OLEH Nurmatias (Peneliti Budaya)
Prolog
Meretas eksistensi Dato’ Mahkota Maharaja Pagaruyung dalam
khazanah historiografi Indonesia umumnya dan Minangkabau khususnya merupakan
sebuah keharusan. Fondasi ini didasarkan pada intinya yakni “masih
sedikitnya” perihal Mahmud Dato’ Mahkota
Maharaja tertuang dalam literatur sejarah. Perihal lainnya dalam sejarah
Minangkabau, telah banyak dikaji oleh peneliti baik peneliti Indonesia maupun
luar negeri. Tak salah Benda-Beckmann (2000 : xxvi) pernah menuliskan bahwa
Minangkabau sudah banyak yang menyigi dari berbagai aspek penyigihannya.
Menyigi dan mengkaji eksistensi
Dato’ Mahkota itu sendiri tidak terlepas dari perihal Kerajaan
Pagaruyung. Kerajaan Pagaruyung itu sendiri merupakan salah satu kerajaan yang pernah ada dalam khazanah sejarah
Minangkabau. Kerajaan yang diperkirakan berdiri pada abad ke-14 di daerah darek
Minangkabau, tepatnya berpusat di
Pagaruyung. Kerajaan tersebut mencapai puncak kejayaannya sekitar abad ke-15
Masehi, dibawah pemerintahan Adityawarman
(Amran, 1981 : 37 ; Kiram, dan kawan-kawan, 2003 : 11, dan Imran, dkk, 2002 : 20). Sebagai sebuah
kerajaan besar dizamannya, selain telah memiliki kerajaan-kerajaan kecil (vazal) yang bertindak sebagai “wakil
raja” di daerahnya- diberi otonomi khusus untuk mengurus daerahnya juga telah
menyebarkan keturunan keberbagai daerah dipelosok tanah air sampai ke manca
negara.
Raja-raja di bawah panji
Kerajaan Pagaruyung tersebut telah menyebar keberbagai daerah, bukan saja di
Indonesia namun sampai ke mancanegara, yakni Malaysia, (Kepulauan Sulu)
Filipina dan Brunei Darussalam. Kekuasaan Kerajaan Pagaruyung tersebut telah
membentuk suatu hegemoni, dibawah Raja Alam berpusat di Pagaruyung. Khusus di
alam Minangkabau, raja-raja kecil tersebut berjumlah 61 buah kerajaan, baik
yang ada di daerah darek dan rantau Minangkabau. Mereka biasanya
dipanggil dengan istilah Yang Dipertuan, Rajo, dan Sutan.
Mereka ada yang berasal dari keturunan langsung raja Pagaruyung dan ada pula
yang ditunjuk oleh raja sebagai wakilnya untuk memerintah di daerah. Dalam
kondisi inilah muncul hubungan yang diistilahkan dengan sapiah balahan,
kuduang karatan, kapak radai, dan
timbang pacahan Kerajaan Pagaruyung.[1]
Salah satu daerah
yang ada keturunan Pagaruyung tersebut dan masih eksis sampai sekarang ini di
daerah Sulawesi. Ditelisik lebih jauh keberadaan mereka disana tidak terlepas
dari penyebaran agama Islam. Dalam penyebaran agama Islam tersebut muncullah
beberapa nama seperti Dato’ri Bandang, Dato’ Patimang, Dato’ ri Tiro serta Dato’ Mahkota Maharaja Pagaruyung. Tokoh
terakhir ini sangat disayangkan dalam berbagai literatur sejarah Minangkabau
belum “muncul” seperti yang telah diulas pada bagian diatas. Pada hal beliau
sangat berjasa terutama dalam proses penyebaran Islam di nusantara ini.
Beranjak dari
persoalan diatas, makalah ini akan memaparkan lebih jauh tentang Dato’ Mahkota Maharaja Pagaruyung dalam
Kerajaan Pagaruyung serta perannya dalam proses penyebaran Islam di nusantara.
Dato’ Mahkota Maharaja Pagaruyung
Merujuk pada Silsilah Asal
Keturunan Pertama Kedatangan Ulama Besar Melayu di Negeri Sanrobone oleh Abdul
Razak Daeng Ngago (1994)[2]
bahwa Dato’ Mahkota Maharaja Pagaruyng
memperistrikan Tuan Sitti, memiliki anak Tuan Raja. Kemudian Tuan Raja
memperistrikan Tuan Aminah, melahirkan anak 4 (empat) orang yakni (1) Ince Ali,
(2) Ince Talli, (3) Ince Hasan, dan (4) Ince Husaini. Ince Ali tersebut
memperistrika Jawa Katinga (Tuan Katingan) namanya Marahuma, memiliki anak
perempuan bernama Ince Tija. Ince Tija mempersuamikan Lolo Bayo dan melahirkan
keturunan Kare Sali. Kare Sali mempersuamikan Kare Baseng, melahirkan anak
keturunan 4 (empat) orang yakni (1) I Maemunah, (2) Kare Tongngi, (3) Kare
Pato, dan (4) Kare Muntu. Kare Muntu memperistrikan orang Jeneponto kemenakan
Kareang Jeneponto bernama Tongngi, memiliki anak 4 (empat) orang yakni (1) I
Daro, (2) Samaila, (3) Abdul Kadir, dan (4) Mominah,
Mominah mempersuamikan Ince Gali
dengan memiliki 5 (lima) orang anak, yakni (1) Kare Capa, (2) Kare Kulle, (3) Sitti
Memunah, (4) Kare Siang, dan (5) Kare Tojeng. Kare Tojeng mempersuamikan Kare
Jallang (Kare Jalla) memiliki anak 5 (lima) orang, yakni (1) Kare Mangasai, (2)
Kare Pole, (3) Kare Poto, (4) Kare Sittin, dan (5) Kare Baluru. Kemudian Kare
Baluru mempersuamikan Kare Jarre, memiliki anak 9 (Sembilan) orang yakni : (1)
Abdul Rahim, (2) Muhammad Jafar, (3) Hasan, (4) Huseini, (5) Ali, (6) Sabiba,
(7) Aminah, (8) Adam Muhammad, dan (9) Japarah. Japarah memperistikan Kare
Tongngi Binti Kare Pole, memiliki anak 4 (empat) orang yakni : (1) Halimah
Daeng Ratu, (2) Hayawani Daeng Kenna, (3) Marhumah Daeng Calla, (4) Samaila
Daeng Ma’ Bate.
Samaila Daeng Ma’bate
memperistrikan seorang anak Gallarang
Balang yang bernama Saleha Daeng Nurung, memiliki anak 6 (enam) orang yakni :
(1) I Minalalang Daeng Kenna, (2) I Nali Daeng Tonji, (3) I Yoho Daeng Siang,
(4) Sitti Daeng Puji, (5) Yumma Daeng Sanga, dan (6) Abubakar Daeng Lau.
Abubakar Daeng Lau
mempersistrikan Mu’minah Daeng Mami, memiliki anak yakni (1) Kadirong Laeng
Massa, (2) Minolla Daeng Nirrang, (3) Timang Daeng Puji, dan (4) Manggaukang
Daeng Bombong. Manggaukang Daeng Bombong memperistrikan Jawa Daeng Te’ne,
melahirkan anak yakni (1) Rahmatiah Daeng Rampu, (2) Muhana Daeng Senga, (3)
Abdullah Daeng Suro, (4) Paimatolla Daeng Kenna, dan (5) Syamsu Daeng Lau, (6)
Sohoroh Daeng Bau, (7) Kio Daeng Naja, (8) Yoho Daeng Siang, dan (9) Kulujung
Daeng Rani.
Kerajaan Pagaruyung [3]
Kerajaan
Pagaruyung merupakan sebuah kerajaan yang berpusat di luhak Tanah Datar,
Minangkabau. Istana kerajaan berada di Nagari Pagaruyung, yang berfungsi
sebagai pusat pemerintahan raja-raja Pagaruyung. Luhak Tanah Datar
sendiri merupakan salah satu bagian dari luhak nan tigo yang terdapat dalam konsepsi masyarakat
Minangkabau terutama tentang alamnya.[4] Kerajaan Pagaruyung
itu sendiri didirikan oleh Adityawarman dan mencapai puncaknya sekitar abad
ke-14 dan ke-15, ketika Adityawarman masih berkuasa (Amran, 1981 : 37). Adityawarman adalah putra dari Dara Jingga
dari Tanah Melayu,[5] cucu Tribhuwanaraja
Mauliwarmadewa, yang dibesarkan di Majapahit. Faktor itu pula yang menyebabkan
ketika Adityawarman memerintah, pengaruh Kerajaan Majapahit sangat jelas.
Bahkan pada masa pemerintahan Adityawarman organisasi pemerintahan kerajaan
disusun menurut sistem organisasi yang berlaku di Majapahit. Begitu juga dengan
sistem pemerintahan, tampaknya pola Kerajaan Majapahit dipakai pula oleh
Kerajaan Pagaruyung. Pada dasarnya sistem pemerintahan di wilayah kerajaan
terdiri atas dua pola, di Majapahit terdiri dari wilayah bawahan, dengan
pimpinan raja bawahan, yang umumnya adalah anggota raja di pusat pemerintahan,
dan wilayah mancanegara, yaitu daerah taklukan yang dipimpin raja
wilayah itu sendiri. Sedangkan pola yang dipakai di Minangkabau ialah wilayah
rantau, yaitu kerajaan yang dipimpin oleh raja kecil sebagai wakil raja di
Pagaruyung, dan wilayah Luhak yang dipimpin para penghulu. Wilayah itu
masing-masing diatur menurut sistem yang berbeda satu sama lain, sebagaimana
yang diungkapkan mamang “luhak berpenghulu, rantau beraja” (Navis, 1986
: 16-17).
Pembentukan
Kerajaan Pagaruyung oleh Adityawarman merupakan peristiwa penting dalam sejarah
Minangkabau, karena peristiwa itu menunjukkan usaha pertama dalam pembentukan
sebuah sistem otoritas yang berada di atas tingkat nagari yang otonom.
Walaupun kedudukan raja di dalam pemerintahan alam Minangkabau lebih banyak
bersifat sebagai pemersatu nagari-nagari yang otonom tersebut. Otoritas
tradisional raja Minangkabau hanya merupakan simbol persatuan dari republik-republik
nagari Minangkabau dan pemelihara hubungan dengan masyarakat di luar
alam Minangkabau. Raja meminjamkan daulatnya kepada kerajaan dan raja merupakan
lambang dari persatuan Minangkabau sebagai satu keseluruhan (Jong, 1960
:110-111).
Sepeninggal
Adityawarman raja-raja Pagaruyung tetap dihormati rakyat sebagai tokoh yang
menjaga keseimbangan dan keutuhan serta sebagai pemungut pajak (uang adat)
yang menjadi ikatan politik. Raja mempunyai basis kekuasaan berupa pemungut
pajak dikawasan rantau seperti pajak pelabuhan, pajak perdagangan dan
berbagai bentuk uang adat. Pada prinsipnya, pemungutan pajak itu merupakan
pemenuhan kewajiban adat. Demikian juga halnya ada pajak untuk mendirikan
rumah, bangunan-bangunan balai adat, dan lain-lain.
Raja Minangkabau,
yang berkedudukan di Pagaruyung selalu menerima pajak atau upeti dari raja di rantau
seperti Siak, Indragiri, Air Bangis, Sungai Pagu, Batang Hari, bahkan dari
Batak. Pemungutan pajak dirantau kadang kala juga diserahkan kepada raja atau
utusannya yang datang ke rantau untuk menjemput uang adat yang terkumpul.
Hubungan dengan raja di rantau ada juga yang berlangsung melalui
hubungan perkawinan, dikirim langsung dari Pagaruyung dan sebagainya, hingga
muncul istilah sapiah balahan, kuduang karatan, kapak radai, dan
timbang pacahan Kerajaan Pagaruyung. Penempatan raja di rantau
mendapat restu dari raja Pagaruyung, seperti raja Pulau Punjung adalah raja
setempat yang diangkat dan ditetapkan oleh Yang Dipertuan Pagaruyung. Raja
Sungai Pagu mempunyai hubungan darah dengan keluarga Pagaruyung.
Orang Minangkabau
tidak memandang daerah dan lembaga-lembaga kerajaannya sebagai sebuah negara (state)
yang memiliki batas-batas daerah yang jelas, dalam arti kata hegemoni yang
melampaui batas-batas kewilahannya. Pemerintah pusat mempunyai kekuasaan untuk
memungut pajak, memerintahkan atau menyuruh orang menjadi tentara dan
memaksakan hukum. Bahkan tidak ada bukti-bukti bahwa kerajaan pernah
membebankan pajak pendapatan dan kerja wajib kepada rakyat (Oki, 1977 : 23-24).
Menurut Dobbin (1974 :
319-356), sumber keuangan dari kerajaan
adalah : (1) pajak perdagangan dipintu-pintu keluar masuk kerajaan, (2)
pembayaran uang sidang dalam penyelesaian perkara, (3) hasil sawah yang
dikerjakan oleh orang hukuman dan pelayan-pelayannya. Juga tidak ada
bukti-bukti sejarah yang memperlihatkan bahwa raja memaksakan kekuasaan
politiknya terhadap masalah internal dari nagari-nagari. Nagari tetap
memelihara sistem politik mereka yang otonom yang berpusat pada penghulu dan
dewan penghulu. Kelihatannya otoritas raja hanya terbatas pada fungsi sebagai
“penengah” bila konflik antar nagari tidak dapat diselesaikan oleh
nagari yang bersangkutan dan nagari-nagari tersebut meminta raja sebagai
juru damai.
Dalam sistem pemerintahannya
kerajaan induk memberikan otonomi khusus. Walaupun demikian halnya, dalam
kenyataannya hal tersebut tidak berlaku dalam soal ekonomi. Hubungan keduanya
pada awalnya bersifat desentralistik kemudian menjadi semi
desentralistik. Sebab raja-raja kecil harus menyerahkan semacam “upeti” sebagai
landasan atas bawahan dan atasan. Namun dalam bidang lainnya tidak seperti itu,
raja Pagaruyung walaupun diakui sebagai atasan, praktis sudah tidak mempunyai
kekuasaan sama sekali dan hanya diakui karena adat dan tradisi saja
dimana-mana. Sebaliknya, raja di Pagaruyung sudah puas asal diakui saja sebagai
yang dipertuan dan mendapat “mas manah” tiap 3 (tiga) tahun sekali dari rantau.
Paling-paling tugas Yang Dipertuan Pagaruyung tadi mengukuhkan seorang
raja, atau menyelesaikan kalau ada sedikit perselisihan antara raja-raja kecil.
Ini pun dilakukan kalau diminta. Ikatan sebetulnya praktis sudah tidak ada dan
raja-raja dirantau tadi merdeka dalam tindakan. Siapa yang kuat dapat membawahi
lagi beberapa raja kecil didekatnya. Adat istiadat setempat yang timbul
perlahan-lahan, lama-kelamaan mendarah daging, sehinga agak berbeda dari adat
istiadat istana. Dengan demikian, dirantau bisa saja muncul kerajaan-kerajaan
kecil yang kuat dengan adat kebiasaan sendiri, membawahi pula satu atau
beberapa raja (Amran, 1981 : 11 ; Abdullah, 1966).
Umumnya raja-raja kecil
tersebut berada di daerah rantau, walaupun ada di daerah darek
Minangkabau. Daerah rantau disebut juga sebagai rantau hilie
karena wilayahnya berdekatan dengan pantai maupun sungai, juga rantau mudiak.
Di samping rantau hilie masih ada dua daerah rantau yaitu, Lubuk
Sikaping dan Rao yang merupakan rantau dari Luhak Agam. Rantau selatan yang
merupakan luhak Tanah Datar meliputi Solok, Selayo, Muara Panas, Sawahlunto
Sijunjung dan terus ke perbatasan Riau dan Jambi (Naim, 1979 : 58).
Menurut Tambo, setelah proses
pembentukan daerah-daerah rantau tahap awal selesai, maka batas-batas
daerah Alam Minangkabau periode abad ke-16 meliputi, riak nan badabua,
siluluk punai, mati sirangkak nan badangkang buayo putiah daguak, taratak Aia
Hitam, Kasikilang Aia Bangih sampai kadurian di Takuak Rajo (Batuah, 1956).
Dengan demikian wilayah budaya Minangkabau telah terbentuk dengan sendirinya
dan falsafah hidup masyarakatnya sama dengan yang ada di kawasan inti, termasuk
sistem politik dan struktur masyarakatnya.
Hal ini tidak terlepas dari
struktur politik alam Minangkabau yang terkandung dalam pepatah adat,
mengatakan luhak bapanghulu, rantau barajo (luhak berpenghulu, rantau
beraja). Raja adalah pemegang kekuasaan tertinggi di Alam Minangkabau, terutama
kurun waktu abad 14 hingga pertengahan abad 18. Pemegang kekuasaan tertinggi
terdiri dari tiga serangkai yang disebut Rajo nan tigo selo. Rajo nan
tigo selo terdiri dari Raja Alam, Raja Ibadat dan Raja Adat. Meskipun Raja
Adat dan Raja Ibadat mempunyai daerah kekuasaan sendiri-sendiri namun menurut
struktur kekuasaan di Alam Minangkabau, Raja Alam merupakan pimpinan tertinggi
dari raja-raja lainnya. Gelar dan fungsi Raja Alam ini dipusakai secara
turun-temurun dari pihak ayah (Manggis, 1987).
Bukti Kerajaan
Pagaruyung
Keberadaan
Kerajaan Pagaruyung, terutama raja Adityawarman dapat dibuktikan dengan
ditemukannya bukti tertulis berupa prasasti,[6] diantaranya pertama, Prasasti Pagauyung I atau
prasasti Bukit Gombak, digoreskan pada sebuah batu pasir kwarsa warna coklat
kekuningan (batuan sedimen) berbentuk empat persegi berukuran tinggi 2,06
meter, lebar 1,33 meter, dan tebal 38 centimeter. Prasasti ini ditulis dalam
bahasa Sangsekerta bercampur dengan bahasa Melayu Kuno atau Jawa Kuno (Djafar
dalam Istiawan, 2006 : 3). Prasasti Pagaruyung I berisi tentang puji-pijian
akan keagungan dan kebijaksanaan Adityawaraman sebagai raja yang banyak
menguasai pengetahuan, khususnya dibidang keagamaan, Adityawarman dianggap sebagai
cikal bakal keluarga Dharmaraja, prasasti Pagaruyung I berisi pula tentang
pertanggalan saat penulisan prasasti. Pertanggalan dalam prasasti ini ditulis
dalam bentuk kalimat candra sengkala berbunyi wasur mmuni bhuja sthalam atau
dewa ular dan pendeta yang menjadi lengan dunia. Masing-masing kata diatas
mempunyai nilai tertentu, bila dirangkai akan menjadi angka tahun. Wasur beragka
8, mmuni bernilai 7, bhuja bernilai 2, dan sthalam = 1. Angka tersebut dibaca dari
belakang sehingga menghasilkan angka tahun 1278 Saka (1356 M).
Kedua, prasasti Pagaruyung II, berhuruf Jawa Kuna dengan
bahasa Sanksekerta. Isi dari prasasti ini belum dapat dijeskan secara lengkap,
namun dilihat dari angka tahunnya
yakni 1295 Saka atau 1373 M sezaman
dengan prasasti Aditiawarman lainnya. Ketiga, Prasasti Pagaruyung III,
isi prasasti hanya berupa keterangan pertanggalan tanpa menyebutkan suatu
peristiwa tertentu, kemungkinan besar prasasti ini ditempatkan pada konteks
bangunan (candi) atau bangunan keagamaan lain. Keempat, Prasasti
Pagaruyung IV, prasasti yang mengunakan huruf Jawa Kuno dan bahasa Sangsekerta
serta berasal dari masa Adityawarman. Hal ini ditunjukkan dengan penyebutan
nama Adityawarman pada baris ke-13. Kemudian pada baris ke-9 ada kata sarawasa,
kata yang hampir sama dapat dijumpai pada Prasasti Saruaso I, yaitu surawasawan
, yang kemudian berubah menjadi Saruaso, nama sebuah nagari (desa)
di Kabupaten Tanah Datar + 7 kilometer dari Kota Batusangkar. Kelima,
Prasasti Pagaruyung V, berisi tentang masalah taman dan diluar kelaziman
prasasti dari Adityawarman.
Keenam, Prasasti Pagaruyung VI, merupakan stempel atau cap
pembuatan bagi Tumanggung Kudawira, siapa dia belum dapat dijelaskan secara
lengkap. Akan tetapi berdasarkan jabatan dan namanya dapat diketahui bahwa
Tumanggung Kudawira berasal dari Jawa, sebuah jabatan yang lazim dipakai pada
masa kerajaan Singasari dan Majapahit. Ketujuh, Prasasti Pagaruyung VII,
prasasti ini tidak diketahui angka tahunnya, hanya didalamnya menyebutkan nama
Sri Akarendrawarmman sebagai maharadjadiraja. Pemakaian nama warmman dibelakang menunjukkan bahwa Sri
Akarendrawarmman masih ada hubungan darah dengan Adityawarman. Berbagai ahli
menyebutnya sebagai saudara Adityawarman dan kerana gelarnya adalah maharadjadhiraja
tentunya ia sudah menjadi raja saat
mengeluarkan prasasti tersebut, mungkin sesudah Adityawarman turun tahta
(meninggal).
Kedelapan, Prasasti Pagaruyung VIII, prasasti yang dibuat pada
masa Aditiawarman, ini berdasarkan tahun dikeluarkannya yakni 1291 Saka atau
1369 M. Menurut Casparis (dalam Istiawan, 2006 : 23-24) bahwa Prasasti
Pagaruyung VIII mempunyai pertanggalan dalam bentuk candra sengkala
yaitu sasi atau bulan bernilai 1,
kara atau tangan bernilai 2, awacara atau suasana bernilai 3, dan turangga atau kuda berangka 8. Candra
sengkala ini sama dengan 1238 Saka atau 1316 M. Hingga
kahirnya Casparis menyimpulkan melalui berdasarkan isi prasasti tersebut bahwa
Akarendrawarmman yang disebut dalam prasasti tersebut merupakan mamak (saudara ayah) dari Adityawarman,
sedangkan Adwayawarman (Ayah Adityawarman seperti disebut dalam Prasasti
Kuburajo I) tidak pernah memerintah selaku seorang raja di Sumatera Barat).
Kesembilan, Prasasti Pagaruyung IX, fragmen prasasti ini sekarang disimpan
di Ruang Koleksi Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Batusangkar. Jika
melihat bentuk dan gaya tulisannya, maka kemungkinan prasasti ini berasal dari
masa pemerintahan Adityawarman.
Kesepuluh, Prasasti Saruaso I, prasasti yang berasal dari Raja
Adityawarman yang berangka tahun 1297 atau 1375 Masehi. Prasasti tersebut
berisi tentang suatu maklumat atau pengabaran tentang upacara keagamaan yang
dilakukan oleh Raja Adityawarman sebagai seorang penganut Budha Mahayana sekte
Bhairawa. Kesebelas, Prasasti Saruaso II, isi pokok dari prasasti
tersebut adalah tentang seorang rajamuda (yauwaraja) yang bernama
Ananggawarman. Disebutkan pula bahwa Ananggawarman merupakan anak (tanaya)
dari Raja Adityawarman (1347-1375 M) yang kemungkinan masih berkuasa pada saat
prasasti tersebut ditulis. Keduabelas, Prasasti Kuburajo I, berisi
tentang tentang sebuah genealogis atau garis keturunan Raja Adityawarman. Pada
garis kedua disebutkan seorang tokoh bernama Adwayawarman yang berputra raja
Kanaka Medinidra. Ketigabelas,
Prasasti Kuburajo II, prasasti
yang berasal dari masa Adityawarman. Beberapa kata yang dapat dibaca dari
prasasti ini antara lain “rama” (baris pertama), yang dapat berarti
ketua desa. Dan pembacaan pada baris ketiga menghasilkan kata “puri” dan
”sthana” yang berarti tempat peristirahatan di istana, dan pada baris
terakhir dijumpai kata “srima” yang merupakan penggalan dari kata sri
maharadja, sedangkan tulisan yang lain tidak terbaca karena aus.
Keempatbelas, Prasasti Rambatan, berada di Nagari Empat Suku Kapalo
Koto, Kecamatan Rambatan, Kabupaten Tanah Datar. Prasasti ini terdiri dari 6
baris tulisan dalam huruf Jawa Kuno dan berbahasa Melayu Kuno. Keadaan tulisan
sudah cukup aus, sehingga hanya beberapa kata saja yang terbaca. Prasasti
tersebut berbentuk sloka sardulawikridita dan wangsastha 14. Di atas tulisan
terdapat hiasan 2 (dua) ekor ular yang saling berbelit. Bentuk hiasan yang
demikian dijumpai pula dalam beberapa prasasti Adityawarman lainnya. Kelimabelas,
Prasasti Ombilin, terletak didepan Puskesmas Rambatan I, dekat Danau Ombilin,
Kecamatan Rambatan, Kabupaten Tanah Datar. Isi prasasti tersebut antara lain
berupa penghormatan kepada Adityawarman yang pandai membedakan dharma dan adharma, ia punya sifat sebagai
matahari yang membakar orang jahat, tetapi menolong orang baik. Keenambelas,
Prasasti Bandar Bapahat, berada di Bukit Gombang, Kabupaten Tanah Datar. Dari
prasasti tersebut dijumpai nama Adityawarnan dan grama sri surawasa. Ketujuhbelas, Prasasti Pariagan,
ditemukan ditepi Sungai Mengkaweh, disebelah timur kota Padang Panjang.
Prasasti ini dipahatkan pada batu monolit non-artifisial berbentuk setengah
lingkaran dengan tulisan berjumlah 6 baris. Aksara yang dipakai sama dengan
aksara prasasti Adityawarman lainnya.
Kedelapanbelas, Prasasti Amogrhapasa, prasasti ini dipahatkan pada
bagian belakang Arca Amoghapasa yang ditemukan di Rambahan dihulu Sungai
Batanghari. Isi prasasti ini antara lain
: Adityawarman menyebut dirinya Maharajadiraja, nama lain yang dipakainya
adalah Udayadityawarman, ada upacara Bhairawa, karena indikasi matangini dan matanginisa, ada nama Tuhan
Prapatih sebagai pejabat tinggi dari Adityawarman, Acaryya Dharmmasekhara
mendirikan Arca Budha dengan nama Gaganagnja, ada restorasi candi, berdasarkan indikasi
kalimat jirnair udharita, ada pemujaan kepada jina, ada sebutan
Rajandra Mauli Maliwarmmadewa Maha rajadhiraja dan nama Malayupura. Kesembilanbelas,
dipahatkan pada lapik Arca Amoghapasa yang ditemukan di Jorong Sungai Langsat,
Kecamatan Sitiung, Kabupaten Dharmasraya. Isi dari prasasti ini menyebutkan
bahwa pada tahun 1208 Saka (1286 M), bulan Badrawada tanggal 1 paro terang,
Arca Amogapasha dibawa dari Bumi Jawa dan ditempatkan di Dharmasraya. Arca ini
merupakan persembahan dari Sri Maharajadiraja Sri Kertanegara (dari kerajaan
Singosari di Jawa) untuk Sri Maharaja Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmmadewa
dari Melayu Dharmasraya.
Proses Islamisasi di Nusantara
Berbagai versi muncul tentang masuknya Islam ke Indonesia, Hamka
menyebutkan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad pertama Hijriah atau 7
Masehi (Azra, 2000 : 31). Selain itu perihal ini juga diulas dalam laporan
perjalanan Marco Polo. Dimana, Samudra Pasai misalnya telah memeluk Islam
sedikitnya sejak akhir abad ke 11. Ditemukan batu nisan yang bertuliskan Arab
yang bertahun 1297 (di Pasai). Selain itu, Marco Polo yang mengunjungi wilayah
Samudra Pasai tersebut pada 1292 menyebutkan Perlak sudah memeluk Islam.
Demikian pula, pengembara Muslim Marokko, Ibnu Battuta yang mengunjungi Pasai
pada 1345 menyatakan bahwa masyarakat setempat sudah masuk Islam. Dari
tempat-tempat inilah kemudian Islam menyebar ke seluruh Nusantara (Azra, 2000 :
31). Mengenai tempat asal datangnya Islam ke Asia Tenggara, sedikitnya ada tiga
teori besar. Pertama, teori yang
menyatakan bahwa Islam datang langsung dari Arab-tepatnya Hadramaut.Teori
semacam ini juga diajukan Hamka dalam Seminar “Sejarah Masuknya Islam ke
Indonesia” pada 1962. Menurutnya, Islam masuk ke Indonesia langsung dari Arab,
bukan melalui India, dan bukan pula pada abad ke-11, melainkan pada abad
pertama Hijriyah atau 7 Masehi.
Teori yang mengataka bahwa Islam di Indonesia datang dari India pertama
kali dikemukakan oleh Pijnapel tahun 1872. Teori ini lebih lanjut dikembangkan
oleh Snouch Hurgronye yang melihat para pedagang kota pelabuhan Dakka di India
Selatan sebagai pembawa Islam ke wilayah Indonesia. Ia menunjukkan pantai
Koromandel sebagai pelabuhan tempat bertolaknya para pedagang Muslim dalam
pelayaran mereka menuju nusantara. Teori ketiga yang dikembangkan Fatimi
menyatakan bahwa Islam datang dari Benggali (kini Bangladesh). Dia mengutip
keterangan Tome Pures yang mengungkapkan bahwa kebanyakan orang terkemuka di
Pasai adalah orang Benggali atau keturunan mereka. Dan, Islam muncul pertama
kali di Semenanjung Malaya, dari arah pantai timur, bukan dari Barat (Malaka),
pada abad ke 11, melalui Kanton, Vietnam, Leren, dan Trengganu. Ia beralasan
bahwa secara doktrin, Islam di Semenanjung lebih sama dengan Islam Vietnam.
Elemen-elemen prasasti di Trengganu juga lebih mirip dengan prasasti yang
ditemukan di Leren (Jawa Timur). Drewes, yang mempertahankan teori Snouck
Hurganye, menyetakan bahwa teori Fatimi ini tidak bisa diterima, terutama
karena penafsirannya atas prasasterti di yang ada dinilai merupakan “ perkiraan
liar belaka”. Lagi pula, mazhab yang dominan di Benggala adalah mazhab Hanafi,
bukan mazhab Syafe’i seperti di Semenanjung dan nusantara secara keseluruhan
Akhirnya, semua teori di atas jelaslah belum final. Meskipun telah banyak
sejarawan yang menulis tentang masalah ini, kesempatan masih tetap terbuka bagi
munculnya penafsiran-penafsiran baru berdasarkan penelitian atas sumber-sumber
sejarah yang ada (Azra, 2000 : 33).
Di Minangkabau, menurut Hamka, agama Islam telah masuk pada pertengahan
abad ke-14. Ia memberi alasan bahwa ketika Ibnu Batutah datang ke Pasai pada
tahun 1345, didapatinya raja sedang tidak ada dalam negeri. Raja Pasai Sulthan
Al Malik Az Zahir ketika itu sedang menyiarkan agama Islam ke Minangkabau
(Hamka, 1982 : 5). Sebenarnya sebelum abad ke-14 telah ada perkampungan orang
Arab di Minangkabau, yaitu perkampungan pedagang-pedagang Arab yang berhubungan
dengan masyarakat di daerah pesisir barat Minangkabau. Akan tetapi perkembangan
agama Islam meluas di Minangkabau baru terjadi pada tahun 1680, ketika Syekh
Burhanuddin kembali belajar dari Syekh Abdul Rauf di Singkel, Aceh. Syekh
Burhanuddin mendirikan lembaga pendidikan tradisional di Minangkabau, berupa
bangunan surau di Ulakan, Pariaman. Murid-murid Syekh Burhanuddin datang
menuntut ilmu dari nagari-nagari di Minangkabau, diantaranya Tuanku Mansiangan
dan Tuanku Kototuo.
Masuknya aliran tasawuf di Minangkabau bersamaan dengan kedatangan agama
Islam, karena tasawuf merupakan kehidupan rohani dalam Islam. Syekh
Burhanuddin,[7]
pengembang Islam utama di Pesisir Barat Minangkabau mengembangkan tarekat
Syattariyah. Setelah agama Islam berkembang di Minangkabau, banyak ulama yang
mendapat pendidikan langsung atau secara tidak langsung di Mekah. Sekembalinya
mereka ke Minangkabau, membawa ajaran yang lain, misalnya tarekat
Naksyabandiyah. Tarekat ini berkembang di Cangking di bawah pimpinan Tuanku
Muhammad. Pada tahun 1850 Syekh Ismail Simabur membawa tarekat Naksyabandiyah
ke Batusangkar. Tarekat Rifaiyah dan Sammaniyah dibawa ke Minangkabau oleh
tokoh-tokoh yang tidak dikenal, karena terlalu banyaknya para ulama Minangkabau
yang memperdalam ilmu baik di Aceh maupun di Timur Tengah. Hanya empat jenis
tarekat yang disebutkan di atas berkembang di Minangkabau.
Keturunan Pagaruyung di
Sulawesi , tidak terlepas dari penyebaran agama Islam di daerah tersebut. Agama Islam masuk ke Makassar, sejak raja Gowa ke 10
Tunipalangga (1546-1565 ) yaitu ketika dia memberikan izin kepada
pedagang-pedagang Melayu untuk menempati daerah tersebut. Adapun ulama Islam
yang mengislamkan kedua raja tersebut dan rakyatnya ialah Abdullah Ma’mur
Khatib Tunggal, kemudian lazim disebut Dato’ri Bandang. Beliau berasal dari
Koto Tengah (Minangkabau). Beliau mengajarkan syariat Islam sebagai langkah
dalam da’wah dan penyebarannya. Beliau dibantu oleh dua orang rekannya yang
juga berasal dari Minangkabau untuk menyebarkan Islam di Sulawesi Selatan. Dua
orang itu, yakni pertama Khatib Sulaiman, kemudian dikenal dengan nama
Dato’ Patimang. Beliau bertugas menyebarkan agama Islam di Tana Luwu. Raja Luwu
yang mula-mula memeluk agama Islam Lapati Were Daeng Parabiung, dan setelah
masuk Islam namanya menjadi Matinroe ri Ware’. Kedua Khatib Bungsu,
kemudian dikenal dengan nama Dato’ri Tiro. Beliau mengajarkan Islam melalui
ajaran Tasawuf, di daerah Tiro, Bulukumba dan sekitarnya sesuai dengan
keinginan penduduk di tempat-tempat itu yang menyukai paham kebatinan.
Ketiga orang
datuk ini mengislamkan Raja Tallo, pada hari Jumat 14 Jumadil Awal atau 22
September 1605, kemudian menyusul Raja Gowa XIV, yang akhirnya bernama Sultan
Alauddin. Kerajaan Tallo dan kerajaan Gowa merupakan kerajaan kembar yang tidak
bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Bahkan Mangkubumi (Perdana Menteri)
kerajaan Gowa adalah juga Raja Tallo. Raja Tallo XV, Malingkaan Daeng
Manynyonri merupakan orang pertama di Sulawesi Selatan yang memeluk agama Islam
melalui seorang ulama dari pantai Barat Sumatera, Datuk Ribandang. Kemudian
Raja Gowa secara resmi mengumumkan bahwa agama resmi kerajaan Gowa dan seluruh
daerah bawahannya adalah agama Islam. Sebelum masuknya agama Islam di Sulawesi
Selatan, masyarakat masih menganut kepercayaan animisme.
Setelah kerajaan
Gowa Tallo menjadikan Islam sebagai bagian agama resmi kerajaan, maka timbullah
hasrat sesuai dengan tuntutan syariat Islam yang diterimanya sebagai kebenaran
yang harus disebarkan ke seluruh pelosok negeri, kerajaan-kerajaan tetangga dan
raja-raja negeri sahabat. Dengan demikian maka Makassar mendapat kehormatan
menjadi pusat penyebaran Islam di Sulawesi Selatan pada permulaan abad ke XVII.
Sedang Dato’ri
Tiro berkarya di sejumlah tempat meliputi Bantaeng, Tanete, Bulukumba. Dia
wafat dan di makamkan di Tiro atau Bontotiro sekarang. Dengan kedatangan kolonial Belanda, seluruh
benteng-benteng pertahanan kerajaan Gowa di hancurkan kecuali benteng Somba Opu
yang diperuntukkan bagi kerajaan Gowa dan benteng Ujungpandang (Fort Rotterdam)
untuk pemerintahan kolonial Belanda, benteng pertahanan kerajaan Tallo juga
dihancurkan. Sentuhan ajaran agama islam yang dibawa oleh ulama besar dari
Sumatera itu, juga terdapat di Bagian selatan Sulawesi Selatan yang lain, yaitu
Kabupaten Bulukumba, yang bertumpu pada kekuatan lokal dan bernafaskan
keagamaan (Lamangida, 2003).
Agama Islam
diterima di kerajaan-kerajaan Bugis Makassar pada tahun 1598 (Gowa dan Luwu),
menyusul Ajatappareng (Sidenreng, Rappang, Sawitto) pada tahun 1605, Soppeng
(1607), Wajo (1609), dan Bone (1611) adalah berkat usaha ketiga para Datuk
riBandang ini. Ia mengislamkan Karaeng Matoaya yang merupakan Mangkubumi
kerajaan Makassar. Datuk Patimang (Datuk Sulaiman) mengislamkan Daeng Parabbung
Datu Luwu dan Dato’ri Tiro memilih berdomisili di Bulukumba yang merupakan
daerah perbatasan Bone dan Gowa untuk syiar Islam (Lamangida, 2003).
Seperti yang
telah dijelaskan pada bagian diatas bahwa salah satu daerah yang ada keturunan
Pagaruyung tersebut dan masih eksis sampai sekarang ini di daerah Sulawesi..
Dalam penyebaran agama Islam tersebut muncullah beberapa nama seperti Dato’ri
Bandang, Dato’ Patimang, Dato’ ri Tiro serta
Dato’ Mahkota Maharaja Pagaruyung. Tokoh terakhir ini sangat disayangkan
dalam berbagai literatur sejarah Minangkabau belum “muncul”-seperti yang telah
diulas pada bagian diatas. Pada hal beliau sangat berjasa terutama dalam proses
penyebaran Islam di nusantara ini.
Mukhlis Pa Eni
(2008), menjelaskan tentang keberadaan orang Minangkabau yang berada di
Sulawesi. Terutama sejak kedatangan orang-orang
Minangkabau ke Kerajaan Gowa (Makassar), peranannya tidak hanya dalam
perdagangan dan penyebaran agama, tetapi juga dalam kegiatan Sosial-Budaya dan
bahkan dalam birokrasi. Besarnya jumlah dan peranan orang-orang Minangkabau di
Kerajaan Gowa menyebabkan Raja Gowa XII, I Mangarai Daeng Mammeta Karaeng
Tunijallo (1565-1590), membangun sebuah masjid di Mangallekana untuk
kepentingan orang-orang Minangkabau agar mereka betah tinggal di Makassar,
sekalipun ia sendiri belum beragama Islam.
Menurut Yoran Lamangida
(2003), masyarakat Minangkabau di Manado tidak terlepas dari kedatangan Tuanku Imam Bonjol beserta pengikutnya akibat
diasingkan di Lotak, Minahasa oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1841.
Untuk tahun berikutnya tidak diketahui dengan pasti kapan mereka datang ke
Manado, karena pada umumnya mereka yang datang
tidak berkelompok. Keberadaan orang Minangkabau di Manado terus
bertambah dan silih berganti, karena pada umumnya mereka yang datang adalah
yang dipindah tugaskan dari instansi di mana mereka bekerja bila waktu
penugasan telah selesai akan kembali ke daerah asal atau bahkan ke daerah lain
lagi.
Epilog
Disigi dari perspektif
geneologis, Minangkabau dan Sulawesi telah terjalin sangat kuat. Jalinan
tersebut telah termaktub dalam perisai masa lalu terutama dalam perihal
penyebaran agama Islam dari ranah Minang ke daerah Sulawesi. Selain memunculkan
tokoh seperti Dato’ri Bandang, Dato’ Patimang, Dato’
ri Tiro serta Dato’ Mahkota Maharaja
Pagaruyung. Tokoh terakhir ini sangat disayangka dalam berbagai literature
sejarah Minangkabau belum “muncul”. Pada hal beliau sangat berjasa terutama
dalam proses penyebaran Islam di nusantara ini.
