OLEH Cecep Syamsul Hari
1. Sastra Digital
Sastra digital adalah karya sastra yang
ditulis dalam format standar (word/powerpoint) atau pdf/microsoft reader/adobe reader dan sejenisnya yang dipublikasikan melalui blog/website atau jejaring sosial di
internet.
Dari sudut pemublikasian ada dua jenis sastra digital, yaitu: (a)
karya sastra yang langsung dipublikasikan di internet; dan (b) karya sastra yang
pernah dipublikasikan sebelumnya dalam bentuk cetak kemudian didigitalisasikan
atau didigitalisasikan-ulang untuk kemudian dipublikasikan di internet.[1]
Peta sastra digital Indonesia pada mulanya
dibentuk dari gugusan kepulauan kreatif para penulis yang memiliki blog atau website pribadi yang di-hosting melalui server di dalam maupun di luar negeri sejak lebih
dari satu dasawarsa terakhir. Lima tahun terakhir, pemublikasian sastra digital
Indonesia mengalami eskalasi yang luar biasa melalui pemanfaatan secara
intensif situs-situs jejaring sosial, khususnya, Facebook, baik melalui notes maupun grup-grup yang dibentuk dengan
tendensi memublikasikan karya sastra secara cepat, informal, tanpa harus
mengalami proses penyeleksian dari siapa pun, dan dapat dinikmati kalangan
sosial yang memiliki minat yang sama tetapi sering berasal dari latar belakang sosial
yang berbeda, dengan semangat dunia maya yang mengusung asas egaliter dan
suasana akrab.
Penguatan sastra digital Indonesia itu pada
skala tertentu dapat dikatakan memiliki paralelisme dengan perkembangan sastra
digital di mancanegara. Namun, idealnya, blog atau website pribadi milik seorang
sastrawan atau penulis sastra umumnya lebih diperlakukan sebagai pintu masuk
bagi para apresiatornya untuk menjelajahi lebih jauh karya sastrawan yang
bersangkutan yang telah atau akan diterbitkan dalam bentuk cetak. Bukan
dimaksudkan sebagai pilihan pertama untuk publikasi dan/atau diseminasi.
Idealnya, sastra digital dan sastra cetak berada dalam kerangka hubungan
kemitraan yang saling menguatkan.
Perkembangan sastra digital Indonesia sangat
terdorong oleh semakin mudahnya akses internet yang diikuti dengan
bermunculannya berbagai provider jasa telekomunikasi yang menawarkan paket-paket internet murah dan
cepat, baik yang berbasis HSDL, HSPA, GSM maupun CDMA; terbitnya cakrawala
harapan baru bahwa diseminasi karya sastra dapat dilakukan langsung melalui
teknologi digital dan tidak lagi bergantung pada teknologi cetak; dan munculnya
kegairahan menulis yang meluas di hampir semua lapisan strata sosial masyarakat.
Di ruang-ruang jejaring sosial seperti
Facebook, sastra digital dapat ditempatkan dalam kerangka edukasi, proses
pembelajaran, dan perluasan apresiasi yang bersifat personal.
Sejumlah sastrawan dan para penulis sastra
Indonesia umumnya dengan senang hati mengunggah kembali karya-karya mereka
(puisi, cerpen, esai) yang sebelumnya pernah dimuat di media cetak, baik koran,
majalah, atau jurnal dan dengan kesabaran yang riang membalas komentar-komentar
dari para apresiator karyanya secara personal. Dalam konteks ini, sebuah ruang
besar digital bagi perluasan apresiasi menjadi sangat terbuka. Lebih khusus lagi,
pada sisi yang lain sejumlah penyair yang sedang dalam proses awal kepenyairan mereka
belajar banyak dari ruang jejaring sosial tersebut, dan sebagian di antara
mereka pada akhirnya berhasil memetik buah dari kesungguhan mereka dan dapat
menerbitkan puisi-puisi mereka dalam bentuk buku cetak dengan kualitas sastrawi
yang menjanjikan.
Sastra digital maupun sastra cetak, pada
hemat saya, mestilah diidentifikasi secara sastrawi atau berbasis nilai-nilai
sastrawi, diidentifikasi berdasarkan kualitas isinya, dan bukan mediumnya. Dari
sudut pandang ini, sastra digital dapat lebih baik atau lebih buruk kualitasnya
dari sastra cetak, demikian pula sebaliknya, terbuka kemungkinan sastra cetak kualitasnya
lebih buruk atau lebih baik dari sastra digital. Di luar itu, upaya
digitalisasi karya sastra cetak yang berkualitas dapat mendorong perluasan
apresiasi sastra, khususnya terhadap lapisan masyarakat yang melihat
persentuhannya dengan teknologi internet dewasa ini dapat disebut sebagai
“gadget-society”.
Perkembangan sastra digital sangat patut
dipertimbangkan sebagai ruang apresiasi dan diseminasi alternatif atas karya
sastra di era teknologi-informasi. Membaca karya sastra melalui Ipad, komputer
tablet, kindle, atau smart-phone, selain sedang tumbuh
sebagai gaya hidup, saat ini sedang tumbuh menjadi industri kreatif-digital
tersendiri. Sastra digital akan menjadi alternatif yang disukai banyak orang
dari, jika belum dapat dikatakan sebagai pilihan pertama, kalangan
“gadget-society” sebab medium atau format sastra digital berada dalam ritme
kehidupan gadgetis mereka sehari-hari.
2. Website
Sastra Digital (Online Literary Magazine)
Terdorong oleh situasi kegairahan bersastra,
khususnya secara digital, seperti diuraikan pada butir 1 makalah ini, dengan
bantuan dua orang sahabat yang masing-masing memiliki keahlian di bidang IT dan
memiliki pengalaman di dunia penerbitan (cetak), pada bulan April 2011, saya
mendirikan sebuah website yang
diberi nama Sastra Digital sekaligus bertindak sebagai redaktur tetapnya. Website Sastra Digital (selanjutnya
ditulis Sastra Digital) dihosting di
sebuah layanan hosting (server) di Amerika Serikat dengan alamat domain www.sastradigital.com.
Sastra Digital didirikan dengan tujuan utama menjadi wadah[2] publikasi
penulis sastra Indonesia yang menginginkan karya-karyanya dipublikasikan secara
digital di internet melalui sebuah website yang dapat dipercaya. Yang dimaksud "dapat dipercaya" di
sini adalah website yang
dimaksud memperhatikan kualitas karya yang diterbitkan secara estetik dan
secara estetik pula memiliki proses penyeleksian karya sastra untuk menentukan
apakah sebuah karya sastra dapat atau tidak dapat dipublikasikan secara digital
(online).
Sastra Digital mula-mula terbit mingguan kemudian berubah menjadi bulanan. Saat
ini Sastra Digital memiliki lima laman utama, yaitu: (a) Rumah yang merupakan laman depan Sastra Digital yang dapat
disejajarkan dengan sampul depan sebuah jurnal atau majalah atau penerbitan
berkala lainnya yang tampilan isinya (kecuali bagian header yang memuat logo dan nama serta keterangan website dan bagian footer yang memuat keterangan copyright dan keredaksian) dapat
berubah sesuai dengan muatan edisi yang bersangkutan; (b) Puisi yang memuat karya sastra puisi, baik puisi
yang aslinya ditulis dalam bahasa Indonesia maupun puisi berbahasa asing yang
telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia; (c) Cerpen yang memuat karya sastra prosa, khususnya
cerita pendek, baik cerpen yang aslinya ditulis dalam bahasa Indonesia maupun
cerpen berbahasa asing yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia; (d) Esai yang memuat karya sastra esai, baik esai yang
aslinya ditulis dalam bahasa Indonesia maupun esai berbahasa asing yang telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia; dan (e) Sastrawan Tamu yang memuat karya
sastra puisi maupu prosa dari para sastrawan luar negeri yang aslinya ditulis
dalam bahasa asing dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Selain lima laman utama di atas, Sastra Digital juga memiliki
laman: (a) Selasar, yang merupakan
blog redaksi yang selain memuat tulisan-tulisan sekaitan sastra juga memuat tulisan-tulisan
nirsastra; (b) Edisi Khusus, yang menampilkan sosok sastrawan maupun budayawan, baik dari
dalam maupun luar negeri, yang ditampilkan secara khusus sebagai pribadi
berpengaruh di bidangnya dilengkapi dengan penayangan karya-karya terpilihnya;
(c) Digital Poetry, yang menampilkan puisi-puisi dalam bahasa Inggris karya para
penyair dari luar negeri yang diminta secara resmi, dan bersedia, karya-karya
puisinya ditampilkan di laman Digital Poetry. Para penyair yang pernah tampil di laman ini adalah Hadaa Sendoo
(penyair Mongolia, guru besar di Ulaan Bataar University yang juga dikenal
sebagai pendiri
World Poetry Almanac), Kingá Fabó (penyair
dan linguis Hongaria), Khaled Mattawa (penyair kelahiran Libya yang saat ini
tinggal dan mengajar di sebuah universitas di Amerika Serikat), Martin Harrison
(penyair Australia yang juga guru besar di University Technology of
Sydney/UTS); (d) Jurnal Sastra, merupakan laman informasi terbaru tentang Jurnal Sastra (The Indonesian Literary Quarterly), sebuah jurnal sastra yang terbit dua kali setahun yang selain
menampilkan karya-karya sastrawan Indonesia dan asing juga memiliki rubrik
khusus Nusasastra yang memublikasikan karya-karya sastrawan yang menulis dalam
bahasa daerah; (e) Resensi, laman
yang memublikasikan tulisan-tulisan yang membedah, menganalisis atau mengapresiasi
buku baru; (f) Musikalisasi Puisi, laman yang memublikasikan puisi-puisi yang telah
dimusikalisasikan, baik oleh musikus tunggal maupun kelompok; (g) Forum Guru, laman yang memublikasikan
karya-karya kreatif guru-guru SMP dan SMA, khususnya guru-guru yang telah
mengikuti program Lokakarya "Menulis, Membaca, dan Apresiasi Sastra" (MMAS)
yang setiap tahun diselenggarakan Kementerian Pendidikan Nasional; (h) Forum Siswa, laman yang memublikasikan
karya-karya siswa SMP dan SMA.
Sastra Digital adalah website yang
terbuka dan dapat diakses secara gratis oleh siapa saja yang terkoneksi ke
internet. Namun demikian, Sastra Digital juga menyediakan laman Free Member untuk mereka yang tertarik ingin berinteraksi lebih jauh dengan Sastra Digital; dan laman Platinum Member yang disediakan
untuk para pencinta sastra dan kebudayaan dari berbagai kalangan sosial,
pendidikan, maupun profesi yang secara filantropis bersedia membantu Sastra Digital secara tidak
langsung dengan membeli membership yang cukup dibayar satu kali seumur hidup.
Hingga 10 Oktober 2013, pukul 13.47, Sastra Digital telah diakses
36.262 pengunjung (termasuk di dalamnya unique visitor, first-time visitor, dan return visitor) dengan total jumlah laman dilihat 136.982 kali. Jumlah
pengunjung bukan saja berasal dari wilayah Indonesia tetapi juga berasal dari
luar wilayah Indonesia.
3. Industri Kreatif
Sebelum lebih jauh memasuki pengertian
"industri kreatif", ada baiknya kita melihat terlebih dulu apa yang
dimaksud dengan kata “kreatif” dan kata “industri”. Menurut Oxford Advanced Learner’s of Current English[3], “kreatif” (creative, kata sifat) berarti having power to
create (memiliki kemampuan untuk menciptakan); requiring intelligence and imagination, not merely mechanical
skill (dan dalam proses menciptakan itu juga
mensyaratkan imajinasi dan kekuatan akal, bukan hannya keterampilan yang
bersifat mekanis). Sedangkan “industri” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) adalah n kegiatan memproses atau mengolah barang dengan menggunakan sarana
dan peralatan. Dengan demikian, “industri kreatif” dapat
didefinisikan sebagai kegiatan memproses dan mengolah hasil karya
cipta (yang disandarkan pada kekuatan akal dan imajinasi) dengan menggunakan
sarana dan peralatan.
Industri kreatif yang juga dikenal denga nama
lain sebagai “industri budaya” dan “ekonomi kreatif” dapat pula diartikan
sebagai kumpulan aktivitas ekonomi yang terkait dengan
penciptaan atau penggunaan pengetahuan dan informasi.[4]
Sementara itu, Kementerian Perdagangan
Republik Indonesia, mendefinisikan industri kreatif sebagai industri yang berasal dari pemanfaatan kreativitas, keterampilan
serta bakat individu untuk menciptakan kesejahteraan serta lapangan pekerjaan
dengan menghasilkan dan mengeksploitasi daya kreasi dan daya cipta individu
tersebut.[5]
Berdasarkan pemetaan industri kreatif yang
dilakukan Kementerian Perdagangan RI, terdapat 15 sub-sektor industri kreatif,
yaitu (a) Periklanan; (b) Arsitektur; (c) Pasar Barang Seni; (d) Kerajinan; (e) Desain; (f) Fesyen; (g) Video, Film, dan Fotografi; (h) Permainan Interaktif; (i) Musik; (j) Seni Pertunjukan; (k) Penerbitan dan Percetakan; (l) Layanan Komputer dan Piranti Lunak; (m) Televisi dan Radio; (n) Riset dan Pengembangan; dan (o) Kuliner.[6]
Bersesuaian dengan judul dan tujuannya,
makalah ini memfokuskan tinjauannya pada sub-sektor ke-11, yaitu penerbitan dan
percetakan yang didefinisikan Kementerian Perdagangan RI sebagai:
Kegiatan kreatif yang terkait dengan
penulisan konten dan penerbitan buku, jurnal, koran, majalah, tabloid, dan
konten digital serta kegiatan kantor berita dan pencari berita. Sub-sektor ini
juga mencakup penerbitan perangko, meterai, uang kertas, blanko cek, giro,
surat andil, obligasi surat saham, surat berharga lainnya, paspor, tiket
pesawat terbang, dan terbitan khusus lainnya. Juga mencakup penerbitan
foto-foto, grafir (engraving) dan kartu pos, formulir, poster, reproduksi, percetakan lukisan,
dan barang cetakan lainnya, termasuk rekaman mikro film.[7]
4. Sastra
Digital dan Industri Kreatif
Jika melihat bentuk, proses, maupun produk
yang dihasilkannya, Sastra Digital berada di wilayah industri kreatif sub-sektor ke-11, khususnya di
ranah kegiatan kreatif yang berhubungan dengan penulisan konten digital,
penerbitan buku (printed dan
digital) dan jurnal (printed).
Di ranah penulisan konten digital berbahasa
Indonesia, hingga Oktober 2013, Sastra Digital
telah memublikasikan karya kreatif dari para
penulis yang berasal dari Indonesia dan luar Indonesia dengan perincian sebagai
berikut:
a)
19 esai yang ditulis 15 orang penulis esai yang
berbeda yang berasal dari berbagai wilayah di Indonesia;
b)
11 cerpen yang ditulis 10 orang pengarang
cerpen yang berbeda yang berasal dari berbagai wilayah di Indonesia dan dari
luar negeri yang karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia;
c)
121 puisi yang ditulis 35 orang penyair yang
berbeda yang berasal dari berbagai wilayah di Indonesia;
d)
14 orang sastrawan tamu yang karya-karyanya
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia;
e)
9 buku yang diresensi;
f)
tulisan-tulisan kreatif dari 10 orang guru
SMP dan SMA yang berasal dari berbagai wilayah di Indonesia;
g)
tulisan kreatif dari 3 orang siswa yang
berasal dari Jawa Barat dan Jakarta.
Di ranah penerbitan jurnal, Sastra Digital telah
menerbitkan Jurnal Sastra No. 1 (September 2012-Maret 2013) dan Jurnal Sastra No. 2/2013. Di
ranah penerbitan buku cetak (printed book) yang pendistribusiannya hanya dilakukan melalui pembelian secara online di Amazon.com (USA, German, UK, Perancis, Italia,
Spanyol) dan anak perusahaannya serta channel yang terkait, antara Juli-Oktober 2013, Sastra Digital telah
menerbitkan sepuluh buku sastra (puisi, cerita pendek, novel) dalam bahasa
Indonesia, bahasa Inggris maupun bilingual (bahasa Indonesia dan Inggris) dengan
sistem POD (printing on demand) dalam suatu platform penerbitan yang bersifat independen (yang lebih memberikan
keleluasaan secara eknonomis maupun secara kreatif kepada penulis buku) yang
dikelola oleh sebuah anak perusahaan Amazon.
Pada bulan Oktober 2013, Sastra Digital meluncurkan
program “Care for Writers 2014” yang mengundang para penulis sastra Indonesia
untuk mengirimkan manuskrip buku prosa (cerita pendek, novel), puisi, dan
esai/kritik untuk diterbitkan Sastra Digital
pada tahun terbitan 2014 dalam bentuk buku
cetak (printed book). Manuskrip yang lolos persyaratan teknis maupun nirteknis program
ini dan dipandang layak diterbitkan, akan diterbitkan Sastra Digital antara bulan
Januari-Juni 2014 dan hanya didistribusikan melalui Amazon.com, anak perusahaan
Amazon, dan channel terkait.
5. Sastra
Digital dan Industri Kreatif Berbasis Independent Publishing Platform
Industri kreatif dalam pengertian sub-sektor
ke-11 menurut Kementerian Perdagangan RI, khususnya di ranah kegiatan kreatif
yang berhubungan dengan penulisan konten digital dan penerbitan buku (cetak),
di dunia teknologi-informasi berbasis internet dewasa ini telah sedemikian maju
dan terbuka yang mungkin tidak pernah terbayangkan sebelumnya dalam lima atau
sepuluh tahun ke belakang.
Mungkin tidak pernah kita bayangkan
sebelumnya bahwa penerbitan buku cetak di dunia teknologi-informasi berbasis
internet dewasa ini cukup dilakukan oleh dua komputer dekstop dan modem dan
bersifat lintas negara. Satu komputer desktop penulis buku atau penerbit (di
rumah, di kantor atau di mana saja jika ia menggunakan laptop) dan satu komputer
server di
negara lain yang menyediakan fasilitas pencetakan secara printing on demand sekaligus
menyediakan layanan pendistribusiannya secara online yang dapat menjangkau calon pembaca buku (konsumen) secara world-wide. Kedua komputer (yang jarak
dari satu komputer yang satu ke komputer lainnya bisa lebih dari 16.000
kilometer ini) terhubung oleh modem, terkoneksi oleh internet, dan berinteraksi
dalam hitungan menit untuk memeriksa naskah siap cetak yang telah melalui self-editing dan self-proof-editing, saling
mengoreksi naskah dan membuat sampul buku dalam hitungan jam, dan dapat memproduksi
satu buku cetak (paperback) dengan kualitas sangat baik yang siap dipasarkan dan
didistribusikan secara online antara tiga sampai tujuh hari, dan bisa sampai ke tangan calon
pembaca (konsumen) pada hari itu juga.
