OLEH Wahyu
Dhyatmika (Jurnalis)
Rasanya tidak berlebihan kalau saya
mengatakan hampir semua jurnalis di Indonesia beberapa hari terakhir ini pasti
mengikuti dengan penuh perhatian perdebatan di media sosial soal media cetak
versus media digital. Perdebatan ini dimulai ketika wartawan senior Harian
Kompas, Bre Redana menulis catatan berjudul "Inikah Senjakala
Kami..." di Kompas edisi 28 Desember 2015.
Artikel Bre langsung jadi viral di media
digital, disebarkan di semua whatsapp group jurnalisme dan jadi perbincangan
hangat. Selang sehari, muncul banyak artikel tanggapan, dan yang paling sering
dikutip adalah tulisan Bayu Galih, wartawan Kompas.com (sebelumnya bekerja di
Viva.co.id), yang berjudul "Kami tak pernah cengeng dan bilang ini senjakala
kami." Ulasan lebih lengkap soal polemik ini dirangkum dengan baik di
artikel ini.
Perdebatan soal masa depan jurnalisme dan
media ini jelas amat menarik dan penting. Terlebih momentumnya memang tepat.
Sepanjang 2015, sejumlah koran cetak memutuskan tutup dan beralih ke digital.
Dua yang paling besar adalah koran Sinar
Harapan dan Jakarta Globe. Media
tempat saya bekerja, Tempo, menutup Koran
Tempo edisi minggu dan kini edisi PDF koran ini lebih tebal dibandingkan
edisi cetaknya.
Dengan semua perkembangan itu, bentuk
digital media massa dan jurnalisme macam apa yang bakal dilahirkan di era
digital ini kian urgen untuk dibahas dan diperdebatkan.
Kalau mau jujur, kekhawatiran Bre Redana
sebenarnya dirasakan banyak orang di dunia jurnalisme Indonesia. Media online
yang kita kenal di Indonesia, yang disebut-sebut sebagai model media baru yang
akan menggantikan era cetak (baik koran dan majalah) memang menawarkan genre
jurnalisme yang amat berbeda dibandingkan yang kerap kita baca selama ini di
media tradisional (di Barat kerap disebut: legacy
media).
Media online mendewakan kecepatan menyampaikan
informasi. Jualan utamanya adalah breaking news, reporting the news as it
happens. Bersaing dengan televisi, media online berusaha terdepan dalam
menyajikan informasi terkini tentang apapun yang terjadi di sekeliling kita.
Selain breaking news, yang juga ditonjolkan sebagai nilai lebih produk media
online adalah berita-berita ringan tentang hal-hal renyah yang terjadi di
sekeliling kita: crispy news. Kategori berita ini menjual tokoh, selebriti,
peristiwa unik yang membelalakkan mata, menggelitik rasa ingin tahu kita.
Jika Gubernur Jakarta Ahok berkeliling ke
kampung-kampung kumuh dan menawarkan program relokasi ke rumah susun buat warga
miskin di sana, maka tak hanya substansi peristiwa itu yang bisa diberitakan,
tapi juga pernak-pernik lain yang terjadi dalam peristiwa itu. Sambutan warga
yang pro dan kontra, suasana pertemuan ketika Ahok blusukan ke kampung kumuh,
ucapan-ucapan Ahok yang kontroversial, semua bisa jadi berita.
Ketika Maia, Mulan dan Ahmad Dhani,
berseteru di youtube, difasilitasi program talkshow Deddy Corbuzier, ini
makanan empuk untuk media online. Because names make news, more so in online
media. Juga ketika konon ada ada pasangan gay menikah di Bali, semua media
online memberitakan, meski semua media itu tak pernah mewawancarai langsung
pasangan gay yang diberitakan. Media online hanya menulis berdasarkan sumber
tangan kedua dan ketiga, bukan sumber pertama yang terlibat langsung dalam
peristiwa yang diberitakan. Selama ada sumber yang bersedia dikutip, maka
sebuah informasi bisa dipublikasikan sebagai berita.
Dengan kondisi macam itu, tak heran kalau
banyak wartawan --tak hanya Bre Redana--
merasa galau. Kalau masa depan jurnalisme adalah apa yang disajikan di
media-media online saat ini, maka di manakah kedalaman, konteks dan cerita di
balik berita, bisa ditemukan? Kalau semua media cetak tutup, gulung tikar, dan
yang bertahan hanya media yang memberitakan peristiwa dengan secepat-cepatnya,
mengandalkan sumber seadanya tanpa proses verifikasi yang memadai, maka di mana
publik bisa memahami tren, kecenderungan, fenomena, pola, dan analisa? Di mana
mereka bisa mencari semua informasi yang hanya bisa diliput jika wartawan
mengendapkan semua peristiwa yang tengah berputar, berhenti sejenak, mengambil
jarak, dan mencoba memahami konteks besar dari dinamika yang terjadi dari jam
ke jam, menit ke menit, detik ke detik?
Sayangnya Bre berhenti pada kecemasan
itu. Dia tidak menawarkan jalan keluar atau cara pandang lain. Di situlah
kelemahan artikel Bre. Karena itu, saya mencoba menawarkan jawaban ini: mari
tidak mendasarkan analisa kita pada kondisi media online saat ini. Cobalah
melihat potensi yang ada di media digital dan bayangkan bagaimana jurnalisme
bisa jauh lebih dahsyat jika dikembangkan dengan memanfaatkan semua potensi era
digital.
Media digital menawarkan banyak sekali
kelebihan untuk jurnalisme, dibandingkan media cetak. Pertama, dengan media
digital, kita bisa melaporkan peristiwa dengan lebih komprehensif pada
pembaca/audiens. Sebuah berita di era digital tak hanya terdiri dari teks dan
foto, tapi juga tautan ke semua peristiwa sebelumnya yang mengawali momen
termutakhir yang kita beritakan. Dengan satu klik, pembaca bisa dibawa ke harta
karun informasi digital yang bisa menjelaskan sejarah, kronologi dan konteks
dari peristiwa yang tengah diberitakan.
Kedua, berita digital juga berpotensi
lebih otentik, karena bisa menampilkan realitas secara lebih utuh. Bisa ada
video di halaman yang sama dengan teks dan foto, sesuatu yang jelas menambah
kredibilitas dan akurasi dari informasi yang dimuat di sana. Ketika seorang
anggota DPR dituduh mencaci maki seseorang misalnya, media digital bisa
menampilkan video atau audio ketika sang politikus beraksi. Politikus itu tak
bisa berkilah kalau omongannya diplintir, atau wartawan memfitnah dirinya,
kalau rekaman audio atau video ketika dia mencacimaki lawan politiknya bisa
ditampilkan bersama berita. Lihat saja kasus #papamintasaham. Peristiwa itu
akan jauh berkurang daya ledaknya, jika tak ada rekaman audio yang beredar luas
di media sosial.
Kelebihan ketiga media digital yang belum
banyak digali adalah kemampuannya menampilkan big data atau data besar. Semua
angka-angka hasil survei kesehatan, survei demografi, sensus, angka-angka hasil
pemantauan bertahun-tahun, kini sudah banyak tersedia sebagai data digital
terbuka (open data) dan dengan mudah dapat diakses di internet. Ada portal
data.go.id yang menampilkan seabreg data pemerintah dari hampir semua
kementerian. Di Jakarta, sudah ada portal serupa. Jika dulu suratkabar atau majalah hanya bisa
memuat satu dua paragraf temuan berbagai survei itu dan melengkapinya dengan
wawancara dengan pakar untuk menafsirkan data, kini data mentah itu bisa
ditampilkan dengan utuh di laman media digital, dengan visualisasi yang menarik
dan mengundang rasa ingin tahu pembaca.
Jurnalisme data akan menjadi tulang
punggung utama jurnalisme di era digital, karena teknik ini memungkinkan publik
mengakses data mentah dengan utuh, tanpa perantara dari pakar, pemerintah atau
pengamat. Untuk itu, jurnalis harus belajar dan berusaha keras mencari semua
data-data yang relevan buat publik, membersihkannya dan menganalisanya, untuk
kemudian ditampilkan dengan visualisasi yang mudah dipahami audiens. Itu
penting agar data tak berhenti sebatas angka, namun bisa jadi pengetahuan yang
berguna. Lebih banyak soal jurnalisme data, bisa dibaca di sini.
Masih ada lagi kelebihan keempat media
digital yang tak ada di media cetak: kemampuannya untuk terhubung langsung
dengan pembaca. Relasi atau engagement antara media, jurnalis dan pembaca kini
memasuki era baru. Pembaca kini adalah bagian dari redaksi, bagian dari
newsroom di era digital. Mereka bisa memberikan tips, bocoran, saran, komentar,
secara real time, pada redaksi. Aturan baku di media sosial adalah: selalu ada
yang lebih tahu dari Anda di luar sana.
Pola diseminasi informasi di era digital
kini multi arah, tak lagi hanya searah dari ruang redaksi yang "maha
tahu" ke lautan pembaca yang perlu "diberi tahu". Media massa
kini adalah bagian dari percakapan publik, dimana produksi informasi tak lagi
dimonopoli jurnalis. Apa artinya? Ini kesempatan besar untuk jurnalisme menjadi
lebih relevan. Bukankah jurnalisme pada dasarnya adalah upaya untuk menyediakan
informasi yang penting dan berguna buat publik sehingga publik bisa mengatur
dirinya sendiri dengan lebih baik?
Jika khalayak ramai bisa langsung
berkomunikasi dengan media dan menyampaikan apa saja yang mereka anggap
penting, bukankah itu akan membuat redaksi dan jurnalis bisa bekerja lebih
baik? Jika dulu sama sekali tidak ada percakapan antara wartawan dan pembaca,
kini publik dan media bisa bersama-sama merumuskan agenda pemberitaan,
memfokuskan perhatian pada lembaga-lembaga yang memang perlu disorot karena
dampaknya yang besar untuk kehidupan orang banyak.
APAKAH dengan demikian masa depan
jurnalisme di era digital akan pasti lebih baik dibandingkan sekarang?
Sayangnya belum tentu juga. Pertanyaan terbesar dari perkembangan media digital
adalah soal model bisnisnya.
Model bisnis media cetak amat jelas:
redaksi membuat berita, bagian sirkulasi menjual koran sebanyak-banyaknya, dan
tiras besar itu pada akhirnya membuat perusahaan lain tertarik memasang iklan
di koran itu. Semakin besar oplah media cetak itu, semakin mahal harga
iklannya. Media cetak tradisional hidup dari dua sumber pendapatan itu:
penjualan produknya (entah itu eceran atau berlangganan) dan pendapatan dari
iklan. Kini perkembangan media digital menghancurkan model bisnis itu.
Perusahaan pemasang iklan kini sadar bahwa selama ini mereka membeli ruang promosi
di media cetak dengan harga yang luar biasa mahal, tanpa jaminan seratus persen
bahwa iklan itu akan mencapai orang-orang yang ingin mereka pengaruhi.
Siapa yang bisa menjamin bahwa iklan
mobil separuh halaman di sebuah koran akan dibaca oleh orang dengan penghasilan
yang cukup untuk membeli mobil merk itu. Siapa pula yang bisa menjamin bahwa
jika iklan itu dibaca orang yang memang punya uang untuk membelinya, orang itu
akan mencoba mencari informasi tambahan soal produk itu, dan mencoba menjajaki
apa produk itu benar-benar cocok untuk kebutuhan dan gaya hidupnya?
Dulu tidak ada yang bisa menjamin. Tapi
sekarang media digital bisa memberikan jaminan itu, dengan harga jauh lebih
murah. Perusahaan pemasang iklan bahkan tak perlu media/publishers untuk mencapai
konsumennya. Pengiklan bisa mencapai mereka lewat media sosial seperti Google
dan Facebook. Di sinilah, awal mula perseteruan antara publishers (media
online) versus platform media sosial. Publishers merasa punya konten yang
dicari orang, sementara perusahaan platform merasa merekalah yang menarik
audiens karena bisa menyediakan teknologi yang memungkinkan audiens mendapat
konten yang paling cocok.
Bagaimana caranya jaminan itu diberikan?
Dengan memantau perilaku audiens. Semua yang kita klik di media digital, berapa
lama kita membaca sebuah halaman, apa yang kita lakukan setiap kali browsing,
direkam dan dianalisa. Rekaman perilaku kita di internet inilah yang dijual ke
perusahaan pengiklan dan menjadi sumber pemasukan luar biasa untuk media digital
yang punya teknologi paling canggih untuk memonitor kita. Karena itulah,
perusahaan digital membayar mahal para software developers, para digital
engineers, yang bisa menciptakan teknologi paling mutakhir itu.
Selain iklan cetak yang diserobot, oplah
media cetak juga menurun drastis karena berita bisa diperoleh dengan mudah dan
gratis di internet. Untuk apa berlangganan koran, kalau semua peristiwa penting
di negeri ini sudah bisa dibaca di internet hanya 10-15 menit setelah kejadian?
Ini tentu bukan melulu "kesalahan" media online. Berita cepat itu tak
hanya diproduksi redaksi media online, tapi juga oleh publik sendiri yang
memproduksi informasi di media sosial. Pembunuhan Bin Laden, peristiwa 9/11,
bom Mariott di Jakarta, semua dipublikasikan pertama kali di media sosial oleh
warga kebanyakkan, bukan jurnalis.
Inilah yang disebut sebagai digital
disruption, gangguan atas model bisnis media yang mengancam eksistensi mereka.
Menghadapi krisis ini, semua perusahaan media tentu putar otak dan akhirnya muncul
beberapa solusi. Pertama, mencoba memindahkan model bisnis lama ke model bisnis
media digital. Mereka mencoba memindahkan pembaca cetak mereka, dari
berlangganan koran menjadi berlangganan produk digital. Ada yang berhasil,
banyak yang tidak. Yang berhasil, seperti New York Times, tidak melulu
menawarkan produk cetak yang dikemas seolah digital dengan format elektronik
seperti portable document format (PDF), tapi memaksimalkan semua fitur digital
di produk mereka (multimedia, engagement, big data etc). Ini bukan soal
sederhana sebab transisi dari media cetak ke media digital membutuhkan paradigm
shift yang amat mendasar di ruang redaksi.
Dalam sistem kerja digital, redaksi tidak
bisa lagi bekerja berdasarkan deadline percetakan, tapi harus bekerja berdasarkan
reasonable amount of time yang dibutuhkan untuk merampungkan sebuah artikel.
Redaksi tak bisa lagi bekerja berdasarkan pembagian kerja yang baku: wartawan,
fotografer, videografer, informasi dan dokumentasi, riset, dan lain-lain,
melainkan menjadi sebuah tim digital yang bahu membahu dengan kompetensi
masing-masing. Semua harus memahami semua, meski spesialisasi tetap dibutuhkan.
Media cetak yang berhasil memindahkan pembacanya ke produk digital pasti
menekankan pada keunggulan dan kekayaan konten digital mereka. Konten digital
itu harus layak untuk dibeli, worth the money. Kalau tidak, buat apa orang
mengeluarkan uang untuk berlangganan? Kalau sekadar berita dengan teks dan
foto, banyak media online menawarkan konten serupa dengan gratis.
Kedua, ada juga media yang mencoba
memindahkan pengiklan lama mereka ke produk digital. Sayangnya, harga iklan
untuk media online masih amat murah, jauh lebih murah dibandingkan beriklan di
media cetak. Umumnya, nilai iklan di media online bergantung pada jumlah pembaca
media itu, alias traffic. Skema yang paling sering dipakai oleh pengiklan
adalah dengan memanfaatkan ads networks, seperti Google Adsense. Cara
bekerjanya simpel: semakin banyak halaman yang dibuka oleh pembaca, semakin
banyak uang yang diterima oleh publishers. Dengan rumus semacam itu, dimulailah
perlombaan media online untuk membujuk orang membuka halaman demi halaman
mereka.
Walhasil, judul menggoda, menipu dan
memanipulasi (click bait), makin marak. Topik seperti seks dan kriminalitas
makin dieksploitasi. Berita yang hanya menulis peristiwa semata tanpa banyak
pendalaman, makin banyak. Semua untuk menjaring pembaca agar duit iklan makin
deras mengucur. Tapi cara ini juga tak mudah. Yang sukses seperti Dailymail dan
Buzzfeed memang punya tim khusus untuk memproduksi konten yang viral. Sebab
membuat konten yang populer bukan soal gampang. Buzzfeed misalnya, punya dua
tim berbeda: redaksi dan konten. Yang diminta untuk memproduksi konten yang
menarik traffic adalah tim kedua. Sementara tim pertama tidak dibebani dengan
tugas berat mendongkrak traffic, melainkan fokus memproduksi investigasi yang
mendalam.
Tentu iklan digital bukan hanya model
ini. Ada banyak model lain iklan digital, termasuk native ads alias iklan yang
dipasang di kolom berita dan formatnya nyaris sama dengan konten biasa.
Munculnya model iklan ini didorong oleh penggunaan ad blocks yang makin marak
akibat pembaca yang muak halaman situs favorit mereka dikotori oleh iklan.
Belakangan, ada kecenderungan setiap platform membuat biro iklan sendiri untuk
memproduksi iklan yang paling cocok untuk platform digital tertentu. Snapchat
misalnya, terbukti sukses menggandeng beberapa publishers dan biro iklan untuk
membuat iklan khusus di media itu.
Ketiga, ada media seperti Huffington Post, yang menekankan pada user generated content. Redaksinya tidak
perlu banyak orang karena sebagian besar berita mereka diproduksi oleh warga
dengan cuma-cuma. Huffington
mendapatkan traffic dan pendapatan
iklan, sementara kotributornya mendapat platform untuk mempublikasikan sudut
pandang dan opininya. Model serupa adalah media-media yang mengandalkan
algoritma untuk mengagregasi konten dan menjualnya pada pembaca. Intinya sama:
mereka menekan biaya dengan tidak melakukan produksi jurnalisme yang biayanya
besar, dan mencoba mengoptimalkan keuntungan dengan menjual konten milik
penulis/kontributor/publishers lain.
Alternatif keempat adalah mencari sumber
pemasukan lain yang tidak bergantung dari pasar, entah itu pasar pembaca atau
pasar iklan. Semakin banyak jurnalis dan pengelola media yang merasa bahwa
jurnalisme itu seharusnya memang bukan komoditas yang bisa diperjualbelikan.
Jurnalisme adalah kebutuhan publik dan alat penting untuk menjamin demokrasi
tetap sehat. Untuk itu, dia butuh subsidi. Media seperti ProPublica dan The Guardian
adalah media era digital yang jelas-jelas mendeklarasikan diri sebagai non
profit: lembaga yang tidak mencari keuntungan. Mereka disupport oleh lembaga
donor atau dana abadi (trust fund) yang cukup untuk menjamin keberlangsungan
kerja-kerja jurnalisme mereka.
Di luar empat alternatif utama model
bisnis itu, ada banyak model lain di luar sana. Ada media yang mencoba hidup
dari kegiatan off line semacam seminar dan konferensi. Para pembacanya diajak
menjadi peserta seminar bergengsi dengan membayar tiket, dan pengiklan diminta
menjadi sponsor. Apa yang dipertontonkan? Jurnalisme! Para wartawan
mewawancarai sumber mereka di atas panggung, ditonton oleh ratusan orang secara
live. Model bisnis ini juga lumayan
berhasil untuk media digital seperti Quartz
. Ada juga media yang mengandalkan koperasi para pembaca sebagai basis
pemasukannya. Jadi mereka meminta donasi tetap para pembaca untuk menjamin
keberlangsungan mereka. Ini berhasil di Die Tageszeitung yang didukung koperasi
beranggotakan 12 ribu pembacanya.
Sebagian besar media digital
mengkombinasikan semua model bisnis di atas.
Apapun pilihan model bisnis media, satu
hal yang jelas: model bisnis media itu akan mendikte jurnalisme macam apa yang
mereka hasilkan. Kalau media digital mencari uang hanya dengan mengandalkan
iklan ads network yang rumusnya:
"makin banyak pembaca maka makin banyak iklan yang masuk", maka
senjakala jurnalisme memang sudah tiba. Tapi jika banyak orang yang sadar bahwa
masa depan jurnalisme harus kita selamatkan bersama, apapun risikonya dan
berapa pun biayanya, maka belum saatnya untuk berkabung. Justru sekarang kita
harus songsong dan siapkan bersama era kebangkitan jurnalisme digital!
Catatan
penulis
Catatan koreksi: Pada 3 Januari 2016
pukul 22.03, saya memperbaiki artikel ini dengan meralat keterangan media
tempat Bayu Galih bekerja (dia kini bekerja untuk Kompas.com, bukan lagi
Viva.co.id). Saya juga menambah dua paragraf di lokasi berbeda untuk
menjelaskan lebih detail soal perkembangan iklan di media digital. Beberapa
hyperlink juga saya sertakan di beberapa bagian untuk menambah konteks dan
informasi yang relevan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar