Minggu, 13 Maret 2016

Memaknai Rasa pada Empat Perempuan Penyair

OLEH Eva Krisna (Peneliti di Balai Bahasa Sumbar)
Eva Krisna saat diskusi buku antologi puisi
Mereka Berempat
Sulit untuk mengatakan tidak ketika Rieska Praditya Ernaningtyas meminta untuk membedah karya mereka. Inginnya berjarak dengan keempatnya agar ulasan yang akan diberikan terlepas dari cakrawala wawasan tentang mereka sehingga  pemaknaan terbebas dari horizon pengetahuan tentang masing-masingnya. Namun apa daya, kenangan telah terbentang panjang dan perasaan pun telah terjalin lama dengan keempatnya.
Ada perasaan gamang juga untuk menganalisis Antologi Puisi Secangkir Empat Rasa ini. Perasaan itu segera ditepis ketika mengingat nasihat Roland Barthes, seorang semiolog asal Prancis yang menyatakan bahwa apabila suatu karya sastra sudah dipublikasikan, maka karya tersebut yatim piatu, tidak terikat lagi pada pengarang sebagai “ayah-ibunya” yang telah melahirkannya. Karya tersebut menjadi bebas makna; tergantung sang pemakna. Itulah modal untuk menguatkan permintaan RPE, sang penyair.
Tulisan singkat ini merupakan upaya memaknai ungkapan pikiran dan perasaan Rieska Praditya Ernaningtyas (RPE), Nurlis Abadi Putri (NAP), Sylvie Rosha (SR), dan Fitri Adona (FA) yang mereka tulis ketika perasaan dan pikiran mereka “mendesak” untuk disampaikan.
Rasa Ketuhanan
Menemukan perasaan tentang ketuhanan merupakan hal yang mudah pada tiga perempuan penyair (RPE, NAP, dan SR). Ketiganya menyuarakan kesadaran atas dosa, keinginan untuk selalu dalam dekat dengan-Nya, dan doa-doa yang disampaikan kepada Sang Ilahi. RPE menuliskan perasaannya tentang Tuhan dalam 5 sajak: Matahari Sungsang, Perempuan Pengulum Istigfar, Ketika Sadar Itu Datang, Orang-orang yang Kembali Pulang, dan Kueja sebuah Kata.
Wahai suci malam yang ternoda/Kuasa lupa diri ketika menyaru jadi Tuhan/Sombong merasa menang/Dari setiap celah/dosa meleleh mengotori bumi (Matahari Sungsang).
Kutipan itu merupakan suara ketakutan atas kesombongan manusia terhadap Tuhan sehingga lalai melakukan kewajiban terhadap Sang Pencipta seakan-akan tiada mengakui keberadaa-Nya. Ketakutan terhadap berbagai ulah manusia yang sudah menjauh dari ketentuan hidup yang sudah diatur-Nya. Takut pada musibah yang akan didatangkan-Nya sebagai cobaan atau azab yang ditimpakan-Nya.
Para perempuan yang hanya mengulum-ngulum istiqfar/Hatinya ragu/Antara malu dan mau/Dipuji itu candu. Dikagumi itu rindu (Perempuan Pengulum Istigfar).

            Kutipan puisi ini adalah tentang perasaan perempuan yang selalu mengucapkan istigfar dari mulutnya, namun ia juga khawatir kebiasaannya itu menjadi riya. Keinginan dipuji dan dikagumi sebagai perempuan alim disadarinya dapat membuatnya menjadi tidak ikhlas. Riya dan ikhlas adalah dua kata yang saling berantonim. Semestinya amal yang dilakukan adalah ikhlas, tanpa orang lain perlu tahu, apalagi memujinya.
NAP pun menuliskan puisi-puisinya dalam perasaan kedekatannya dengan Tuhan, namun selalu dilatari oleh perasaan yang sangat sarat atas kehilangan seseorang.
            Tak kutunggu berapa lamanya/Aku menjemput/kematian/Waktu yang pasti datang/tidak dengan tangisan/Seperti saat mereka menyambut kelahiranku (Kujemput Kematianku)

Kutipan di atas menyuarakan kepasrahan dan semangat hidup yang tidak lagi menggelora. Barangkali ketiadaan seseorang yang teramat dicintailah yang menjadi penyebabnya. Berharap ridho dan lindungan-Nya/Aku merelakan hati/menerima konsekuensi/Duka, sengsara bahagia, sukses, dan ujian itu pasti….adalah suara kepasrahan itu.
SR juga menyuarakan Ketuhanan pada sajak-sajaknya. Pada sajak Suara-Mu di Subuh Tak Biasa, penyair menyampaikan permohonan ampun pada Yang Maha Kuasa.
PanggilanMu meraja di subuh tak biasa, aku tak mampu berkutik:/bergerak mendekatiMu,/diriku terlalu kumuh utuk berhiba,/mengharap Kau masih menengokku./Ya Rahman terimalah aku lagi: (Suara-Mu di Subuh Tak Biasa).
Setiap orang beriman mestilah menyampaikan segala harap kepada Tuhannya, meskipun ia sadar bahwa dirinya bukan orang suci yang akan langsung dikabulkan pintanya. Kutipan puisi di atas menyatakan perasaan ketuhanan seorang hamba yang berharap agar Tuhan tetap menerima permohonan ampunan atas segala kesalahan yang telah ia perbuat. 
Perasaan dan Pengharapan terhadap Ibu
Makna ibu bagi setiap anak adalah tempat mencurahkan segala hal yang dipikirkan dan dirasakan yang oleh banyak orang dikatakan sebagai “tempat pulang” atau tempat kembali dari perjalanan. Namun, tidak demikian dengan RPE, ia tidak merasa pulang ketika mengunjungi ibu, ia menyatakan “datang”. Kata datang menyiratkan bahwa sang aku akan kembali ke tempat semula, singgah sebentar, atau hanya menamu.
Ibu, aku datang/Tak kukatakan pulang/Selalu kurasa asing/Masih asing (Ibu, Aku Datang)
3 penulis puisi 
Ada suara kecewa pada empat baris puisi yang dikutip tersebut. Seseorang yang tidak merasa pulang, tetapi datang, dan merasa asing di rumah milik ibunya. Ada pengalaman yang tidak membahagiakan yang menyebabkan kekecewaan itu.
Dua puisi lainnya dari RPE sebaliknya malah menunjukkan makna ibu sebagai tempat kembali bagi seseorang. Aku mengadukan kabut asap yang tak kunjung habis menyelimuti negeri pada puisi Semesta Kelabu. “Ibu negeri kita berasap/Semesta kelabu abu-abu/Tanpa matahari tanpa bulan” demikian tulis RPE. Aku juga menyatakan kekisruhan yang menimpa negeri pada ekspresi wajah ibu: “Gelisah roman muka, ibu/Saat kelabu berbisik/Menghasut, hasad pada keadaan/tentang tanggung-jawab dan ketetapan/hingga negeri menggelinding bagai bola api/Aromanya panas, di kaki penguasa”.
SR menyampaikan rasa tentang ibu melalui dua sajaknya Kepada Ibu dan Kumuh di Hadapanmu. Pada puisi Kepada Ibu tersirat dan tersurat rasa terima kasih seorang anak kepada ibunya serta doa untuk perempuan mulia itu. SR menulis, “Bu, bunga hatiku mekar untukmu,/atas nilai kearifan yang kau goreskan,/dalam sapuan kanvas kahidupanku,/ puji syukurku padamu, Bu//Kuharap Yang Rahman kan menggenggammu selamanya/Dalam rangkulan kasih yang bertepi//. Pada puisi Kumuh di Hadapanmu, SR menyuarakan harapan atau doa lagi untuk ibu. Kali ini tentang ibu yang selalu penuh maaf, penuh kerinduan, dan penuh pengertian terhadap anaknya. “Harap dan rindu merekah di matamu/menoreh jiwaku yang kalah/Tertunduk aku dalam simpuh/Maafkan aku Ibu/Kasihmu menggetarkan duniaku/Ibu..bahagialah engkau selamanya”.
Kritik Sosial
Melalui puisi berjudul Kecambah, RPE mengkritik orang tua tentang putri mereka yang dibiarkan membuka aurat. “Bagaimana hendak kau ajar kebaikan/Bila tawamu masih bangga/menatap simbah aurat putri-putrimu”, demikian tulis RPE. Pada puisi Nafsu, RPE menyampaikan rasa prihatin atas prostitusi yang dilakukan seorang perempuan muda,  Siapa namamu? Suara berat lelaki bergumam/Tangannya mengancingkan kemeja yang tadi terbuka/“Prahara. Perempuan itu memungut gepokan rupiah warna merah/menyalinnya ke dalam tas milik sendiri. Kritik sosial yang disampaikan RPE adalah tentang ibu bernama “nafsu” yang kawin dengan ayah bernama “malapetaka” sehingga melahirkan anak bernama prahara. Kritik sosial yang disampaikan adalah tentang kekisruhan yang terjadi pada masyarakat yang tidak mengacuhkan etika, moral, dan susila sehingga keangkaramurkaan terjadi dimana-mana.
NAP juga menyuarakan kritik sosial lewat puisi berjudul Setelah Seharian di Lembah Belantara.
Seekor prenjak berkicau parau: Anak-anakku tumbuh/kurang gizi/tapi mereka terus saja mengunyah-ngunyah biji puisi/Engkau mengerti bahasa burung?
... kukira tidak/sebab kalian/kerbau/kambing/kelinci/bunglon/tikus/kecoa//
Burung prenjak dapat disimbolkan sebagai simbol kaum proletar yang hidup serba kekurangan. Tidak ada yang memedulikannya dan tidak paham kesulitan yang menimpa mereka karena kaum proletar bukan bagian dari kaum lain atau penguasa yang hidup dalam kemewahan.
SR juga menyampaikan kritik sosial kepada para perempuan Minangkabau saat ini atas kelakuan pewaris matrilinieal itu yang sudah tidak memedulikan ajaran tentang keutamaan harkat dan martababat kaumnya.
Andaikan kau selalu ingat pesanku/negeri kita akan tetap beradat, bersyarak/kau akan jadi model bagi sejawatmu sejenis/kau akan jadi bara bagi mereka tuk hidupkan harga diri/agar tak rapuh, tak ringkih/tak mudah diolak-olai bahkan/oleh raja-raja kaya sekali pun/karena kau lebih kaya dari mereka/kekayaanmu mampu menjemput mereka/ingat itu..mereka dijemput! (Kepada Generasi yang Tak Teguh)         
Puisi Kepada Generasi yang Tak Teguh adalah suara feminis yang menolak falosentris melalui tradisi “jemputan”. Jemputan di mata penyair adalah relasi kuasa antara perempuan dengan laki-laki karena adanya “penjemput” dan “yang dijemput”. Jemputan dalam sudut pandang relasi itu adalah represi perempuan terhadap laki-laki karena dengan uang jemputan tersebut perempuan leluasa memilih jodohnya sendiri; ia bukan orang yang dipilih, tetapi memilih. Kritik sosial yang disampaikan adalah tentang perasaan kecewa karena perempuan tidak lagi menyadari keutamaan mereka dalam masyarakat yang masih menganut matrilineal sehingga mereka “memurahkan” dirinya sendiri.
Kritik sosial juga disampaikan FA. Melalui nasihat seorang ibu pada anak laki-lakinya dalam puisi Jangan Main Pedang-pedangan, penyair menyindir penyimpangan seksual-psikologis yang mulai terbuka saat ini. “Jika Mak belum pulang sebelum berita malam/jangan bermain api dan kotori tubuhmu dengan bermain pedang-pedangan!/Karena kau laki-laki/yang akan mencintai perempuan/bukan justru mencintai sesama bujang”.
Kritik sosial juga disampaikan FA melalui pantun Jangan Harakiri Meski Kau Tak Korupsi. Di Jepang, pejabat melakukan harakiri kalau terlanjur melakukan korupsi sebagai bentuk pertanggungjawaban atau rasa malu. Puisi ini merupakan satire untuk pejabat di negeri ini yang malah tidak menunjukkan rasa bersalah, meskipun telah merugikan negara sangat banyak. Puisi ini tentang mahasiswa yang bunuh diri akibat putus asa karena kemiskinan yang mendera kehidupannya, padahal ia bukan koruptor.
Kampus geger/seorang mahasiswa gantung diri semalam/di perumahan dosen yang di lingkup kampus/Isu bertebaran/mahasiswa tahun akhir itu frustrasi/Orang tuanya di kampung hidup susah/ makan cuma sekali sehari (Jangan Harakiri Meski Kau Tak Korupsi).
Rasa Prihatin atas Bencana
RPE adalah perempuan penyair yang memberitakan terjadinya bencana akibat ulah manusia melalui 2 puisinya pada Antologi Puisi Secangkir 4 Rasa. Dua puisi itu adalah Mengenang Petaka Legetang dan Murka Alam Minangkabau. Legetang adalah mite yang dilegalkan melalui suatu tugu peringatan berhari, tanggal, dan tahun (16/17 April 1955) di Dukuh Legetang, Kecamatan  Dieng, Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah.
Sebongkah bukit berdiri pongah/Sekian ratus jiwa dipasungnya/pagi-pagi, kala kematian seperti berlari/alam luluh-lantak/Legetang yang tenggelam (Mengenang Petaka Legetang.
Latar sosial Legetang adalah perilaku seksual yang hari ini sedang hangat dibicarakan dengan istilah LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transeksual). RPE mengangkat latar peristiwa yang merupakan bencana sosial itu. Suatu gunung terbelah dan satu bagian belahan itu menutup satu desa hingga hilang. Meskipun mite, namun tugu peringatan yang didirikan di Legatang mampu menjadi media penyadaran bagi masyarakat agar menjauhi perilaku kaum Sodom dan Gomorah, umat Nabi Luth A.S. itu. RPE menggunakan tragedi Lematang untuk menyampaikan rasa prihatinnya.
Selain Legetang, menyuarakan keprihatinan diperlihatkan RPE melalui puisi Murka Alam Minangkabau tentang gempa bumi yang terjadi di Sumatra Barat pada tanggal 30 September 2009. Ia menulis keprihatiannnya melalui bait-bait: “Saat alam begitu murka/Padang bergoyang/Tanah terban/ pepohonan tumbang/gelimpangan tubuh tercabik/terjepit puing-puing/Gempa menghoyak/Kota porak-poranda.
Tamasya Dunia Bersama FA
FA menyuarakan perjalanan melalui beberapa puisi, mulai dari Mentawai (Teror di  Laggay); Inggris (Seribu Burung Bangau Terbang dari Bukit Paninjauan); Cina dan Inggris (Dua Orang Bersiap Baku Bunuh); hingga Cina (Aku Pamit,  Our Lady of Carmel). Melalui Teror di Lagay tersirat tamasya ke Kepulauan Mentawai belasan tahun lalu sebelum terjadinya teror pembakaran kantor DPRD di Mentawai. Lagay yang tenang, aman, dan damai di bawah perlindungan tiga penguasa alam.
Sebelas tahun silam/saat laggay kampung kutinggalkan/Bajak masih berkata penuh bangga:/Sejak jaman kabit ‘cawat terbuat dari pelepah kayu’/negeri kita adalah negeri teraman dan terkaya di dunia/jauh dari keserakahan dan nafsu angkara murka/selalu dilindungi Penguasa Laut, Tai ka Bagat Koat/Penguasa Hutan, Tai Ka Leleu/dan Penguasa langit, Tai Ka Manua (Teror di Lagay).

Puisi Seribu Burung Bangau Terbang di Bukit Paninjauan memuat nama Ophelia, tokoh perempuan dalam teater Hamlet. Istri pangeran Hamlet, perempuan yang juga digandrungi tokoh Claudius dan Gertrude: Ophelia, candunya Hamlet/nafsunya Claudius/dan cemburunya Gertrude?. Penyair seakan mengajak untuk tamasya ke dalam fiksi Hamlet sebagai simbolisasi dari persoalan yang sedang disuarakan, yakni tentang tuduhan.
Melalui puisi Dua Orang Bersiap Baku Bunuh, penyair FA menyuarakan kesukaannya terhadap tokoh legendaris Cina, Sun Zu. Jendral yang ahli strategi militer, filsuf, dan penulis The Art of War itu dikutip kalimat bijaknya: “Orang bisa saling membenci/tapi kalau menyeberangi sungai dalam satu perahu/mereka akan mendayung bersama-sama dengan baik". Dikutip pula dalam puisi itu kalimat dari Lord Byron: “Kebencian adalah hasrat yang jauh lebih menyenangkan dan tak pernah memualkan/bahkan kebencian seumur hidup akan membahagiakan". Lord Byron adalah penyair romantik Inggris yang ikut dalam perang kemerdekaan Yunani melawan kekaisaran Ottoman dan dianugrahi sebagai pahlawan Yunani. Menyimak kutipan FA seakan ikut tamasya mengunjungi tokoh-tokoh besar di berbagai penjuru dunia.
Pada puisi Aku Pamit,  Our Lady of Carmel, tamasya yang diajak FA adalah ke Cina, ke gereja tua yang terletak di Kota Makao. Gereja Katolik itu dibangun pada tahun 1885 dan berdiri di atas sebuah bukit yang menghadap laut. Laut itu kini sudah berubah karena menjadi kawasan reklamasi bernama Cotai yang sekarang menjadi daerah elit karena di tempat itu berdiri pusat kasino dan resort mewah. Kunjungan religius itu diakhiri dengan kalimat, “Aku pamit/bersama rinai yang mendera dendam silam/sampai terpuruk ke ujung malam”.
Rasa-Rasa Lain yang Tak Diungkap
Perasaan cinta, nostalgia, dan melankoli mendominasi puisi empat perempuan penyair, namun FA mengemasnya dengan gaya satiris. Bahkan untuk mengenang kepergian selamanya seorang sahabat pun disampaikannya tanpa kesan ratap. Pada puisi Terakhir adalah Menyerah disuratkan rasa sedih yang disampaikan dengan tegar.
Berhentilah untuk gelisah, berhentilah untuk cemas, Lihatlah Izur ...
Santai saja ... Tenang saja ...
Jika usaha sudah maksimal,
yang terakhir kita lakukan adalah MENYERAH !!!"

Selamat jalan, sahabat! Kukenang kata-katamu, teduh tatap matamu
dan segaris senyum terakhirmu kala "menyerah" di sore yang kelabu di kotaku

Tulisan ini disampaikan pada peluncuran Antologi Puisi Secangkir Empat Rasa. Padang, Rabu 9 Maret 2016 di Kuala Nyiur II F 12 Padang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...