OLEH
Ivan Adilla (pengajar di Jurusan Sastra Indonesia, FIB Unand)
Judul Buku: Ombak Menjilat Runcing Karang, Sebuah
Antologi Puisi
Karya: Eddy Pranata PNP
Penerbit: CV. Rumahkayu Pustaka Utama, Padang.
Tahun Terbit: Maret 2016
Halaman: x +148 halaman.
Ivan Adilla saat menyajikan makalahnya |
Adakah yang bisa dilakukan
lelaki saat sendiri di malam sepi pada sebuah pulau karang di tengah laut?
Penyair Eddy Pranata PNP memanfaatkan kesempatan itu untuk berdialog dengan
ombak, karang, pelangi dan angin. Sebagai petugas navigasi laut, ia menjalankan pekerjaan di menara suar yang
terletak di pulau karang terpencil selama puluhan tahun. Ia menyaksikan kapal,
sampan, gelombang, dan para nelayan yang hilir mudik di lautan. Dari tempat
sepi itulah ia merajut puisi tentang cinta, kerinduan, persahabatan dan Tuhan.
Meski dikenal
sebagai bangsa bahari, karya sastrawan Indonesia tentang lautan jauh lebih
sedikit dibanding tentang daratan. Kenyataan ini agak aneh juga karena banyak
sastrawan berdomisili di kota pantai. Bisa jadi benar, bahwa sastra adalah
produk perkotaan yang berorientasi pada kehidupan daratan; mal, pasar, kantor,
lingkungan perumahan, atau taman. Tak banyak yang peduli bahwa perahu, nelayan,
tempat pelelangan ikan, atau jermal adalah juga bagian dari kehidupan
masyarakat kota-pantai.
Para penulis tentang
laut umumnya orang pesisir seperti Abdul Hadi WM atau D. Zawawi Imron dari
Madura. Yang lain adalah Rusli Marzuki Saria - penyair gaek yang telah berkarir
selama 60 tahun dalam bidang sastra- yang menulis tentang ombak di pantai
Purus, Muaro Padang, serta legenda Puti Bunga Karang. Meskipun tinggal di
pinggir laut, puisi mereka tak berbeda dari puisi para pelancong yang datang ke
sebuah pantai untuk mengagumi keindahan laut, desiran ombak atau hamparan pasir
putih yang indah. Lihat saja sajak Abdul Hadi, “Ombak Itulah” /Ombak itulah
yang mengingatkan aku lagi padamu/rambutmu masih hijau/ meskipun musim
berangkat coklat/. Ombak hanya stimulus ingatan pada orang lain, bukan
subjek yang dibincangkan.
Eddy Pranata PNP
sejak awal bertugas sebagai petugas navigasi laut. Semula ia bertugas di menara
suar di Bukit Lampu di Padang. Dari tempat itu ia melahirkan puisi-puisi dalam
buku Improvisasi Sunyi (1997), yang menggambarkan dialog internal dalam
kesunyian. Buku Ombak...ini merupakan antologi keempat setelah Improvisasi,
Sajak-Sajak Perih Berhamburan di Udara (2012), dan Bila Jasadku
Kau Masukkan ke Liang Kubur (2015). Buku yang memuat puisi-puisi berkolofon
2013-2015 ini terdiri dari dua bagian, “Ombak Menjilat Runcing Karang”, dan “Bunga
Karang Nusakambangan”. Bagian pertama terdiri dari 100 puisi, sedangkan bagian
kedua 30 puisi. Dilihat dari tahun penulisannya, karya ini ditulis Eddy selama
masa tugas di mercusuar di Pelabuhan Tanjung Intan, Cilacap, Jawa Tengah.
Puisi Eddy Pranata
menunjukkan kedekatannya dengan laut. Diksi tentang laut memperlihatkan bahwa
ia bukan hanya mengamati, tapi telah menjadi bagian dari laut. Eddy tidak
berhenti pada bentuk luar, tapi menyigi hingga ‘serat rongga karang’, ‘helaian
gelombang yang bisa dipintal’, hingga ‘menjerat gerak angin’. Ia mampu /menenun
lidah ombak jadi selimut dan selendang// (58); atau menyatu dalam perahu
yang meluncur hingga ke selat/ hatimu yang karang!// (95); Ketika
seseorang meninggal, begini manusia laut itu berucap; /berpendarlah jasadmu/
kurenda karang dan laut untukmu/ untuk sebuah pertemuan yang abadi// (146).
Inilah buku puisi dari buih laut, ditulis penyair yang berkantor di pulau
karang.
Kedekatan dengan
dunia bahari membuat ia mahir membangun metafora dari laut. Kata ‘sampan
berlumut’, ‘batu karang’, ‘pelangi’, ‘angin’, ‘selat’, adalah sebagian kata
yang berulang kali muncul dalam puisi-puisinya. Tapi justru di situlah
persoalan lain muncul; metafora masih terbatas pada diksi untuk melahirkan
estetika-verbal, belum fungsional untuk membangun makna simbolik. Kata ‘sampan
berlumut’ yang sering muncul belum menjadi simbol bagi sesuatu; penantian atau
pelayaran yang lama, keterasingan, ketuaan, atau lainnya. Begitu juga
‘pelangi’; tak jelas apakah ia menyimbolkan keindahan, rangkaian warna, atau jembatan
menuju langit seperti dalam mitos. Eddy belum membangun kata-kata itu menjadi
simbol bagi sebuah makna.
Salah satu hal
menonjol dari sajak-sajak dalam kumpulan ini adalah kemampuan penyairnya
menemukan paradoks dari sebuah fakta maupun peristiwa. Sajak “Sekeranjang
Cahaya untuk Devi Mei”(13), “Kupetik Mawar, Durinya Menusuk”(20), “Seseorang
dari Negeri Malam” (72) dan banyak lagi. Pada sajak “Kupetik Mawar...” penyair
menampilkan pradoks antara keindahan (bunga) dengan bahaya (duri); pada “Seseorang...”
ia menampilkan paradoks antara keindahan dan kesuburan (menyiram anggrek)
dengan kesedihan (airmata); sedangkan pada “Sekeranjang ...” menampilkan
paradoks antara materi (buah dan makanan) dengan keikhlasan (sekeranjang cahaya
yang keluar dari dalam hati). Kemampuan melihat paradoks mengindikasikan
kemampuan untuk menemukan sisi beragam dari sebuah peristiwa atau materi.
Layaknya kemampuan prismatis, bahwa sesuatu yang diamati tidak hanya memiliki
satu sisi, atau dua warna (hitam-putih), tetapi beragam warna dalam cahaya. Ya,
layaknya pelangi - kata yang berulang kali muncul dalam buku sajak ini.
Kemampuan seperti ini memperkaya perspektif pembaca untuk melihat fakta
kehidupan yang memiliki banyak sisi dan kemungkinan. Dengan cara itu penyair
menggugah dan menawarkan alternatif untuk mengamati sebuah fakta dan peristiwa.
Sebagian besar sajak
dalam buku ini berbentuk lirik. Kekuatan penyairnya terlihat pada sajak-sajak
lirik yang pendek. Ketika penyair menulis sajak naratif, ia seperti terlupa
pada alur peristiwa sehingga kurang diperhatikan. Misalnya pada sajak
“Sekeranjang...”. Bait pertama sajak ini mengisahkan ‘aku lirik’ yang datang
malam hari ke Lembah Tlewah, kampung tempat tinggal Devi Mei. Pada bait kedua
dideskripsikan keluarga Devi Mei. Tiba-tiba saja pada akhir bait kedua
diungkapkan bahwa Devi Mei berangkat sekolah dengan langkah lelah dan wajah
tertunduk. Narasi seperti itu mengesankan seakan Devi Mei berangkat sekolah
pada malam hari, karena sejak awal pembaca disajikan dengan kisah tentang
malam. Hal serupa terjadi pada “Ombak Menjilat Runcing Karang” yang menjadi
judul buku ini. Pada bait bait14 (hal. 18-19) dikisahkan sepasang kekasih
berlayar menembus gelombang untuk membuang sekoper kenangan. Pada putaran arus
yang kusut, koper berisi kenangan itu dibuang. Koper itu terombang ambing dan
menghilang dari penglihatan. Tapi bait ini ditutup dengan aneh; dari koper yang
tak kelihatan itu justru mereka bisa melihat dari dalam koper itu ‘berhamburan
masa lalu..’. Bagaimana pembaca harus memahami narasi dan fakta demikian?
Kopernya saja sudah hilang dari pandangan, bagaimana mungkin isi koper berupa
kenangan bisa terlihat? Tampaknya, keasyikan menemukan lirik membuat penyair
terlupa menata alur cerita.
Telah banyak kisah
tentang dunia atas laut, tapi jarang sekali puisi tentang isi laut. Dialog
kehidupan laut tentang habitat mereka yang dipenuhi sampah, disirami limbah
tambang, dan wadah bagi segala limbah manusia yang hidup di darat. Atau dialog
karang dengan angin yang mengalunkan gelombang; cerita pasir tentang keringat
nelayan dan pertemuan jaring dengan ikan yang mendatanginya. Mungkin juga
dialog karang di pantai Cilacap tentang
pasir di pantai Temon, Kulon Progo, bahwa beberapa tahun ke depan di pantai itu
bukan lagi perahu nelayan yang merapat, tetapi pesawat milik maskapai
penerbangan? Pada tempatnya kita menitipkan harapan agar penyair ini membagikan
kisah lebih spesifik dari dalamnya lautan pada karya selanjutnya. Akhirnya,
kalau takut pada harapan tentang laut, usah berkantor di tengah gelombang!
Tulisan ini dibacakan dalam acara peluncuran buku Ombak
Menjilat Runcing Karang, Sebuah Antologi Puisi, Rabu 9 Maret 2016 di Kuala
Nyiur II F 12 Padang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar