budaya sebagai “kado” buat Papa.
Seangkatan Rusli Marzuki
Saria, kini di Sumatera Barat, hanya ia yang tinggal. Penulis buku antologi
puisi Monumen Safari, diterbitkan
ulang dan dibedah kemarin, dari empat penyair di dalamnya, hanya Rusli Marzuki
Saria yang masih hidup. Tiga lainnya telah meninggal dunia: Chairul Harun, Leon
Agusta, dan Zaidin Bakry.
Ayah Rusli bernama
Marzuki, seorang kepala nagari yang juga punya usaha bendi. Ibunya bernama
Sarianun. Rusli menamatkan SD di Lubuak Basilang, Payakumbuh tahun 1946. Pada
tahun 1953 menamatkan SMP dan menyelesaikan SMA A pada 1957.
Pernikahannya dengan Haniza
Musa pada 4 Mei 1963, dikaruniai empat orang anak: 2 laki dan 2 perempuan:
Fitri Erlin Denai lahir di Padang, 23 Januari 1964, Vitalitas Fitra Sejati
(Padang, 24 Januari 1966), Satyagraha (Kamang, 20 Juli 1968, dan Diogenes
(Padang, 14 Mei 1970).
“Satu hal yang mungkin
melengkapi kebahagian saya adalah ketika kumpulan tulisan “Parewa Sato Sakaki”
diterbitkan dalam bentuk buku bersama dengan tulisan “Apresiasi Puisi” yang
terbit di Haluan juga. Rasanya
sesuatu banget,” katanya kepada saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar