Minggu, 21 Februari 2016

Teka-teki Tokoh Legendaris Filsuf Kiri Tan Malaka

Pengantar redaksi
Tan Malaka atau Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka adalah seorang aktivis kemerdekaan Indonesia, filsuf kiri, pemimpin Partai Komunis Indonesia, pendiri Partai Murba, dan Pahlawan Nasional Indonesia.
Tan Malaka lahir 2 Juni 1897, Pandan Gadang, Limapuluah Kota, dan meninggal pada 21 Februari 1949, di Kabupaten Kediri. Hari ini 67 tahun sudah berlalu tokoh inspiratif ini meninggal dunia. Berikut tulisan Kamardi Rais Datuak P Simulie, yang diambil dari buku “Mesin Ketik Tua”. Selamat membaca.

OLEH Kamardi Rais Datuak P Simulie

Surat kabar Haluan, Minggu, 10 November 1991 menyiarkan sebuah berita yang bersumber dari Lembaga Kantor Berita Nasional Antara yang berjudul: “Lima Makam Pahlawan Nasional Belum Tahu Tempatnya”. Seorang di antaranya adalah Tan Malaka yang lahir di Pandan Gadang, Suliki, Payakumbuh, Sumatera Barat.
Keterangan itu berasal dari Hubungan Masyarakat Departemen Sosial RI yang menyatakan bahwa Indonesia memiliki 94 pahlawan nasional, lima di antaranya hingga kini belum diketahui makamnya. Kelima Pahlawan Nasional tersebut adalah Tan Malaka asal Sumatera Barat, Dr. Martha Christina Tjiahahu (Maluku), Supriadi (Jawa Timur), Dr. Muwardi dan Laksamana Muda TNI Jos Sudarso asal Jawa Tengah.
Berita itu menggugah saya untuk menulis tentang Tan Malaka, tokoh legendaris dan Pahlawan Nasional kita yang kuburnya sampai sekarang tidak diketahui sebagaimana dikatakan oleh Pejabat Departemen Sosial itu. Bak kata peribahasa: Hilang tak tahu rimbanya, hanyut tak tahu muaranya, wafat tak tahu kuburnya.
Putra penulis yang masih duduk di SMP pernah bertanya,  “Apakah Tan Malaka itu orang Malaysia atau orang Malaka?”
Pertanyaan itu mirip dengan pertanyaan orang tentang Adinegoro, yang perintis pers Indonesia. Banyak dugaan bahwa Adinegoro berasal dari Jawa mengingat namanya. Padahal ia berasal dari Talawi, Sawahlunto Sumatera Barat. Nama kecilnya adalah Djamaluddin dan nama samarannya Adinegoro. Almarhum adalah adik mahaputra Prof. Mr. Moh. Yamin yang juga sudah almarhum.
Sehubungan dengan pahlawan Nasional Tan Malaka, kita lihat pada beberapa kota di Indonesia yang meng-abadikan nama Tan Malaka untuk nama jalan, seperti di Kota Padang, jalan di samping gedung RRI dari Jl. Sudirman tembus ke Jl. Perintis Kemerdekaan (Jati) dikenal sebagai Jalan Tan Malaka.
Sementara itu, banyak orang yang beranggapan bahwa Tan Malaka seorang tokoh legenda punya banyak ilmu kebatinan yang bisa hilang sewaktu-waktu, yang wajahnya bisa berubah-ubah seketika, yang licin bagai belut, tak bisa ditangkap, dan lain-lain. Bahkan ada yang mengatakan bahwa Tan Malaka itu masih hidup, sekarang belum mati,  tapi entah di mana.
Apakah Tan Malaka itu makhluk halus sebagai malaikat? Sudah jelas, tidak! Ia adalah seorang anak manusia yang lahir di nagari Pandan Gadang dekat Suliki, lebih kurang 40 km di utara Kota Payakumbuh, Sumatera Barat.
Selanjutnya tulisan ini diramu dari berbagai sumber, antara lain, dari ayahanda penulis sendiri, H. Rais Dt. Makhudum, yang dulunya sewaktu beliau masih hidup termasuk orang pergerakan, politikus tingkat lokal. Kemudian wawancara penulis dengan Prof. St. Harun Alrasyid, S.H. pada tahun 1978 di rumahnya di Jl. Kartini, Padang Pasir, Padang. Ketika itu guru besar dan ahli hukum tersebut baru saja menerima kiriman buku dari Negeri Belanda yang berjudul, Tan Malaka: Levensloop van 1897 tot 1945, karangan Harry A. Poeze.
Sumber lain adalah wawancara dengan orang-orang tua di Pandan Gadang, Suliki, pada tahun 1964, ketika Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Prof. Dr. Priyono dan Sukarni Ketua Umum Partai Murba mengunjungi rumah gadang Tan Malaka di Pandam Gadang. Wawancara ini dilakukan bersama rekan Tengku Rasmi dan Radjalis Kamil, keduanya dari Harian Aman Makmur, dan penulis sendiri dari Harian Res-Publika Padang. Kebetulan rombongan kami, para wartawan, sudah bermasalah juga semenjak berangkat dari Padang. Maklum pada tahun 60-an tersebut perlengkapan pemerintah segala kurang. Mobil kurang, BBM pun sulit sehingga kami terlambat sampai di Payakumbuh. Ketika sampai di Pandan Gadang, rumah Tan Malaka itu sudah penuh. Kami harus puas berdiri di balik lembung (rangkiang). Sementara itu kami carilah kegiatan untuk mengumpulkan bahan dengan mewawancarai orang-orang tua yang duduk di atas tebing di halaman rumah gadang Tan Malaka dan ikut menyaksikan acara itu dari jauh.
Sumber berikutnya adalah dari nagari Sariek Alahan Tigo, dekat Alahan Panjang, Kabupaten Solok dan beberapa buku sebagai referensi pada perpustakaan pribadi penulis.
Anak Cerdas dan Periang
Nama kecil Tan Malaka adalah Ibrahim. Gelar sako adatnya adalah Datuk Tan Malako (Tan Malaka). Seorang kakek yang sudah agak bongkok di Pandam Gadang itu mengatakan bahwa Tan Malaka lebih tua sedikit dari dia. Usia kakek tersebut pada tahun 1964 sudah 70 tahun. Jadi diperkirakan Tan Malaka lahir sekitar tahun 1893. Kakek itu menyebutkan, “Kawan samo gadang” atau teman sebaya. Tan Malaka hanya “tua-tua telur ayam” dari dia. Jadi, kalau ia masih hidup tahun 1964 itu, tentu usia sudah 71 tahun.
Kakek itu juga mengatakan bahwa Tan Malaka seorang anak cerdas dan periang. Otaknya cepat menangkap. Berhitung, kali-tambah ia mahir sekali. Saya selalu mengaku kalah sama dia. Bangun pagi ia bagaikan seorang Cina, tapi kalau ditatap wajahnya dalam-dalam kadangkala dilihat ia seperti anak Eropa, orang kulit putih. Namun rambutnya yang hitam dan perawakannya, postur tubuhnya menandakan ia seorang Melayu benar: Urang Minang bana.
Apakah kakek sekelas dengan Tan Malaka waktu di SD?
“Tidak! Saya tak pernah sekolah. Malang benar nasib saya,” jawab kakek itu. Tapi Tan Malaka dari kecil sudah dibawa ayahnya merantau. Tapi tak jauh, sakitar iko ajo, ke Sijunjung dan Alahan Panjang, Kabupaten Solok.
Di dalam buku Tan Malaka, Dari Penjara ke Penjara (jilid II) dikatakan bahwa ia pernah mandi-mandi di Batang Ombilin ketika tinggal di Tanjung Ampalu, Kabupaten Sawahlunto Sijunjung. Dengan demikian, semasa kecil Tan Malaka pernah bersekolah di Volkschool, Sekolah Desa di Tanjung Ampalu.
Anak Tuan Pakuih
Pada suatu kali penulis pernah mengunjungi Alahan Panjang, dekat Danau Diatas dan Danau Dibawah. Di nagari Sariak Alahan Tigo, penulis bertemu dengan Bupati Solok, Drs. Zaghlul St. Kebasaran (alm). Ia bercerita tentang jalan ke Sungai Abu yang masih jalan setapak. Padahal daerah itu mengandung emas. Di zaman Pagaruyung, katanya, konon emas di sana sudah ditambang orang. Orang di sini setiap tahun membawa upeti berupa emas ke pusat Alam Minangkabau, Pagaruyung. Namun, masalah mendesak bagi kami di Sariak Alahan Tigo ini adalah Gedung SD yang sudah reot, kata Bupati seraya menunjuk ke gedung SD itu dari Balai Adat. “Dulu Tan Malaka pernah bersekolah di sini. Tanya sama Datuk itu,” kata Bupati Zaghlul menunjuk seorang lelaki tua yang duduk di pojok.
Lalu orang tua ini pulalah yang bercerita kepada penulis bahwa gedung itu dibangun pada awal abad ini. Tahun 1900? “Ya” jawab kakek itu pula. Tapi gedung ini bukan sekolahan dari dulunya. Ini gudang kopi di zaman barodi, kerja paksa dan cultur stelsel, tanaman paksa kopi. Tan Malaka dibawa ayahnya ke sini karena ayahnya jadi Tuan Pakuih. Tuan Pakuih adalah kepala gudang. Di dalam bahasa Belanda disebut Pakhuismeester. Lalu orang kita menyebutnya “Pakuih”. Jadi Tan Malaka masuk sekolah kelas dua (maksudnya SD) di nagari ini. Ia nakal, suka lari-lari menuruni lembah yang dalam itu (sambil menunjuk ke bawah). Tiba di bawah. Buka baju terus mandi bersemburan air dengan teman sebaya sampai merah matanya. Tapi ia tak mau kalah. Yang kalah tetap lawannya, “Alah tuu, alah tuu aden kalah…” Barulah ia berhenti.
Tak banyak orang yang tahu tentang riwayat hidup Tan Malaka yang sesungguhnya. Buku-buku yang ada tak melepaskan dahaga bagi seorang musafir yang ingin mengetahui lebih jauh tentang latar belakang kehidupan tokoh yang mistrius ini.
Sumber satu-satunya berasal dari buah tangan tokoh itu sendiri, misalnya Dari Penjara ke Penjara (tiga jilid), Madilog, Thesis, Aslia dan lain-lain.
Subagyo I.N. dan Solichin Salam yang rajin menulis biografi orang-orang ternama Indonesia, tampaknya belum berhasil menampilkan “apa-siapa” Tan Malaka.
Tidak jelas apakah setelah bersekolah di Sariak Alahan Tigo dan Tanjung Ampalu, Tan Malaka menamatkan Volkshcool di Suliki? Yang jelas sesudah Volkschool itu Tan Malaka masuk Sekolah Raja di Bukittinggi. Sekolah Raja itu nama yang populer di kalangan bumiputera. Nama sebenarnya adalah Kweekschool. Karena otaknya yang cerdas, periang dan pandai bergaul sesama temannya, maka ia sangat disayangi oleh gurunya, G.H. Horensma. Di dalam kelas tuan Horensma dengan Tan Malaka sebagai guru dan murid. Di luar kelas, guru dan murid itu, sama-sama pemain orkes Kweekschool di mana Horensma sebagai dirijen.
Begitu sayangnya Horensma kepada Tan Malaka, sehingga diusahakannyalah agar Tan Malaka dapat melanjutkan pelajarannya ke Rijkskweekschool di Harleem, dekat Amsterdam, di negeri Belanda. Dari 300 orang calon yang ingin menyambung pelajarannya ke negeri Belanda hanya 3 orang yang diterima. Salah seorang di antaranya Tan Malaka. Beda antara Rijks Kweekschool dengan Kweekschool lainnya, sebenarnya tak banyak. Rijks Kweekschool mendidik muridnya jadi guru untuk anak-anak Belanda dengan bahasa Belanda, sedangkan Kweekschool Bukittinggi murid-muridnya dilatih jadi guru buat anak Indonesia.
Ada sekitar 6 tahun lamanya Tan Malaka berada di “Negeri Kincir Angin” itu. Setelah meninggalkan Bukittinggi pada tahun 1913 dan ia pulang kembali ke Tanah Air tahun 1919. Namun, Tan Malaka mempunyai catatan tentang Sekolah Raja di Bukittinggi dulu. Di waktu Tan Malaka bersekolah di Kweekschool tersebut rupanya pemerintah kolonial Belanda menganggap Sekolah Raja di Bukittinggi itu terlalu tinggi buat 10 juta penduduk Sumatera, dan Minangkabau khususnya. Kemudian sekolah itu pun dibubarkan setelah pemberontakan Silungkang tahun 1927.

Tokoh Revolusioner Berpengetahuan Luas
Sangat  mengasikkan menulis tentang Tan Malaka. Ia seorang tokoh politik yang revolusioner dan berpengetahuan luas. Ketika belajar di Haarlem, Negeri Belanda, ia juga memperoleh pengetahuan politik, di samping ilmu yang dipelajarinya di bangku sekolah. Apalagi setelah ia berteman dengan Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantoro) di negeri Belanda.
Tahun 1919 ketika pulang ke Tanah Air, ia menerima tawaran untuk jadi guru bagi anak kuli kontrak di Tanjung Morawa, Medan. Tapi begitu sampai di tanah Deli itu, dia teringat kedua orangtuanya di kampung yang sudah lama ditinggalkannya. Ia langsung pulang kampung. Barangkali inilah kepulangannya yang pertama kali dan terakhir sekadar melihat tanah tumpah darahnya. Kemudian dia kembali ke Medan dan tinggal di Tanjung Morawa selama dua tahun. Setelah itu ia menyeberang ke Jawa membawa bekal pengalaman sendiri selama di Tanjung Morawa, terutama bagaimana Kolonial Belanda memperlakukan anak jajahannya.
Di Yogya, ia berkenalan dengan H.O.S. Tjokroaminoto, seorang tokoh Sarikat Islam yang begitu piawai. Kemudian ia berkenalan dengan Darsono dan Semaun. Dari Yogya ia ke Semarang. Waktu itu terjadi konflik politik yang semakin panas antara Sarikat Islam dengan Semarangan, yaitu islamisme melawan komunisme. Tapi di sinilah letak kontroversialnya Tan Malaka. Ia yang sudah terpengaruh oleh komunisme ternyata tak setuju dengan PKI. Kepada seorang kawan dikatakannya, mana mungkin komunisme berkembang di Indonesia. Bukankah rakyat kita orang beragama, orang ber-Tuhan. Sedangkan komunisme itu atheis, anti Tuhan.
Harry J. Benda dalam bukunya The Communist Uprisings of 1926-1927 mengutip tulisan Tan Malaka dalam majalah Semangat Muda, Tokyo, Januari 1926:
“The Sarikat Rakyat must be gradually separated from the Communist Party of  Indonesia. All the present moment our most important tactic must be to unify all island and all classes on the basic of minimum program which is approved by all inhabitants of Indonesia”.
Kita lihat Tan Malaka tak setuju dengan Darsono dan Semaun yang merupakan sayap kiri dalam Sarikat Islam. Ternyata kemudian Tan Malaka mendirikan partai baru PARI di Bangkok bersama Subakat dan Djamaluddin Tamin. Di kalangan SI sendiri tampil H. Agus Salim untuk mendisiplin partai. Siapa yang berhaluan komunis dikeluarkan.
Tahun 1922 ketika Tan Malaka berada di Berlin, dia berjumpa dengan Moh. Hatta yang sedang menuntut ilmu di Rotterdam. Waktu itu Hatta bertanya pada Tan Malaka, “Apakah dia akan menetap di Moskow, pusat negeri komunis?”
Tan Malaka menjawab, “Tidak”! Ia akan singgah sebentar di Moskow dan kemudian akan terus ke Timur Jauh. “Stalin itu diktator. Tak akan cocok dengan saya. Saya khawatir akan bentrok dengan dia,” ujar Tan Malaka. Rupanya yang paling tinggi bagi Tan Malaka adalah musyawarah. Rapat dulu, siapa yang kalah harus tunduk. “Di samping itu tulang punggung saya lurus, saya tak bisa membungkuk pada Stalin …” jawab Tan Malaka kepada Hatta. Ternyata akibat prinsip-prinsip demokrasi (musyawarah) yang dianut Tan Malaka itu sebagaimana diajarkan adat Minangkabau, maka Stalin memecat Tan Malaka dari Komintern (lihat: Bung Hatta Menjawab, Gunung Agung, Jakarta).
Dapat dijelaskan bahwa Tan Malaka berada di Eropa (Berlin, Moskow, dan lain-lain) lalu ke Timur Jauh seperti Hongkong, Canton, Tokyo, dan kemudian ke Asia Selatan seperti Bangkok, Singapura, Manila, dan lain-lain. Sebabnya tidak lain, karena Tan Malaka diminta oleh pemerintahan kolonial untuk meninggalkan Hindia Belanda sesuai dengan keputusan pemerintahan tanggal 10 Maret 1922.
Tan Malaka dapatlah dikatakan sebagai orang yang hidupnya From Jail to Jail, Dari Penjara ke penjara. Tapi pengalamannya sebagai orang “Jailbird” di pelbagai tempat di dunia selama lebih seperempat abad tak pernah berakhir dengan kepuasan rasa keadilan. Begitu halnya di bawah pengadilan Hindia Belanda pada bulan Maret 1922 dan begitu pula di Manila tahun 1927.
Rupanya Amerika Serikat yang menjunjung tinggi demokrasi dan keadilan juga tak mengizinkan Tan Malaka untuk berhadapan muka dengan para ahli hukum dalam Court of Justise di pengadilan Manila itu.
Inggris yang berlagak demokratis hanya menahan dan mengisolir Tan Malaka berbulan-bulan lamanya di penjara Hongkong pada tahun 1932. Ia juga mengkritik pemerintahan Indonesia yang menangkapnya di Madiun bersama Sukarni dan berpikir dua setengah tahun untuk menyusun tuduhan. Sampai mereka dibebaskan pada September 1948 dari penjara Magelang, ternyata tuduhan itu belum juga selesai.
Dalam bukunya Dari Penjara ke Penjara jilid III dikatakannya bahwa bisikan gelap (isu) berupa adanya Tan Malaka palsu sudah beredar sejak tahun 1936. Akibatnya, ketika Husein dari Banten (yang sebenarnya Tan Malaka “benaran” yang sejak zaman Jepang bekerja di Bayah Kozan) ingin bertemu dengan Sukarni, Mr. Ahmad Subarjo, BM Diah dan kemudian dengan Sayuti Melik, Presiden Soekarno dan Wapres Hatta. Banyak orang yang tak percaya bahwa Husein dari Banten itu adalah sebenarnya Tan Malaka.
Tan Malaka sudah kenal dengan Hatta, Subardjo dan K.H. Dewantara sejak dari Negeri Belanda. Dengan yang lain-lain belum. Memang untuk pengamanan dirinya Tan Malaka punya banyak nama samaran, apalagi kalau ia mengarang di surat kabar.
Ketika ia masuk Philipina, Tan Malaka menggunakan nama samaran Elias Fuentes. Mungkin karena banyak punya nama samaran, maka banyak orang beranggapan bahwa Tan Malaka punya ilmu kebatinan. Bisa hilang (mengirab) dalam kerumunan orang banyak. Ia bisa berganti-ganti wajah. Bisa mirip orang Belanda, bisa mirip orang Cina, jadi orang Jepang, dan lain-lain.
Dulu, ketika penulis masih kecil di kampung, tersebar pula isu di Payakumbuh bahwa bintang tonil atau bintang film Tan Tjeng Bok yang berkeliling di Sumatera Barat dikatakan orang itu Tan Malaka.
Pada tahun 1942, ketika Jepang telah menaklukkan Belanda, ia mencoba menyeberang dari Penang (Malaysia) ke Medan. Tentu lepas juga kerinduannya, yang dulunya pada tahun 1919, sepulangnya dari Haarlem, Negeri Belanda, ia bekerja selama dua tahun di Tanjung Morawa.
Pada awal pemerintahan Jepang tersebut, Tan Malaka sebagai seorang yang kutu buku mencoba mencari kios-kios buku atau perpustakaan di Kota Medan. Tapi apa hendak dinyana, begitu sampai di depan sebuah toko buku, ia mendapat bisikan dari pemilik kios buku tersebut.
“Anda mau cari buku?”
“Ya,” jawab Tan Malaka.
“Apa ada buku terbitan baru?” tanyanya
“Ini ada buku bagus. Tapi ini rahasia,” kata pemilik kios tersebut.
“Apa judulnya?” tanya Tan Malaka
Rol Pacar Merah Indonesia, karangan Matu Mona.”
Tan Malaka mengangguk seraya berpikir.
“Apa cerita buku itu?” tanya Tan Malaka.
“Ceritanya tentang Tan Malaka yang banyak membantu Jepang dalam Perang Asia Timur Raya,” jawab pemilik kios yang menceritakan tentang Tan Malaka kepada Tan Malaka yang sesungguhnya. Dalam hatinya Tan Malaka merasa geli, tapi hal itu membuatnya hati-hati. “Jangan-jangan intel Jepang telah mencium bahwa Tan Malaka yang sedang dicari-carinya kini sedang berada di Kota Medan,” pikirnya.
Berangkat ke Bukittinggi
Menurut pikiran Tan Malaka, intel Jepang melansir cerita-cerita tentang dirinya itu adalah untuk mencari Tan Malaka yang sebenarnya. Karena itu, ia putuskan untuk berangkat ke Bukittinggi, kota yang ia tinggalkan lebih dari 20 tahun. Kota yang membuatnya penuh nostalgia ketika ia bersekolah di Kweekschool (Sekolah Raja), dan tentu saja teringat akan gurunya Horensma yang amat menyayanginya.
Tiba di Bukittinggi ternyata kota yang punya Jam Gadang itu sudah banyak berubah. Sedihnya, ia tak kenal dengan orang dan orangpun tak kenal dia. Sambil menghirup udara Bukittinggi yang sejuk, ia mencoba memantau situasi di jantung ranah Minang itu. Dia ingin sekali untuk pulang kampung ke Pandan Gadang, Suliki, lebih kurang 40 km di utara Kota Payakumbuh untuk menziarahi ibunya yang sudah tua. Sedangkan ayahnya telah meninggal pada tahun 1925, ketika ia sedang berada di Hongkong.
Tapi setelah memantau cerita-cerita orang di warung-warung sebagai ota lapau tidak lain hanya berkisar tentang dirinya (Tan Malaka). Cerita itu tentu amat menggelikan. Katanya, Tan Malaka besok akan berlezen (berpidato) di depan rapat raksasa di Lapangan Dipo, tepi laut Kota Padang. Orang itu amat percaya bahwa Tan Malaka bisa berganti-ganti wajah, bisa menghilang dan sebagainya. Dalam perang Belanda melawan Jepang, Tan Malaka dikatakan berpihak sama Jepang, Ia menyamar sebagai serdadu Belanda kemudian ia lepaskan tembakan dengan senapan mesin kepada Belanda itu, sehingga banyak serdadu Belanda yang mati. Konon kabarnya, kemaren ia pulang ke Suliki menjenguk ibunya. Dari Payakumbuh ke Suliki dikawal oleh polisi dan Tentara Nippon (Jepang). Suatu hal yang tak masuk akal karena Jepang sedang menguber-uber Tan Malaka.
Adalagi yang bercerita bahwa ada seseorang yang kebetulan sama minum kopi dengan Tan Malaka di sebuah warung di pasar Suliki, tiba-tiba Tan Malaka menghilang. Mendengar cerita-cerita di warung itu, Tan Malaka mengurungkan niatnya untuk melihat ibunya di kampung. Sebab, polisi dan tentara Nippon (Jepang) kini tentu berjaga-jaga dan mengintai Tan Malaka. Niat mereka hendak memegang tengkuk Tan Malaka sendiri.
Tan Malaka terpaksa meninggalkan Bukittinggi dengan penuh kenangan, naik bus ke Lubuk Linggau, Sumatera Selatan. Dari Linggau, naik kereta api menuju Lampung dan kemudian menyeberang ke Jawa.
Ia diterima bekerja di Bayah Kozan, Banten, dengan nama samaran Husein. Kelebihan Tan Malaka, kalau ia menyamar, maka ia tak berlagak seperti spion Melayu yang di balik kemejanya tersembul ujung pistol. Selama jadi karyawan di Bayah, ia berpakaian benar-benar sebagaimana layaknya seorang kuli. Dia mengenakan baju yang sudah bertahun-tahun dalam koper yang tak pernah dipakainya lagi.
Demikianlah Tan Malaka. Dia  amat bahagia sekali saat Indonesia lepas dari belenggu imperialis dan kolonialisme Belanda dan Jepang. Pada tanggal 17 Agustus 1945, atas nama bangsa Indonesia, Bung Karno dan Bung Hatta memproklamirkan kemerdekaan RI ke seluruh dunia. Dari Bayah, ia berkali-kali mengunjungi Presiden Soekarno dan Wapres Moh. Hatta, bertemu dengan Angkatan Baru yang dipimpin oleh BM Diah dan dengan para pemuda seperti Sukarni, Adam Malik, Chairul Saleh, Seyuti Malik, dan Ahmad Sobardjo. Ia kemudian menyusun Persatuan Perjuangan di Solo, dan ia tak setuju dengan PKI Muso yang memberontak di Madiun. Ia berkali-kali difitnah oleh Darsono, Alimin, dan Semaun yang FDR (PKI).
Ia teguh memegang garis politiknya untuk melanjutkan perjuangan di atas garis itu dan tidak perlu berjual beli dalam hal politik dan normal.
Ia mati dengan tragis pada 19 Februari 1949 dan mayatnya dihanyutkan di Kali Brantas, jauh dari sanak famili dan kemenakannya di kampung, di bawah payung Datuk Tan Malaka di Pandan Gadang Suliki, Sumatera Barat.

Pada tahun 1963, Presiden Soekarno menetapkan membangun sebuah rumah Pahlawan Nasional Tan Malaka di Suliki atau di Payakumbuh. Tapi karena situasi kemudian berubah menjelang peristiwa G 30 S/PKI dan Partai Murba difitnah dan kemudian dibubarkan. Realisasi pembangunan rumah Tan Malaka itu menjadi jauh panggang dari api dan sampai sekarang tak disebut-sebut lagi.*  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...