Pola penerbitan buku yang disebut sebagai independent publishing platform (yang dipilih sebagai pola penerbitan buku-buku cetak yang
diterbitkan Sastra Digital), berdasarkan pengalaman Sastra Digital
sendiri, dapat dikatakan sebagai “pembaruan
yang cepat”, jika tidak dapat dikatakan sebagai “revolusi”, yang sangat mungkin
akan menjadi kecenderungan masa depan dalam industri kreatif penerbitan buku
(cetak), dengan alasan-alasan sebagai berikut:
a)
Jangka waktu proses penerbitan buku yang
biasanya memakan waktu paling cepat sekitar tiga bulan dan terkadang lebih lama
dari itu (dari mulai tersedianya naskah buku yang telah mengalami proses editing dan proof-editing hingga buku
tersebut beredar di pasar) dalam pola proses penerbitan konvensional, dapat
diperpendek masa produksinya hingga antara satu minggu (paling cepat) dan satu
bulan (paling lambat);
b)
Independent publishing
platform yang menjadi basis penerbitan industri
kreatif Sastra Digital memungkinkan buku didistribusikan secara langsung kepada calon pembaca
(konsumen) di mana pun calon pembaca (konsumen) itu berada sejauh mereka
bersedia melakukan pembelian atau transaksi secara online;
c)
Buku selalu tersedia tanpa pernah mengalami out of stock karena naskah digitalnya senantiasa
tersedia di server percetakan
dan hanya dicetak kepada pembeli atau apabila ada yang membeli;
d)
Penerbit tidak akan pernah berhadapan lagi
dengan kosa kata “retur”;
e)
Penulis buku dapat memperoleh laporan
penjualan buku secara real time, dan
dapat mengakses laporan penjualan buku kapan saja diperlukan;
f)
Karena independent
publishing platform menghubungkan penulis buku dengan calon
pembaca (konsumen) secara langsung (online), tanpa perantaraan distributor atau toko buku konvensional, maka
penulis buku dapat memperoleh royalti dari setiap buku yang terjual lebih besar
dan bahkan dapat menentukan sendiri royalti yang diinginkan dari setiap buku
yang ditulisnya;
g)
Penyebaran buku bersifat lintas negara dan
dapat diakses dari mana saja.
Namun demikian, pola atau mekanisme sistem independent publishing platform ini bukannya tanpa kelemahan. Dalam kasus Sastra Digital, harga
buku-buku (cetak) terbitan Sastra Digital menjadi lebih mahal jika dibandingkan dengan harga buku-buku
sastra umumnya yang dipasarkan melalui toko-toko buku konvensional, khususnya
bagi calon pembaca (konsumen) buku yang berasal dari Indonesia sendiri atau
yang bukan berasal dari Amerika Serikat, Eropa dan Jepang (yang telah memiliki
perwakilan Amazon). Hal ini terutama disebabkan karena buku-buku tersebut
dicetak di, dan didistribusikan dari, Amerika Serikat atau UK, yang memerlukan
ongkos kirim yang besarnya lumayan signifikan terutama apabila buku-buku
tersebut ingin sampai di tangan calon pembaca (konsumen) di Indonesia dalam 4
sampai 7 hari melalui pengiriman priority
shipping. Harga-harga buku terbitan Sastra Digital menjadi lebih
kurang sama harganya dengan buku-buku impor.
6. Penutup
Dari keseluruhan uraian dalam makalah ini,
dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
(a) Di tengah perkembangan dunia
teknologi-informasi yang sangat pesat yang salah satu indikatornya dapat
dilihat dari derasnya produk-produk telekomunikasi berbasis internet yang
membuat masyarakat selalu terhubung secara gadgetis dengan realitas digital,
sebuah pasar baru berbasis transaksi online juga pada saat yang bersamaan terbuka lebar, lengkap dengan segala
kemungkinannya yang dapat diambil manfaatnya untuk perkembangan industri
kreatif berbasis transaksi online;
(b) Sekaitan butir (a) di atas paragraf ini,
industri kreatif berbasis transaksi online dapat dijadikan alternatif yang dapat dipertimbangkan karya sastra
berbasis digital, baik dari segi bentuk maupun proses pembuatannya (dengan
sistem independent publishing platform), bagi penyebaran (diseminasi) karya sastra berbasis digital tersebut;
(c) Industri kreatif berbasis transaksi online yang tidak mengenal batas negara (borderless) dan bersifat lintas negara
jika dimanfaatkan sebaik-baiknya dapat membantu, mendorong, dan memperluas
penyebaran sastra Indonesia berbasis digital, baik dari segi bentuk maupun
terutama dari segi proses pembuatannya, secara lebih luas dan dapat diakses
dari berbagai tempat di dunia (worlwide);
(d) Mekanisme sistem independent publishing platform (yang menjadi pola penerbitan yang dipilih Sastra Digital) dapat
dipertimbangkan para penulis sastra Indonesia sebagai salah satu alternatif
penyebaran karya kreatifnya di bidang kesusastraan karena kelebihan-kelebihan
yang dimiliki mekanisme independent publishing platform
tersebut, dari sudut kepentingan para
penulis, lebih menjanjikan benefit bukan saja secara ekonomis melainkan juga
secara eksistensial, karena para penulis menjadi memiliki kendali penuh atas
setiap buku yang ditulis dan diterbitkannya, baik dalam bentuk buku cetak
maupun digital;
(e) Proses alihbahasa buku-buku sastra
Indonesia ke dalam bahasa asing, khususnya bahasa Inggris, menjadi mutlak
diperlukan dan perlu dipertimbangkan sebagai “pekerjaan rumah” lembaga-lembaga
penerjemahan maupun para penerjemah sebagai pribadi dan juga para penulis
sastra Indonesia sendiri karena, berdasarkan pengalaman Sastra Digital, buku-buku
sastra Indonesia yang telah dialihbahasakan ke dalam bahasa asing, khususnya
bahasa Inggris, akseptabilitas pasarnya jauh lebih besar di dalam mekanisme independent publishing platform karena daya jangkau pasarnya terutama diarahkan ke para calon pembaca
(konsumen) yang memahami bahasa Inggris.
Cimahi, 10 Oktober 2013
Cecep Syamsul Hari adalah
penyair; pendiri dan redaktur Sastra
Digital (Online Literary
Magazine); redaktur majalah sastra Horison; pemimpin umum dan pemimpin redaksi Jurnal Sastra (The Indonesian Literary Quarterly); managing editor Indonesian Literature in
Translation (I-Lit, dipublikasikan oleh Lontar
Foundation).
Sejak 1999 menjadi salah seorang instruktur
materi menulis dalam Lokakarya “Membaca, Menulis, dan Apresiasi Sastra” (MMAS)
untuk guru-guru bahasa dan sastra Indonesia yang diselenggarakan Kementerian
Pendidikan Nasional. Pernah tinggal sebagai sastrawan tamu di Korea Selatan,
Malaysia, Hongaria, dan Australia. Saat ini sedang menempuh studi
pascasarjananya dalam Ilmu Hukum di Universitas Islam Bandung.
Official websites:
https://www.amazon.com/author/cecep
http://www.sastradigital.com
Tulisan
ini disampaikan dalam Kongres Bahasa Indonesia X di Hotel Grand Sahid Jaya,
28—31 Oktober 2013 yang digelar Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta 2013
[1] Pengertian ”sastra digital” dan bahasan yang diturunkan dari
pengertian itu dalam makalah ini diekstrasi dan sebagian diolah kembali dari
buku cetak (printed book) edisi paperback yang ditulis Cecep Syamsul Hari, Catatan
Kesepian Seorang Penyair di Kota Seoul dan 45 Esai Lainnya, diterbitkan Sastra Digital, cetakan pertama, Juli 2013, hlm. 330-333. Buku tersebut dicetak di
Amerika Serikat dan didistribusikan Amazon.com.
[2] “Wadah” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah n (1) tempat
untuk menaruh, menyimpan sesuatu; (2) ki tempat berhimpun; perhimpunan.
[3] Oxford Advanced Learner’s of Current English. Lihat juga: Cecep Syamsul Hari, op.cit., hlm. 124-125.
terima kasih banyak, sangat membantuuuuuu.
BalasHapusTerima kasih infonya ... Semoga sastra berbasis digital semakin berkembang
BalasHapus