OLEH
Dra. Sri Ningsih, M.S. (Fakultas
Sastra Universitas Jember)
Abstraks
Mendongeng salah satu pendidikan karakter bangsa |
Popularitas dongeng sudah sejak lama
menurun, baik dalam ranah keluarga maupun ranah publik. Di sisi lain karakter
bangsa juga menurun dalam skala horisontal maupun vertikal, seperti muncul
dalam perilaku tawuran massal, perilaku para elit bangsa, sampai dengan ancaman
disintegrasi bangsa. Dongeng sebagai salah satu jenis karya sastra pada zaman
dahulu merupakan sarana pendidikan yang efektif. Dongeng dalam kemasan yang
berbeda sangat disukai oleh anak-anak, remaja, maupun orang dewasa. Makalah ini
mencoba untuk menawarkan satu strategi revitalisasi dan sosialisasi dongeng
dalam konteks pendidikan karakter bangsa dan pemerkokoh NKRI.
Konsep dasar yang
ditawarkan berupa pembangunan/pembentukan rumah dongeng tempat mendidik dan
membina para pendongeng muda untuk ditugasi mendongeng di lembaga Pendidikan
Anak Usia Dini (PAUD). PAUD dipilih dengan beberapa pertimbangan: (1) anak-anak
lebih mudah menyukai dongeng, (2) lembaga pendidikan PAUD sangat kekurangan tenaga
pendidik dan tenaga pendongeng, (3) tahun 2013 pemerintah sudah memulai program
penyiapan generasi emas dimulai dari pendidikan anak usia dini, (4) siswa PAUD
berada dalam masa golden ages, sehingga nilai-nilai karakter bangsa
dapat tertanam kuat dalam jiwa anak hingga dewasa kelak.
Kata kunci: dongeng, karakter bangsa,
NKRI, generasi emas, golden ages.
Pengantar
Makalah ini merupakan hasil kompilasi
dari tiga hal sebagai berikut. Pertama yaitu hasil penelitian berjudul
”Struktur dan Ajaran Moral dalam Dongeng Anak di Jawa Timur” (Ningsih dkk.,
2003), atas biaya dari Bagian Proyek Pembinaan Bahasa dan Sastra Indonesia dan
Daerah Jawa Timur Tahun 2003. Kedua hasil pengalaman dan pencermatan
selama 10 tahun (yang paling tidak setiap tahun dua sampai dengan tiga kali
menjadi juri lomba bercerita bagi anak-anak prasekolah [taman kanak-kanak dan
pendidikan anak usia dini] serta juri lomba untuk guru-guru prasekolah di
wilayah Kabupaten Jember untuk tingkat kecamatan, tingkat kabupaten, dan yang
diselenggarakan oleh RRI Pratama Jember. Ketiga, hasil pengalaman dalam
pembinaan guru-guru prasekolah di Kabupaten Jember yang akan mengikuti lomba
dongeng di tingkat Provinsi Jawa Timur dan mahasiswa yang mempunyai anak binaan
mendongeng.
Dongeng merupakan salah satu folklor
lisan Indonesia dari jenis ”cerita prosa rakyat” (Danandjaja, 1991:83). Dongeng
adalah cerita pendek kolektif kesusastraan lisan, yang dianggap benar-benar
terjadi, dan berfungsi untuk hiburan, walaupun banyak yang melukiskan
kebenaran, berisikan pelajaran (moral), atau bahkan sindiran (Danandjaja,
1991:83). Dongeng pada umumnya diceritakan oleh kakek-nenek kepada cucunya
menjelang tidur, istilah lain menyebutkan sebagai nina bobok. Kakek nenek
mendongeng tersebut dengan maksud menghibur anak-cucu agar mau beristirahat di
tempat tidur sebelum saatnya tidur sehingga jika tidur nyenyak, tidak banyak
gerak karena kepayahan. Selain itu, agar cucunya sebelum tidur mempunyai
perasaan gembira sehingga ketika bangun tidur segar bugar dan hatinya senang
sehingga mudah dirahkan untuk segera mengerjakan yang lain, misalnya mandi.
Selain dampak positif itu, ada hal lebih menguntungkan karena di dalam dongeng
terdapat unsur didaktis sehingga juga bermanfaat untuk mendidik cucu atau
generasi penerusnya. Dengan demikian maka tanpa disadari cucu atau generasi
penerusnya mendapat pendidikan moral ”baik” tentunya, sebagaimana yang tersirat
di dalam dongeng yang didengarkannya.
Menurut Konsep dasar Pendidikan Anak
Usia Dini (PAUD), yang dilakukan oleh kakek nenek terhadap cucunya tersebut
ternyata merupakan salah satu jenis PAUD, yaitu PAUD jalur informal. Selain
PAUD jalur informal, di Indonesia terdapat PAUD jenis jalur formal dan
nonformal. PAUD jalur formal terdiri atas Taman Kanak-Kanak, Raudhatul Athfal,
atau bentuk lain yang sederajat. PUAD jalur nonformal terdiri atas Kelompok
Bermain, tempat penitipan anak dan atau bentuk lain yang sederajat. Sedangkan,
PAUD jalur informal adalah pendidikan keluarga atau pendidikan yang
diselenggarakan oleh lingkungan, sebagaimana yang dilakukan oleh kakek dan
nenek mendongeng untuk cucunya.
Dongeng sebagai Pendidikan Karakter
Bangsa
Pada bagian ini akan dikemukakan tiga
hal, yaitu: (a) dongeng, (b) keberadaan dongeng, (c) Pendidikan Anak Usia Dini
(PAUD), dan (4) strategi revitalisasi dan sosialisasi dongeng.
Dongeng
Kenyataan menunjukkan bahwa di seluruh
penjuru dunia ditemukan dongeng yang berfungsi untuk hiburan dan pendidikan
untuk semua kalangan umur dan semua jenis kelamin. Menurut Dananjaya (1991:83)
dongeng merupakan salah satu folklor lisan Indonesia dari jenis ”cerita rakyat
prosa”. Selanjutnya dijelaskannya bahwa dongeng adalah cerita pendek kolektif
kesusasteraan lisan, yang dianggap benar-benar terjadi, dan berfungsi untuk
hiburan, walaupun banyak yang melukiskan kebenaran, berisikan pelajaran
(moral), atau bahkan sindiran. Oleh karena dongeng termasuk salah satu jenis
folklor maka pada umumnya mempunyai ciri-ciri:
1.
penyebaran dan pewarisannya biasanya
dilakukan secara lisan,
2.
bersifat tradisional, disebarkan dalam
bentuk relatif tetap atau standar,
3.
ada dalam versi-versi bahkan
varian-varian,
4.
bersifat anonim,
5. mempunyai
bentuk berumus atau berpola,
6. mempunyai
kegunaan dalam kehidupan suatu kolektif,
7.
bersifat pralogis,
8.
menjadi milik bersama dari kolektif
tertentu,
9.
bersifat polos dan lugu sehingga sering
kelihatan kasar, terlalu spontan. (Danandjaja, 1991:4).
Sebagai contoh gambaran tentang
keberadaan dongeng di suatu provinsi, berikut dikemukakan hasil penelitian
Ningsih dkk. (2003) tentang dongeng anak di Provinsi Jawa Timur dengan judul
”Struktur dan Ajaran Moral dalam Dongeng Anak di Jawa Timur” atas biaya Bagian
Proyek Pembinaan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Jawa Timur Tahun 2003.
Berdasarkan pengamatan Ningsih dkk.
(2003), dongeng anak di Jawa Timur diungkapkan dalam berbagai bahasa yang ada
di Jawa Timur, yaitu bahasa Jawa, bahasa Madura, dan bahasa Using. Dongeng
dalam bahasa Jawa banyak dijumpai di wilayah Jawa Timur bagian barat, bagian
tengah, dan bagian timur. Dongeng dalam bahasa Madura banyak dijumpai di daerah
Madura dan di Jawa Timur yang penduduknya berasal dari daerah Madura dan sudah
bertempat tinggal lama, minimal satu generasi, di daerah tersebut. Sedangkan,
dongeng dalam bahasa Using hanya ditemui di daerah Using, Banyuwangi. Dongeng
dari tiga wilayah tersebut sudah banyak yang dibukukan dalam kumpulan ”cerita
rakyat” dengan menggunakan bahasa Indonesia, misalny ”Dongeng Mas Ayu Melok”
ditulis oleh Suripan Sadi Utomo (1996), dimuat dalam kumpulan Cerita Rakyat
dari Banyuwangi; ”Putri Nglirip” yang disunting oleh Y.B. Suparlan (1997),
dimuat dalam kumpulan Cerita Rakyat Indonesia: Walan Sendow (1997:40–52),
yang kemudian judul cerita itu dipakai untuk nama air terjun, yaitu ”Air Terjun
Putri Nglirip”; ”Dongeng Joko Dolog” ditulis oleh Suripan Sadi Utomo dan Setyo
Yowono Sudikan, dimuat dalam Cerita Rakyat dari Surabaya (1999:27–33);
”Dongeng Keyong Emas” ditulis oleh Dwianto Setyawan, dimuat dalam Cerita
Rakyat dari Jawa Timur (1999:26–31); ”Kera yang Rakus” ditulis oleh Yulfa
Usman, dimuat dalam kumpulan Cerita Rakyat dari Bawean (1999:40–45); dan
”Asal Usul Desa Nglumpang” ditulis oleh Edy Santoso, dimuat dalam Cerita
Rakyat dari Ponorogo (2003:50–53).
Selain itu ada dongeng atau cerita
dalam bahasa Madura ditulis oleh D. Zawawi Imron (1979) berjudul Campaka,
yang merupakan cerita rakyat dari Sumenep; dan ada dongeng dalam bahasa Using
yang ditulis dalam Laporan Penelitian Inventarisasi ”Cerita Rakyat Using” oleh
tim yang diketuai oleh Ningsih, Sri (2000), dikelola oleh Pembina Bahasa dan
Sastra Indonesia dan Daerah Jawa Timur. Di dalam laporan tersebut terdapat
dongeng ”Sang Precil ambi Buto”, ”Anang ambi Putune”, dan ”Manten Anyar Mangan
Duren”.
Dengan adanya berbagai macam dongeng
dalam berbagai bahasa daerah dan sebagian besar sudah diindonesiakan serta
telah ditulis, baik yang sudah dicetak maupun belum dicetak, tersebut
menunjukkan bahwa dongeng sangat digemari oleh masyarakat penciptanya dan para
pewarisnya, terutama pewaris aktifnya. Berdasarnya kenyataan tersebut dapat
diduga bahwa pewaris aktif dongeng masih ada dalam jumlah banyak.
Penelitian Ningsih dkk. (2003)
mengungkap ciri-ciri dongeng anak di Jawa Timur dan ajaran moral yang ada di
dalamnya yang termuat dalam berbagai buku cerita rakyat di Jawa Timur, sebagai
populasinya, sejumlah 29 cerita dongeng anak di Jawa Timur. Sedangkan sampel
sejumlah 6 dongeng anak dongeng anak di Jawa Timur yang telah ditulis dan
diterbitkan oleh penerbit Gramedia Widiarsana Indonesia (Grasindo) Jakarta
serta Penerbit Kanisius Yogyakarta. Sampel tersebut diambil dari 12 judul buku
cerita anak di Jawa Timur dengan pilihan 1 dongeng anak ditokohi oleh manusia,
1 dongeng anak ditokohi binatang, dan 1 dongeng anak yang tergolong cerita asal
usul untuk dipaparkan di sini. Hal itu dilakukan karena sudah mewakili dan
tidak mungkin lebih yang dipaparkan karena adanya keterbatasan. Selanjutnya,
dalam makalah ini dikemukakan data dan hasil analisis ajaran moral dongeng anak
di Jawa Timur.
a) Berikut data (sebagai populasi) dua
belas judul buku cerita rakyat yang sudah terbit dalam bahasa Indonesia dan
nama judul dongeng anak yang ada di dalamnya, ditandai dengan angka di dalam
kurung, yang dipaparkan atau disajikan berdasarkan tahun terbitnya buku cerita
rakyat yang terakhir.
1) Judul
buku Cerita Rakyat dari Banyuwangi, penulis Suripan Hadi Hutomo dan E.
Yonohudiyono, cetakan pertama, terbit tahun 1996, oleh penerbit PT Gramedia
Widiarsana Indonesia Jakarta, tebal 60 halaman, berisi 10 cerita rakyat dari
Banyuwangi, Jawa Timur, yang tergolong dongeng anak ada dua, yaitu cerita
kelima dan keenam, berjudul (1) ”Dongeng Joko Wulur” dan (2) ”Dongeng Mas Ayu
Melok”.
2) Judul
buku Cerita Rakyat dari Jawa Timur 2, penulis Dwianto Setyawan, cetakan
pertama, terbit tahun 1996, oleh penerbit PT Gramedia Widiarsana Indonesia
Jakarta, tebal 46 halaman, berisi tujuh cerita rakyat Jawa Timur, yang
tergolong dongeng anak satu, yaitu cerita ketiga, berjudul (3) ”Putri Sewidak
Loro”.
3) Judul
buku Cerita Rakyat dari Surabaya, penulis Suripan Hadi Hutomo dan Setya
Yuwono Sudikan, cetakan pertama, terbit Mei 1996 dan cetakan kedua terbit April
1999, oleh penerbit PT Gramedia Widiarsana Indonesia Jakarta, tebal 50 halaman,
berisi sepuluh cerita dari Surabaya Jawa Timur, yang tergolong dongeng anak ada
dua, yaitu cerita kesatu dan keenam berjudul (4) ”Asal Usul Nama Surabaya” dan
(5) ”Dongeng Joko Dolog”.
4)
Judul buku Cerita Rakyat dari Bawean,
penulis Zulfa Usman, cetakan pertama terbit April 1996 dan cetakan ketiga
terbit April 1999 oleh penerbit PT Gramedia Widiarsana Indonesia Jakarta, tebal
53 halaman, berisi tujuh cerita rakyat dari Bawean Jawa Timur, yang tergolong
dongeng anak ada empat yaitu pada cerita keempat, kelima, keenam, dan ketujuh; berjudul
(6) ”Maulana Umar Mas‟ud”,
(7) ”Laknatuhari”, (8) ”Kera yang Rakus”,
dan (9) ”Matkamali”.
5)
Judul buku Cerita Rakyat dari Jawa
Timur, penulis Dwianto Setyawan, cetakan pertama Juni 1992 dan cetakan
kesebelas April 1999 oleh penerbit PT Gramedia Widiarsana Indonesia Jakarta,
tebal 57 halaman, berisi sepuluh cerita rakyat dari Jawa Timur, yang tergolong
dongeng anak berjumlah tiga, yaitu pada cerita kesatu, kelima, dan ketujuh, berjudul:
(10) ”Cindelaras”, (11) ”Keong Emas”, dan (12) ”Aryo Menak dan Tunjung Wulan”.
6) Judul
buku Cerita Rakyat dari Madura, penulis D. Zawawi Imron, cetakan pertama
Oktober 1993 dan cetakan kedelapan Mei 2000 oleh penerbit Gramedia Widiarsana
Indonesia Jakarta, tebal 49 halaman, berisi sembilan cerita rakyat Madura, yang
tergolong dongeng anak ada tujuh, yaitu cerita kedua, ketiga, kelima, keenam,
ketujuh, kedelapan, dan kesembilan berjudul: (13) ”Seorang Penyadap Nira”, (14)
”Para Pedagang Kucing”, (15) ”Persahabatan Empat Ekor Binatang”, (16) ”Pak
Jalmo”, (17) ”Dua Ekor Kambing yang Congkak”, (18) ”Pak Molla”, dan (19)
”Mencari Calon Putra Mahkota”.
7) Judul
buku Cerita Rakyat Indonesia: Walan Sendow, penunting Y.B.
Suparlan, cetakan ke-1 terbit tahun 1997 dan cetakan ke-7 terbit tahun 2003,
oleh penerbit Kanisius Yogyakarta, tebal 73 halaman, berisi empat cerita, yang
tergolong dongeng anak Jawa Timur ada satu, yaitu cerita ketiga, berjudul (20)
”Putri Nglirip”.
8) Judul
buku Cerita Rakyat Indonesia: Putri Dara Nante, penyunting Y.B.
Suparlan, cetakan ke-1 tahun 1997 dan cetakan ke-6 tahun 2003 oleh penerbit
Kanisius di Yogyakarta, tebal 69 halaman, berisi empat cerita, yang tergolong
dongeng anak Jawa Timur ada satu, yaitu cerita ketiga, judul cerita (21) ”Asal
Mula Nama Gunung Bromo”.
9) Judul
buku Cerita Rakyat Indonesia: Dewi Rinjani, penyunting Y.B.
Suparlan, cetakan ke-1 tahun 1997 dan cetakan ke-6 tahun 2003 oleh penerbit
Kanisius Yogyakarta, tebal 76 halaman, berisi empat cerita, yang tergolong
dongeng anak Jawa Timur terdapat pada cerita ketiga berjudul (22) ”Si Joko
Dolog”.
10) Judul
buku Cerita Rakyat Indonesia: Putri Rumpun Bambu, penyunting Y.B.
Suparlan, cetakan ke-1 tahun 1996 dan cetakan ke-6 tahun 2003 oleh penerbit
Kanisius Yogyakarta, tebal 67 halaman, berisi empat cerita, yang tergolong
dongeng anak Jawa Timur pada cerita keempat berjudul (23) ”Sedaeng”.
11) Judul
buku Cerita Rakyat dari Ponorogo, penulis Edy Santoso, cetakan pertama
tahun 2003, oleh penerbit PT Gramedia Widiarsana Indonesia Jakarta, tebal 53
halaman, berisi 10 cerita rakyat Ponorogo Jawa Timur, yang tergolong dongeng
anak ada empat, yaitu cerita keempat, kelima, keenam, dan ketujuh, berjudul
(24) ”Terjadinya Mata Air Kucur Bathara dan Sumber Dukun”, (25) ”Raden Subroto
dan Suminten”, (26) ”Warok Suromenggolo”, dan (27) ”Asal Usul Nama Dukuh
Ranggadadung”.
12) Judul
buku Cerita Rakyat dari Jawa Timur 3, penulis Edy Santoso, cetakan
pertama tahun 2003 oleh penerbit PT Gramedia Widiarsana Indonesia Jakarta,
tebal 42 halaman, berisi 9 cerita rakyat Jawa Timur, yang tergolong dongeng
anak ada dua yaitu cerita ketujuh dan kedelapan, berjudul (28) ”Jaka Turut” dan
(29) ”Pencuri Berwatak Kesatria”.
Berdasarkan data tersebut ada 29
dongeng anak Jawa Timur yang dapat dijangkau oleh peneliti, dengan rincian 25
dongeng anak ditokohi manusia dan 4 dongeng anak ditokohi binatang. Dengan kata
lain, bahwa dongeng anak di Jawa Timur 86,20% ditokohi oleh manusia dan 13,80%
ditokohi oleh binatang. Dengan demikian maka diketahui bahwa hingga saat ini
dongeng anak yang ditokohi oleh manusia lebih disuka oleh masyarakat
penikmatnya daripada dongeng anak yang ditokohi binatang, mungkin karena lebih
realistis.
b) Ajaran Moral dalam Dongeng Anak di
Jawa Timur
Semua dongeng anak di Jawa Timur yang
menjadi bahan penelitian tersebut di dalamnya terdapat ajaran moral yang
bermanfaat bagi penikmatnya. Sebagian besar dongeng anak di Jawa Timur terddiri
atas 4–6 halaman. Namun demikian, struktur cerita terpenuhi dan di dalamnya terdapat
ajaran moral. Populasi penelitian tersebut ada 29 judul dongeng anak di Jawa
Timur. Berikut ini disajikan 3 contoh analisis dongeng yang ditokohi oleh
manusia, binatang, serta manusia dan binatang yang tergolong cerita asal usul.
Untuk mempermudah pemaparan data, nama judul yang merujuk data ditulis dengan
inisial sesuai dengan huruf-huruf awal kata nama judul cerita, yaitu ”Dongeng
Joko Wulur” inisialnya DJW, ”Persahabatan Empat Ekor Binatang”
inisialnya PEEB, dan ”Asal Usul Nama Dukuh Ranggadadung” inisialnya AUNDR.
Analisis ketiga dongeng tersebut sebagai berikut.
1) Dongeng Joko Wulur (DJW)
Cerita “Dongeng Joko Wulur” ditulis
dalam buku kumpulan cerita berjudul Cerita Rakyat dari Banyuwangi pada
halaman 25–30. Pada awal cerita penulis mengenalkan tokoh Joko Wulur sebagai
berikut.
Pada zaman dahulu, daerah Banyuwangi
diperintah oleh seorang raja ajaib. Dikatakan ajaib sebab badannya dapat
memanjang dan memendek. Menurut orang Jawa, keadaan semacam ini dikatakan mulur
mungkret (memanjang dan memendek). Oleh karena itu, tidak aneh jika sang
Baginda bergelar Djoko Wulur. (DJW:25)
Keadaan tubuh Djoko Wulur yang dapat mulur
mungkret itu menjadikan dirinya sebagai orang yang malas. Untuk mengambil
keperluannya yang jaraknya jauh darinya, Djoko Wulur tinggal memanjangkan
tubuhnya tanpa bergerak. Kondisi itu diperparah dengan sifatnya yang jahat,
bengis, dan tidak berperikemanusiaan sehingga ia tidak disukai oleh rakyatnya.
Jika makan dan minum, Djoko Wulur mampu
menghabiskan seribu ketupat dan sepuluh tempayan air. Keperluan makan dan
minumnya tidak diusahakan sendiri, tetapi minta kepada rakyatnya. Pada suatu
saat rakyatnya tidak dapat menyediakan makanan maka untuk memenuhi makan dan
minum Djoko Wulur, ia (Djoko Wulur) oleh rakyatnya disuruh merebut seribu
ketupat dalam keranjang yang dibawa oleh Dewi Rengganis, putri kayangan, yang
sedang melanglang buwana mengendarai burung garuda. Hal itu dilaksanakan oleh
Djoko Wulur dengan cara memanjangkan tubuhnya, berikut akibatnya.
Pada saat tubuh Djoko Wulur setinggi
pohon kelapa, Dewi Rengganis dapat ditangkapnya dan keranjangnya dapat direbut.
... Anehnya, atas 10
kuasa
dan kehendak Tuhan, badan Djoko Wulur tidak dapat kembali seperti semula.
Tubuhnya tetap panjang, sepanjang pohon kelapa yang paling tinggi. Beliau
merengek-rengek dan menangis memohon kepada Dewi Rengganis agar badannya dapat
kembali seperti sediakala. Sayang dewi tidak dapat memenuhi permintaannya. (DJW:29)
Sifat serakah Djoko Wulur mengakibatkan
dirinya memaksakan untuk menjangkau ketupat yang dibawa Dewi Rengganis. Atas
kuasa Tuhan badannya tidak dapat kembali normal. Selanjutnya Djoko Wulur diusir
oleh Raden Banterang dan disuruh berjalan melata serta diberitahu apabila telah
menemukan tanah berwarna merah ia boleh bertempat tinggal di situ. Selain itu,
ia tidak diakui sebagai raja oleh rakyatnya.
Sampai pada suatu ketika dia menemukan
tanah yang warnanya merah. Di situlah dia berhenti dan hidup sebagai rakyat
biasa sampai ajalnya. (DJW:29)
Ia menangis menyesali semua perbuatan
jahatnya. Ia kemudian diusir oleh rakyatnya dan hidup menyendiri di suatu
tempat, jauh dari tempat rakyatnya, hingga akhir hayatnya. Pada Akhir cerita
disebutkan,
Tak jauh dari desa Lemahbang ada makam
yang panjangnya melebihi makam-makam biasa. Menurut orang-orang tua, makam itu
adalah makam Djoko Wulur. (DJW:30).
Berdasarkan analisis dan data cerita
”Dongeng Djoko Wulur” dapat dikemukakan bahwa ajaran moralnya ialah bahwa orang
(1) tidak boleh malas, (2) tidak boleh serakah, (3) harus berperikemanusiaan
dalam menjalani hidup, dan (4) harus menerima keadaan dirinya sesuai dengan
kehendak Tuhan agar hidup tidak sengsara.
2) Dongeng ”Persahabatan Empat Ekor
Binatang”
Cerita ”Persahabatan Empat Ekor
Binatang” ditulis dalam buku kumpulan cerita berjudul Cerita Rakyat dari
Madura, halaman ke 22–26. Judul cerita itu menunjukkan obyek atau yang
dikemukakan dalam cerita. Inti cerita adalah adanya persahabatan empat ekor
binatang. Pada awal cerita disebutkan,
Pada suatu hari, burung gagak, kijang,
musang, dan kura-kura berjanji bertemu di bawah pohon kesambi besar di kaki
bukit. Mereka telah lama menjalin persahabatan dan saling membantu dalam
kehidupan” (PEEB:22)
Perjanjian itu mereka tepati, kijang
dan musang datang lebih dahulu kemudian disusul gagak. Mereka bertiga menunggu
kedatangan kura-kura, tetapi tidak segera datang. Mereka khawatir terjadi
sesuatu terhadap kura-kura. Kijang dan musang kemudian menyuruh gagak untuk
terbang mencarinya. Di tengah sawah gagak melihat ada seorang laki-laki yang
menggendong sesuatu. Oleh karena itu,
Gagak tertarik pada gendongan orang
itu. Setelah diperhatikan dengan cermat, ternyata gendongan itu berupa jaring
perangkap. ... Dia pun terbang rendah mendekati lelaki itu. Alangkah terkejut
hatinya setelah melihat kaki kura-kura tersembul dari sela-sela lubang jaring.
(PEEB:23)
Setelah mengetahui hal itu, burung
gagak segera memberitahukannya kepada kijang dan musang. Kemudian terjadilah
dialog berikut ini,
”Begitu pemburu itu lewat, langsung
akan kuserang,” kata musang.
”Pemburu itu bisanya membawa senjata,”
kata kijang, ”kalau kauserang, enak saja ia memukulmu dengan senjatanya.
Apalagi pemburu itu sudah terlatih memainkan senjata. Engkau bisa celaka kalau
menyerang tanpa perhitungan.”
”Tidak apa aku mati demi membela
sahabatku,” jawab musang.
”Kalau kau cinta kepada kura-kura,”
kata kijang, ”kita harus kompak. Kita atur cara terbaik untuk menolong
kura-kura.” (PEEB:24)
Ketiga binatang itu lalu bermusyawarah
mengatur siasat untuk mengecoh pemburu agar meletakkan jaring perangkap yang
berisi kura-kura. Hasilnya ialah dengan cara kijang berjalan di dekat pemburu
sehingga pemburu mengejarnya. Oleh karena harus mengejar kijang yang larinya
cepat maka pemburu meletakkan gedongannya. Bagi pemburu daging kijang lebih
banyak dan lebih nikmat daripada daging kura-kura. Selanjutnya terjadi
peristiwa berikut ini.
Ketika pemburu itu sedang berusaha
mendekati kijang, musang pun keluar dari persembunyiannya dan menuju gendongan
yang tadi diletakkan si pemburu. Dengan giginya yang tajam, musang memutuskan
tali yang mengikat kura-kura. Dalam beberapa menit saja kura-kura sudah bebas.
(PEEB:25)
Setelah kura-kura lepas dari jaring
pemburu kemudian segera menceburkan diri ke sungai dan musang segera keluar
dari rumpun bambu berduri sambil memekik nyaring sebagai tanda bahwa kura-kura
telah selamat. Burung gagak segera terbang berkaok-kaok ke udara sebagai tanda
kegembiraan karena usaha mereka menolong kura-kura berhasil. Dengan demikian
maka keempat binatang itu itu selamat dari ancaman pemburu binatang.
Berdasarkan analisis data yang ada
dalam cerita ”Persahabatan Empat Ekor Binatang” dapat dikemukakan bahwa ajaran
moralnya ialah (1) jika bersahabat harus kompak dan saling membantu serta tidak
boleh tamak, (2) jika memiliki sesuatu sudah cukup untuk memenuhi kebutuhannya
jangan dihinakan karena berharap mendapatkan sesuatu yang lebih besar, tetapi
belum tentu dapat diraihnya.
3) Asal Usul Nama Dukuh Ranggadadung
Cerita ”Asal Usul Nama Dukuh
Ranggadadung” ditulis dalam buku kumpulan cerita berjudul Cerita Rakyat dari
Ponorogo (Jawa Timur), pada halaman ke 35–38. Pada awal cerita
dikenalkan tokohnya demikian,
Di desa Gondowida inilah pada zaman
dahulu hidup seorang lelaki yang bernama Rangga. ... Rangga memiliki seekor
kuda sebagai hewan peliharaan. Kuda itu sangat bangus bentuknya. Tubuhnya
tinggi tegap. Bulu di tubuhnya belang-belang. Orang-orang desa kemudian
menjuluki kuda milik Rangga itu dengan nama Kuda Dawuk (belang). (AUNDR:35)
Pada suatu hari Dawuk, kuda milik
Rangga keluar dari kandangnya karena Rangga lupa menutup pintu kandangnya. Ia
kemudian mencari ke berbagai penjuru dengan membawa dadung. Pencarian
kudanya hingga sampai ke tengah hutan. Di tempat itu kudanya ditemukan sedang
istirahat. Ketika kudanya melihat Rangga datang mengejarnya sambil membawa dadung
kemudian berlari menjauh karena ketakutan. Rangga terus mengejar kudanya,
namun kudanya terus berlari tanpa melihat jalan sehingga menabrak sebuah pohon
besar. Oleh karena itu, kuda 13
tersebut
mati kemudian oleh Rangga dikuburkan di bawah pohon tersebut. Dengan adanya
kejadian itu, akhirnya,
Daerah tempat dikuburkannya kuda dawuk
itu kemudian dinamakan Dukuh (bagian dari desa) Dawuk. Rangga sendiri
mendapat julukan Ranggadadung karena dia mengejar-ngejar kuda dawuknya sambil
memegang dadung (tali). Daerah tempat tinggal Rangga kemudian dinamakan
Dukuh Ranggadadung. (AUDR:38)
Berdasarkan analisis dan data cerita ”Asal
Usul Nama Dukuh Ranggadadung” dapat dikemukakan bahwa ajaran moral yang
ditemukan adalah jika seseorang melakukan pekerjaan tidak boleh tergesa-gesa
agar tidak merugi di kemudian hari.
Secara simultan simpulan hasil akhir
penelitian Ningsih dkk. (2003) terhadap dongeng anak di Jawa Timur sebagai
berikut.
1) Dalam dongeng anak di Jawa Timur
terdapat 27 macam anjuran untuk berbuat baik kepada penikmatnya, yaitu orang:
(1) harus berperikemanusiaan dalam menjalani hidup, (2) menerima keadaan
dirinya sesuai dengan takdir Tuhan, (3) sebagai anak harus berbakti kepada
orang tuanya dan mohon doanya setiap melakukan sesuatu yang baik, (4) harus
bersikap kesatria, (5) jika mendapat laporan harus dicek kebenarannya, (6) jika
mengajarkan ilmu harus tekun dan sabar, (7) jika tidak suka pada suatu ajaran
agama tidak memusuhi penganutnya, (8) sebagai anak harus bersedia mengakui
perempuan yang melahirkannya sebagai ibu walaupun perempuan itu jelek rupanya,
(9) sebagai istri harus setia kepada suami yang baik hati, (10) jika melakukan
sesuatu harus dipikir lebih dahulu akibat yang akan terjadi, (11) harus membela
yang benar atau kebenaran, (12) hendaklah mendapatkan sesuatu dengan cara
halal, (13) jika melakukan pekerjaan harus bersungguh-sungguh tidak boleh
ikut-ikutan, (14) hendaknya menolong anak yatim dengan ikhlas, (15) harus
mengingat jasa`orang lain yang pernah membantunya, (16) harus hidup rukun
dengan tetangga, (17) harus mengindahkan nasihat gurunya, (18) seorang istri
harus mengikuti anjuran baik suaminya (19), jika usia sudah lanjut hendaknya
segera berwasiat, (20) jika menjadi pegawai/karyawan harus setia kepada
atasannya yang bijaksana, (21) sebagai istri hendaknya melaksanakan amanat
suaminya, (22) jika mencintai seseorang harus kesatria atau bertanggung jawab,
(23) jika melakukan kesalahan kepada orang lain harus segera minta maaf, (24)
jika mempunyai makanan lebih harus ikhlas memberi kepada orang lain yang
membutuhkan, (25) jika menerima cobaan dari Tuhan hendaknya sabar dan tawakal,
(26) harus sabar dalam antrian pemakaian fasilitas umum, (27) serta jika
bersahabat harus kompak dan saling membantu.
2) Dalam dongeng anak di Jawa Timur
terdapat 17 macam larangan kepada penikmatnya, yaitu orang: (1) tidak boleh
malas, (2) tidak boleh serakah, (3) tidak boleh iri hari, (3) tidak boleh
memberontak kepada pemerintah yang sah dan baik, (4) jika menjadi pemimpin
tidak boleh membiarkan kesulitan yang dipimpinnya/rakyatnya, (5) tidak boleh
mencela orang lain, (6) tidak boleh menipu, (7) tidak bolek memaksa orang lain
untuk dinikahi, (8) tidak boleh ingkar janji apalagi ingkar janji kepada Tuhan,
(9) jangan langsung percaya pada kata orang tentang kejelekan orang lain, (10)
tidak boleh serba ingin tahu segala sesuatu yang dilakukan orang lain, (11)
tidak boleh sombong, (12) sebagai orang tua tidak boleh pilih kasih kepada
anak-anaknya, (13) tidak boleh mencuri, (14) tidak boleh tergesa-gesa menuduh
orang lain bersalah jika belum ada buktinya, (15) tidak boleh mengakali atau
mengelabuhi orang lain, (16) dan (17) jika melakukan pekerjaan tidak boleh
tergesa-gesa.
Berdasarkan temuan adanya ajaran moral
dalam dongeng anak di Jawa timur tersebut diketahui bahwa sebagian besar
dongeng anak menyaran pada moral ajakan berbuat baik, yaitu sebanyak 27
atau 61,36%, sedangkan yang menyaran pada larangan berbuat buruk sebanyak
17 atau 38,64%. Dengan demikian dapat difahami bahwa metode pendidikan moral
atau karakter kepada khalayak sasaran lebih baik menggunakan bahasa persuasif
sebagai ajakan untuk berbuat baik daripada menggunakan bahasa yang sifatnya
melarang untuk berbuat buruk/jahat, yang dalam bahasa Alquran dikenal dengan
istilah amar ma’ruf nahi munkar.
b. Keberadaan Dongeng
Berdasarkan pengamatan pemakalah pada
buku-buku ”cerita rakyat” yang diterbitkan oleh berbagai penerbit, ternyata
dongeng sudah banyak diinventarisasi oleh orang yang mempunyai kepedulian
terhadap cerita rakyat. Misalnya: D. Zawawi Imron dan Zulfa Usman (cerita
rakyat Madura), Suripan Sadi Hutomo, Setyo Yuwana Sudikan, dan Edy Santoso
(cerita rakyat Jawa Timur), dan Ayu Sutarto, Marwoto, serta Heru S.P. (cerita
rakyat Madura dan Banyuwangi). Berbagai dongeng dari Jawa Timur yang aslinya
berbahasa Jawa, Madura, dan Using telah diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia.
Selain itu, Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta telah lama
menerbitkan laporan inventarisasi dan penelitian cerita rakyat dari seluruh
Indonesia (yang di dalamnya terdapat dongeng), bahkan ada cerita dari luar negeri,
misalnya ”Cerita Abu Nawas” dan Cerita Rakyat dari Jepang oleh Keiko
Fukamachi yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Keberadaan
dongeng yang telah diterbitkan dan yang berbahasa daerah di Indonesia serta
berbahasa asing telah diindonesiakan tentulah bermaksud agar ceritanya mudah
difahami oleh generasi sekarang yang tidak akrab dengan bahasa daerahnya
sehingga pesan moralnya cepat terserap. Dengan demikian maka diharapkan
kemanfaatannya sebagai dasar moral bangsa, terutama para generasi muda,
khususnya anak prasekolah segera terwujud.
c. Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)
Disebutkan dalam Konsep Dasar
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) bahwa pendidikan anak usia dini merupakan
peletak dasar dan utama dalam pengembangan pribadi anak; baik yang berkaitan
dengan karakter, kemampuan fisik, kognitif, bahasa, seni, sosial, emosional,
spiritual, disiplin diri, konsep diri, maupun kemandirian (Mulyasa, 2012:43).
Pendidikan anak usia dini menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional Bab I pasal 1 ayat 14, pendidikan anak usia dini
adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai
dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian ransangan pendidikan
untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak
memiliki kesiapan memasuki pendidikan lebih lanjut.
Keberadaan PAUD semakin menyeruak ke
permukaan publik seiring dengan berdirinya lembaga-lembaga rintisan PAUD di
berbagai daerah mulai tingkat kota/kabupaten sampai ke tingkat RT/RW. Hal
tersebut terjadi karena adanya program pemerintah yang mendorong semua kalangan
masyarakat untuk mendukung terlaksananya PAUD. Pada tahun 2012, Direktorat
Pendidikan Anak Usia Dini mencanangkan Gerakan PAUD Nasional dan menargetkan
angka partisipasi kasar (APK) mencapai 64%. Untuk mencapai hal itu maka
berbagai strategi dilaksanakan, seperti pemberian bantuan operasional
pendidikan (BOP) kepada 1,35 juta anak, pengukuhan Bunda PAUD di tingkat
nasional, provinsi, dan kota/kabupaten, pelaksanaan sosialisasi nasional,
pelaksanaan kampanye gerakan PAUD nasional, penyelenggaraan layanan PAUD
terpadu, optimalisasi lembaga keagamaan, dan perluasan layanan POS PAUD yang
mengintegrasikan pelayanan PAUD dan Posyandu di desa/kelurahan.
Adanya gerakan PAUD nasional dengan
berbagai macam strategi pada kenyataannya belum mampu memberikan pemahaman yang
menyeluruh kepada masyarakat tentang konsep dan urgensi PAUD. Sebagian besar
masyarakat masih mengenal PAUD sebagai sebuah lembaga pendidikan untuk anak,
bukan sebagai upaya pembinaan pada anak usia dini yang berkisar pada usia 0-6
tahun. Kondisi tersebut semakin rumit ketika terjadi pengkotak-kotakan PAUD di
lingkungan masyarakat. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila masyarakat
kebingungan dengan istilah PAUD formal, nonformal, dan informal. Kebanyakan
pemahaman masyarakat hingga hari ini tentang PAUD adalah bahwa PAUD merupakan
jenjang yang lebih rendah dari Taman Kanak-Kanak (TK)/Raudhatul Athfal (RA),
yang pada anggapan masyarakat TK/RA bukan termasuk golongan PAUD.
Kenyataan menunjukkan bahwa pemunculan
dan perkembangan PAUD di Indonesia saat ini tidak diiringi dengan peningkatan
kualitas. Selain itu terdapat kurangnya pemahaman masyarakat tentang praktik
pembelajaran yang sesuai untuk anak usia dini. Kenyataan di lapangan, masih
banyak pendidik PAUD yang melaksanakan proses pembelajaran tidak sesuai dengan
perkembangan anak sehingga menimbulkan dilema baru bagi para orangtua yang
belum memiliki pemahaman menyeluruh tentang konsep pendidikan anak usia dini
untuk memasukan anak-anak mereka ke lembaga PAUD.
Dalam http://wikipedia.org disebutkan
bahwa pendidikan anak usia dini adalah pengajaran formal pada anak-anak oleh
orang-orang di luar keluarga mereka atau di luar setting rumah. Dalam sumber
yang sama disebutkan juga bahwa pendidikan anak usia dini merupakan salah satu
bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke
arah pertumbuhan dan perkembangan fisik (koordinasi motorik halus dan kasar),
kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual),
sosio emosional (sikap dan perilaku serta agama) bahasa dan komunikasi, sesuai
dengan keunikan dan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini.
Ada dua tujuan diselenggarakannya pendidikan anak usia dini sebagai berikut.
1) Tujuan utama: untuk membentuk anak
Indonesia yang berkualitas, yaitu anak yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan
tingkat perkembangannya sehingga memiliki kesiapan yang optimal di dalam
memasuki pendidikan dasar serta mengarungi kehidupan pada masa dewasa.
2) Tujuan penyerta: untuk membantu
menyiapkan anak mencapai kesiapan belajar (akademik) di sekolah.
Pada hakekatnya Anak usia dini
merupakan individu yang unik dan memiliki karakteristik khas sesuai dengan
tahapan perkembangan usianya. Pada masa itu stimulasi seluruh aspek
perkembangan memiliki peran yang sangat penting untuk tugas perkembangan
selanjutnya. Mendukung hal tersebut, 18
Montessori
dalam Mulyasa (2012) mengungkapkan bahwa masa usia dini merupakan periode
sensitif atau masa peka pada anak, yaitu suatu periode ketika suatu fungsi
tertentu perlu diransang dan diarahkan sehingga tidak terhambat perkembangannya.
Mulyasa (2012) mengungkapkan bahwa anak
usia dini adalah individu yang sedang mengalami proses pertumbuhan dan
perkembangan yang sangat pesat, bahkan dikatakan sebagai lompatan perkembangan.
Hurlock (1978) berpendapat bahwa pola pertumbuhan dan perkembangan anak berbeda
satu dengan yang lainnya, pertumbuhan anak bersifat ritmis, bukan regular.
Namun demikian anak-anak memiliki pola yang sama dalam pertumbuhan. Rentang
usia anak pada masa usia dini ( http://www.wikipedia.com) adalah usia sebelum
memasuki usia sekolah formal, umumnya usia 5 tahun di hampir seluruh negara
termasuk negara Amerika. Sementara itu, National Association for the
Education of Young Children (NAEYC) mendefinisikan anak usia dini sebagai
anak dengan rentang usia 0-8 tahun.
Mary Eming Young (2002) dalam
tulisannya Ensuring a Fair Start for All Children memaparkan bahwa masa
usia dini adalah masa yang rentan dan penuh peluang. Perubahan yang cepat dan
dramatis dalam perkembangan mental dan fisik terjadi pada usia tiga tahun
pertama kehidupan manusia. Penelitian mengenai perkembangan otak menunjukan
bahwa pengalaman pada usia dini dapat membentuk perkembangan individu dan bahwa
masa usia dini memberikan suatu kesempatan unik untuk mengubah kehidupan
seluruh anak.
Bloom (dalam Mulyasa, 2012)
mengemukakan bahwa separuh potensi manusia sudah terbentuk ketika berada dalam
kandungan sampai usia 4 tahun; dan 30% terbentuk pada usia 4–8 tahun. dengan
demikian 80% potensi manusia tersebut terbentuk dalam kehidupan rumah tangga dan
lingkungan sekitarnya.
Keberadaan anak usia dini telah
dibicarakan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh pada press conference
berkaitan dengan rencana peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas)
2012 di Gedung A Kemdikbud Senayan, Jakarta, Senin (30/4/12). Pada saat itu
ditetapkan bahwa tema Hardiknas adalah “Bangkitnya Generasi Emas Indonesia”.
Yang dimaksud generasi emas di sini adalah mempersipakna generasi emas 100
tahun Indonesia merdeka, yaitu tahun 2045. Sebelum tahun 2045 terdapat bonus
demografi Indonesia yang berlangsung pada tahun 2010–2035, yaitu pada saat usia
produktif paling tinggi di antara usia anak-anak dan orang tua. Kelak pada
tahun 2045 mereka yang berusia 0–9 tahun akan berusia 35–45 tahun, sedangkan
yang berusia 45–54 tahun, Mohammad Nuh menilai, pada usia-usia itu yang memang
memegang peran di suatu negara. Oleh karena itu, kata Mohammad Nuh, telah
menyiapkan grand design pendidikan, yaitu pendidikan anak usia dini
digencarkan dengan gerakan PAUD-isasi, peningkatan kualitas PAUD, serta
pendidikan dasar berkualitas dan merata.
http://www.pikiran-rakyat.com/node/186763
Berdasarkan uraian tersebut maka
pembangunan karakter anak harus dimulai sejak dini baik melalui jalur informal,
formal, maupun nonformal dengan menciptakan lingkungan yang baik dan sehat.
d. Strategi Revitalisasi dan
Sosialisasi Dongeng
Berdasarkan pengamatan pemakalah, ada
suatu strategi revitalisasi dan sosialisasi dongeng yang dilakukan oleh Dinas
Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Timur, yang kemungkinan besar berasal dari
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, bahwa setiap
menyongsong hari jadi Pendidikan Nasional, 2 Mei, senantiasa diadakan berbagi
macam lomba di dunia pendidikan mulai Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) baik
untuk sekolah SMA, SMK, dan Madrasah hingga tingkat prasekolah, taman
kanak-kanak dan pendidikan anak usia dini. Di antara berbagai macam lomba yang
diadakan, salah satunya adalah lomba dongeng untuk para guru prasekolah.
Sedangkan, untuk siswa prasekolah lomba yang senada ditampilkan adalah “lomba
bercerita kegiatan sehari-hari” dengan tema hampir sama pada setiap tahunnya.
Dalam hal itu pemakalah mengetahui karena sering menjadi juri, baik untuk
tingkat kecamatan maupun kabupaten.
Pengamatan selanjutnya dalam acara
lomba dongeng untuk para guru prasekolah mengenai tema dan kompetensi yang
diinginkan sudah ditentukan oleh tingkat provinsi. Penampilan mendongeng ada
yang tanpa alat peraga dan ada yang menggunakan alat peraga. Tokoh yang
berperan dalam dongeng adalah manusia dan atau binatang, Adapun bahasa yang
digunakan adalah bahasa Indonesia karena khalayak sasaran, siswa prasekolah,
lebih akrab dengan bahasa Indonesia daripada bahasa daerah (Jawa, Madura,
Using). Kenyataan menunjukkan bahwa, para guru prasekolah dalam mendongeng ada
yang belum trampil dan ada yang tekstual, seperti menghafal teks.
Kreatifitasnya pun belum banyak yang berkualitas. Oleh karena itu mereka
kadang-kadang masih harus didampingi oleh orang yang mengikuti representasi
dongeng pada masa kini, dalam arti masih perlu konsultasi kepada orang yang
berkompentensi di bidang dongeng. Hal itu mungkin disebabkan guru anak
prasekolah dalam hal ini adalah PAUD, hanya sebagian kecil yang berpendidikan
S1 PAUD. Berdasarkan data Rekapitulasi Kartu Tanda Anggota HIMPAUDI Kecamatan
Sumbersari (kecamatan dalam kota), dari sejumlah 171 yang berijazah S1 PAUD
sejumlah 6 orang (3,5%), yang lainnya S1 dari berbagai jurusan bahkan ada yang
lulusan S1 Kedokteran Gigi, SLTA berbagai macam, PGA, serta Diploma. Keadaan
seperti itu, kemungkinan besar menjadi gambaran keberadaan guru PAUD di
kecamatan lain di Kabupaten Jember, bahkan di seluruh wilayah Indonesia.
Salah satu tugas guru PAUD adalah
mendidik anak untuk berkarakter baik. Di antara pembentukan karakter siswa
didik adalah melalui dongeng, yang tema dan amanatnya ajakan untuk berbuat
baik. Oleh karena sebagian besar guru PAUD bukan lulusan pendidikan PAUD maka
perlu ada pembinaan kepada guru-guru PAUD untuk memiliki kemampuan mendidik
siswanya, demi tercapainya tujuan utama PAUD, membentuk anak Indonesia yang
berkualitas, yaitu anak yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan tingkat
perkembangannya sehingga memiliki kesiapan yang optimal di dalam memasuki
pendidikan dasar serta mengarungi kehidupan pada masa dewasa. Pemakalah (saya)
sering diminta oleh para guru prasekolah untuk memberi arahan cara mendongeng
yang kontekstual. Alhamdulillah pernah pemakalah (saya) memberi pengarahan
kepada seorang guru prasekolah dari organisasi „Aisyiyah yang akan mengikuti
lomba tingkat Provinsi Jawa Timur, hasilnya cukup memuaskan, menjadi Juara II.
Berdasarkan pengalaman tersebut maka jika para guru prasekolah diberi pembinaan
mendongeng maka mereka mampu melaksanakan.
Perlu diingat juga bahwa hasil
penelitian Ningsih dkk. (2003) tentang dongeng anak di Jawa Timur, di antaranya
adalah adanya amanat “cinta tanah air”. Apabila hal itu terjadi di berbagai
penjuru Indonesia maka dapat dengan serentak tujuan pendidikan PAUD tercapai
sehingga ketika anak didik menjadi pemimpin bangsa dapat terwujud pemimpin yang
amanah. Sebagai akibatnya adalah kehidupan kebangsaan akan kokoh (cinta NKRI)
dan masyarakat hidup sejahtera.
Sebetulnya untuk memiliki kemampuan
mendongeng tidak harus melalui pendidikan guru atau S1 PAUD. Kemampuan
mendongeng ada kalanya disebabkan karena kecintaan pada dongeng itu sendiri dan
ada kalanya karena kecintaan kepada anak-anak sehingga ingin membuatnya
senantiasa gembira atau jika dalam keadaan sedih mendapatkan hiburan. Dalam
Acara Kick Andy, Metro TV, Jumat, pk. 22.30, 26 Juli 2013, Imam Surahman Hadi
dkk. telah membentuk Gerakan Para Pendongeng untuk Kemanusiaan (GEPUK) dan
telah mendongeng ke daerah bencana. Mereka pernah datang ke Yaman untuk
menghibur para korban perang dengan cara mendongeng. Di antara mereka ada yang
memang mempunyai profesi mendongeng dan ada yang karena hoby saja. Gerakan
mereka independent dan swadana, namun berhasil menghibur masyarakat yang
membutuhkan.
Berdasarkan uraian tersebut, makalah
ini menawarkan ”strategi revitalisasi dan sosialisasi dongeng” kepada
pemerintah dan atau instansi terkait, serta pemerhati dongeng untuk melakukan
hal berikut.
1. Pembangunan/pembentukan
rumah dongeng di tempat pendidikan berlangsung;
2. Membina
para pendongeng muda untuk ditugasi mendongeng di lembaga pendidikan anak usia
dini (PAUD). Dipilihnya PAUD menjadi sasarn karena empat pertimbangan: (1)
anak-anak lebih mudah menyukai dongeng daripada cerita sehari-hari, (2) lembaga
pendidikan PAUD sangat kekurangan tenaga pendidik dan tenaga pendongeng, (3)
tahun 2013 pemerintah sudah memulai program penyiapan generasi emas dimulai
dari pendidikan anak usia dini, (4) siswa PAUD berada dalam masa golden ages,
sehingga nilai-nilai karakter bangsa dapat tertanam kuat dalam jiwa anak hingga
dewasa kelak;
3. Menginventarisasi
dan mengindonesiakan dongeng yang masih tersimpan dalam bahasa daerah di
Indonesia maupun bahasa asing kemudian disosialisasikan kepada seluruh
masyarakat Indonesia, terutama kepada para pendidik dan pemerhati dongeng agar
amanatnya dapat diamalkan. Hal itu juga memotivasi untuk memperkokoh NKRI.
4. Diadakan
lomba dongeng bagi mahasiswa yang mengikuti mata kuliah folklore atau filologi,
jika ada dalam kurikulum di tingkat perguruan tinggi.
5. Program
Studi Sastra Indonesia mengadakan lomba dongeng untuk kalangan akademisi dan
umum.
Penutup
Pembinaan karakter bangsa Indonesi
menjadi tugas semua warna negara dan seluruh lapisan masyarakat. Oleh karena
itu perlu adanya keterjalinan yang erat di antara warna negara Indonesia dan
saling tukar menukar kreatifitas budaya lokal agar menumbuhkan rasa saling
memilikinya.
Daftar
Pustaka
A.
Pustaka Sumber Data
Hutomo, Suripan
Sadi dan E. Yonohudiono. 1996. Cerita Rakyat dari Banyuwangi. Jakarta:PT
Gramedia Widiarsana Indonesia.
Hutomo, Suripan
Sadi dan Setya Yuwana Sudikan. 1996. Cerita Rakyat dari Surabaya.
Cetakan Ketiga. Jakarta: PT Gramedia Widiarsana Indonesia.
Imron, D.
Zawawi. 2000. Cerita Rakyat dari Madura. Cetakan Kedelapan. Jakarta:
PT Gramedia Widiarsana Indonesia. 23
Santoso, Edy. 2003. Cerita Rakyat dari Ponorogo (Jawa
Timur). Jakarta: PT Gramedia Widiarsana Indonesia.
__________.
2003. Cerita Rakyat dari Jawa Timur 3. Jakarta: PT Gramedia Widiarsana
Indonesia.
Setyawan,
Dwianto. 1996. Cerita Rakyat dari Jawa Timur 2. Jakarta: PT Gramedia
Widiarsana Indonesia.
__________.
1999. Cerita Rakyat dari Jawa Timur. Jakarta: PT Gramedia Widiarsana
Indonesia.
Suparlan, Y.B.
Penyunting. 2003. Cerita Rakyat Indonesia: Dewi Rinjani. Cetakan Keenam.
Yogyakarta:Kanisius.
__________.
Penyunting. 2003. Cerita Rakyat Indonesia: Putri Dara Dante. Cetakan
Keenam. Yogyakarta:Kanisius.
__________.
Penyunting. 2003. Cerita Rakyat Indonesia: Putri Rumpun Bambu. Cetakan
Keenam. Yogyakarta:Kanisius.
__________.
Penyunting. 2003. Cerita Rakyat Indonesia: Walan Sendow. Cetakan
Ketujuh. Yogyakarta:Kanisius.
Usman, Zulfa.
1996. Cerita Rakyat dari Bawean (Jawa Timur). Cetakan Kertiga.
Jakarta:PT Gramedia Widiarsana Indonesia.
B.
Pustaka Sumber Rujukan
Danandjaja,
James. 1991. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-Lain.
Cetakan ketiga. Jakarta:PT Temprint.
Hurlock,
Elizabeth B. 1978. Guideposts for Growing Up. Chicago:Standar
Educational Corporation.
Imron, D.
Zawawi. 1976. Campaka. Jakarta:Kinta.
Mulyasa, H.E.
2012. Manajemen PUD. Bandung:PT Remaja Rosdakarya
Ningsih, Sri
dkk. 2000. ”Cerita Rakyat Using Banyuwangi”. Kantor Wilayah Surabaya Provinsi
Jawa Timur, Proyek Pembinaan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Jawa Timur,
Departemen Pendidikan Nasional.
Ningsih, Sri
dkk. 2003. ”Struktur dan Ajaran Moral dalam Dongemg Anak di Jawa Timur”. Bagian
Proyek Pembinaan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Jawa Timur Tahun 2003.
(Laporan Penelitian).
Sujiono Yuliani
N. 2011. Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta:PT Indeks
Young, Mary
Eming. 2002. From Early Child Development to Human Development. Wasington:The
World Bank.
C.
Media
Acara Kick Andy,
Metro TV, Jumat, pk. 22.30, 26 Juli 2013
http://www.wikipedia.com
http://www.pikiran-rakyat.com/node/186763
Tulisan
ini disampaikan dalam Kongres Bahasa Indonesia X di Hotel Grand Sahid Jaya,
28—31 Oktober 2013 yang digelar Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar