OLEH Eko Yanche Edrie
Sjafrial Arifin |
Dalam dua hari ini berita duka kehilangan
wartawan senior bertirit-tirit saja. Saya menulis obituari untuk almarhum Uda
Zaili Asril, Senin (11/1/2016) sekitar pukul 23.55 WIB. Semalam saya harus
tulis satu obituari lagi, kali ini untuk senior saya Uda Sjafrial Arifin atau
kami di Surat Kabar Singgalang
memanggilnya Da Cap. Da Cap meninggal dalam usia 67 tahun.
Da Cap meninggal dunia Kamis, (14/1/2016)
sekitar pukul 18.00 WIB, Da Cap telah berpulang. Ia meninggal di Depok, Jawa Barat. Saya hanya mendapat kabar dari
status di laman facebook Muhammad ‘Bram’ Ibrahim Ilyas sekitar pukul enam
petang. Tapi selepas Magrib, Syafruddin Al, Kepala Biro Metrans di Jakarta saya
lihat di email mengirim berita berpulangnya Sjafrial Arifin.
Sulit bagi saya untuk menyusun obituari
buat Da Cap, karena bagi saya Da Cap banyak memengaruhi saya dalam menulis dan
membaca. Kalau saya tulis artikel atau feature, saya acap mencari celah untuk
menyorongkan joke agak satu dua. Terus terang saya amat dipengaruhi oleh tiga
orang penulis hebat, pertama Bang Makmur Hendrik, kedua Emha Ainun Nadjib dan ketika
adalah Sjafrial Arifin. Tak bisa saya menghindari keterpengaruhan dari
ketiganya dalam penulisan saya.
Ketika masih jadi wartawan di Padang
Panjang, saya suka membaca tulisan-tulisan Da Cap di halaman Singgalang edisi Minggu terutama pada
halaman rantau. Dari Hasril Chaniago yang ketika itu masih Redaktur Edisi
Minggu saya dapat cerita bahwa Da Cap itu kalau menulis film dan musik itu
adalah karena bidangnya. Ya, saya tahu kemudian kalau di Jakarta selain menjadi
wartawan Majalah Zaman di bawah
lingkungan Tempo, Da Cap juga pemain
film dan kritikus film. Da Cap pernah bermain untuk beberapa film, antara lain
yang pernah saya tonton adalah November 1828, kisah di seputar Perang
Diponegoro. Film itu kemudian meraih Piala Citra pada FFI tahun 1979.
Lalu ketika sinetron Sitti Noerbaja dan Sengsara
Membawa Nikmat, Uda Cap terlibat banyak dalam pembuatannya sekaligus
bermain dalam sinetron yang diputar di TVRI itu.
Ketika Da Cap sudah bergabung dengan Singgalang di kantor Padang, satu hari
saya dipanggil rapat ke Padang. Saya, Gusfen Khairul, Syafruddin Al, Tun
Akhyar, Ben Tanur, Hardimen Koto dan Wardas Tanjung (?) dikumpulkan Da Cap di
ruang rapat Rattan Room di lantai III gedung Singgalang. Kata Da Cap, ia akan
membentuk news hunter. Binatang apa pula itu? Entah maksudnya berkeren-keren
atau memang serius hendak membentuk tim yang siap 24 jam mengejar berita apa
saja yang sudah direncanakan, akhirnya tim itu dibentuk.
Saat Sjafrial Arifin dimakamkan di TPU Depok, Jawab Barat |
Empat bulan memang tim itu berjalan. Tiap
pekan selalu ada laporan utama yang dibuat dan diliput oleh tim secara tematik.
Bagi saya itu menyenang, tapi lama-lama tanpa peluru yang cukup ternyata
melelahkan juga. Akhirnya tema laporan tidak lagi direncanakan matang. Malah
kemudian angin-anginan, kadang bagus, kadang asal ada saja.
“Kalian harus pikirkan sendiri, jangan
Redpel terus,” kata Da Cap ketika rapat evaluasi. Wal hasil kemudian tim itu
bubar tapi liputan bersama tetap menjadi ‘adat istiadat’ bagi Harian
Singgalang, tiap pekan mesti tersaji. Kami akhirnya sepakat menunjuk project
officer setiap tema liputan. Sedang Da Cap menuliskan main story nya di bagian
kaki halaman depan.
Satuhal yang saya ingat, ia amat sayang
dengan saya dan Ben Tanur. Sehingga kalau saya dan Ben yang minta duit
kepadanya, tak ada kata menggeleng dari Da Cap, paling-paling dia bercarut
kepada kami. “Mande ang…” katanya
seraya melemparkan selembar uang Rp1.000 agak dua lembar. Atau tempo-tempo ia
menginterogasi kami yang muda-muda ini untuk peristilahan anak muda yang hanya
kami tahu. Misalnya, ketika ada liputan tren naik gunung di akhir tahun di
Sumatera Barat ketika itu, ia sengaja panggil saya ke Padang dari Padang
Panjang hanya untuk menanyakan apa saja istilah anak-anak muda yang mendaki
gunung itu. Kemudian dia gunakan untuk memperkaya main story liputan tren mendaki
gunung itu.
Da Cap, matanya seperti elang. Jarang
saya lihat matanya terpicing lama. Artinya malam-malam ia bertanggang,
mendatangi berbagai narasumber, ke Taman Budaya untuk berdiskusi atau ikut
kegiatan berkesenian. Atau menulis buku. Atau membaca novel tebal-tebal. Ia
tidur di kantor saja. Pukul 3 pagi baru ia balik ke kantor, bikin kopi, merokok
lalu tidur. Pukul tujuh ia sudah berteriak memanggil siapa saja yang duluan ke
lantai III Singgalang untuk minta tolong pesankan lontong dan kopi plus rokok. Kemudian
tak tik tak tik…..mesin ketiknya pun bergeruntang puntang menyiapkan
bahan-bahan untuk Singgalang edisi besoknya.
Ia tahu saya juga seorang penyiar radio
di Padang Panjang. Menjelang tutup tahun 1987 Da Cap dapat proyek dari Hotel
Muara Padang untuk menggelar malam tahun baru dengan berbagai kesenian.
“Ang bisa
mancari musik-musik klasik untuak background operet?” katanya saat saya
bertemu di Padang.
“Lai Da,
baa tu?”
Da Cap kemudian menyebutkan ada proyek
untuk saya. Saya diminta menjadi music director. Ha ha ha, saya ketawa saja
mendengar jabatan itu. Music director tapi disuruh menyiapkan kaset-kaset. Saya
diminta menyiapkan banyak instrumentalia lagu klasik. Kami akan membuat
pertunjukan bertajuk La Cumparsita Night. Saya tak banyak tanya apa arti La
Cumparsita itu.
Saya siap, bahkan kemudian saya diminta
pula membawa grup breakdance yang saya bina di Padang Panjang, namanya Bahana
Electric Crew dengan enam anak muda penari patah-patah yang sedang in saat itu.
“Iko ndak
pakai latihan, indak pakai general repetisi bagai, ang tampil se sasuko hati
ang, musik tu ang puta salamak paruik ang untuak mairingan operete,” kata Da Cap.
Ondeh, batele mah, kata saya dalam hati. Tapi karena ingin dapat honornya,
saya dengan teman saya Yul Sikumbang menyiapkan diri.
Tahu tidak? La Cumparsita Night itu
benar-benar operet yang yang salamak paruik seperti yang disebut Da Cap pada
saya. Entah bagaimana ia bisa meyakinkan grup hotel Muara sehingga proyek itu
jalan. “Hanok se lah waang,” katanya
ketika saya tanya. Ia amat percaya diri. Nyatanya acara itu memang asyik juga
ditonton walau tanpa script. Artis Ellya Khadam yang juga dihadirkan, saya
lihat sampai mencium pipi Da Cap.
Begitulah Da Cap, tiap kali saya
berkunjung ke kantor pusat di Padang –setelah saya kemudian dia pindahkan ke
Solok—saya tidak akan bisa tidur sepanjang malam karena dibawa ke mana-mana
oleh Da Cap. Pernah dia tega membiarkan saya tidur dikursi sementara dia
menghota berdua sampai pukul 7 pagi dengan Papi Rustam Anwar di hotel Jl
Diponegoro.
Tahun 1991 saya pindah ke Padang. Sekali
dua saja saya bertemu Da Cap, karena rupanya dia sudah resign dari Singgalang.
“Baa kok mundur Da?” tanya saya. “Jan ang tanyo juo, den ka pai marantau
baliak,” katanya. Dan tak lama memang terkabar Da Cap kembali ke Jakarta dengan
proyek-proyek sinetronnya. Saya kehilangan mata elang, peraih anugerah
Adinegoro itu.
Sejak kemarin, mata elang itu tidak ada
lagi. Saya menyesali Uda Alwi Karmena yang ke Jakarta tiga pekan lalu tapi tak
jadi menjenguk Da Cap di Depok. Tapi sudahlah, janjian memang sudah sampai. Da
Cap kini pulang, pulang ke tempat kami semua para yunior Da Cap akan menyusul
jua. Selamat pulang senior bermata elang.***
(Dimuat di Harian Metro Andalas edisi Jumat,
15 Januari 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar