Jumat, 29 April 2016

Dato’ Mahkota Maharaja Pagaruyung dalam Kerayaan Pagaruyung dan Perannya Proses Islamisasi Nusantara

OLEH Nurmatias (Peneliti Budaya)
Prolog
Meretas eksistensi  Dato’ Mahkota Maharaja Pagaruyung dalam khazanah historiografi Indonesia umumnya dan Minangkabau khususnya merupakan sebuah keharusan. Fondasi ini didasarkan pada intinya yakni “masih sedikitnya”  perihal Mahmud Dato’ Mahkota Maharaja tertuang dalam literatur sejarah. Perihal lainnya dalam sejarah Minangkabau, telah banyak dikaji oleh peneliti baik peneliti Indonesia maupun luar negeri. Tak salah Benda-Beckmann (2000 : xxvi) pernah menuliskan bahwa Minangkabau sudah banyak yang menyigi dari berbagai aspek penyigihannya.

Menyigi dan mengkaji eksistensi  Dato’ Mahkota itu sendiri tidak terlepas dari perihal Kerajaan Pagaruyung. Kerajaan Pagaruyung itu sendiri merupakan salah satu kerajaan yang pernah ada dalam khazanah sejarah Minangkabau. Kerajaan yang diperkirakan berdiri pada abad ke-14 di daerah darek  Minangkabau, tepatnya berpusat di Pagaruyung. Kerajaan tersebut mencapai puncak kejayaannya sekitar abad ke-15 Masehi, dibawah pemerintahan Adityawarman  (Amran, 1981 : 37 ; Kiram, dan kawan-kawan, 2003 : 11, dan  Imran, dkk, 2002 : 20). Sebagai sebuah kerajaan besar dizamannya, selain telah memiliki kerajaan-kerajaan kecil (vazal) yang bertindak sebagai “wakil raja” di daerahnya- diberi otonomi khusus untuk mengurus daerahnya juga telah menyebarkan keturunan keberbagai daerah dipelosok tanah air sampai ke manca negara.
Raja-raja di bawah panji Kerajaan Pagaruyung tersebut telah menyebar keberbagai daerah, bukan saja di Indonesia namun sampai ke mancanegara, yakni Malaysia, (Kepulauan Sulu) Filipina dan Brunei Darussalam. Kekuasaan Kerajaan Pagaruyung tersebut telah membentuk suatu hegemoni, dibawah Raja Alam berpusat di Pagaruyung. Khusus di alam Minangkabau, raja-raja kecil tersebut berjumlah 61 buah kerajaan, baik yang ada di daerah darek dan rantau Minangkabau. Mereka biasanya dipanggil dengan istilah Yang Dipertuan, Rajo, dan Sutan. Mereka ada yang berasal dari keturunan langsung raja Pagaruyung dan ada pula yang ditunjuk oleh raja sebagai wakilnya untuk memerintah di daerah. Dalam kondisi inilah muncul hubungan yang diistilahkan dengan sapiah balahan, kuduang karatan, kapak  radai, dan timbang pacahan Kerajaan Pagaruyung.[1]
Salah satu daerah yang ada keturunan Pagaruyung tersebut dan masih eksis sampai sekarang ini di daerah Sulawesi. Ditelisik lebih jauh keberadaan mereka disana tidak terlepas dari penyebaran agama Islam. Dalam penyebaran agama Islam tersebut muncullah beberapa nama seperti Dato’ri Bandang, Dato’ Patimang, Dato’ ri Tiro serta  Dato’ Mahkota Maharaja Pagaruyung. Tokoh terakhir ini sangat disayangkan dalam berbagai literatur sejarah Minangkabau belum “muncul” seperti yang telah diulas pada bagian diatas. Pada hal beliau sangat berjasa terutama dalam proses penyebaran Islam di nusantara ini.
Beranjak dari persoalan diatas, makalah ini akan memaparkan lebih jauh tentang  Dato’ Mahkota Maharaja Pagaruyung dalam Kerajaan Pagaruyung serta perannya dalam proses penyebaran Islam di nusantara.
Dato’ Mahkota Maharaja Pagaruyung
Merujuk pada Silsilah Asal Keturunan Pertama Kedatangan Ulama Besar Melayu di Negeri Sanrobone oleh Abdul Razak Daeng Ngago (1994)[2] bahwa  Dato’ Mahkota Maharaja Pagaruyng memperistrikan Tuan Sitti, memiliki anak Tuan Raja. Kemudian Tuan Raja memperistrikan Tuan Aminah, melahirkan anak 4 (empat) orang yakni (1) Ince Ali, (2) Ince Talli, (3) Ince Hasan, dan (4) Ince Husaini. Ince Ali tersebut memperistrika Jawa Katinga (Tuan Katingan) namanya Marahuma, memiliki anak perempuan bernama Ince Tija. Ince Tija mempersuamikan Lolo Bayo dan melahirkan keturunan Kare Sali. Kare Sali mempersuamikan Kare Baseng, melahirkan anak keturunan 4 (empat) orang yakni (1) I Maemunah, (2) Kare Tongngi, (3) Kare Pato, dan (4) Kare Muntu. Kare Muntu memperistrikan orang Jeneponto kemenakan Kareang Jeneponto bernama Tongngi, memiliki anak 4 (empat) orang yakni (1) I Daro, (2) Samaila, (3) Abdul Kadir, dan (4) Mominah,
Mominah mempersuamikan Ince Gali dengan memiliki 5 (lima) orang anak, yakni (1) Kare Capa, (2) Kare Kulle, (3) Sitti Memunah, (4) Kare Siang, dan (5) Kare Tojeng. Kare Tojeng mempersuamikan Kare Jallang (Kare Jalla) memiliki anak 5 (lima) orang, yakni (1) Kare Mangasai, (2) Kare Pole, (3) Kare Poto, (4) Kare Sittin, dan (5) Kare Baluru. Kemudian Kare Baluru mempersuamikan Kare Jarre, memiliki anak 9 (Sembilan) orang yakni : (1) Abdul Rahim, (2) Muhammad Jafar, (3) Hasan, (4) Huseini, (5) Ali, (6) Sabiba, (7) Aminah, (8) Adam Muhammad, dan (9) Japarah. Japarah memperistikan Kare Tongngi Binti Kare Pole, memiliki anak 4 (empat) orang yakni : (1) Halimah Daeng Ratu, (2) Hayawani Daeng Kenna, (3) Marhumah Daeng Calla, (4) Samaila Daeng Ma’ Bate.
Samaila Daeng Ma’bate memperistrikan  seorang anak Gallarang Balang yang bernama Saleha Daeng Nurung, memiliki anak 6 (enam) orang yakni : (1) I Minalalang Daeng Kenna, (2) I Nali Daeng Tonji, (3) I Yoho Daeng Siang, (4) Sitti Daeng Puji, (5) Yumma Daeng Sanga, dan (6) Abubakar Daeng Lau.
Abubakar Daeng Lau mempersistrikan Mu’minah Daeng Mami, memiliki anak yakni (1) Kadirong Laeng Massa, (2) Minolla Daeng Nirrang, (3) Timang Daeng Puji, dan (4) Manggaukang Daeng Bombong. Manggaukang Daeng Bombong memperistrikan Jawa Daeng Te’ne, melahirkan anak yakni (1) Rahmatiah Daeng Rampu, (2) Muhana Daeng Senga, (3) Abdullah Daeng Suro, (4) Paimatolla Daeng Kenna, dan (5) Syamsu Daeng Lau, (6) Sohoroh Daeng Bau, (7) Kio Daeng Naja, (8) Yoho Daeng Siang, dan (9) Kulujung Daeng Rani. 
Kerajaan Pagaruyung [3]
Kerajaan Pagaruyung merupakan sebuah kerajaan yang berpusat di luhak Tanah Datar, Minangkabau. Istana kerajaan berada di Nagari Pagaruyung, yang berfungsi sebagai pusat pemerintahan raja-raja Pagaruyung. Luhak Tanah Datar sendiri merupakan salah satu bagian dari luhak nan tigo  yang terdapat dalam konsepsi masyarakat Minangkabau terutama tentang alamnya.[4] Kerajaan Pagaruyung itu sendiri didirikan oleh Adityawarman dan mencapai puncaknya sekitar abad ke-14 dan ke-15, ketika Adityawarman masih berkuasa (Amran, 1981 : 37).  Adityawarman adalah putra dari Dara Jingga dari Tanah Melayu,[5] cucu Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa, yang dibesarkan di Majapahit. Faktor itu pula yang menyebabkan ketika Adityawarman memerintah, pengaruh Kerajaan Majapahit sangat jelas. Bahkan pada masa pemerintahan Adityawarman organisasi pemerintahan kerajaan disusun menurut sistem organisasi yang berlaku di Majapahit. Begitu juga dengan sistem pemerintahan, tampaknya pola Kerajaan Majapahit dipakai pula oleh Kerajaan Pagaruyung. Pada dasarnya sistem pemerintahan di wilayah kerajaan terdiri atas dua pola, di Majapahit terdiri dari wilayah bawahan, dengan pimpinan raja bawahan, yang umumnya adalah anggota raja di pusat pemerintahan, dan wilayah mancanegara, yaitu daerah taklukan yang dipimpin raja wilayah itu sendiri. Sedangkan pola yang dipakai di Minangkabau ialah wilayah rantau, yaitu kerajaan yang dipimpin oleh raja kecil sebagai wakil raja di Pagaruyung, dan wilayah Luhak yang dipimpin para penghulu. Wilayah itu masing-masing diatur menurut sistem yang berbeda satu sama lain, sebagaimana yang diungkapkan mamang “luhak berpenghulu, rantau beraja” (Navis, 1986 : 16-17).
Pembentukan Kerajaan Pagaruyung oleh Adityawarman merupakan peristiwa penting dalam sejarah Minangkabau, karena peristiwa itu menunjukkan usaha pertama dalam pembentukan sebuah sistem otoritas yang berada di atas tingkat nagari yang otonom. Walaupun kedudukan raja di dalam pemerintahan alam Minangkabau lebih banyak bersifat sebagai pemersatu nagari-nagari yang otonom tersebut. Otoritas tradisional raja Minangkabau hanya merupakan simbol persatuan dari republik-republik nagari Minangkabau dan pemelihara hubungan dengan masyarakat di luar alam Minangkabau. Raja meminjamkan daulatnya kepada kerajaan dan raja merupakan lambang dari persatuan Minangkabau sebagai satu keseluruhan (Jong, 1960 :110-111).
Sepeninggal Adityawarman raja-raja Pagaruyung tetap dihormati rakyat sebagai tokoh yang menjaga keseimbangan dan keutuhan serta sebagai pemungut pajak (uang adat) yang menjadi ikatan politik. Raja mempunyai basis kekuasaan berupa pemungut pajak dikawasan rantau seperti pajak pelabuhan, pajak perdagangan dan berbagai bentuk uang adat. Pada prinsipnya, pemungutan pajak itu merupakan pemenuhan kewajiban adat. Demikian juga halnya ada pajak untuk mendirikan rumah, bangunan-bangunan balai adat, dan lain-lain.
Raja Minangkabau, yang berkedudukan di Pagaruyung selalu menerima pajak atau upeti dari raja di rantau seperti Siak, Indragiri, Air Bangis, Sungai Pagu, Batang Hari, bahkan dari Batak. Pemungutan pajak dirantau kadang kala juga diserahkan kepada raja atau utusannya yang datang ke rantau untuk menjemput uang adat yang terkumpul. Hubungan dengan raja di rantau ada juga yang berlangsung melalui hubungan perkawinan, dikirim langsung dari Pagaruyung dan sebagainya, hingga muncul istilah sapiah balahan, kuduang karatan, kapak radai, dan timbang pacahan Kerajaan Pagaruyung. Penempatan raja di rantau mendapat restu dari raja Pagaruyung, seperti raja Pulau Punjung adalah raja setempat yang diangkat dan ditetapkan oleh Yang Dipertuan Pagaruyung. Raja Sungai Pagu mempunyai hubungan darah dengan keluarga Pagaruyung.
Orang Minangkabau tidak memandang daerah dan lembaga-lembaga kerajaannya sebagai sebuah negara (state) yang memiliki batas-batas daerah yang jelas, dalam arti kata hegemoni yang melampaui batas-batas kewilahannya. Pemerintah pusat mempunyai kekuasaan untuk memungut pajak, memerintahkan atau menyuruh orang menjadi tentara dan memaksakan hukum. Bahkan tidak ada bukti-bukti bahwa kerajaan pernah membebankan pajak pendapatan dan kerja wajib kepada rakyat (Oki, 1977 : 23-24). Menurut Dobbin (1974 : 319-356),  sumber keuangan dari kerajaan adalah : (1) pajak perdagangan dipintu-pintu keluar masuk kerajaan, (2) pembayaran uang sidang dalam penyelesaian perkara, (3) hasil sawah yang dikerjakan oleh orang hukuman dan pelayan-pelayannya. Juga tidak ada bukti-bukti sejarah yang memperlihatkan bahwa raja memaksakan kekuasaan politiknya terhadap masalah internal dari nagari-nagari. Nagari tetap memelihara sistem politik mereka yang otonom yang berpusat pada penghulu dan dewan penghulu. Kelihatannya otoritas raja hanya terbatas pada fungsi sebagai “penengah” bila konflik antar nagari tidak dapat diselesaikan oleh nagari yang bersangkutan dan nagari-nagari tersebut meminta raja sebagai juru damai.
Dalam sistem pemerintahannya kerajaan induk memberikan otonomi khusus. Walaupun demikian halnya, dalam kenyataannya hal tersebut tidak berlaku dalam soal ekonomi. Hubungan keduanya pada awalnya bersifat desentralistik kemudian menjadi semi desentralistik. Sebab raja-raja kecil harus menyerahkan semacam “upeti” sebagai landasan atas bawahan dan atasan. Namun dalam bidang lainnya tidak seperti itu, raja Pagaruyung walaupun diakui sebagai atasan, praktis sudah tidak mempunyai kekuasaan sama sekali dan hanya diakui karena adat dan tradisi saja dimana-mana. Sebaliknya, raja di Pagaruyung sudah puas asal diakui saja sebagai yang dipertuan dan mendapat “mas manah” tiap 3 (tiga) tahun sekali dari rantau. Paling-paling tugas Yang Dipertuan Pagaruyung tadi mengukuhkan seorang raja, atau menyelesaikan kalau ada sedikit perselisihan antara raja-raja kecil. Ini pun dilakukan kalau diminta. Ikatan sebetulnya praktis sudah tidak ada dan raja-raja dirantau tadi merdeka dalam tindakan. Siapa yang kuat dapat membawahi lagi beberapa raja kecil didekatnya. Adat istiadat setempat yang timbul perlahan-lahan, lama-kelamaan mendarah daging, sehinga agak berbeda dari adat istiadat istana. Dengan demikian, dirantau bisa saja muncul kerajaan-kerajaan kecil yang kuat dengan adat kebiasaan sendiri, membawahi pula satu atau beberapa raja (Amran, 1981 : 11 ; Abdullah, 1966).
Umumnya raja-raja kecil tersebut berada di daerah rantau, walaupun ada di daerah darek Minangkabau. Daerah rantau disebut juga sebagai rantau hilie karena wilayahnya berdekatan dengan pantai maupun sungai, juga rantau mudiak. Di samping rantau hilie masih ada dua daerah rantau yaitu, Lubuk Sikaping dan Rao yang merupakan rantau dari Luhak Agam. Rantau selatan yang merupakan luhak Tanah Datar meliputi Solok, Selayo, Muara Panas, Sawahlunto Sijunjung dan terus ke perbatasan Riau dan Jambi  (Naim, 1979 : 58).
Menurut Tambo, setelah proses pembentukan daerah-daerah rantau tahap awal selesai, maka batas-batas daerah Alam Minangkabau periode abad ke-16 meliputi, riak nan badabua, siluluk punai, mati sirangkak nan badangkang buayo putiah daguak, taratak Aia Hitam, Kasikilang Aia Bangih sampai kadurian di Takuak Rajo (Batuah, 1956). Dengan demikian wilayah budaya Minangkabau telah terbentuk dengan sendirinya dan falsafah hidup masyarakatnya sama dengan yang ada di kawasan inti, termasuk sistem politik dan struktur masyarakatnya.
Hal ini tidak terlepas dari struktur politik alam Minangkabau yang terkandung dalam pepatah adat, mengatakan luhak bapanghulu, rantau barajo (luhak berpenghulu, rantau beraja). Raja adalah pemegang kekuasaan tertinggi di Alam Minangkabau, terutama kurun waktu abad 14 hingga pertengahan abad 18. Pemegang kekuasaan tertinggi terdiri dari tiga serangkai yang disebut Rajo nan tigo selo. Rajo nan tigo selo terdiri dari Raja Alam, Raja Ibadat dan Raja Adat. Meskipun Raja Adat dan Raja Ibadat mempunyai daerah kekuasaan sendiri-sendiri namun menurut struktur kekuasaan di Alam Minangkabau, Raja Alam merupakan pimpinan tertinggi dari raja-raja lainnya. Gelar dan fungsi Raja Alam ini dipusakai secara turun-temurun dari pihak ayah (Manggis, 1987).
Bukti Kerajaan Pagaruyung
Keberadaan Kerajaan Pagaruyung, terutama raja Adityawarman dapat dibuktikan dengan ditemukannya bukti tertulis berupa prasasti,[6] diantaranya  pertama, Prasasti Pagauyung I atau prasasti Bukit Gombak, digoreskan pada sebuah batu pasir kwarsa warna coklat kekuningan (batuan sedimen) berbentuk empat persegi berukuran tinggi 2,06 meter, lebar 1,33 meter, dan tebal 38 centimeter. Prasasti ini ditulis dalam bahasa Sangsekerta bercampur dengan bahasa Melayu Kuno atau Jawa Kuno (Djafar dalam Istiawan, 2006 : 3). Prasasti Pagaruyung I berisi tentang puji-pijian akan keagungan dan kebijaksanaan Adityawaraman sebagai raja yang banyak menguasai pengetahuan, khususnya dibidang keagamaan, Adityawarman dianggap sebagai cikal bakal keluarga Dharmaraja, prasasti Pagaruyung I berisi pula tentang pertanggalan saat penulisan prasasti. Pertanggalan dalam prasasti ini ditulis dalam bentuk kalimat candra sengkala  berbunyi wasur mmuni bhuja sthalam atau dewa ular dan pendeta yang menjadi lengan dunia. Masing-masing kata diatas mempunyai nilai tertentu, bila dirangkai akan menjadi angka tahun. Wasur beragka 8, mmuni bernilai 7, bhuja bernilai 2, dan  sthalam = 1. Angka tersebut dibaca dari belakang sehingga menghasilkan angka tahun 1278 Saka (1356 M).
Kedua, prasasti Pagaruyung II, berhuruf Jawa Kuna dengan bahasa Sanksekerta. Isi dari prasasti ini belum dapat dijeskan secara lengkap, namun  dilihat dari angka tahunnya yakni  1295 Saka atau 1373 M sezaman dengan prasasti Aditiawarman lainnya. Ketiga, Prasasti Pagaruyung III, isi prasasti hanya berupa keterangan pertanggalan tanpa menyebutkan suatu peristiwa tertentu, kemungkinan besar prasasti ini ditempatkan pada konteks bangunan (candi) atau bangunan keagamaan lain. Keempat, Prasasti Pagaruyung IV, prasasti yang mengunakan huruf Jawa Kuno dan bahasa Sangsekerta serta berasal dari masa Adityawarman. Hal ini ditunjukkan dengan penyebutan nama Adityawarman pada baris ke-13. Kemudian pada baris ke-9 ada kata sarawasa, kata yang hampir sama dapat dijumpai pada Prasasti Saruaso I, yaitu surawasawan , yang kemudian berubah menjadi Saruaso, nama sebuah nagari (desa) di Kabupaten Tanah Datar + 7 kilometer dari Kota Batusangkar. Kelima, Prasasti Pagaruyung V, berisi tentang masalah taman dan diluar kelaziman prasasti dari Adityawarman.
Keenam, Prasasti Pagaruyung VI, merupakan stempel atau cap pembuatan bagi Tumanggung Kudawira, siapa dia belum dapat dijelaskan secara lengkap. Akan tetapi berdasarkan jabatan dan namanya dapat diketahui bahwa Tumanggung Kudawira berasal dari Jawa, sebuah jabatan yang lazim dipakai pada masa kerajaan Singasari dan Majapahit. Ketujuh, Prasasti Pagaruyung VII, prasasti ini tidak diketahui angka tahunnya, hanya didalamnya menyebutkan nama Sri Akarendrawarmman sebagai maharadjadiraja. Pemakaian nama warmman  dibelakang menunjukkan bahwa Sri Akarendrawarmman masih ada hubungan darah dengan Adityawarman. Berbagai ahli menyebutnya sebagai saudara Adityawarman dan kerana gelarnya adalah maharadjadhiraja  tentunya ia sudah menjadi raja saat mengeluarkan prasasti tersebut, mungkin sesudah Adityawarman turun tahta (meninggal).
Kedelapan, Prasasti Pagaruyung VIII, prasasti yang dibuat pada masa Aditiawarman, ini berdasarkan tahun dikeluarkannya yakni 1291 Saka atau 1369 M. Menurut Casparis (dalam Istiawan, 2006 : 23-24) bahwa Prasasti Pagaruyung VIII mempunyai pertanggalan dalam bentuk candra sengkala yaitu sasi  atau bulan bernilai 1, kara  atau tangan bernilai 2,  awacara atau suasana bernilai 3, dan  turangga atau kuda berangka 8. Candra sengkala ini sama dengan 1238 Saka atau 1316 M. Hingga kahirnya Casparis menyimpulkan melalui berdasarkan isi prasasti tersebut bahwa Akarendrawarmman yang disebut dalam prasasti tersebut merupakan mamak  (saudara ayah) dari Adityawarman, sedangkan Adwayawarman (Ayah Adityawarman seperti disebut dalam Prasasti Kuburajo I) tidak pernah memerintah selaku seorang raja di Sumatera Barat). Kesembilan, Prasasti Pagaruyung IX, fragmen prasasti ini sekarang disimpan di Ruang Koleksi Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Batusangkar. Jika melihat bentuk dan gaya tulisannya, maka kemungkinan prasasti ini berasal dari masa pemerintahan Adityawarman.
Kesepuluh, Prasasti Saruaso I, prasasti yang berasal dari Raja Adityawarman yang berangka tahun 1297 atau 1375 Masehi. Prasasti tersebut berisi tentang suatu maklumat atau pengabaran tentang upacara keagamaan yang dilakukan oleh Raja Adityawarman sebagai seorang penganut Budha Mahayana sekte Bhairawa. Kesebelas, Prasasti Saruaso II, isi pokok dari prasasti tersebut adalah tentang seorang rajamuda (yauwaraja) yang bernama Ananggawarman. Disebutkan pula bahwa Ananggawarman merupakan anak (tanaya) dari Raja Adityawarman (1347-1375 M) yang kemungkinan masih berkuasa pada saat prasasti tersebut ditulis. Keduabelas, Prasasti Kuburajo I, berisi tentang tentang sebuah genealogis atau garis keturunan Raja Adityawarman. Pada garis kedua disebutkan seorang tokoh bernama Adwayawarman yang berputra raja Kanaka Medinidra. Ketigabelas,  Prasasti Kuburajo II,  prasasti yang berasal dari masa Adityawarman. Beberapa kata yang dapat dibaca dari prasasti ini antara lain “rama” (baris pertama), yang dapat berarti ketua desa. Dan pembacaan pada baris ketiga menghasilkan kata “puri” dan ”sthana” yang berarti tempat peristirahatan di istana, dan pada baris terakhir dijumpai kata “srima” yang merupakan penggalan dari kata sri maharadja, sedangkan tulisan yang lain tidak terbaca karena aus.
Keempatbelas, Prasasti Rambatan, berada di Nagari Empat Suku Kapalo Koto, Kecamatan Rambatan, Kabupaten Tanah Datar. Prasasti ini terdiri dari 6 baris tulisan dalam huruf Jawa Kuno dan berbahasa Melayu Kuno. Keadaan tulisan sudah cukup aus, sehingga hanya beberapa kata saja yang terbaca. Prasasti tersebut berbentuk sloka sardulawikridita  dan wangsastha 14. Di atas tulisan terdapat hiasan 2 (dua) ekor ular yang saling berbelit. Bentuk hiasan yang demikian dijumpai pula dalam beberapa prasasti Adityawarman lainnya. Kelimabelas, Prasasti Ombilin, terletak didepan Puskesmas Rambatan I, dekat Danau Ombilin, Kecamatan Rambatan, Kabupaten Tanah Datar. Isi prasasti tersebut antara lain berupa penghormatan kepada Adityawarman yang pandai membedakan dharma  dan adharma, ia punya sifat sebagai matahari yang membakar orang jahat, tetapi menolong orang baik. Keenambelas, Prasasti Bandar Bapahat, berada di Bukit Gombang, Kabupaten Tanah Datar. Dari prasasti tersebut dijumpai nama Adityawarnan dan grama sri surawasa.  Ketujuhbelas, Prasasti Pariagan, ditemukan ditepi Sungai Mengkaweh, disebelah timur kota Padang Panjang. Prasasti ini dipahatkan pada batu monolit non-artifisial berbentuk setengah lingkaran dengan tulisan berjumlah 6 baris. Aksara yang dipakai sama dengan aksara prasasti Adityawarman lainnya.
Kedelapanbelas, Prasasti Amogrhapasa, prasasti ini dipahatkan pada bagian belakang Arca Amoghapasa yang ditemukan di Rambahan dihulu Sungai Batanghari.  Isi prasasti ini antara lain : Adityawarman menyebut dirinya Maharajadiraja, nama lain yang dipakainya adalah Udayadityawarman, ada upacara Bhairawa, karena indikasi matangini  dan matanginisa, ada nama Tuhan Prapatih sebagai pejabat tinggi dari Adityawarman, Acaryya Dharmmasekhara mendirikan Arca Budha dengan nama Gaganagnja,  ada restorasi candi, berdasarkan indikasi kalimat jirnair udharita, ada pemujaan kepada jina, ada sebutan Rajandra Mauli Maliwarmmadewa Maha rajadhiraja dan nama Malayupura. Kesembilanbelas, dipahatkan pada lapik Arca Amoghapasa yang ditemukan di Jorong Sungai Langsat, Kecamatan Sitiung, Kabupaten Dharmasraya. Isi dari prasasti ini menyebutkan bahwa pada tahun 1208 Saka (1286 M), bulan Badrawada tanggal 1 paro terang, Arca Amogapasha dibawa dari Bumi Jawa dan ditempatkan di Dharmasraya. Arca ini merupakan persembahan dari Sri Maharajadiraja Sri Kertanegara (dari kerajaan Singosari di Jawa) untuk Sri Maharaja Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmmadewa dari Melayu Dharmasraya.
Proses Islamisasi di Nusantara
Berbagai versi muncul tentang masuknya Islam ke Indonesia, Hamka menyebutkan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad pertama Hijriah atau 7 Masehi (Azra, 2000 : 31). Selain itu perihal ini juga diulas dalam laporan perjalanan Marco Polo. Dimana, Samudra Pasai misalnya telah memeluk Islam sedikitnya sejak akhir abad ke 11. Ditemukan batu nisan yang bertuliskan Arab yang bertahun 1297 (di Pasai). Selain itu, Marco Polo yang mengunjungi wilayah Samudra Pasai tersebut pada 1292 menyebutkan Perlak sudah memeluk Islam. Demikian pula, pengembara Muslim Marokko, Ibnu Battuta yang mengunjungi Pasai pada 1345 menyatakan bahwa masyarakat setempat sudah masuk Islam. Dari tempat-tempat inilah kemudian Islam menyebar ke seluruh Nusantara (Azra, 2000 : 31). Mengenai tempat asal datangnya Islam ke Asia Tenggara, sedikitnya ada tiga teori besar. Pertama, teori yang menyatakan bahwa Islam datang langsung dari Arab-tepatnya Hadramaut.Teori semacam ini juga diajukan Hamka dalam Seminar “Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia” pada 1962. Menurutnya, Islam masuk ke Indonesia langsung dari Arab, bukan melalui India, dan bukan pula pada abad ke-11, melainkan pada abad pertama Hijriyah atau 7 Masehi.
Teori yang mengataka bahwa Islam di Indonesia datang dari India pertama kali dikemukakan oleh Pijnapel tahun 1872. Teori ini lebih lanjut dikembangkan oleh Snouch Hurgronye yang melihat para pedagang kota pelabuhan Dakka di India Selatan sebagai pembawa Islam ke wilayah Indonesia. Ia menunjukkan pantai Koromandel sebagai pelabuhan tempat bertolaknya para pedagang Muslim dalam pelayaran mereka menuju nusantara. Teori ketiga yang dikembangkan Fatimi menyatakan bahwa Islam datang dari Benggali (kini Bangladesh). Dia mengutip keterangan Tome Pures yang mengungkapkan bahwa kebanyakan orang terkemuka di Pasai adalah orang Benggali atau keturunan mereka. Dan, Islam muncul pertama kali di Semenanjung Malaya, dari arah pantai timur, bukan dari Barat (Malaka), pada abad ke 11, melalui Kanton, Vietnam, Leren, dan Trengganu. Ia beralasan bahwa secara doktrin, Islam di Semenanjung lebih sama dengan Islam Vietnam. Elemen-elemen prasasti di Trengganu juga lebih mirip dengan prasasti yang ditemukan di Leren (Jawa Timur). Drewes, yang mempertahankan teori Snouck Hurganye, menyetakan bahwa teori Fatimi ini tidak bisa diterima, terutama karena penafsirannya atas prasasterti di yang ada dinilai merupakan “ perkiraan liar belaka”. Lagi pula, mazhab yang dominan di Benggala adalah mazhab Hanafi, bukan mazhab Syafe’i seperti di Semenanjung dan nusantara secara keseluruhan
Akhirnya, semua teori di atas jelaslah belum final. Meskipun telah banyak sejarawan yang menulis tentang masalah ini, kesempatan masih tetap terbuka bagi munculnya penafsiran-penafsiran baru berdasarkan penelitian atas sumber-sumber sejarah yang ada (Azra, 2000 : 33).
Di Minangkabau, menurut Hamka, agama Islam telah masuk pada pertengahan abad ke-14. Ia memberi alasan bahwa ketika Ibnu Batutah datang ke Pasai pada tahun 1345, didapatinya raja sedang tidak ada dalam negeri. Raja Pasai Sulthan Al Malik Az Zahir ketika itu sedang menyiarkan agama Islam ke Minangkabau (Hamka, 1982 : 5). Sebenarnya sebelum abad ke-14 telah ada perkampungan orang Arab di Minangkabau, yaitu perkampungan pedagang-pedagang Arab yang berhubungan dengan masyarakat di daerah pesisir barat Minangkabau. Akan tetapi perkembangan agama Islam meluas di Minangkabau baru terjadi pada tahun 1680, ketika Syekh Burhanuddin kembali belajar dari Syekh Abdul Rauf di Singkel, Aceh. Syekh Burhanuddin mendirikan lembaga pendidikan tradisional di Minangkabau, berupa bangunan surau di Ulakan, Pariaman. Murid-murid Syekh Burhanuddin datang menuntut ilmu dari nagari-nagari di Minangkabau, diantaranya Tuanku Mansiangan dan Tuanku Kototuo.
Masuknya aliran tasawuf di Minangkabau bersamaan dengan kedatangan agama Islam, karena tasawuf merupakan kehidupan rohani dalam Islam. Syekh Burhanuddin,[7] pengembang Islam utama di Pesisir Barat Minangkabau mengembangkan tarekat Syattariyah. Setelah agama Islam berkembang di Minangkabau, banyak ulama yang mendapat pendidikan langsung atau secara tidak langsung di Mekah. Sekembalinya mereka ke Minangkabau, membawa ajaran yang lain, misalnya tarekat Naksyabandiyah. Tarekat ini berkembang di Cangking di bawah pimpinan Tuanku Muhammad. Pada tahun 1850 Syekh Ismail Simabur membawa tarekat Naksyabandiyah ke Batusangkar. Tarekat Rifaiyah dan Sammaniyah dibawa ke Minangkabau oleh tokoh-tokoh yang tidak dikenal, karena terlalu banyaknya para ulama Minangkabau yang memperdalam ilmu baik di Aceh maupun di Timur Tengah. Hanya empat jenis tarekat yang disebutkan di atas berkembang di Minangkabau.
Keturunan Pagaruyung di Sulawesi , tidak terlepas dari penyebaran agama Islam di daerah tersebut. Agama Islam masuk ke Makassar, sejak raja Gowa ke 10 Tunipalangga (1546-1565 ) yaitu ketika dia memberikan izin kepada pedagang-pedagang Melayu untuk menempati daerah tersebut. Adapun ulama Islam yang mengislamkan kedua raja tersebut dan rakyatnya ialah Abdullah Ma’mur Khatib Tunggal, kemudian lazim disebut Dato’ri Bandang. Beliau berasal dari Koto Tengah (Minangkabau). Beliau mengajarkan syariat Islam sebagai langkah dalam da’wah dan penyebarannya. Beliau dibantu oleh dua orang rekannya yang juga berasal dari Minangkabau untuk menyebarkan Islam di Sulawesi Selatan. Dua orang itu, yakni pertama Khatib Sulaiman, kemudian dikenal dengan nama Dato’ Patimang. Beliau bertugas menyebarkan agama Islam di Tana Luwu. Raja Luwu yang mula-mula memeluk agama Islam Lapati Were Daeng Parabiung, dan setelah masuk Islam namanya menjadi Matinroe ri Ware’. Kedua Khatib Bungsu, kemudian dikenal dengan nama Dato’ri Tiro. Beliau mengajarkan Islam melalui ajaran Tasawuf, di daerah Tiro, Bulukumba dan sekitarnya sesuai dengan keinginan penduduk di tempat-tempat itu yang menyukai paham kebatinan.
Ketiga orang datuk ini mengislamkan Raja Tallo, pada hari Jumat 14 Jumadil Awal atau 22 September 1605, kemudian menyusul Raja Gowa XIV, yang akhirnya bernama Sultan Alauddin. Kerajaan Tallo dan kerajaan Gowa merupakan kerajaan kembar yang tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Bahkan Mangkubumi (Perdana Menteri) kerajaan Gowa adalah juga Raja Tallo. Raja Tallo XV, Malingkaan Daeng Manynyonri merupakan orang pertama di Sulawesi Selatan yang memeluk agama Islam melalui seorang ulama dari pantai Barat Sumatera, Datuk Ribandang. Kemudian Raja Gowa secara resmi mengumumkan bahwa agama resmi kerajaan Gowa dan seluruh daerah bawahannya adalah agama Islam. Sebelum masuknya agama Islam di Sulawesi Selatan, masyarakat masih menganut kepercayaan animisme.
Setelah kerajaan Gowa Tallo menjadikan Islam sebagai bagian agama resmi kerajaan, maka timbullah hasrat sesuai dengan tuntutan syariat Islam yang diterimanya sebagai kebenaran yang harus disebarkan ke seluruh pelosok negeri, kerajaan-kerajaan tetangga dan raja-raja negeri sahabat. Dengan demikian maka Makassar mendapat kehormatan menjadi pusat penyebaran Islam di Sulawesi Selatan pada permulaan abad ke XVII.
Sedang Dato’ri Tiro berkarya di sejumlah tempat meliputi Bantaeng, Tanete, Bulukumba. Dia wafat dan di makamkan di Tiro atau Bontotiro sekarang.  Dengan kedatangan kolonial Belanda, seluruh benteng-benteng pertahanan kerajaan Gowa di hancurkan kecuali benteng Somba Opu yang diperuntukkan bagi kerajaan Gowa dan benteng Ujungpandang (Fort Rotterdam) untuk pemerintahan kolonial Belanda, benteng pertahanan kerajaan Tallo juga dihancurkan. Sentuhan ajaran agama islam yang dibawa oleh ulama besar dari Sumatera itu, juga terdapat di Bagian selatan Sulawesi Selatan yang lain, yaitu Kabupaten Bulukumba, yang bertumpu pada kekuatan lokal dan bernafaskan keagamaan (Lamangida, 2003).
Agama Islam diterima di kerajaan-kerajaan Bugis Makassar pada tahun 1598 (Gowa dan Luwu), menyusul Ajatappareng (Sidenreng, Rappang, Sawitto) pada tahun 1605, Soppeng (1607), Wajo (1609), dan Bone (1611) adalah berkat usaha ketiga para Datuk riBandang ini. Ia mengislamkan Karaeng Matoaya yang merupakan Mangkubumi kerajaan Makassar. Datuk Patimang (Datuk Sulaiman) mengislamkan Daeng Parabbung Datu Luwu dan Dato’ri Tiro memilih berdomisili di Bulukumba yang merupakan daerah perbatasan Bone dan Gowa untuk syiar Islam (Lamangida, 2003).
Seperti yang telah dijelaskan pada bagian diatas bahwa salah satu daerah yang ada keturunan Pagaruyung tersebut dan masih eksis sampai sekarang ini di daerah Sulawesi.. Dalam penyebaran agama Islam tersebut muncullah beberapa nama seperti Dato’ri Bandang, Dato’ Patimang, Dato’ ri Tiro serta  Dato’ Mahkota Maharaja Pagaruyung. Tokoh terakhir ini sangat disayangkan dalam berbagai literatur sejarah Minangkabau belum “muncul”-seperti yang telah diulas pada bagian diatas. Pada hal beliau sangat berjasa terutama dalam proses penyebaran Islam di nusantara ini.
Mukhlis Pa Eni (2008), menjelaskan tentang keberadaan orang Minangkabau yang berada di Sulawesi. Terutama sejak kedatangan orang-orang Minangkabau ke Kerajaan Gowa (Makassar), peranannya tidak hanya dalam perdagangan dan penyebaran agama, tetapi juga dalam kegiatan Sosial-Budaya dan bahkan dalam birokrasi. Besarnya jumlah dan peranan orang-orang Minangkabau di Kerajaan Gowa menyebabkan Raja Gowa XII, I Mangarai Daeng Mammeta Karaeng Tunijallo (1565-1590), membangun sebuah masjid di Mangallekana untuk kepentingan orang-orang Minangkabau agar mereka betah tinggal di Makassar, sekalipun ia sendiri belum beragama Islam.
Menurut Yoran Lamangida (2003), masyarakat Minangkabau di Manado tidak terlepas dari kedatangan Tuanku Imam Bonjol beserta pengikutnya akibat diasingkan di Lotak, Minahasa oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1841. Untuk tahun berikutnya tidak diketahui dengan pasti kapan mereka datang ke Manado, karena pada umumnya mereka yang datang  tidak berkelompok. Keberadaan orang Minangkabau di Manado terus bertambah dan silih berganti, karena pada umumnya mereka yang datang adalah yang dipindah tugaskan dari instansi di mana mereka bekerja bila waktu penugasan telah selesai akan kembali ke daerah asal atau bahkan ke daerah lain lagi.
Epilog
Disigi dari perspektif geneologis, Minangkabau dan Sulawesi telah terjalin sangat kuat. Jalinan tersebut telah termaktub dalam perisai masa lalu terutama dalam perihal penyebaran agama Islam dari ranah Minang ke daerah Sulawesi. Selain memunculkan tokoh seperti Dato’ri Bandang, Dato’ Patimang, Dato’ ri Tiro serta  Dato’ Mahkota Maharaja Pagaruyung. Tokoh terakhir ini sangat disayangka dalam berbagai literature sejarah Minangkabau belum “muncul”. Pada hal beliau sangat berjasa terutama dalam proses penyebaran Islam di nusantara ini.
Melakukan penelitian lebih lanjut tentang  Dato’ Mahkota Maharaja Pagaruyung merupakan sebuah keharusan. Selain menambah literatur sejarah Minangkabau, juga merupakan sebuah hal ikhwal yang perlu diangkat dan diketahui oleh masyarakat luas tentang kiprah beliau terutama dalam penyebaran agama Islam di nusantara. Disayangkan, berbagai literature dalam sejarah Minangkabau belum memunculkan kiprah  Dato’ Mahkota Maharaja Pagaruyung sehingga masyarakat tidak mengetahuinya.
1] Sapiah balahan adalah keturunan raja dari pihak perempuan secara matrilineal yang dirajakan di luar Pagaruyung. Kuduang karatan adalah keturunan raja Pagaruyung dari pihak laki-laki. Mereka tidak dapat menjadi raja di Pagaruyung, sekalipun pewaris raja Pagaruyung itu punah. Mereka hanya berhak menjadi raja pada daerah-daerah yang telah ditentukan bagi mereka untuk menjadi raja, karena mereka tidak berada dalam lingkar garis matrilineal. Hal ini juga disebabkan ibu mereka bukan dari keturunan raja Pagaruyung. Kapak radai dan  timbang pacahan, kedua kelompok ini terdiri dari orang-orang besar, raja-raja dan datuk-datuk di luhak dan di rantau, yang diangkat dan diberi penghormatan oleh raja Pagaruyung sebagai aparat raja. Sedangkan perihal raja-raja kecil yang berjumlah 61 tersebut lebih lanjut lihat. Tim Kecil, Tim Kerja dan Tim Perumus Seminar Nasional Pengusulan Sultan Alam Bagagarsyah Menjadi Pahlawan Nasional. Padang : Pemerintah Propinsi Sumatera Barat dan Pemerintah Kabupaten Tanah Datar, 2008 : 76-80.

[2] Penulis mengucapkan terima kasih kepada panitia yang telah bersedia mengirimkan data ini kepada penulis.

[3] Perihal persoalan Kerajaan Pagaruyung didasarkan pada karya Undri, 2010.

[4] Daerah Minangkabau sesungguhnya dapat dibagi dalam tiga lingkungan wilayah yaitu (1) Minangkabau asli, yaitu oleh orang Minangkabau disebut (darek) yang terdiri dari tiga luhak yaitu Luhak Agam, Tanah Datar dan luhak Lima Puluh Koto, (2) Daerah rantau, yang merupakan perluasaan bentuk koloni dari setiap luhak tersebut diatas yaitu pertama rantau luhak Agam yang meliputi dari pesisir barat Pariaman sampai Air Bangis, Lubuk Sikaping dan Pasaman. Kedua, rantau Luhak Lima Puluh Koto yang   meliputi  Bangkinang, Lembah Kampar Kiri, Kampar Kanan, Rokan Kanan, Rokan Kiri, (3) Rantau luhak Tanah Datar meliputi Kubuang Tigo Baleh, Pesisir Barat, Pesisir Selatan dari Padang sampai Indrapura, Kerinci dan Muara Labuh. Lebih lanjut lihat Syarifuddin,, 1984 : 78-83. Lihat juga Asnan, 2003 :  282-283.

[5] Hal ini berdasarkan isi Pararaton, yakni : Akara sapuluh dina teka kang andon saking Malayu oleh putri roro. Kang sawiji ginawe bini-haji denira raden Wilaya, aran Dara Petak. Kang atuha aran Dara Jingga ; alaki dewa, apuputra ratu ring Melayu aran tuhan Janaka, kasir-kasir cri Marmadewa, bhiseka sira aji Mantrolot. (Kira-kira sepuluh hari (sesudah pengusiran tentara Tartar) datanglah tentara ekspedisi ke Melayu, membawa dua orang putri. Yang satu dijadikan istri/permaisuri Raden Wijaya bernama Dara Petak. Yang tua bernama Dara Jingga ; ia kawin dengan (Mauliwarma) dewa dan menurunkan raja di Tanah Melayu bernama Tuhan Janaka, bergelar Sri Marmadewa, mengambil nama abhiseka Aji Mantrolot). Lebih lanjut lihat Muljana,  1983 : 176.

[6] Secara lengkap tentang keberadaan kerajaan Pagaruyung dan Raja Adityawarman melalui bukti tertulis berupa prasasti lebih rinci dapat dilihat pada hasil karya Budi Istiawan, 2006 : 48 halaman.

[7] Syekh Burhanuddin adalah ulama yang mempelopori penggunaan surau  untuk mengajarkan agama Islam (religious center) di Minangkabau dan selanjutnya memainkan peranan yang menentukan dalam menguatkan Islamisasi dikalangan penduduk Pariaman yang kemudian meluas ke darek. Institusi surau telah ada di Minangkabau jauh sebelum kehadiran Islam. Pada masa pra-Islam surau berfungsi sebagai tempat bertemu, berkumpul, berapat dan tempat tidur bagi pemuda dan para lelaki. Syekh Burhanuddin ialah ulama pertama yang melakukan transformasi terhadap institusi surau menjadi lembaga pendidikan Islam, yaitu Surau Tua Tanjung Medan, dan kemudian disuraunya yang baru di Ulakan. Muridnya banyak berdatangan dari berbagai pelosok Minangkabau. Bila mereka sudah selesai belajar di Surau Tanjung Medan dan Surau Ulakan mereka kembali ke kampung masing-masing untuk mengajarkan agama Islam kepada masyarakat. Dari sana kemudian Islam disebarkan ke kota Tua di Luhak Agam, kemudian ke Batuladin di Tanah Datar. Seperti telah diinformasikan di muka, Syekh Burhanuddin adalah seorang murid terkemuka ulama Syatariyah terkenal di Aceh, yaitu Syekh Abdurrauf Al-Singkili, seorang ulama penganut Mazhab Syafe’i. Syekh Burhanuddin juga mengajarkan toleransi terhadap adat, agama baru itu terus diajarkan sementara kebiasaan adat tidak langsung dilarang. Ada beberapa bukti kulural yang masih tampak sampai sekarang. Sampai sekarang masih hidup mitos di tengah masyarakat Pariaman bahwa cikal bakal kesenian indang yang terkenal dikawasan rantau barat ini berasal dari cara Syekh Burhanuddin mengajarkan agama Islam dulunya. Cara tersebut yang dilakukan oleh Syekh Burhanuddin melawati proses transisi menjadi masyarakat Ulakan (Pariaman) memeluk agama Islam dengan mengadopsi unsur-unsur pra-Islam dalam masyarakat yang ingin beliau alihimankan. Konon belakangan kesenian indang terpecah, melahirkan genre baru yang disebut selawat dulang yang lebih bersifat religius. Syekh Burhanuddin meninggal dan dimakamkan di Ulakan. Sampai sekarang malam beliau sangat dihormati oleh para penganut Syattariyah. Hari wafat Syekh Burhanuddin (15 Syafar atau 19/20 Juni 1704) dirayakan oleh pengikutnya dengan upacara basapa, yaitu berziarah beramai-ramai ke Ulakan. Dari berbagai pelosok Minangkabau orang berziarah ke Ulakan dan terikat beberapa hari di kompleks makam Syekh Burhanuddin alias Tuanku Ulakan. Mereka membaca salawat, zikir, dan sholat bersama di kompleks makam itu. Upacara basapa dimulai pada hari Rabu setelah tanggal 10 bulan Safar setiap tahunnya. Upacara itu sendiri berlangsung selama seminggu penuh, siang-malam, dan puncaknya dilangsungkan tanggal 15 Safar. Para penziarah itu mendirikan tenda menurut kampung masing-masing (pemandangan pada waktu itu mirip situasi di Arafah pada musim haji) dan sebagian lainnya menginap dirumah-rumah penduduk yang ada disekitar kompleks mesjid Tuanku Ulakan. Dalam pandangan kepariwisataan, sistem ritus dan upacara serta kesatuan sosial dari suatu religi sangat potensial bagi pengembangan pariwisata. Hal ini dikarenakan sistem ritus dan upacara seperti basapa serta kesatuan sosialnya banyak mengandung unsur-unsur yang unik, indah, dan pesona yang dapat dinikmati oleh wisatawan. Lebih lanjut lihat Azra, 2003 ; Amran, 1981 : 242 ;  Samad,  TMF.


Daftar Pustaka
Abdullah, Taufik “Adat and Islam : An examination of conflict in Minangkabau”, Indonesia 2 (Oktober 1966).
Abdul Razak Daeng Ngago, Silsilah Asal Keturunan Pertama Kedatangan Ulama Besar Melayu di Negeri Sanborone. Sanborone, 1994.
Amran, Rusli. Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta : Sinar Harapan, 1981.
-----------------, Sumatera Barat Plakat Panjang. Jakarta : Sinar Harapan, 1985.     
Asnan,Gusti. Kamus sejarah Minangkabau. Padang: Pusat Pengkajian Islam dan Minangkabau (PPIM), 2003.
Azra, Azyumardi, Surau : Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi.  Jakarta : Logos, 2003.
---------------------, Renaisans Islam Asia Tenggara : Sejarah Wacana dan Kekuasaan. Bandung : Remaja Rosdakarya, 1999.
Batuah, Ahmad Dt dan A.Dt Majo Indo, Tambo Minangkabau. Jakarta : Balai Pustaka, 1956.
Benda, Franz von- Beckmann, Properti dan Kesinambungan Sosial. Jakarta : Grasindo, 2000.
De Jong, de Joselin.  Minangkabau and Negeri Sembilan : Sociopolitical Structure in Indonesia. Djakarta : Bhratara, 1960.
Dobbin, Christine, Islamic revivalism in a changing peasant economy : Central Sumatra, 1784-1847  (Monograph Series, Scandinavian Institue of Asian Studies, no 47), 1992.
Drakard, Jane, A Kingdom of Words : Language and Power in Sumatra. South-East Historical Monographs. Oxford University Press, 1999.
Graves, Elizabeth, E, The Minangkabau response to Dutch Colonial rule in the nineteenth century (Monograph Series) Ithaca, NY : Cornell University, 1981.
Hamka. Ayahku, Riwayat Hidup DR. H Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera. Jakarta: Umminda, 1982.
Imran, Amrin. dkk. Menelusuri Sejarah Minangkabau. Padang : Yayasan Citra Budaya Indonesia dan LKAAM Sumatera Barat, 2002.
Istiawan, Budi. Selintas Prasasti dari Melayu Kuno. Batusangkar : Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Batusangkar, Wilayah Kerja Propinsi Sumatera Barat, Riau dan Kepulauan Riau, 2006.
Kiram, Ahmad, dkk, Raja-raja Minangkabau dalam Lintasan Sejarah. Padang : Museum Adityawarman dan Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Sumatera Barat, 2003.  
Lamangida, Yoran. Masyarakat Minangkabau di Kota Manado 1965-1995 (Suatu Tinjauan Sejarah).  Dalam jurnal Esagenang Volume 1, nomor 2 Agustus 2003.
Mansoer, M.D,dkk, Sedjarah Minangkabau. Jakarta : Bhratara, 1970.
Muljana, Slamet. Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit. Jakarta : Inti Idayu Press,  1983.
Naim, Muchtar. Merantau : Pola Migrasi Suku Minangkabau : Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1979
Nasroen, Mhd Dasar falsafah adat Minangkabau. Jakarta : Bulan Bintang, 1957.
Navis, A.A. Alam Terkembang Jadi Guru : Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta : Grafiti Press, 1986.
Oki, Akira. “Social Change in the West Sumatra Village, 1908-1945”. Disertasi Ph.D. Australian National University, 1977.
Panghulu, Datuak Rajo. R.M, Minangkabau, sedjarah ringkas dan adatnja. Padang : Sri Dharma, 1971.
Pa Eni, Muchlis,  Melayu-Bugis-Melayu dalam Arus Balik Sejarah dalam Jurnal ATL (Jurnal Pengetahuan dan Komunikasi Peneliti dan Pemerhati Tradisi Lisan), No. 1, Vol.1, Edisi IV, November 2008.
Samad, Duski. Syekh Burhanuddin dan Islamisasi Minangkabau  (Syarak Mandaki Adat Manurun). [Jakarta ?] : TMF.
Syarifuddin, Amir, Pelaksanaan hukum kewarisan Islam dalam lingkungan adat Minangkabau. Jakarta : Gunung Agung, 1984.
Tim Kecil, Tim Kerja dan Tim Perumus Seminar Nasional Pengusulan Sultan Alam Bagagarsyah Menjadi Pahlawan Nasional. Padang : Pemerintah Propinsi Sumatera Barat dan Pemerintah Kabupaten Tanah Datar, 2008.
Undri, Kerajaan Pagaruyung : Hegemoni Melampaui Sekat-Sekat Kewilayahan. Dalam
Westenenck, L.C, Nagari Minangkabau.Terjemahan oleh Mahyuddin Saleh. Padang : Bursa Fakultas Hukum Universitas Andalas, 1912.
Tulisan ini dipresentasikan pada Seminar Tokoh Nasional Minangkabau : Sosialisasi Ketokohan Raja Pagaruyung Dato’ Maharaja Yang  Mengislamkan Kerajaan Patani dan Sulawesi “ Tanggal 5 Mei 2012 di Hotel Oasis Amir, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...