Melakukan penelitian lebih
lanjut tentang Dato’ Mahkota Maharaja
Pagaruyung merupakan sebuah keharusan. Selain menambah literatur sejarah
Minangkabau, juga merupakan sebuah hal ikhwal yang perlu diangkat dan diketahui
oleh masyarakat luas tentang kiprah beliau terutama dalam penyebaran agama
Islam di nusantara. Disayangkan, berbagai literature dalam sejarah Minangkabau
belum memunculkan kiprah Dato’ Mahkota
Maharaja Pagaruyung sehingga masyarakat tidak mengetahuinya.
1] Sapiah balahan adalah keturunan raja dari pihak perempuan secara matrilineal yang
dirajakan di luar Pagaruyung. Kuduang karatan adalah keturunan raja Pagaruyung dari pihak laki-laki. Mereka tidak dapat
menjadi raja di Pagaruyung, sekalipun pewaris raja Pagaruyung itu punah. Mereka
hanya berhak menjadi raja pada daerah-daerah yang telah ditentukan bagi mereka
untuk menjadi raja, karena mereka tidak berada dalam lingkar garis matrilineal.
Hal ini juga disebabkan ibu mereka bukan dari keturunan raja Pagaruyung. Kapak
radai dan timbang pacahan, kedua
kelompok ini terdiri dari orang-orang besar, raja-raja dan datuk-datuk di luhak
dan di rantau, yang diangkat dan diberi penghormatan oleh raja
Pagaruyung sebagai aparat raja. Sedangkan perihal raja-raja kecil yang
berjumlah 61 tersebut lebih lanjut lihat. Tim Kecil, Tim Kerja dan Tim Perumus
Seminar Nasional Pengusulan Sultan Alam Bagagarsyah Menjadi Pahlawan Nasional.
Padang : Pemerintah Propinsi Sumatera Barat dan Pemerintah Kabupaten Tanah
Datar, 2008 : 76-80.
[2] Penulis mengucapkan
terima kasih kepada panitia yang telah bersedia mengirimkan data ini kepada
penulis.
[3] Perihal persoalan Kerajaan Pagaruyung didasarkan pada karya Undri,
2010.
[4] Daerah
Minangkabau sesungguhnya dapat dibagi dalam tiga lingkungan wilayah yaitu (1)
Minangkabau asli, yaitu oleh orang Minangkabau disebut (darek) yang
terdiri dari tiga luhak yaitu Luhak Agam, Tanah Datar dan luhak
Lima Puluh Koto, (2) Daerah rantau, yang merupakan perluasaan bentuk
koloni dari setiap luhak tersebut diatas yaitu pertama rantau
luhak Agam yang meliputi dari pesisir barat Pariaman sampai Air Bangis,
Lubuk Sikaping dan Pasaman. Kedua, rantau Luhak Lima Puluh Koto
yang meliputi Bangkinang, Lembah Kampar Kiri, Kampar Kanan,
Rokan Kanan, Rokan Kiri, (3) Rantau luhak Tanah Datar meliputi
Kubuang Tigo Baleh, Pesisir Barat, Pesisir Selatan dari Padang sampai Indrapura,
Kerinci dan Muara Labuh. Lebih lanjut lihat Syarifuddin,, 1984 : 78-83.
Lihat juga Asnan, 2003 : 282-283.
[5] Hal ini
berdasarkan isi Pararaton, yakni : Akara sapuluh dina teka kang andon saking
Malayu oleh putri roro. Kang sawiji ginawe bini-haji denira raden Wilaya, aran
Dara Petak. Kang atuha aran Dara Jingga ; alaki dewa, apuputra ratu ring Melayu
aran tuhan Janaka, kasir-kasir cri Marmadewa, bhiseka sira aji Mantrolot.
(Kira-kira sepuluh hari (sesudah pengusiran tentara Tartar) datanglah tentara
ekspedisi ke Melayu, membawa dua orang putri. Yang satu dijadikan
istri/permaisuri Raden Wijaya bernama Dara Petak. Yang tua bernama Dara Jingga
; ia kawin dengan (Mauliwarma) dewa dan menurunkan raja di Tanah Melayu bernama
Tuhan Janaka, bergelar Sri Marmadewa, mengambil nama abhiseka Aji Mantrolot).
Lebih lanjut lihat Muljana, 1983 : 176.
[6] Secara lengkap
tentang keberadaan kerajaan Pagaruyung dan Raja Adityawarman melalui bukti
tertulis berupa prasasti lebih rinci dapat dilihat pada hasil karya Budi
Istiawan, 2006 : 48 halaman.
[7] Syekh
Burhanuddin adalah ulama yang mempelopori penggunaan surau untuk mengajarkan
agama Islam (religious center) di
Minangkabau dan selanjutnya memainkan peranan yang menentukan dalam menguatkan
Islamisasi dikalangan penduduk Pariaman yang kemudian meluas ke darek.
Institusi surau telah ada di Minangkabau jauh sebelum kehadiran Islam. Pada
masa pra-Islam surau berfungsi sebagai tempat bertemu, berkumpul, berapat dan
tempat tidur bagi pemuda dan para lelaki. Syekh Burhanuddin ialah ulama pertama
yang melakukan transformasi terhadap institusi surau menjadi lembaga pendidikan
Islam, yaitu Surau Tua Tanjung Medan, dan kemudian disuraunya yang baru di
Ulakan. Muridnya banyak berdatangan dari berbagai pelosok Minangkabau. Bila
mereka sudah selesai belajar di Surau Tanjung Medan dan Surau Ulakan mereka
kembali ke kampung masing-masing untuk mengajarkan agama Islam kepada masyarakat.
Dari sana kemudian Islam disebarkan ke kota Tua di Luhak Agam, kemudian ke
Batuladin di Tanah Datar. Seperti telah diinformasikan di muka, Syekh
Burhanuddin adalah seorang murid terkemuka ulama Syatariyah terkenal di Aceh,
yaitu Syekh Abdurrauf Al-Singkili, seorang ulama penganut Mazhab Syafe’i. Syekh
Burhanuddin juga mengajarkan toleransi terhadap adat, agama baru itu terus
diajarkan sementara kebiasaan adat tidak langsung dilarang. Ada beberapa bukti
kulural yang masih tampak sampai sekarang. Sampai sekarang masih hidup mitos di
tengah masyarakat Pariaman bahwa cikal bakal kesenian indang yang terkenal dikawasan rantau barat ini berasal dari cara
Syekh Burhanuddin mengajarkan agama Islam dulunya. Cara tersebut yang dilakukan
oleh Syekh Burhanuddin melawati proses transisi menjadi masyarakat Ulakan
(Pariaman) memeluk agama Islam dengan mengadopsi unsur-unsur pra-Islam dalam
masyarakat yang ingin beliau alihimankan. Konon belakangan kesenian indang terpecah, melahirkan genre baru yang disebut selawat dulang yang lebih bersifat
religius. Syekh Burhanuddin meninggal dan dimakamkan di Ulakan. Sampai sekarang
malam beliau sangat dihormati oleh para penganut Syattariyah. Hari wafat Syekh
Burhanuddin (15 Syafar atau 19/20 Juni 1704) dirayakan oleh pengikutnya dengan
upacara basapa, yaitu berziarah
beramai-ramai ke Ulakan. Dari berbagai pelosok Minangkabau orang berziarah ke
Ulakan dan terikat beberapa hari di kompleks makam Syekh Burhanuddin alias
Tuanku Ulakan. Mereka membaca salawat, zikir, dan sholat bersama di kompleks
makam itu. Upacara basapa dimulai
pada hari Rabu setelah tanggal 10 bulan Safar setiap tahunnya. Upacara itu
sendiri berlangsung selama seminggu penuh, siang-malam, dan puncaknya
dilangsungkan tanggal 15 Safar. Para penziarah itu mendirikan tenda menurut
kampung masing-masing (pemandangan pada waktu itu mirip situasi di Arafah pada
musim haji) dan sebagian lainnya menginap dirumah-rumah penduduk yang ada
disekitar kompleks mesjid Tuanku Ulakan. Dalam pandangan kepariwisataan, sistem
ritus dan upacara serta kesatuan sosial dari suatu religi sangat potensial bagi
pengembangan pariwisata. Hal ini dikarenakan sistem ritus dan upacara seperti basapa serta kesatuan sosialnya banyak
mengandung unsur-unsur yang unik, indah, dan pesona yang dapat dinikmati oleh
wisatawan. Lebih lanjut lihat Azra, 2003 ; Amran, 1981 : 242 ; Samad,
TMF.
Daftar Pustaka
Abdullah, Taufik “Adat and Islam : An examination of conflict in Minangkabau”, Indonesia 2 (Oktober 1966).
Abdul Razak Daeng Ngago, Silsilah
Asal Keturunan Pertama Kedatangan
Ulama Besar Melayu di Negeri Sanborone. Sanborone, 1994.
Amran, Rusli. Sumatera Barat Hingga
Plakat Panjang. Jakarta : Sinar Harapan, 1981.
-----------------, Sumatera Barat
Plakat Panjang. Jakarta : Sinar Harapan, 1985.
Asnan,Gusti. Kamus sejarah Minangkabau. Padang: Pusat Pengkajian
Islam dan Minangkabau (PPIM), 2003.
Azra, Azyumardi, Surau : Pendidikan
Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi. Jakarta : Logos, 2003.
---------------------, Renaisans
Islam Asia Tenggara : Sejarah Wacana dan Kekuasaan. Bandung : Remaja
Rosdakarya, 1999.
Batuah, Ahmad Dt dan A.Dt
Majo Indo, Tambo Minangkabau. Jakarta
: Balai Pustaka, 1956.
Benda, Franz von- Beckmann, Properti dan Kesinambungan Sosial.
Jakarta : Grasindo, 2000.
De Jong, de Joselin. Minangkabau
and Negeri Sembilan : Sociopolitical Structure in Indonesia. Djakarta :
Bhratara, 1960.
Dobbin, Christine, Islamic revivalism in a changing peasant
economy : Central Sumatra, 1784-1847 (Monograph Series, Scandinavian Institue of
Asian Studies, no 47), 1992.
Drakard, Jane, A Kingdom of Words :
Language and Power in Sumatra. South-East Historical Monographs. Oxford
University Press, 1999.
Graves, Elizabeth, E, The Minangkabau response to Dutch Colonial
rule in the nineteenth century (Monograph Series) Ithaca, NY : Cornell
University, 1981.
Hamka. Ayahku, Riwayat Hidup DR. H Abdul Karim Amrullah dan
Perjuangan Kaum Agama di Sumatera. Jakarta: Umminda, 1982.
Imran, Amrin. dkk. Menelusuri Sejarah
Minangkabau. Padang : Yayasan Citra Budaya Indonesia dan LKAAM Sumatera
Barat, 2002.
Istiawan, Budi. Selintas Prasasti dari Melayu Kuno. Batusangkar :
Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Batusangkar, Wilayah Kerja Propinsi
Sumatera Barat, Riau dan Kepulauan Riau, 2006.
Kiram, Ahmad, dkk, Raja-raja
Minangkabau dalam Lintasan Sejarah. Padang : Museum Adityawarman dan
Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Sumatera Barat, 2003.
Lamangida, Yoran. Masyarakat Minangkabau di Kota
Manado 1965-1995 (Suatu Tinjauan Sejarah). Dalam jurnal Esagenang Volume 1, nomor
2 Agustus 2003.
Mansoer, M.D,dkk, Sedjarah
Minangkabau. Jakarta : Bhratara, 1970.
Muljana, Slamet. Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit.
Jakarta : Inti Idayu Press, 1983.
Naim, Muchtar. Merantau : Pola
Migrasi Suku Minangkabau : Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1979
Nasroen, Mhd Dasar falsafah adat Minangkabau. Jakarta
: Bulan Bintang, 1957.
Navis, A.A. Alam Terkembang Jadi Guru : Adat dan Kebudayaan Minangkabau.
Jakarta : Grafiti Press, 1986.
Oki, Akira. “Social Change in the West Sumatra Village,
1908-1945”. Disertasi Ph.D. Australian National University, 1977.
Panghulu, Datuak Rajo. R.M, Minangkabau,
sedjarah ringkas dan adatnja. Padang : Sri Dharma, 1971.
Pa Eni, Muchlis, Melayu-Bugis-Melayu dalam Arus Balik Sejarah
dalam Jurnal
ATL (Jurnal Pengetahuan dan Komunikasi Peneliti dan
Pemerhati Tradisi Lisan), No. 1, Vol.1,
Edisi IV, November 2008.
Samad, Duski. Syekh Burhanuddin dan
Islamisasi Minangkabau (Syarak Mandaki Adat Manurun). [Jakarta
?] : TMF.
Syarifuddin, Amir, Pelaksanaan hukum kewarisan Islam dalam
lingkungan adat Minangkabau. Jakarta : Gunung Agung, 1984.
Tim Kecil, Tim Kerja dan Tim Perumus Seminar Nasional Pengusulan Sultan
Alam Bagagarsyah Menjadi Pahlawan Nasional. Padang : Pemerintah Propinsi
Sumatera Barat dan Pemerintah Kabupaten Tanah Datar, 2008.
Undri, Kerajaan
Pagaruyung : Hegemoni Melampaui Sekat-Sekat Kewilayahan. Dalam
Westenenck, L.C, Nagari Minangkabau.Terjemahan oleh
Mahyuddin Saleh. Padang : Bursa Fakultas Hukum Universitas Andalas, 1912.
Tulisan ini dipresentasikan
pada Seminar Tokoh Nasional Minangkabau : Sosialisasi Ketokohan Raja Pagaruyung
Dato’ Maharaja Yang Mengislamkan
Kerajaan Patani dan Sulawesi “ Tanggal 5 Mei 2012 di Hotel Oasis Amir, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar