Pengantar redaksi
Tan Malaka atau Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka adalah seorang aktivis
kemerdekaan Indonesia, filsuf kiri, pemimpin Partai Komunis Indonesia, pendiri
Partai Murba, dan Pahlawan Nasional Indonesia.
Tan Malaka lahir 2 Juni 1897, Pandan Gadang, Limapuluah Kota, dan meninggal
pada 21 Februari 1949, di Kabupaten Kediri. Hari ini 67 tahun sudah berlalu
tokoh inspiratif ini meninggal dunia. Berikut tulisan Kamardi Rais Datuak P
Simulie, yang diambil dari buku “Mesin Ketik Tua”. Selamat membaca.
OLEH Kamardi Rais Datuak P Simulie
Surat kabar
Haluan, Minggu, 10 November 1991 menyiarkan sebuah berita yang bersumber
dari Lembaga Kantor Berita Nasional Antara yang berjudul: “Lima Makam
Pahlawan Nasional Belum Tahu Tempatnya”. Seorang di antaranya adalah Tan
Malaka yang lahir di Pandan Gadang, Suliki, Payakumbuh, Sumatera Barat.
Keterangan itu berasal dari Hubungan
Masyarakat Departemen Sosial RI yang menyatakan bahwa Indonesia memiliki 94
pahlawan nasional, lima di antaranya hingga kini belum diketahui makamnya.
Kelima Pahlawan Nasional tersebut adalah Tan Malaka asal Sumatera Barat, Dr.
Martha Christina Tjiahahu (Maluku), Supriadi (Jawa Timur), Dr. Muwardi dan
Laksamana Muda TNI Jos Sudarso asal Jawa Tengah.
Berita itu menggugah saya untuk menulis
tentang Tan Malaka, tokoh legendaris dan Pahlawan Nasional kita yang kuburnya
sampai sekarang tidak diketahui sebagaimana dikatakan oleh Pejabat Departemen
Sosial itu. Bak kata peribahasa: Hilang tak tahu rimbanya, hanyut tak tahu
muaranya, wafat tak tahu kuburnya.
Putra penulis yang masih duduk di SMP
pernah bertanya, “Apakah Tan Malaka itu
orang Malaysia atau orang Malaka?”
Pertanyaan itu mirip dengan pertanyaan
orang tentang Adinegoro, yang perintis pers Indonesia. Banyak dugaan bahwa
Adinegoro berasal dari Jawa mengingat namanya. Padahal ia berasal dari Talawi,
Sawahlunto Sumatera Barat. Nama kecilnya adalah Djamaluddin dan nama samarannya
Adinegoro. Almarhum adalah adik mahaputra Prof. Mr. Moh. Yamin yang juga sudah
almarhum.
Sehubungan dengan pahlawan Nasional Tan
Malaka, kita lihat pada beberapa kota di Indonesia yang meng-abadikan nama Tan
Malaka untuk nama jalan, seperti di Kota Padang, jalan di samping gedung RRI
dari Jl. Sudirman tembus ke Jl. Perintis Kemerdekaan (Jati) dikenal sebagai
Jalan Tan Malaka.
Sementara itu, banyak orang yang
beranggapan bahwa Tan Malaka seorang tokoh legenda punya banyak ilmu kebatinan
yang bisa hilang sewaktu-waktu, yang wajahnya bisa berubah-ubah seketika, yang
licin bagai belut, tak bisa ditangkap, dan lain-lain. Bahkan ada yang
mengatakan bahwa Tan Malaka itu masih hidup, sekarang belum mati, tapi entah di mana.
Apakah Tan Malaka itu makhluk halus
sebagai malaikat? Sudah jelas, tidak! Ia adalah seorang anak manusia yang lahir
di nagari Pandan Gadang dekat Suliki, lebih kurang 40 km di utara Kota
Payakumbuh, Sumatera Barat.
Selanjutnya tulisan ini diramu dari
berbagai sumber, antara lain, dari ayahanda penulis sendiri, H. Rais Dt.
Makhudum, yang dulunya sewaktu beliau masih hidup termasuk orang pergerakan,
politikus tingkat lokal. Kemudian wawancara penulis dengan Prof. St. Harun
Alrasyid, S.H. pada tahun 1978 di rumahnya di Jl. Kartini, Padang Pasir,
Padang. Ketika itu guru besar dan ahli hukum tersebut baru saja menerima
kiriman buku dari Negeri Belanda yang berjudul, Tan Malaka: Levensloop van
1897 tot 1945, karangan Harry A. Poeze.
Sumber lain adalah wawancara dengan
orang-orang tua di Pandan Gadang, Suliki, pada tahun 1964, ketika Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan, Prof. Dr. Priyono dan Sukarni Ketua Umum Partai
Murba mengunjungi rumah gadang Tan Malaka di Pandam Gadang. Wawancara
ini dilakukan bersama rekan Tengku Rasmi dan Radjalis Kamil, keduanya dari
Harian Aman Makmur, dan penulis sendiri dari Harian Res-Publika
Padang. Kebetulan rombongan kami, para wartawan, sudah bermasalah juga semenjak
berangkat dari Padang. Maklum pada tahun 60-an tersebut perlengkapan pemerintah
segala kurang. Mobil kurang, BBM pun sulit sehingga kami terlambat sampai di
Payakumbuh. Ketika sampai di Pandan Gadang, rumah Tan Malaka itu sudah penuh.
Kami harus puas berdiri di balik lembung (rangkiang). Sementara itu kami
carilah kegiatan untuk mengumpulkan bahan dengan mewawancarai orang-orang tua
yang duduk di atas tebing di halaman rumah gadang Tan Malaka dan ikut
menyaksikan acara itu dari jauh.
Sumber berikutnya adalah dari nagari
Sariek Alahan Tigo, dekat Alahan Panjang, Kabupaten Solok dan beberapa buku
sebagai referensi pada perpustakaan pribadi penulis.
Anak Cerdas dan Periang
Nama kecil Tan Malaka adalah Ibrahim.
Gelar sako adatnya adalah Datuk Tan Malako (Tan Malaka). Seorang kakek yang
sudah agak bongkok di Pandam Gadang itu mengatakan bahwa Tan Malaka lebih tua
sedikit dari dia. Usia kakek tersebut pada tahun 1964 sudah 70 tahun. Jadi
diperkirakan Tan Malaka lahir sekitar tahun 1893. Kakek itu menyebutkan, “Kawan
samo gadang” atau teman sebaya. Tan Malaka hanya “tua-tua telur ayam” dari
dia. Jadi, kalau ia masih hidup tahun 1964 itu, tentu usia sudah 71 tahun.
Kakek itu juga mengatakan bahwa Tan
Malaka seorang anak cerdas dan periang. Otaknya cepat menangkap. Berhitung,
kali-tambah ia mahir sekali. Saya selalu mengaku kalah sama dia. Bangun pagi ia
bagaikan seorang Cina, tapi kalau ditatap wajahnya dalam-dalam kadangkala
dilihat ia seperti anak Eropa, orang kulit putih. Namun rambutnya yang hitam
dan perawakannya, postur tubuhnya menandakan ia seorang Melayu benar: Urang
Minang bana.
Apakah kakek sekelas dengan Tan Malaka
waktu di SD?
“Tidak! Saya tak pernah sekolah. Malang
benar nasib saya,” jawab kakek itu. Tapi Tan Malaka dari kecil sudah dibawa
ayahnya merantau. Tapi tak jauh, sakitar iko ajo, ke Sijunjung dan
Alahan Panjang, Kabupaten Solok.
Di dalam buku Tan Malaka, Dari
Penjara ke Penjara (jilid II) dikatakan bahwa ia pernah mandi-mandi di
Batang Ombilin ketika tinggal di Tanjung Ampalu, Kabupaten Sawahlunto
Sijunjung. Dengan demikian, semasa kecil Tan Malaka pernah bersekolah di
Volkschool, Sekolah Desa di Tanjung Ampalu.
Anak Tuan Pakuih
Pada suatu kali penulis pernah
mengunjungi Alahan Panjang, dekat Danau Diatas dan Danau Dibawah. Di nagari
Sariak Alahan Tigo, penulis bertemu dengan Bupati Solok, Drs. Zaghlul St.
Kebasaran (alm). Ia bercerita tentang jalan ke Sungai Abu yang masih jalan
setapak. Padahal daerah itu mengandung emas. Di zaman Pagaruyung, katanya,
konon emas di sana sudah ditambang orang. Orang di sini setiap tahun membawa
upeti berupa emas ke pusat Alam Minangkabau, Pagaruyung. Namun, masalah
mendesak bagi kami di Sariak Alahan Tigo ini adalah Gedung SD yang sudah reot,
kata Bupati seraya menunjuk ke gedung SD itu dari Balai Adat. “Dulu Tan Malaka
pernah bersekolah di sini. Tanya sama Datuk itu,” kata Bupati Zaghlul menunjuk
seorang lelaki tua yang duduk di pojok.
Lalu orang tua ini pulalah yang
bercerita kepada penulis bahwa gedung itu dibangun pada awal abad ini. Tahun
1900? “Ya” jawab kakek itu pula. Tapi gedung ini bukan sekolahan dari dulunya.
Ini gudang kopi di zaman barodi, kerja paksa dan cultur stelsel,
tanaman paksa kopi. Tan Malaka dibawa ayahnya ke sini karena ayahnya jadi Tuan
Pakuih. Tuan Pakuih adalah kepala gudang. Di dalam bahasa Belanda disebut Pakhuismeester.
Lalu orang kita menyebutnya “Pakuih”. Jadi Tan Malaka masuk sekolah kelas dua
(maksudnya SD) di nagari ini. Ia nakal, suka lari-lari menuruni lembah yang
dalam itu (sambil menunjuk ke bawah). Tiba di bawah. Buka baju terus mandi
bersemburan air dengan teman sebaya sampai merah matanya. Tapi ia tak mau
kalah. Yang kalah tetap lawannya, “Alah tuu, alah tuu aden kalah…” Barulah
ia berhenti.
Tak banyak orang yang tahu tentang
riwayat hidup Tan Malaka yang sesungguhnya. Buku-buku yang ada tak melepaskan
dahaga bagi seorang musafir yang ingin mengetahui lebih jauh tentang latar
belakang kehidupan tokoh yang mistrius ini.
Sumber satu-satunya berasal dari buah
tangan tokoh itu sendiri, misalnya Dari Penjara ke Penjara (tiga jilid),
Madilog, Thesis, Aslia dan lain-lain.
Subagyo I.N. dan Solichin Salam yang
rajin menulis biografi orang-orang ternama Indonesia, tampaknya belum berhasil
menampilkan “apa-siapa” Tan Malaka.
Tidak jelas apakah setelah bersekolah
di Sariak Alahan Tigo dan Tanjung Ampalu, Tan Malaka menamatkan Volkshcool di
Suliki? Yang jelas sesudah Volkschool itu Tan Malaka masuk Sekolah Raja di
Bukittinggi. Sekolah Raja itu nama yang populer di kalangan bumiputera. Nama
sebenarnya adalah Kweekschool. Karena otaknya yang cerdas, periang dan
pandai bergaul sesama temannya, maka ia sangat disayangi oleh gurunya, G.H.
Horensma. Di dalam kelas tuan Horensma dengan Tan Malaka sebagai guru dan
murid. Di luar kelas, guru dan murid itu, sama-sama pemain orkes Kweekschool
di mana Horensma sebagai dirijen.
Begitu sayangnya Horensma kepada Tan
Malaka, sehingga diusahakannyalah agar Tan Malaka dapat melanjutkan
pelajarannya ke Rijkskweekschool di Harleem, dekat Amsterdam, di negeri
Belanda. Dari 300 orang calon yang ingin menyambung pelajarannya ke negeri
Belanda hanya 3 orang yang diterima. Salah seorang di antaranya Tan Malaka.
Beda antara Rijks Kweekschool dengan Kweekschool lainnya,
sebenarnya tak banyak. Rijks Kweekschool mendidik muridnya jadi guru
untuk anak-anak Belanda dengan bahasa Belanda, sedangkan Kweekschool Bukittinggi
murid-muridnya dilatih jadi guru buat anak Indonesia.
Ada sekitar 6 tahun lamanya Tan Malaka
berada di “Negeri Kincir Angin” itu. Setelah meninggalkan Bukittinggi pada
tahun 1913 dan ia pulang kembali ke Tanah Air tahun 1919. Namun, Tan Malaka
mempunyai catatan tentang Sekolah Raja di Bukittinggi dulu. Di waktu Tan Malaka
bersekolah di Kweekschool tersebut rupanya pemerintah kolonial Belanda
menganggap Sekolah Raja di Bukittinggi itu terlalu tinggi buat 10 juta penduduk
Sumatera, dan Minangkabau khususnya. Kemudian sekolah itu pun dibubarkan
setelah pemberontakan Silungkang tahun 1927.
Tokoh Revolusioner Berpengetahuan Luas
Sangat
mengasikkan menulis tentang Tan Malaka. Ia seorang tokoh politik yang
revolusioner dan berpengetahuan luas. Ketika belajar di Haarlem, Negeri
Belanda, ia juga memperoleh pengetahuan politik, di samping ilmu yang
dipelajarinya di bangku sekolah. Apalagi setelah ia berteman dengan Suwardi
Suryaningrat (Ki Hajar Dewantoro) di negeri Belanda.
Tahun 1919 ketika pulang ke Tanah Air,
ia menerima tawaran untuk jadi guru bagi anak kuli kontrak di Tanjung Morawa,
Medan. Tapi begitu sampai di tanah Deli itu, dia teringat kedua orangtuanya di
kampung yang sudah lama ditinggalkannya. Ia langsung pulang kampung. Barangkali
inilah kepulangannya yang pertama kali dan terakhir sekadar melihat tanah
tumpah darahnya. Kemudian dia kembali ke Medan dan tinggal di Tanjung Morawa
selama dua tahun. Setelah itu ia menyeberang ke Jawa membawa bekal pengalaman
sendiri selama di Tanjung Morawa, terutama bagaimana Kolonial Belanda
memperlakukan anak jajahannya.
Di Yogya, ia berkenalan dengan H.O.S.
Tjokroaminoto, seorang tokoh Sarikat Islam yang begitu piawai. Kemudian ia
berkenalan dengan Darsono dan Semaun. Dari Yogya ia ke Semarang. Waktu itu
terjadi konflik politik yang semakin panas antara Sarikat Islam dengan
Semarangan, yaitu islamisme melawan komunisme. Tapi di sinilah letak
kontroversialnya Tan Malaka. Ia yang sudah terpengaruh oleh komunisme ternyata
tak setuju dengan PKI. Kepada seorang kawan dikatakannya, mana mungkin
komunisme berkembang di Indonesia. Bukankah rakyat kita orang beragama, orang
ber-Tuhan. Sedangkan komunisme itu atheis, anti Tuhan.
Harry J. Benda dalam bukunya The
Communist Uprisings of 1926-1927 mengutip tulisan Tan Malaka dalam majalah Semangat
Muda, Tokyo, Januari 1926:
“The Sarikat Rakyat must be gradually
separated from the Communist Party of
Indonesia. All the present moment our most important tactic must be to
unify all island and all classes on the basic of minimum program which is
approved by all inhabitants of Indonesia”.
Kita lihat Tan Malaka tak
setuju dengan Darsono dan Semaun yang merupakan sayap kiri dalam Sarikat Islam.
Ternyata kemudian Tan Malaka mendirikan partai baru PARI di Bangkok bersama
Subakat dan Djamaluddin Tamin. Di kalangan SI sendiri tampil H. Agus Salim
untuk mendisiplin partai. Siapa yang berhaluan komunis dikeluarkan.
Tahun 1922 ketika Tan Malaka berada di
Berlin, dia berjumpa dengan Moh. Hatta yang sedang menuntut ilmu di Rotterdam.
Waktu itu Hatta bertanya pada Tan Malaka, “Apakah dia akan menetap di Moskow,
pusat negeri komunis?”
Tan Malaka menjawab, “Tidak”! Ia akan
singgah sebentar di Moskow dan kemudian akan terus ke Timur Jauh. “Stalin itu
diktator. Tak akan cocok dengan saya. Saya khawatir akan bentrok dengan dia,”
ujar Tan Malaka. Rupanya yang paling tinggi bagi Tan Malaka adalah musyawarah.
Rapat dulu, siapa yang kalah harus tunduk. “Di samping itu tulang punggung saya
lurus, saya tak bisa membungkuk pada Stalin …” jawab Tan Malaka kepada Hatta.
Ternyata akibat prinsip-prinsip demokrasi (musyawarah) yang dianut Tan Malaka
itu sebagaimana diajarkan adat Minangkabau, maka Stalin memecat Tan Malaka dari
Komintern (lihat: Bung Hatta Menjawab, Gunung Agung, Jakarta).
Dapat dijelaskan bahwa Tan Malaka
berada di Eropa (Berlin, Moskow, dan lain-lain) lalu ke Timur Jauh seperti
Hongkong, Canton, Tokyo, dan kemudian ke Asia Selatan seperti Bangkok,
Singapura, Manila, dan lain-lain. Sebabnya tidak lain, karena Tan Malaka diminta
oleh pemerintahan kolonial untuk meninggalkan Hindia Belanda sesuai dengan
keputusan pemerintahan tanggal 10 Maret 1922.
Tan Malaka dapatlah dikatakan sebagai
orang yang hidupnya From Jail to Jail, Dari Penjara ke penjara. Tapi
pengalamannya sebagai orang “Jailbird” di pelbagai tempat di dunia selama lebih
seperempat abad tak pernah berakhir dengan kepuasan rasa keadilan. Begitu
halnya di bawah pengadilan Hindia Belanda pada bulan Maret 1922 dan begitu pula
di Manila tahun 1927.
Rupanya Amerika Serikat yang menjunjung
tinggi demokrasi dan keadilan juga tak mengizinkan Tan Malaka untuk berhadapan
muka dengan para ahli hukum dalam Court of Justise di pengadilan Manila
itu.
Inggris yang berlagak demokratis hanya
menahan dan mengisolir Tan Malaka berbulan-bulan lamanya di penjara Hongkong
pada tahun 1932. Ia juga mengkritik pemerintahan Indonesia yang menangkapnya di
Madiun bersama Sukarni dan berpikir dua setengah tahun untuk menyusun tuduhan.
Sampai mereka dibebaskan pada September 1948 dari penjara Magelang, ternyata
tuduhan itu belum juga selesai.
Dalam bukunya Dari Penjara ke
Penjara jilid III dikatakannya bahwa bisikan gelap (isu) berupa adanya Tan
Malaka palsu sudah beredar sejak tahun 1936. Akibatnya, ketika Husein dari
Banten (yang sebenarnya Tan Malaka “benaran” yang sejak zaman Jepang
bekerja di Bayah Kozan) ingin bertemu dengan Sukarni, Mr. Ahmad Subarjo, BM
Diah dan kemudian dengan Sayuti Melik, Presiden Soekarno dan Wapres Hatta.
Banyak orang yang tak percaya bahwa Husein dari Banten itu adalah sebenarnya
Tan Malaka.
Tan Malaka sudah kenal dengan Hatta,
Subardjo dan K.H. Dewantara sejak dari Negeri Belanda. Dengan yang lain-lain
belum. Memang untuk pengamanan dirinya Tan Malaka punya banyak nama samaran,
apalagi kalau ia mengarang di surat kabar.
Ketika ia masuk Philipina, Tan Malaka
menggunakan nama samaran Elias Fuentes. Mungkin karena banyak punya nama
samaran, maka banyak orang beranggapan bahwa Tan Malaka punya ilmu kebatinan.
Bisa hilang (mengirab) dalam kerumunan orang banyak. Ia bisa berganti-ganti
wajah. Bisa mirip orang Belanda, bisa mirip orang Cina, jadi orang Jepang, dan
lain-lain.
Dulu, ketika penulis masih kecil di
kampung, tersebar pula isu di Payakumbuh bahwa bintang tonil atau bintang film
Tan Tjeng Bok yang berkeliling di Sumatera Barat dikatakan orang itu Tan
Malaka.
Pada tahun 1942, ketika Jepang telah
menaklukkan Belanda, ia mencoba menyeberang dari Penang (Malaysia) ke Medan.
Tentu lepas juga kerinduannya, yang dulunya pada tahun 1919, sepulangnya dari
Haarlem, Negeri Belanda, ia bekerja selama dua tahun di Tanjung Morawa.
Pada awal pemerintahan Jepang tersebut,
Tan Malaka sebagai seorang yang kutu buku mencoba mencari kios-kios buku atau
perpustakaan di Kota Medan. Tapi apa hendak dinyana, begitu sampai di depan
sebuah toko buku, ia mendapat bisikan dari pemilik kios buku tersebut.
“Anda mau cari buku?”
“Ya,” jawab Tan Malaka.
“Apa ada buku terbitan baru?” tanyanya
“Ini ada buku bagus. Tapi ini rahasia,”
kata pemilik kios tersebut.
“Apa judulnya?” tanya Tan Malaka
“Rol Pacar Merah Indonesia,
karangan Matu Mona.”
Tan Malaka mengangguk seraya berpikir.
“Apa cerita buku itu?” tanya Tan
Malaka.
“Ceritanya tentang Tan Malaka yang
banyak membantu Jepang dalam Perang Asia Timur Raya,” jawab pemilik kios yang
menceritakan tentang Tan Malaka kepada Tan Malaka yang sesungguhnya. Dalam
hatinya Tan Malaka merasa geli, tapi hal itu membuatnya hati-hati.
“Jangan-jangan intel Jepang telah mencium bahwa Tan Malaka yang sedang
dicari-carinya kini sedang berada di Kota Medan,” pikirnya.
Berangkat ke Bukittinggi
Menurut pikiran Tan Malaka, intel
Jepang melansir cerita-cerita tentang dirinya itu adalah untuk mencari Tan
Malaka yang sebenarnya. Karena itu, ia putuskan untuk berangkat ke Bukittinggi,
kota yang ia tinggalkan lebih dari 20 tahun. Kota yang membuatnya penuh
nostalgia ketika ia bersekolah di Kweekschool (Sekolah Raja), dan tentu
saja teringat akan gurunya Horensma yang amat menyayanginya.
Tiba di Bukittinggi ternyata kota yang
punya Jam Gadang itu sudah banyak berubah. Sedihnya, ia tak kenal dengan
orang dan orangpun tak kenal dia. Sambil menghirup udara Bukittinggi yang
sejuk, ia mencoba memantau situasi di jantung ranah Minang itu. Dia ingin
sekali untuk pulang kampung ke Pandan Gadang, Suliki, lebih kurang 40 km di
utara Kota Payakumbuh untuk menziarahi ibunya yang sudah tua. Sedangkan ayahnya
telah meninggal pada tahun 1925, ketika ia sedang berada di Hongkong.
Tapi setelah memantau cerita-cerita
orang di warung-warung sebagai ota lapau tidak lain hanya berkisar
tentang dirinya (Tan Malaka). Cerita itu tentu amat menggelikan. Katanya, Tan
Malaka besok akan berlezen (berpidato) di depan rapat raksasa di
Lapangan Dipo, tepi laut Kota Padang. Orang itu amat percaya bahwa Tan Malaka
bisa berganti-ganti wajah, bisa menghilang dan sebagainya. Dalam perang Belanda
melawan Jepang, Tan Malaka dikatakan berpihak sama Jepang, Ia menyamar sebagai
serdadu Belanda kemudian ia lepaskan tembakan dengan senapan mesin kepada
Belanda itu, sehingga banyak serdadu Belanda yang mati. Konon kabarnya, kemaren
ia pulang ke Suliki menjenguk ibunya. Dari Payakumbuh ke Suliki dikawal oleh
polisi dan Tentara Nippon (Jepang). Suatu hal yang tak masuk akal karena Jepang
sedang menguber-uber Tan Malaka.
Adalagi yang bercerita bahwa ada
seseorang yang kebetulan sama minum kopi dengan Tan Malaka di sebuah warung di
pasar Suliki, tiba-tiba Tan Malaka menghilang. Mendengar cerita-cerita di
warung itu, Tan Malaka mengurungkan niatnya untuk melihat ibunya di kampung.
Sebab, polisi dan tentara Nippon (Jepang) kini tentu berjaga-jaga dan mengintai
Tan Malaka. Niat mereka hendak memegang tengkuk Tan Malaka sendiri.
Tan Malaka terpaksa meninggalkan
Bukittinggi dengan penuh kenangan, naik bus ke Lubuk Linggau, Sumatera Selatan.
Dari Linggau, naik kereta api menuju Lampung dan kemudian menyeberang ke Jawa.
Ia diterima bekerja di Bayah Kozan,
Banten, dengan nama samaran Husein. Kelebihan Tan Malaka, kalau ia menyamar,
maka ia tak berlagak seperti spion Melayu yang di balik kemejanya tersembul
ujung pistol. Selama jadi karyawan di Bayah, ia berpakaian benar-benar
sebagaimana layaknya seorang kuli. Dia mengenakan baju yang sudah
bertahun-tahun dalam koper yang tak pernah dipakainya lagi.
Demikianlah Tan Malaka. Dia amat bahagia sekali saat Indonesia lepas dari
belenggu imperialis dan kolonialisme Belanda dan Jepang. Pada tanggal 17
Agustus 1945, atas nama bangsa Indonesia, Bung Karno dan Bung Hatta
memproklamirkan kemerdekaan RI ke seluruh dunia. Dari Bayah, ia berkali-kali
mengunjungi Presiden Soekarno dan Wapres Moh. Hatta, bertemu dengan Angkatan
Baru yang dipimpin oleh BM Diah dan dengan para pemuda seperti Sukarni, Adam
Malik, Chairul Saleh, Seyuti Malik, dan Ahmad Sobardjo. Ia kemudian menyusun
Persatuan Perjuangan di Solo, dan ia tak setuju dengan PKI Muso yang
memberontak di Madiun. Ia berkali-kali difitnah oleh Darsono, Alimin, dan
Semaun yang FDR (PKI).
Ia teguh memegang garis politiknya
untuk melanjutkan perjuangan di atas garis itu dan tidak perlu berjual beli
dalam hal politik dan normal.
Ia mati dengan tragis pada 19 Februari
1949 dan mayatnya dihanyutkan di Kali Brantas, jauh dari sanak famili dan
kemenakannya di kampung, di bawah payung Datuk Tan Malaka di Pandan Gadang
Suliki, Sumatera Barat.
Pada tahun 1963,
Presiden Soekarno menetapkan membangun sebuah rumah Pahlawan Nasional Tan
Malaka di Suliki atau di Payakumbuh. Tapi karena situasi kemudian berubah
menjelang peristiwa G 30 S/PKI dan Partai Murba difitnah dan kemudian
dibubarkan. Realisasi pembangunan rumah Tan Malaka itu menjadi jauh panggang
dari api dan sampai sekarang tak disebut-sebut lagi.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar