OLEH Eva Krisna (Peneliti di Balai Bahasa
Sumbar)
Eva Krisna saat diskusi buku antologi puisi |
Mereka Berempat
Sulit untuk mengatakan tidak ketika
Rieska Praditya Ernaningtyas meminta untuk membedah karya mereka. Inginnya
berjarak dengan keempatnya agar ulasan yang akan diberikan terlepas dari cakrawala
wawasan tentang mereka sehingga pemaknaan
terbebas dari horizon pengetahuan tentang masing-masingnya. Namun apa daya,
kenangan telah terbentang panjang dan perasaan pun telah terjalin lama dengan
keempatnya.
Ada perasaan gamang juga untuk menganalisis Antologi Puisi Secangkir Empat Rasa ini. Perasaan itu segera ditepis ketika mengingat nasihat Roland Barthes, seorang semiolog asal Prancis yang menyatakan bahwa apabila suatu karya sastra sudah dipublikasikan, maka karya tersebut yatim piatu, tidak terikat lagi pada pengarang sebagai “ayah-ibunya” yang telah melahirkannya. Karya tersebut menjadi bebas makna; tergantung sang pemakna. Itulah modal untuk menguatkan permintaan RPE, sang penyair.
Ada perasaan gamang juga untuk menganalisis Antologi Puisi Secangkir Empat Rasa ini. Perasaan itu segera ditepis ketika mengingat nasihat Roland Barthes, seorang semiolog asal Prancis yang menyatakan bahwa apabila suatu karya sastra sudah dipublikasikan, maka karya tersebut yatim piatu, tidak terikat lagi pada pengarang sebagai “ayah-ibunya” yang telah melahirkannya. Karya tersebut menjadi bebas makna; tergantung sang pemakna. Itulah modal untuk menguatkan permintaan RPE, sang penyair.
Tulisan singkat ini merupakan upaya
memaknai ungkapan pikiran dan perasaan Rieska Praditya Ernaningtyas (RPE),
Nurlis Abadi Putri (NAP), Sylvie Rosha (SR), dan Fitri Adona (FA) yang mereka
tulis ketika perasaan dan pikiran mereka “mendesak” untuk disampaikan.
Rasa Ketuhanan
Menemukan
perasaan tentang ketuhanan merupakan hal yang mudah pada tiga perempuan penyair
(RPE, NAP, dan SR). Ketiganya menyuarakan kesadaran atas dosa, keinginan untuk
selalu dalam dekat dengan-Nya, dan doa-doa yang disampaikan kepada Sang Ilahi.
RPE menuliskan perasaannya tentang Tuhan dalam 5 sajak: Matahari Sungsang, Perempuan Pengulum Istigfar, Ketika Sadar Itu
Datang, Orang-orang yang Kembali Pulang, dan Kueja sebuah Kata.
Wahai suci malam yang ternoda/Kuasa lupa diri ketika menyaru jadi Tuhan/Sombong merasa menang/Dari setiap celah/dosa meleleh mengotori bumi (Matahari Sungsang).
Kutipan itu
merupakan suara ketakutan atas kesombongan manusia terhadap Tuhan sehingga
lalai melakukan kewajiban terhadap Sang Pencipta seakan-akan tiada mengakui
keberadaa-Nya. Ketakutan terhadap berbagai ulah manusia yang sudah menjauh dari
ketentuan hidup yang sudah diatur-Nya. Takut pada musibah yang akan
didatangkan-Nya sebagai cobaan atau azab yang ditimpakan-Nya.
Para perempuan yang hanya mengulum-ngulum istiqfar/Hatinya ragu/Antara malu dan mau/Dipuji itu candu.
Dikagumi itu rindu (Perempuan
Pengulum Istigfar).
Kutipan
puisi ini adalah tentang perasaan perempuan yang selalu mengucapkan istigfar
dari mulutnya, namun ia juga khawatir kebiasaannya itu menjadi riya. Keinginan
dipuji dan dikagumi sebagai perempuan alim disadarinya dapat membuatnya menjadi
tidak ikhlas. Riya dan ikhlas adalah dua kata yang saling berantonim.
Semestinya amal yang dilakukan adalah ikhlas, tanpa orang lain perlu tahu,
apalagi memujinya.
NAP pun menuliskan puisi-puisinya dalam
perasaan kedekatannya dengan Tuhan, namun selalu dilatari oleh perasaan yang
sangat sarat atas kehilangan seseorang.
Tak kutunggu berapa lamanya/Aku menjemput/kematian/Waktu yang pasti datang/tidak dengan tangisan/Seperti saat mereka menyambut kelahiranku (Kujemput
Kematianku)
Kutipan di atas menyuarakan kepasrahan
dan semangat hidup yang tidak lagi menggelora. Barangkali ketiadaan seseorang
yang teramat dicintailah yang menjadi penyebabnya. Berharap ridho dan lindungan-Nya/Aku merelakan hati/menerima konsekuensi/Duka, sengsara bahagia, sukses, dan ujian itu pasti….adalah
suara kepasrahan itu.
SR juga menyuarakan Ketuhanan pada
sajak-sajaknya. Pada sajak Suara-Mu di
Subuh Tak Biasa, penyair menyampaikan permohonan ampun pada Yang Maha
Kuasa.
PanggilanMu meraja di subuh tak biasa, aku
tak mampu berkutik:/bergerak mendekatiMu,/diriku terlalu kumuh utuk berhiba,/mengharap Kau masih menengokku./Ya Rahman terimalah aku lagi:
(Suara-Mu di Subuh Tak Biasa).
Setiap orang
beriman mestilah menyampaikan segala harap kepada Tuhannya, meskipun ia sadar
bahwa dirinya bukan orang suci yang akan langsung dikabulkan pintanya. Kutipan
puisi di atas menyatakan perasaan ketuhanan seorang hamba yang berharap agar
Tuhan tetap menerima permohonan ampunan atas segala kesalahan yang telah ia
perbuat.
Perasaan dan
Pengharapan terhadap Ibu
Makna ibu
bagi setiap anak adalah tempat mencurahkan segala hal yang dipikirkan dan
dirasakan yang oleh banyak orang dikatakan sebagai “tempat pulang” atau tempat
kembali dari perjalanan. Namun, tidak demikian dengan RPE, ia tidak merasa
pulang ketika mengunjungi ibu, ia menyatakan “datang”. Kata datang menyiratkan
bahwa sang aku akan kembali ke tempat semula, singgah sebentar, atau hanya
menamu.
Ibu, aku datang/Tak kukatakan pulang/Selalu kurasa asing/Masih asing (Ibu, Aku Datang)
3 penulis puisi |
Ada suara kecewa pada empat baris puisi yang dikutip tersebut. Seseorang
yang tidak merasa pulang, tetapi datang, dan merasa asing di rumah milik
ibunya. Ada pengalaman yang tidak membahagiakan yang menyebabkan kekecewaan
itu.
Dua puisi lainnya dari RPE sebaliknya malah menunjukkan makna ibu
sebagai tempat kembali bagi seseorang. Aku mengadukan kabut asap yang tak
kunjung habis menyelimuti negeri pada puisi Semesta
Kelabu. “Ibu negeri kita berasap/Semesta kelabu abu-abu/Tanpa matahari tanpa bulan” demikian tulis RPE. Aku juga menyatakan
kekisruhan yang menimpa negeri pada ekspresi wajah ibu: “Gelisah roman muka, ibu/Saat kelabu berbisik/Menghasut, hasad pada keadaan/tentang tanggung-jawab dan ketetapan/hingga negeri menggelinding bagai bola api/Aromanya panas, di kaki penguasa”.
SR
menyampaikan rasa tentang ibu melalui dua sajaknya Kepada Ibu dan Kumuh di
Hadapanmu. Pada puisi Kepada Ibu
tersirat dan tersurat rasa terima kasih seorang anak kepada ibunya serta doa untuk
perempuan mulia itu. SR menulis, “Bu, bunga hatiku mekar untukmu,/atas nilai kearifan yang kau goreskan,/dalam sapuan kanvas kahidupanku,/ puji syukurku padamu, Bu//Kuharap Yang Rahman kan menggenggammu selamanya/Dalam rangkulan kasih yang bertepi//. Pada puisi Kumuh di Hadapanmu, SR menyuarakan
harapan atau doa lagi untuk ibu. Kali ini tentang ibu yang selalu penuh maaf,
penuh kerinduan, dan penuh pengertian terhadap anaknya. “Harap dan rindu merekah di matamu/menoreh jiwaku yang kalah/Tertunduk aku dalam simpuh/Maafkan aku Ibu/Kasihmu menggetarkan duniaku/Ibu..bahagialah engkau selamanya”.
Kritik Sosial
Melalui puisi
berjudul Kecambah, RPE mengkritik
orang tua tentang putri mereka yang dibiarkan membuka aurat. “Bagaimana hendak kau ajar kebaikan/Bila tawamu masih bangga/menatap simbah aurat putri-putrimu”,
demikian tulis RPE. Pada puisi Nafsu, RPE
menyampaikan rasa prihatin atas prostitusi yang dilakukan seorang perempuan
muda, “Siapa namamu…?” Suara berat lelaki bergumam/Tangannya mengancingkan kemeja yang tadi terbuka/“Prahara.” Perempuan itu memungut gepokan rupiah warna merah/menyalinnya ke dalam tas milik sendiri.
Kritik sosial yang disampaikan RPE adalah tentang ibu bernama “nafsu” yang
kawin dengan ayah bernama “malapetaka” sehingga melahirkan anak bernama
prahara. Kritik sosial yang disampaikan adalah tentang kekisruhan yang terjadi
pada masyarakat yang tidak mengacuhkan etika, moral, dan susila sehingga
keangkaramurkaan terjadi dimana-mana.
NAP juga menyuarakan kritik sosial
lewat puisi berjudul Setelah Seharian di
Lembah Belantara.
Seekor prenjak berkicau parau:
Anak-anakku tumbuh/kurang gizi/tapi mereka terus saja mengunyah-ngunyah biji puisi/Engkau mengerti bahasa burung?
... kukira tidak/sebab kalian/kerbau/kambing/kelinci/bunglon/tikus/kecoa//
Burung prenjak dapat
disimbolkan sebagai simbol kaum proletar yang hidup serba kekurangan. Tidak ada
yang memedulikannya dan tidak paham kesulitan yang menimpa mereka karena kaum
proletar bukan bagian dari kaum lain atau penguasa yang hidup dalam kemewahan.
SR juga
menyampaikan kritik sosial kepada para perempuan Minangkabau saat ini atas
kelakuan pewaris matrilinieal itu yang sudah tidak memedulikan ajaran tentang
keutamaan harkat dan martababat kaumnya.
Andaikan kau selalu ingat pesanku/negeri kita akan tetap beradat, bersyarak/kau akan jadi model bagi sejawatmu sejenis/kau akan jadi bara bagi mereka ’tuk hidupkan harga diri/agar tak rapuh, tak ringkih/tak mudah diolak-olai bahkan/oleh raja-raja kaya sekali pun/karena kau lebih kaya dari mereka/kekayaanmu mampu menjemput mereka/ingat itu..mereka dijemput! (Kepada Generasi yang Tak Teguh)
Puisi Kepada Generasi yang Tak Teguh adalah
suara feminis yang menolak falosentris melalui tradisi “jemputan”. Jemputan di
mata penyair adalah relasi kuasa antara perempuan dengan laki-laki karena
adanya “penjemput” dan “yang dijemput”. Jemputan dalam sudut pandang relasi itu
adalah represi perempuan terhadap laki-laki karena dengan uang jemputan
tersebut perempuan leluasa memilih jodohnya sendiri; ia bukan orang yang
dipilih, tetapi memilih. Kritik sosial yang disampaikan adalah tentang perasaan
kecewa karena perempuan tidak lagi menyadari keutamaan mereka dalam masyarakat
yang masih menganut matrilineal sehingga mereka “memurahkan” dirinya sendiri.
Kritik sosial juga
disampaikan FA. Melalui nasihat seorang ibu pada anak laki-lakinya dalam puisi Jangan Main Pedang-pedangan, penyair
menyindir penyimpangan seksual-psikologis yang mulai terbuka saat ini. “Jika Mak belum pulang
sebelum berita malam/jangan bermain api dan kotori tubuhmu dengan bermain pedang-pedangan!/Karena kau laki-laki/yang akan mencintai perempuan/bukan justru mencintai sesama bujang”.
Kritik sosial juga disampaikan FA melalui pantun Jangan Harakiri Meski Kau Tak Korupsi. Di Jepang, pejabat melakukan
harakiri kalau terlanjur melakukan korupsi sebagai bentuk pertanggungjawaban
atau rasa malu. Puisi ini merupakan satire untuk pejabat di negeri ini yang
malah tidak menunjukkan rasa bersalah, meskipun telah merugikan negara sangat
banyak. Puisi ini tentang mahasiswa yang bunuh diri akibat putus asa karena
kemiskinan yang mendera kehidupannya, padahal ia bukan koruptor.
Kampus geger/seorang mahasiswa gantung diri
semalam/di
perumahan dosen yang di lingkup kampus/Isu bertebaran/mahasiswa tahun akhir itu frustrasi/Orang tuanya di kampung hidup susah/ makan cuma sekali sehari (Jangan
Harakiri Meski Kau Tak Korupsi).
Rasa
Prihatin atas Bencana
RPE adalah perempuan penyair yang
memberitakan terjadinya bencana akibat ulah manusia melalui 2 puisinya pada
Antologi Puisi Secangkir 4 Rasa. Dua
puisi itu adalah Mengenang Petaka
Legetang dan Murka Alam Minangkabau.
Legetang adalah mite yang dilegalkan melalui suatu tugu peringatan berhari,
tanggal, dan tahun (16/17 April 1955) di Dukuh Legetang, Kecamatan Dieng, Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa
Tengah.
Sebongkah bukit berdiri pongah/Sekian ratus jiwa dipasungnya/pagi-pagi, kala kematian seperti berlari/alam luluh-lantak/Legetang yang tenggelam (Mengenang
Petaka Legetang.
Latar sosial Legetang adalah perilaku seksual
yang hari ini sedang hangat dibicarakan dengan istilah LGBT (Lesbian, Gay,
Biseksual, dan Transeksual). RPE mengangkat latar peristiwa yang merupakan
bencana sosial itu. Suatu gunung terbelah dan satu bagian belahan itu menutup
satu desa hingga hilang. Meskipun mite, namun tugu peringatan yang didirikan di
Legatang mampu menjadi media penyadaran bagi masyarakat agar menjauhi perilaku
kaum Sodom dan Gomorah, umat Nabi Luth A.S. itu. RPE menggunakan tragedi
Lematang untuk menyampaikan rasa prihatinnya.
Selain Legetang, menyuarakan keprihatinan
diperlihatkan RPE melalui puisi Murka
Alam Minangkabau tentang gempa bumi yang terjadi di Sumatra Barat pada
tanggal 30 September 2009. Ia menulis keprihatiannnya melalui bait-bait: “Saat alam begitu murka/Padang bergoyang/Tanah terban/
pepohonan tumbang/gelimpangan tubuh tercabik/terjepit puing-puing/Gempa menghoyak/Kota porak-poranda.
Tamasya Dunia
Bersama FA
FA
menyuarakan perjalanan melalui beberapa puisi, mulai dari Mentawai (Teror di Laggay); Inggris (Seribu Burung Bangau Terbang dari Bukit Paninjauan); Cina dan
Inggris (Dua Orang Bersiap Baku Bunuh); hingga
Cina (Aku Pamit, Our Lady
of Carmel). Melalui Teror di Lagay
tersirat tamasya ke Kepulauan Mentawai belasan tahun lalu sebelum terjadinya
teror pembakaran kantor DPRD di Mentawai. Lagay yang tenang, aman, dan damai di
bawah perlindungan tiga penguasa alam.
Sebelas tahun silam/saat laggay ‘kampung’ kutinggalkan/Bajak masih berkata penuh bangga:/“Sejak jaman kabit ‘cawat terbuat dari pelepah kayu’/negeri kita adalah negeri teraman dan terkaya di dunia/jauh dari keserakahan dan nafsu angkara murka/selalu dilindungi Penguasa Laut, Tai ka Bagat Koat/Penguasa Hutan, Tai Ka Leleu/dan Penguasa langit, Tai Ka Manua (Teror di Lagay).
Puisi Seribu Burung Bangau Terbang di Bukit
Paninjauan memuat nama Ophelia, tokoh perempuan dalam teater Hamlet. Istri
pangeran Hamlet, perempuan yang juga digandrungi tokoh Claudius dan Gertrude: Ophelia, candunya Hamlet/nafsunya Claudius/dan cemburunya Gertrude?”. Penyair seakan mengajak untuk tamasya ke dalam fiksi Hamlet
sebagai simbolisasi dari persoalan yang sedang disuarakan, yakni tentang
tuduhan.
Melalui puisi
Dua Orang Bersiap Baku Bunuh, penyair
FA menyuarakan kesukaannya terhadap tokoh legendaris Cina, Sun Zu. Jendral yang
ahli strategi militer, filsuf, dan penulis The
Art of War itu dikutip kalimat bijaknya: “Orang bisa saling membenci/tapi kalau menyeberangi sungai dalam satu perahu/mereka akan mendayung bersama-sama dengan baik".
Dikutip pula dalam puisi itu kalimat dari Lord Byron: “Kebencian adalah hasrat
yang jauh lebih menyenangkan
dan
tak pernah memualkan/bahkan kebencian seumur hidup
akan membahagiakan". Lord Byron adalah penyair romantik Inggris
yang ikut dalam perang kemerdekaan Yunani melawan kekaisaran Ottoman dan dianugrahi
sebagai pahlawan Yunani. Menyimak kutipan FA seakan ikut tamasya mengunjungi
tokoh-tokoh besar di berbagai penjuru dunia.
Pada puisi Aku Pamit, Our Lady
of Carmel, tamasya yang diajak FA adalah ke Cina, ke gereja tua yang
terletak di Kota Makao. Gereja Katolik itu dibangun pada tahun 1885 dan berdiri di
atas sebuah bukit yang menghadap laut. Laut itu kini sudah berubah karena
menjadi kawasan reklamasi bernama Cotai yang sekarang menjadi daerah elit
karena di tempat itu berdiri pusat kasino dan resort mewah. Kunjungan religius
itu diakhiri dengan kalimat, “Aku pamit/bersama rinai yang mendera dendam silam/sampai terpuruk ke ujung malam”.
Rasa-Rasa Lain yang
Tak Diungkap
Perasaan
cinta, nostalgia, dan melankoli mendominasi puisi empat perempuan penyair,
namun FA mengemasnya dengan gaya satiris. Bahkan untuk mengenang kepergian
selamanya seorang sahabat pun disampaikannya tanpa kesan ratap. Pada puisi Terakhir adalah Menyerah disuratkan rasa
sedih yang disampaikan dengan tegar.
Berhentilah untuk gelisah, berhentilah untuk cemas,
Lihatlah Izur ...
Santai saja ... Tenang saja ...
Jika usaha sudah maksimal,
yang terakhir kita lakukan adalah MENYERAH !!!"
Selamat jalan, sahabat! Kukenang kata-katamu, teduh tatap matamu
dan segaris senyum terakhirmu kala "menyerah"
di
sore yang kelabu di kotaku
Tulisan ini disampaikan pada peluncuran Antologi Puisi Secangkir Empat Rasa. Padang, Rabu 9
Maret 2016 di Kuala Nyiur II F 12 Padang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar