Minggu, 10 Januari 2016

Rumah Dongeng sebagai Basis Pendidikan Karakter Bangsa

OLEH Dra. Sri Ningsih, M.S. (Fakultas Sastra Universitas Jember)
Abstraks
Mendongeng salah satu pendidikan karakter bangsa
Popularitas dongeng sudah sejak lama menurun, baik dalam ranah keluarga maupun ranah publik. Di sisi lain karakter bangsa juga menurun dalam skala horisontal maupun vertikal, seperti muncul dalam perilaku tawuran massal, perilaku para elit bangsa, sampai dengan ancaman disintegrasi bangsa. Dongeng sebagai salah satu jenis karya sastra pada zaman dahulu merupakan sarana pendidikan yang efektif. Dongeng dalam kemasan yang berbeda sangat disukai oleh anak-anak, remaja, maupun orang dewasa. Makalah ini mencoba untuk menawarkan satu strategi revitalisasi dan sosialisasi dongeng dalam konteks pendidikan karakter bangsa dan pemerkokoh NKRI.
Konsep dasar yang ditawarkan berupa pembangunan/pembentukan rumah dongeng tempat mendidik dan membina para pendongeng muda untuk ditugasi mendongeng di lembaga Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). PAUD dipilih dengan beberapa pertimbangan: (1) anak-anak lebih mudah menyukai dongeng, (2) lembaga pendidikan PAUD sangat kekurangan tenaga pendidik dan tenaga pendongeng, (3) tahun 2013 pemerintah sudah memulai program penyiapan generasi emas dimulai dari pendidikan anak usia dini, (4) siswa PAUD berada dalam masa golden ages, sehingga nilai-nilai karakter bangsa dapat tertanam kuat dalam jiwa anak hingga dewasa kelak.
Kata kunci: dongeng, karakter bangsa, NKRI, generasi emas, golden ages.
Pengantar
Makalah ini merupakan hasil kompilasi dari tiga hal sebagai berikut. Pertama yaitu hasil penelitian berjudul ”Struktur dan Ajaran Moral dalam Dongeng Anak di Jawa Timur” (Ningsih dkk., 2003), atas biaya dari Bagian Proyek Pembinaan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Jawa Timur Tahun 2003. Kedua hasil pengalaman dan pencermatan selama 10 tahun (yang paling tidak setiap tahun dua sampai dengan tiga kali menjadi juri lomba bercerita bagi anak-anak prasekolah [taman kanak-kanak dan pendidikan anak usia dini] serta juri lomba untuk guru-guru prasekolah di wilayah Kabupaten Jember untuk tingkat kecamatan, tingkat kabupaten, dan yang diselenggarakan oleh RRI Pratama Jember. Ketiga, hasil pengalaman dalam pembinaan guru-guru prasekolah di Kabupaten Jember yang akan mengikuti lomba dongeng di tingkat Provinsi Jawa Timur dan mahasiswa yang mempunyai anak binaan mendongeng.
Dongeng merupakan salah satu folklor lisan Indonesia dari jenis ”cerita prosa rakyat” (Danandjaja, 1991:83). Dongeng adalah cerita pendek kolektif kesusastraan lisan, yang dianggap benar-benar terjadi, dan berfungsi untuk hiburan, walaupun banyak yang melukiskan kebenaran, berisikan pelajaran (moral), atau bahkan sindiran (Danandjaja, 1991:83). Dongeng pada umumnya diceritakan oleh kakek-nenek kepada cucunya menjelang tidur, istilah lain menyebutkan sebagai nina bobok. Kakek nenek mendongeng tersebut dengan maksud menghibur anak-cucu agar mau beristirahat di tempat tidur sebelum saatnya tidur sehingga jika tidur nyenyak, tidak banyak gerak karena kepayahan. Selain itu, agar cucunya sebelum tidur mempunyai perasaan gembira sehingga ketika bangun tidur segar bugar dan hatinya senang sehingga mudah dirahkan untuk segera mengerjakan yang lain, misalnya mandi. Selain dampak positif itu, ada hal lebih menguntungkan karena di dalam dongeng terdapat unsur didaktis sehingga juga bermanfaat untuk mendidik cucu atau generasi penerusnya. Dengan demikian maka tanpa disadari cucu atau generasi penerusnya mendapat pendidikan moral ”baik” tentunya, sebagaimana yang tersirat di dalam dongeng yang didengarkannya.
Menurut Konsep dasar Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), yang dilakukan oleh kakek nenek terhadap cucunya tersebut ternyata merupakan salah satu jenis PAUD, yaitu PAUD jalur informal. Selain PAUD jalur informal, di Indonesia terdapat PAUD jenis jalur formal dan nonformal. PAUD jalur formal terdiri atas Taman Kanak-Kanak, Raudhatul Athfal, atau bentuk lain yang sederajat. PUAD jalur nonformal terdiri atas Kelompok Bermain, tempat penitipan anak dan atau bentuk lain yang sederajat. Sedangkan, PAUD jalur informal adalah pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan, sebagaimana yang dilakukan oleh kakek dan nenek mendongeng untuk cucunya.
Dongeng sebagai Pendidikan Karakter Bangsa
Pada bagian ini akan dikemukakan tiga hal, yaitu: (a) dongeng, (b) keberadaan dongeng, (c) Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), dan (4) strategi revitalisasi dan sosialisasi dongeng.
Dongeng
Kenyataan menunjukkan bahwa di seluruh penjuru dunia ditemukan dongeng yang berfungsi untuk hiburan dan pendidikan untuk semua kalangan umur dan semua jenis kelamin. Menurut Dananjaya (1991:83) dongeng merupakan salah satu folklor lisan Indonesia dari jenis ”cerita rakyat prosa”. Selanjutnya dijelaskannya bahwa dongeng adalah cerita pendek kolektif kesusasteraan lisan, yang dianggap benar-benar terjadi, dan berfungsi untuk hiburan, walaupun banyak yang melukiskan kebenaran, berisikan pelajaran (moral), atau bahkan sindiran. Oleh karena dongeng termasuk salah satu jenis folklor maka pada umumnya mempunyai ciri-ciri:
1.       penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan,
2.      bersifat tradisional, disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau standar,
3.      ada dalam versi-versi bahkan varian-varian,
4.      bersifat anonim,
5.      mempunyai bentuk berumus atau berpola,
6.      mempunyai kegunaan dalam kehidupan suatu kolektif,
7.      bersifat pralogis,
8.     menjadi milik bersama dari kolektif tertentu,
9.      bersifat polos dan lugu sehingga sering kelihatan kasar, terlalu spontan. (Danandjaja, 1991:4).
Sebagai contoh gambaran tentang keberadaan dongeng di suatu provinsi, berikut dikemukakan hasil penelitian Ningsih dkk. (2003) tentang dongeng anak di Provinsi Jawa Timur dengan judul ”Struktur dan Ajaran Moral dalam Dongeng Anak di Jawa Timur” atas biaya Bagian Proyek Pembinaan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Jawa Timur Tahun 2003.
Berdasarkan pengamatan Ningsih dkk. (2003), dongeng anak di Jawa Timur diungkapkan dalam berbagai bahasa yang ada di Jawa Timur, yaitu bahasa Jawa, bahasa Madura, dan bahasa Using. Dongeng dalam bahasa Jawa banyak dijumpai di wilayah Jawa Timur bagian barat, bagian tengah, dan bagian timur. Dongeng dalam bahasa Madura banyak dijumpai di daerah Madura dan di Jawa Timur yang penduduknya berasal dari daerah Madura dan sudah bertempat tinggal lama, minimal satu generasi, di daerah tersebut. Sedangkan, dongeng dalam bahasa Using hanya ditemui di daerah Using, Banyuwangi. Dongeng dari tiga wilayah tersebut sudah banyak yang dibukukan dalam kumpulan ”cerita rakyat” dengan menggunakan bahasa Indonesia, misalny ”Dongeng Mas Ayu Melok” ditulis oleh Suripan Sadi Utomo (1996), dimuat dalam kumpulan Cerita Rakyat dari Banyuwangi; ”Putri Nglirip” yang disunting oleh Y.B. Suparlan (1997), dimuat dalam kumpulan Cerita Rakyat Indonesia: Walan Sendow (1997:40–52), yang kemudian judul cerita itu dipakai untuk nama air terjun, yaitu ”Air Terjun Putri Nglirip”; ”Dongeng Joko Dolog” ditulis oleh Suripan Sadi Utomo dan Setyo Yowono Sudikan, dimuat dalam Cerita Rakyat dari Surabaya (1999:27–33); ”Dongeng Keyong Emas” ditulis oleh Dwianto Setyawan, dimuat dalam Cerita Rakyat dari Jawa Timur (1999:26–31); ”Kera yang Rakus” ditulis oleh Yulfa Usman, dimuat dalam kumpulan Cerita Rakyat dari Bawean (1999:40–45); dan ”Asal Usul Desa Nglumpang” ditulis oleh Edy Santoso, dimuat dalam Cerita Rakyat dari Ponorogo (2003:50–53).
Selain itu ada dongeng atau cerita dalam bahasa Madura ditulis oleh D. Zawawi Imron (1979) berjudul Campaka, yang merupakan cerita rakyat dari Sumenep; dan ada dongeng dalam bahasa Using yang ditulis dalam Laporan Penelitian Inventarisasi ”Cerita Rakyat Using” oleh tim yang diketuai oleh Ningsih, Sri (2000), dikelola oleh Pembina Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Jawa Timur. Di dalam laporan tersebut terdapat dongeng ”Sang Precil ambi Buto”, ”Anang ambi Putune”, dan ”Manten Anyar Mangan Duren”.
Dengan adanya berbagai macam dongeng dalam berbagai bahasa daerah dan sebagian besar sudah diindonesiakan serta telah ditulis, baik yang sudah dicetak maupun belum dicetak, tersebut menunjukkan bahwa dongeng sangat digemari oleh masyarakat penciptanya dan para pewarisnya, terutama pewaris aktifnya. Berdasarnya kenyataan tersebut dapat diduga bahwa pewaris aktif dongeng masih ada dalam jumlah banyak.
Penelitian Ningsih dkk. (2003) mengungkap ciri-ciri dongeng anak di Jawa Timur dan ajaran moral yang ada di dalamnya yang termuat dalam berbagai buku cerita rakyat di Jawa Timur, sebagai populasinya, sejumlah 29 cerita dongeng anak di Jawa Timur. Sedangkan sampel sejumlah 6 dongeng anak dongeng anak di Jawa Timur yang telah ditulis dan diterbitkan oleh penerbit Gramedia Widiarsana Indonesia (Grasindo) Jakarta serta Penerbit Kanisius Yogyakarta. Sampel tersebut diambil dari 12 judul buku cerita anak di Jawa Timur dengan pilihan 1 dongeng anak ditokohi oleh manusia, 1 dongeng anak ditokohi binatang, dan 1 dongeng anak yang tergolong cerita asal usul untuk dipaparkan di sini. Hal itu dilakukan karena sudah mewakili dan tidak mungkin lebih yang dipaparkan karena adanya keterbatasan. Selanjutnya, dalam makalah ini dikemukakan data dan hasil analisis ajaran moral dongeng anak di Jawa Timur.
a) Berikut data (sebagai populasi) dua belas judul buku cerita rakyat yang sudah terbit dalam bahasa Indonesia dan nama judul dongeng anak yang ada di dalamnya, ditandai dengan angka di dalam kurung, yang dipaparkan atau disajikan berdasarkan tahun terbitnya buku cerita rakyat yang terakhir.
1)      Judul buku Cerita Rakyat dari Banyuwangi, penulis Suripan Hadi Hutomo dan E. Yonohudiyono, cetakan pertama, terbit tahun 1996, oleh penerbit PT Gramedia Widiarsana Indonesia Jakarta, tebal 60 halaman, berisi 10 cerita rakyat dari Banyuwangi, Jawa Timur, yang tergolong dongeng anak ada dua, yaitu cerita kelima dan keenam, berjudul (1) ”Dongeng Joko Wulur” dan (2) ”Dongeng Mas Ayu Melok”.
2)     Judul buku Cerita Rakyat dari Jawa Timur 2, penulis Dwianto Setyawan, cetakan pertama, terbit tahun 1996, oleh penerbit PT Gramedia Widiarsana Indonesia Jakarta, tebal 46 halaman, berisi tujuh cerita rakyat Jawa Timur, yang tergolong dongeng anak satu, yaitu cerita ketiga, berjudul (3) ”Putri Sewidak Loro”.
3)     Judul buku Cerita Rakyat dari Surabaya, penulis Suripan Hadi Hutomo dan Setya Yuwono Sudikan, cetakan pertama, terbit Mei 1996 dan cetakan kedua terbit April 1999, oleh penerbit PT Gramedia Widiarsana Indonesia Jakarta, tebal 50 halaman, berisi sepuluh cerita dari Surabaya Jawa Timur, yang tergolong dongeng anak ada dua, yaitu cerita kesatu dan keenam berjudul (4) ”Asal Usul Nama Surabaya” dan (5) ”Dongeng Joko Dolog”.
4)     Judul buku Cerita Rakyat dari Bawean, penulis Zulfa Usman, cetakan pertama terbit April 1996 dan cetakan ketiga terbit April 1999 oleh penerbit PT Gramedia Widiarsana Indonesia Jakarta, tebal 53 halaman, berisi tujuh cerita rakyat dari Bawean Jawa Timur, yang tergolong dongeng anak ada empat yaitu pada cerita keempat, kelima, keenam, dan ketujuh; berjudul (6) ”Maulana Umar Masud, (7) Laknatuhari, (8) Kera yang Rakus, dan (9) Matkamali.
5)     Judul buku Cerita Rakyat dari Jawa Timur, penulis Dwianto Setyawan, cetakan pertama Juni 1992 dan cetakan kesebelas April 1999 oleh penerbit PT Gramedia Widiarsana Indonesia Jakarta, tebal 57 halaman, berisi sepuluh cerita rakyat dari Jawa Timur, yang tergolong dongeng anak berjumlah tiga, yaitu pada cerita kesatu, kelima, dan ketujuh, berjudul: (10) ”Cindelaras”, (11) ”Keong Emas”, dan (12) ”Aryo Menak dan Tunjung Wulan”.
6)     Judul buku Cerita Rakyat dari Madura, penulis D. Zawawi Imron, cetakan pertama Oktober 1993 dan cetakan kedelapan Mei 2000 oleh penerbit Gramedia Widiarsana Indonesia Jakarta, tebal 49 halaman, berisi sembilan cerita rakyat Madura, yang tergolong dongeng anak ada tujuh, yaitu cerita kedua, ketiga, kelima, keenam, ketujuh, kedelapan, dan kesembilan berjudul: (13) ”Seorang Penyadap Nira”, (14) ”Para Pedagang Kucing”, (15) ”Persahabatan Empat Ekor Binatang”, (16) ”Pak Jalmo”, (17) ”Dua Ekor Kambing yang Congkak”, (18) ”Pak Molla”, dan (19) ”Mencari Calon Putra Mahkota”.
7)     Judul buku Cerita Rakyat Indonesia: Walan Sendow, penunting Y.B. Suparlan, cetakan ke-1 terbit tahun 1997 dan cetakan ke-7 terbit tahun 2003, oleh penerbit Kanisius Yogyakarta, tebal 73 halaman, berisi empat cerita, yang tergolong dongeng anak Jawa Timur ada satu, yaitu cerita ketiga, berjudul (20) ”Putri Nglirip”.
8)    Judul buku Cerita Rakyat Indonesia: Putri Dara Nante, penyunting Y.B. Suparlan, cetakan ke-1 tahun 1997 dan cetakan ke-6 tahun 2003 oleh penerbit Kanisius di Yogyakarta, tebal 69 halaman, berisi empat cerita, yang tergolong dongeng anak Jawa Timur ada satu, yaitu cerita ketiga, judul cerita (21) ”Asal Mula Nama Gunung Bromo”.
9)     Judul buku Cerita Rakyat Indonesia: Dewi Rinjani, penyunting Y.B. Suparlan, cetakan ke-1 tahun 1997 dan cetakan ke-6 tahun 2003 oleh penerbit Kanisius Yogyakarta, tebal 76 halaman, berisi empat cerita, yang tergolong dongeng anak Jawa Timur terdapat pada cerita ketiga berjudul (22) ”Si Joko Dolog”.
10) Judul buku Cerita Rakyat Indonesia: Putri Rumpun Bambu, penyunting Y.B. Suparlan, cetakan ke-1 tahun 1996 dan cetakan ke-6 tahun 2003 oleh penerbit Kanisius Yogyakarta, tebal 67 halaman, berisi empat cerita, yang tergolong dongeng anak Jawa Timur pada cerita keempat berjudul (23) ”Sedaeng”.
11)  Judul buku Cerita Rakyat dari Ponorogo, penulis Edy Santoso, cetakan pertama tahun 2003, oleh penerbit PT Gramedia Widiarsana Indonesia Jakarta, tebal 53 halaman, berisi 10 cerita rakyat Ponorogo Jawa Timur, yang tergolong dongeng anak ada empat, yaitu cerita keempat, kelima, keenam, dan ketujuh, berjudul (24) ”Terjadinya Mata Air Kucur Bathara dan Sumber Dukun”, (25) ”Raden Subroto dan Suminten”, (26) ”Warok Suromenggolo”, dan (27) ”Asal Usul Nama Dukuh Ranggadadung”.
12) Judul buku Cerita Rakyat dari Jawa Timur 3, penulis Edy Santoso, cetakan pertama tahun 2003 oleh penerbit PT Gramedia Widiarsana Indonesia Jakarta, tebal 42 halaman, berisi 9 cerita rakyat Jawa Timur, yang tergolong dongeng anak ada dua yaitu cerita ketujuh dan kedelapan, berjudul (28) ”Jaka Turut” dan (29) ”Pencuri Berwatak Kesatria”.
Berdasarkan data tersebut ada 29 dongeng anak Jawa Timur yang dapat dijangkau oleh peneliti, dengan rincian 25 dongeng anak ditokohi manusia dan 4 dongeng anak ditokohi binatang. Dengan kata lain, bahwa dongeng anak di Jawa Timur 86,20% ditokohi oleh manusia dan 13,80% ditokohi oleh binatang. Dengan demikian maka diketahui bahwa hingga saat ini dongeng anak yang ditokohi oleh manusia lebih disuka oleh masyarakat penikmatnya daripada dongeng anak yang ditokohi binatang, mungkin karena lebih realistis.
b) Ajaran Moral dalam Dongeng Anak di Jawa Timur
Semua dongeng anak di Jawa Timur yang menjadi bahan penelitian tersebut di dalamnya terdapat ajaran moral yang bermanfaat bagi penikmatnya. Sebagian besar dongeng anak di Jawa Timur terddiri atas 4–6 halaman. Namun demikian, struktur cerita terpenuhi dan di dalamnya terdapat ajaran moral. Populasi penelitian tersebut ada 29 judul dongeng anak di Jawa Timur. Berikut ini disajikan 3 contoh analisis dongeng yang ditokohi oleh manusia, binatang, serta manusia dan binatang yang tergolong cerita asal usul. Untuk mempermudah pemaparan data, nama judul yang merujuk data ditulis dengan inisial sesuai dengan huruf-huruf awal kata nama judul cerita, yaitu ”Dongeng Joko Wulur” inisialnya DJW, ”Persahabatan Empat Ekor Binatang” inisialnya PEEB, dan ”Asal Usul Nama Dukuh Ranggadadung” inisialnya AUNDR. Analisis ketiga dongeng tersebut sebagai berikut.
1) Dongeng Joko Wulur (DJW)
Cerita “Dongeng Joko Wulur” ditulis dalam buku kumpulan cerita berjudul Cerita Rakyat dari Banyuwangi pada halaman 25–30. Pada awal cerita penulis mengenalkan tokoh Joko Wulur sebagai berikut.
Pada zaman dahulu, daerah Banyuwangi diperintah oleh seorang raja ajaib. Dikatakan ajaib sebab badannya dapat memanjang dan memendek. Menurut orang Jawa, keadaan semacam ini dikatakan mulur mungkret (memanjang dan memendek). Oleh karena itu, tidak aneh jika sang Baginda bergelar Djoko Wulur. (DJW:25)
Keadaan tubuh Djoko Wulur yang dapat mulur mungkret itu menjadikan dirinya sebagai orang yang malas. Untuk mengambil keperluannya yang jaraknya jauh darinya, Djoko Wulur tinggal memanjangkan tubuhnya tanpa bergerak. Kondisi itu diperparah dengan sifatnya yang jahat, bengis, dan tidak berperikemanusiaan sehingga ia tidak disukai oleh rakyatnya.
Jika makan dan minum, Djoko Wulur mampu menghabiskan seribu ketupat dan sepuluh tempayan air. Keperluan makan dan minumnya tidak diusahakan sendiri, tetapi minta kepada rakyatnya. Pada suatu saat rakyatnya tidak dapat menyediakan makanan maka untuk memenuhi makan dan minum Djoko Wulur, ia (Djoko Wulur) oleh rakyatnya disuruh merebut seribu ketupat dalam keranjang yang dibawa oleh Dewi Rengganis, putri kayangan, yang sedang melanglang buwana mengendarai burung garuda. Hal itu dilaksanakan oleh Djoko Wulur dengan cara memanjangkan tubuhnya, berikut akibatnya.
Pada saat tubuh Djoko Wulur setinggi pohon kelapa, Dewi Rengganis dapat ditangkapnya dan keranjangnya dapat direbut. ... Anehnya, atas 10
kuasa dan kehendak Tuhan, badan Djoko Wulur tidak dapat kembali seperti semula. Tubuhnya tetap panjang, sepanjang pohon kelapa yang paling tinggi. Beliau merengek-rengek dan menangis memohon kepada Dewi Rengganis agar badannya dapat kembali seperti sediakala. Sayang dewi tidak dapat memenuhi permintaannya. (DJW:29)
Sifat serakah Djoko Wulur mengakibatkan dirinya memaksakan untuk menjangkau ketupat yang dibawa Dewi Rengganis. Atas kuasa Tuhan badannya tidak dapat kembali normal. Selanjutnya Djoko Wulur diusir oleh Raden Banterang dan disuruh berjalan melata serta diberitahu apabila telah menemukan tanah berwarna merah ia boleh bertempat tinggal di situ. Selain itu, ia tidak diakui sebagai raja oleh rakyatnya.
Sampai pada suatu ketika dia menemukan tanah yang warnanya merah. Di situlah dia berhenti dan hidup sebagai rakyat biasa sampai ajalnya. (DJW:29)
Ia menangis menyesali semua perbuatan jahatnya. Ia kemudian diusir oleh rakyatnya dan hidup menyendiri di suatu tempat, jauh dari tempat rakyatnya, hingga akhir hayatnya. Pada Akhir cerita disebutkan,
Tak jauh dari desa Lemahbang ada makam yang panjangnya melebihi makam-makam biasa. Menurut orang-orang tua, makam itu adalah makam Djoko Wulur. (DJW:30).
Berdasarkan analisis dan data cerita ”Dongeng Djoko Wulur” dapat dikemukakan bahwa ajaran moralnya ialah bahwa orang (1) tidak boleh malas, (2) tidak boleh serakah, (3) harus berperikemanusiaan dalam menjalani hidup, dan (4) harus menerima keadaan dirinya sesuai dengan kehendak Tuhan agar hidup tidak sengsara.
2) Dongeng ”Persahabatan Empat Ekor Binatang”
Cerita ”Persahabatan Empat Ekor Binatang” ditulis dalam buku kumpulan cerita berjudul Cerita Rakyat dari Madura, halaman ke 22–26. Judul cerita itu menunjukkan obyek atau yang dikemukakan dalam cerita. Inti cerita adalah adanya persahabatan empat ekor binatang. Pada awal cerita disebutkan,
Pada suatu hari, burung gagak, kijang, musang, dan kura-kura berjanji bertemu di bawah pohon kesambi besar di kaki bukit. Mereka telah lama menjalin persahabatan dan saling membantu dalam kehidupan” (PEEB:22)
Perjanjian itu mereka tepati, kijang dan musang datang lebih dahulu kemudian disusul gagak. Mereka bertiga menunggu kedatangan kura-kura, tetapi tidak segera datang. Mereka khawatir terjadi sesuatu terhadap kura-kura. Kijang dan musang kemudian menyuruh gagak untuk terbang mencarinya. Di tengah sawah gagak melihat ada seorang laki-laki yang menggendong sesuatu. Oleh karena itu,
Gagak tertarik pada gendongan orang itu. Setelah diperhatikan dengan cermat, ternyata gendongan itu berupa jaring perangkap. ... Dia pun terbang rendah mendekati lelaki itu. Alangkah terkejut hatinya setelah melihat kaki kura-kura tersembul dari sela-sela lubang jaring. (PEEB:23)
Setelah mengetahui hal itu, burung gagak segera memberitahukannya kepada kijang dan musang. Kemudian terjadilah dialog berikut ini,
”Begitu pemburu itu lewat, langsung akan kuserang,” kata musang.
”Pemburu itu bisanya membawa senjata,” kata kijang, ”kalau kauserang, enak saja ia memukulmu dengan senjatanya. Apalagi pemburu itu sudah terlatih memainkan senjata. Engkau bisa celaka kalau menyerang tanpa perhitungan.”
”Tidak apa aku mati demi membela sahabatku,” jawab musang.
”Kalau kau cinta kepada kura-kura,” kata kijang, ”kita harus kompak. Kita atur cara terbaik untuk menolong kura-kura.” (PEEB:24)
Ketiga binatang itu lalu bermusyawarah mengatur siasat untuk mengecoh pemburu agar meletakkan jaring perangkap yang berisi kura-kura. Hasilnya ialah dengan cara kijang berjalan di dekat pemburu sehingga pemburu mengejarnya. Oleh karena harus mengejar kijang yang larinya cepat maka pemburu meletakkan gedongannya. Bagi pemburu daging kijang lebih banyak dan lebih nikmat daripada daging kura-kura. Selanjutnya terjadi peristiwa berikut ini.
Ketika pemburu itu sedang berusaha mendekati kijang, musang pun keluar dari persembunyiannya dan menuju gendongan yang tadi diletakkan si pemburu. Dengan giginya yang tajam, musang memutuskan tali yang mengikat kura-kura. Dalam beberapa menit saja kura-kura sudah bebas. (PEEB:25)
Setelah kura-kura lepas dari jaring pemburu kemudian segera menceburkan diri ke sungai dan musang segera keluar dari rumpun bambu berduri sambil memekik nyaring sebagai tanda bahwa kura-kura telah selamat. Burung gagak segera terbang berkaok-kaok ke udara sebagai tanda kegembiraan karena usaha mereka menolong kura-kura berhasil. Dengan demikian maka keempat binatang itu itu selamat dari ancaman pemburu binatang.
Berdasarkan analisis data yang ada dalam cerita ”Persahabatan Empat Ekor Binatang” dapat dikemukakan bahwa ajaran moralnya ialah (1) jika bersahabat harus kompak dan saling membantu serta tidak boleh tamak, (2) jika memiliki sesuatu sudah cukup untuk memenuhi kebutuhannya jangan dihinakan karena berharap mendapatkan sesuatu yang lebih besar, tetapi belum tentu dapat diraihnya.
3) Asal Usul Nama Dukuh Ranggadadung
Cerita ”Asal Usul Nama Dukuh Ranggadadung” ditulis dalam buku kumpulan cerita berjudul Cerita Rakyat dari Ponorogo (Jawa Timur), pada halaman ke 35–38. Pada awal cerita dikenalkan tokohnya demikian,
Di desa Gondowida inilah pada zaman dahulu hidup seorang lelaki yang bernama Rangga. ... Rangga memiliki seekor kuda sebagai hewan peliharaan. Kuda itu sangat bangus bentuknya. Tubuhnya tinggi tegap. Bulu di tubuhnya belang-belang. Orang-orang desa kemudian menjuluki kuda milik Rangga itu dengan nama Kuda Dawuk (belang). (AUNDR:35)
Pada suatu hari Dawuk, kuda milik Rangga keluar dari kandangnya karena Rangga lupa menutup pintu kandangnya. Ia kemudian mencari ke berbagai penjuru dengan membawa dadung. Pencarian kudanya hingga sampai ke tengah hutan. Di tempat itu kudanya ditemukan sedang istirahat. Ketika kudanya melihat Rangga datang mengejarnya sambil membawa dadung kemudian berlari menjauh karena ketakutan. Rangga terus mengejar kudanya, namun kudanya terus berlari tanpa melihat jalan sehingga menabrak sebuah pohon besar. Oleh karena itu, kuda 13
tersebut mati kemudian oleh Rangga dikuburkan di bawah pohon tersebut. Dengan adanya kejadian itu, akhirnya,
Daerah tempat dikuburkannya kuda dawuk itu kemudian dinamakan Dukuh (bagian dari desa) Dawuk. Rangga sendiri mendapat julukan Ranggadadung karena dia mengejar-ngejar kuda dawuknya sambil memegang dadung (tali). Daerah tempat tinggal Rangga kemudian dinamakan Dukuh Ranggadadung. (AUDR:38)
Berdasarkan analisis dan data cerita ”Asal Usul Nama Dukuh Ranggadadung” dapat dikemukakan bahwa ajaran moral yang ditemukan adalah jika seseorang melakukan pekerjaan tidak boleh tergesa-gesa agar tidak merugi di kemudian hari.
Secara simultan simpulan hasil akhir penelitian Ningsih dkk. (2003) terhadap dongeng anak di Jawa Timur sebagai berikut.
1) Dalam dongeng anak di Jawa Timur terdapat 27 macam anjuran untuk berbuat baik kepada penikmatnya, yaitu orang: (1) harus berperikemanusiaan dalam menjalani hidup, (2) menerima keadaan dirinya sesuai dengan takdir Tuhan, (3) sebagai anak harus berbakti kepada orang tuanya dan mohon doanya setiap melakukan sesuatu yang baik, (4) harus bersikap kesatria, (5) jika mendapat laporan harus dicek kebenarannya, (6) jika mengajarkan ilmu harus tekun dan sabar, (7) jika tidak suka pada suatu ajaran agama tidak memusuhi penganutnya, (8) sebagai anak harus bersedia mengakui perempuan yang melahirkannya sebagai ibu walaupun perempuan itu jelek rupanya, (9) sebagai istri harus setia kepada suami yang baik hati, (10) jika melakukan sesuatu harus dipikir lebih dahulu akibat yang akan terjadi, (11) harus membela yang benar atau kebenaran, (12) hendaklah mendapatkan sesuatu dengan cara halal, (13) jika melakukan pekerjaan harus bersungguh-sungguh tidak boleh ikut-ikutan, (14) hendaknya menolong anak yatim dengan ikhlas, (15) harus mengingat jasa`orang lain yang pernah membantunya, (16) harus hidup rukun dengan tetangga, (17) harus mengindahkan nasihat gurunya, (18) seorang istri harus mengikuti anjuran baik suaminya (19), jika usia sudah lanjut hendaknya segera berwasiat, (20) jika menjadi pegawai/karyawan harus setia kepada atasannya yang bijaksana, (21) sebagai istri hendaknya melaksanakan amanat suaminya, (22) jika mencintai seseorang harus kesatria atau bertanggung jawab, (23) jika melakukan kesalahan kepada orang lain harus segera minta maaf, (24) jika mempunyai makanan lebih harus ikhlas memberi kepada orang lain yang membutuhkan, (25) jika menerima cobaan dari Tuhan hendaknya sabar dan tawakal, (26) harus sabar dalam antrian pemakaian fasilitas umum, (27) serta jika bersahabat harus kompak dan saling membantu.
2) Dalam dongeng anak di Jawa Timur terdapat 17 macam larangan kepada penikmatnya, yaitu orang: (1) tidak boleh malas, (2) tidak boleh serakah, (3) tidak boleh iri hari, (3) tidak boleh memberontak kepada pemerintah yang sah dan baik, (4) jika menjadi pemimpin tidak boleh membiarkan kesulitan yang dipimpinnya/rakyatnya, (5) tidak boleh mencela orang lain, (6) tidak boleh menipu, (7) tidak bolek memaksa orang lain untuk dinikahi, (8) tidak boleh ingkar janji apalagi ingkar janji kepada Tuhan, (9) jangan langsung percaya pada kata orang tentang kejelekan orang lain, (10) tidak boleh serba ingin tahu segala sesuatu yang dilakukan orang lain, (11) tidak boleh sombong, (12) sebagai orang tua tidak boleh pilih kasih kepada anak-anaknya, (13) tidak boleh mencuri, (14) tidak boleh tergesa-gesa menuduh orang lain bersalah jika belum ada buktinya, (15) tidak boleh mengakali atau mengelabuhi orang lain, (16) dan (17) jika melakukan pekerjaan tidak boleh tergesa-gesa.
Berdasarkan temuan adanya ajaran moral dalam dongeng anak di Jawa timur tersebut diketahui bahwa sebagian besar dongeng anak menyaran pada moral ajakan berbuat baik, yaitu sebanyak 27 atau 61,36%, sedangkan yang menyaran pada larangan berbuat buruk sebanyak 17 atau 38,64%. Dengan demikian dapat difahami bahwa metode pendidikan moral atau karakter kepada khalayak sasaran lebih baik menggunakan bahasa persuasif sebagai ajakan untuk berbuat baik daripada menggunakan bahasa yang sifatnya melarang untuk berbuat buruk/jahat, yang dalam bahasa Alquran dikenal dengan istilah amar ma’ruf nahi munkar.
b. Keberadaan Dongeng
Berdasarkan pengamatan pemakalah pada buku-buku ”cerita rakyat” yang diterbitkan oleh berbagai penerbit, ternyata dongeng sudah banyak diinventarisasi oleh orang yang mempunyai kepedulian terhadap cerita rakyat. Misalnya: D. Zawawi Imron dan Zulfa Usman (cerita rakyat Madura), Suripan Sadi Hutomo, Setyo Yuwana Sudikan, dan Edy Santoso (cerita rakyat Jawa Timur), dan Ayu Sutarto, Marwoto, serta Heru S.P. (cerita rakyat Madura dan Banyuwangi). Berbagai dongeng dari Jawa Timur yang aslinya berbahasa Jawa, Madura, dan Using telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Selain itu, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta telah lama menerbitkan laporan inventarisasi dan penelitian cerita rakyat dari seluruh Indonesia (yang di dalamnya terdapat dongeng), bahkan ada cerita dari luar negeri, misalnya ”Cerita Abu Nawas” dan Cerita Rakyat dari Jepang oleh Keiko Fukamachi yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Keberadaan dongeng yang telah diterbitkan dan yang berbahasa daerah di Indonesia serta berbahasa asing telah diindonesiakan tentulah bermaksud agar ceritanya mudah difahami oleh generasi sekarang yang tidak akrab dengan bahasa daerahnya sehingga pesan moralnya cepat terserap. Dengan demikian maka diharapkan kemanfaatannya sebagai dasar moral bangsa, terutama para generasi muda, khususnya anak prasekolah segera terwujud.
c. Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)
Disebutkan dalam Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) bahwa pendidikan anak usia dini merupakan peletak dasar dan utama dalam pengembangan pribadi anak; baik yang berkaitan dengan karakter, kemampuan fisik, kognitif, bahasa, seni, sosial, emosional, spiritual, disiplin diri, konsep diri, maupun kemandirian (Mulyasa, 2012:43). Pendidikan anak usia dini menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I pasal 1 ayat 14, pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian ransangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan memasuki pendidikan lebih lanjut.
Keberadaan PAUD semakin menyeruak ke permukaan publik seiring dengan berdirinya lembaga-lembaga rintisan PAUD di berbagai daerah mulai tingkat kota/kabupaten sampai ke tingkat RT/RW. Hal tersebut terjadi karena adanya program pemerintah yang mendorong semua kalangan masyarakat untuk mendukung terlaksananya PAUD. Pada tahun 2012, Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini mencanangkan Gerakan PAUD Nasional dan menargetkan angka partisipasi kasar (APK) mencapai 64%. Untuk mencapai hal itu maka berbagai strategi dilaksanakan, seperti pemberian bantuan operasional pendidikan (BOP) kepada 1,35 juta anak, pengukuhan Bunda PAUD di tingkat nasional, provinsi, dan kota/kabupaten, pelaksanaan sosialisasi nasional, pelaksanaan kampanye gerakan PAUD nasional, penyelenggaraan layanan PAUD terpadu, optimalisasi lembaga keagamaan, dan perluasan layanan POS PAUD yang mengintegrasikan pelayanan PAUD dan Posyandu di desa/kelurahan.
Adanya gerakan PAUD nasional dengan berbagai macam strategi pada kenyataannya belum mampu memberikan pemahaman yang menyeluruh kepada masyarakat tentang konsep dan urgensi PAUD. Sebagian besar masyarakat masih mengenal PAUD sebagai sebuah lembaga pendidikan untuk anak, bukan sebagai upaya pembinaan pada anak usia dini yang berkisar pada usia 0-6 tahun. Kondisi tersebut semakin rumit ketika terjadi pengkotak-kotakan PAUD di lingkungan masyarakat. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila masyarakat kebingungan dengan istilah PAUD formal, nonformal, dan informal. Kebanyakan pemahaman masyarakat hingga hari ini tentang PAUD adalah bahwa PAUD merupakan jenjang yang lebih rendah dari Taman Kanak-Kanak (TK)/Raudhatul Athfal (RA), yang pada anggapan masyarakat TK/RA bukan termasuk golongan PAUD.
Kenyataan menunjukkan bahwa pemunculan dan perkembangan PAUD di Indonesia saat ini tidak diiringi dengan peningkatan kualitas. Selain itu terdapat kurangnya pemahaman masyarakat tentang praktik pembelajaran yang sesuai untuk anak usia dini. Kenyataan di lapangan, masih banyak pendidik PAUD yang melaksanakan proses pembelajaran tidak sesuai dengan perkembangan anak sehingga menimbulkan dilema baru bagi para orangtua yang belum memiliki pemahaman menyeluruh tentang konsep pendidikan anak usia dini untuk memasukan anak-anak mereka ke lembaga PAUD.
Dalam http://wikipedia.org disebutkan bahwa pendidikan anak usia dini adalah pengajaran formal pada anak-anak oleh orang-orang di luar keluarga mereka atau di luar setting rumah. Dalam sumber yang sama disebutkan juga bahwa pendidikan anak usia dini merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik (koordinasi motorik halus dan kasar), kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual), sosio emosional (sikap dan perilaku serta agama) bahasa dan komunikasi, sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini. Ada dua tujuan diselenggarakannya pendidikan anak usia dini sebagai berikut.
1) Tujuan utama: untuk membentuk anak Indonesia yang berkualitas, yaitu anak yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan tingkat perkembangannya sehingga memiliki kesiapan yang optimal di dalam memasuki pendidikan dasar serta mengarungi kehidupan pada masa dewasa.
2) Tujuan penyerta: untuk membantu menyiapkan anak mencapai kesiapan belajar (akademik) di sekolah.
Pada hakekatnya Anak usia dini merupakan individu yang unik dan memiliki karakteristik khas sesuai dengan tahapan perkembangan usianya. Pada masa itu stimulasi seluruh aspek perkembangan memiliki peran yang sangat penting untuk tugas perkembangan selanjutnya. Mendukung hal tersebut, 18
Montessori dalam Mulyasa (2012) mengungkapkan bahwa masa usia dini merupakan periode sensitif atau masa peka pada anak, yaitu suatu periode ketika suatu fungsi tertentu perlu diransang dan diarahkan sehingga tidak terhambat perkembangannya.
Mulyasa (2012) mengungkapkan bahwa anak usia dini adalah individu yang sedang mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat, bahkan dikatakan sebagai lompatan perkembangan. Hurlock (1978) berpendapat bahwa pola pertumbuhan dan perkembangan anak berbeda satu dengan yang lainnya, pertumbuhan anak bersifat ritmis, bukan regular. Namun demikian anak-anak memiliki pola yang sama dalam pertumbuhan. Rentang usia anak pada masa usia dini ( http://www.wikipedia.com) adalah usia sebelum memasuki usia sekolah formal, umumnya usia 5 tahun di hampir seluruh negara termasuk negara Amerika. Sementara itu, National Association for the Education of Young Children (NAEYC) mendefinisikan anak usia dini sebagai anak dengan rentang usia 0-8 tahun.
Mary Eming Young (2002) dalam tulisannya Ensuring a Fair Start for All Children memaparkan bahwa masa usia dini adalah masa yang rentan dan penuh peluang. Perubahan yang cepat dan dramatis dalam perkembangan mental dan fisik terjadi pada usia tiga tahun pertama kehidupan manusia. Penelitian mengenai perkembangan otak menunjukan bahwa pengalaman pada usia dini dapat membentuk perkembangan individu dan bahwa masa usia dini memberikan suatu kesempatan unik untuk mengubah kehidupan seluruh anak.
Bloom (dalam Mulyasa, 2012) mengemukakan bahwa separuh potensi manusia sudah terbentuk ketika berada dalam kandungan sampai usia 4 tahun; dan 30% terbentuk pada usia 4–8 tahun. dengan demikian 80% potensi manusia tersebut terbentuk dalam kehidupan rumah tangga dan lingkungan sekitarnya.
Keberadaan anak usia dini telah dibicarakan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh pada press conference berkaitan dengan rencana peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2012 di Gedung A Kemdikbud Senayan, Jakarta, Senin (30/4/12). Pada saat itu ditetapkan bahwa tema Hardiknas adalah “Bangkitnya Generasi Emas Indonesia”. Yang dimaksud generasi emas di sini adalah mempersipakna generasi emas 100 tahun Indonesia merdeka, yaitu tahun 2045. Sebelum tahun 2045 terdapat bonus demografi Indonesia yang berlangsung pada tahun 2010–2035, yaitu pada saat usia produktif paling tinggi di antara usia anak-anak dan orang tua. Kelak pada tahun 2045 mereka yang berusia 0–9 tahun akan berusia 35–45 tahun, sedangkan yang berusia 45–54 tahun, Mohammad Nuh menilai, pada usia-usia itu yang memang memegang peran di suatu negara. Oleh karena itu, kata Mohammad Nuh, telah menyiapkan grand design pendidikan, yaitu pendidikan anak usia dini digencarkan dengan gerakan PAUD-isasi, peningkatan kualitas PAUD, serta pendidikan dasar berkualitas dan merata. http://www.pikiran-rakyat.com/node/186763
Berdasarkan uraian tersebut maka pembangunan karakter anak harus dimulai sejak dini baik melalui jalur informal, formal, maupun nonformal dengan menciptakan lingkungan yang baik dan sehat.
d. Strategi Revitalisasi dan Sosialisasi Dongeng
Berdasarkan pengamatan pemakalah, ada suatu strategi revitalisasi dan sosialisasi dongeng yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Timur, yang kemungkinan besar berasal dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, bahwa setiap menyongsong hari jadi Pendidikan Nasional, 2 Mei, senantiasa diadakan berbagi macam lomba di dunia pendidikan mulai Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) baik untuk sekolah SMA, SMK, dan Madrasah hingga tingkat prasekolah, taman kanak-kanak dan pendidikan anak usia dini. Di antara berbagai macam lomba yang diadakan, salah satunya adalah lomba dongeng untuk para guru prasekolah. Sedangkan, untuk siswa prasekolah lomba yang senada ditampilkan adalah “lomba bercerita kegiatan sehari-hari” dengan tema hampir sama pada setiap tahunnya. Dalam hal itu pemakalah mengetahui karena sering menjadi juri, baik untuk tingkat kecamatan maupun kabupaten.
Pengamatan selanjutnya dalam acara lomba dongeng untuk para guru prasekolah mengenai tema dan kompetensi yang diinginkan sudah ditentukan oleh tingkat provinsi. Penampilan mendongeng ada yang tanpa alat peraga dan ada yang menggunakan alat peraga. Tokoh yang berperan dalam dongeng adalah manusia dan atau binatang, Adapun bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia karena khalayak sasaran, siswa prasekolah, lebih akrab dengan bahasa Indonesia daripada bahasa daerah (Jawa, Madura, Using). Kenyataan menunjukkan bahwa, para guru prasekolah dalam mendongeng ada yang belum trampil dan ada yang tekstual, seperti menghafal teks. Kreatifitasnya pun belum banyak yang berkualitas. Oleh karena itu mereka kadang-kadang masih harus didampingi oleh orang yang mengikuti representasi dongeng pada masa kini, dalam arti masih perlu konsultasi kepada orang yang berkompentensi di bidang dongeng. Hal itu mungkin disebabkan guru anak prasekolah dalam hal ini adalah PAUD, hanya sebagian kecil yang berpendidikan S1 PAUD. Berdasarkan data Rekapitulasi Kartu Tanda Anggota HIMPAUDI Kecamatan Sumbersari (kecamatan dalam kota), dari sejumlah 171 yang berijazah S1 PAUD sejumlah 6 orang (3,5%), yang lainnya S1 dari berbagai jurusan bahkan ada yang lulusan S1 Kedokteran Gigi, SLTA berbagai macam, PGA, serta Diploma. Keadaan seperti itu, kemungkinan besar menjadi gambaran keberadaan guru PAUD di kecamatan lain di Kabupaten Jember, bahkan di seluruh wilayah Indonesia.
Salah satu tugas guru PAUD adalah mendidik anak untuk berkarakter baik. Di antara pembentukan karakter siswa didik adalah melalui dongeng, yang tema dan amanatnya ajakan untuk berbuat baik. Oleh karena sebagian besar guru PAUD bukan lulusan pendidikan PAUD maka perlu ada pembinaan kepada guru-guru PAUD untuk memiliki kemampuan mendidik siswanya, demi tercapainya tujuan utama PAUD, membentuk anak Indonesia yang berkualitas, yaitu anak yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan tingkat perkembangannya sehingga memiliki kesiapan yang optimal di dalam memasuki pendidikan dasar serta mengarungi kehidupan pada masa dewasa. Pemakalah (saya) sering diminta oleh para guru prasekolah untuk memberi arahan cara mendongeng yang kontekstual. Alhamdulillah pernah pemakalah (saya) memberi pengarahan kepada seorang guru prasekolah dari organisasi „Aisyiyah yang akan mengikuti lomba tingkat Provinsi Jawa Timur, hasilnya cukup memuaskan, menjadi Juara II. Berdasarkan pengalaman tersebut maka jika para guru prasekolah diberi pembinaan mendongeng maka mereka mampu melaksanakan.
Perlu diingat juga bahwa hasil penelitian Ningsih dkk. (2003) tentang dongeng anak di Jawa Timur, di antaranya adalah adanya amanat “cinta tanah air”. Apabila hal itu terjadi di berbagai penjuru Indonesia maka dapat dengan serentak tujuan pendidikan PAUD tercapai sehingga ketika anak didik menjadi pemimpin bangsa dapat terwujud pemimpin yang amanah. Sebagai akibatnya adalah kehidupan kebangsaan akan kokoh (cinta NKRI) dan masyarakat hidup sejahtera.
Sebetulnya untuk memiliki kemampuan mendongeng tidak harus melalui pendidikan guru atau S1 PAUD. Kemampuan mendongeng ada kalanya disebabkan karena kecintaan pada dongeng itu sendiri dan ada kalanya karena kecintaan kepada anak-anak sehingga ingin membuatnya senantiasa gembira atau jika dalam keadaan sedih mendapatkan hiburan. Dalam Acara Kick Andy, Metro TV, Jumat, pk. 22.30, 26 Juli 2013, Imam Surahman Hadi dkk. telah membentuk Gerakan Para Pendongeng untuk Kemanusiaan (GEPUK) dan telah mendongeng ke daerah bencana. Mereka pernah datang ke Yaman untuk menghibur para korban perang dengan cara mendongeng. Di antara mereka ada yang memang mempunyai profesi mendongeng dan ada yang karena hoby saja. Gerakan mereka independent dan swadana, namun berhasil menghibur masyarakat yang membutuhkan.
Berdasarkan uraian tersebut, makalah ini menawarkan ”strategi revitalisasi dan sosialisasi dongeng” kepada pemerintah dan atau instansi terkait, serta pemerhati dongeng untuk melakukan hal berikut.
1.       Pembangunan/pembentukan rumah dongeng di tempat pendidikan berlangsung;
2.      Membina para pendongeng muda untuk ditugasi mendongeng di lembaga pendidikan anak usia dini (PAUD). Dipilihnya PAUD menjadi sasarn karena empat pertimbangan: (1) anak-anak lebih mudah menyukai dongeng daripada cerita sehari-hari, (2) lembaga pendidikan PAUD sangat kekurangan tenaga pendidik dan tenaga pendongeng, (3) tahun 2013 pemerintah sudah memulai program penyiapan generasi emas dimulai dari pendidikan anak usia dini, (4) siswa PAUD berada dalam masa golden ages, sehingga nilai-nilai karakter bangsa dapat tertanam kuat dalam jiwa anak hingga dewasa kelak;
3.      Menginventarisasi dan mengindonesiakan dongeng yang masih tersimpan dalam bahasa daerah di Indonesia maupun bahasa asing kemudian disosialisasikan kepada seluruh masyarakat Indonesia, terutama kepada para pendidik dan pemerhati dongeng agar amanatnya dapat diamalkan. Hal itu juga memotivasi untuk memperkokoh NKRI.
4.      Diadakan lomba dongeng bagi mahasiswa yang mengikuti mata kuliah folklore atau filologi, jika ada dalam kurikulum di tingkat perguruan tinggi.
5.      Program Studi Sastra Indonesia mengadakan lomba dongeng untuk kalangan akademisi dan umum.
Penutup
Pembinaan karakter bangsa Indonesi menjadi tugas semua warna negara dan seluruh lapisan masyarakat. Oleh karena itu perlu adanya keterjalinan yang erat di antara warna negara Indonesia dan saling tukar menukar kreatifitas budaya lokal agar menumbuhkan rasa saling memilikinya.

Daftar Pustaka
A. Pustaka Sumber Data
Hutomo, Suripan Sadi dan E. Yonohudiono. 1996. Cerita Rakyat dari Banyuwangi. Jakarta:PT Gramedia Widiarsana Indonesia.
Hutomo, Suripan Sadi dan Setya Yuwana Sudikan. 1996. Cerita Rakyat dari Surabaya. Cetakan Ketiga. Jakarta: PT Gramedia Widiarsana Indonesia.

Imron, D. Zawawi. 2000. Cerita Rakyat dari Madura. Cetakan Kedelapan. Jakarta: PT Gramedia Widiarsana Indonesia. 23
Santoso, Edy. 2003. Cerita Rakyat dari Ponorogo (Jawa Timur). Jakarta: PT Gramedia Widiarsana Indonesia.
__________. 2003. Cerita Rakyat dari Jawa Timur 3. Jakarta: PT Gramedia Widiarsana Indonesia.
Setyawan, Dwianto. 1996. Cerita Rakyat dari Jawa Timur 2. Jakarta: PT Gramedia Widiarsana Indonesia.
__________. 1999. Cerita Rakyat dari Jawa Timur. Jakarta: PT Gramedia Widiarsana Indonesia.
Suparlan, Y.B. Penyunting. 2003. Cerita Rakyat Indonesia: Dewi Rinjani. Cetakan Keenam. Yogyakarta:Kanisius.
__________. Penyunting. 2003. Cerita Rakyat Indonesia: Putri Dara Dante. Cetakan Keenam. Yogyakarta:Kanisius.
__________. Penyunting. 2003. Cerita Rakyat Indonesia: Putri Rumpun Bambu. Cetakan Keenam. Yogyakarta:Kanisius.
__________. Penyunting. 2003. Cerita Rakyat Indonesia: Walan Sendow. Cetakan Ketujuh. Yogyakarta:Kanisius.
Usman, Zulfa. 1996. Cerita Rakyat dari Bawean (Jawa Timur). Cetakan Kertiga. Jakarta:PT Gramedia Widiarsana Indonesia.

B. Pustaka Sumber Rujukan
Danandjaja, James. 1991. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-Lain. Cetakan ketiga. Jakarta:PT Temprint.
Hurlock, Elizabeth B. 1978. Guideposts for Growing Up. Chicago:Standar Educational Corporation.
Imron, D. Zawawi. 1976. Campaka. Jakarta:Kinta.
Mulyasa, H.E. 2012. Manajemen PUD. Bandung:PT Remaja Rosdakarya
Ningsih, Sri dkk. 2000. ”Cerita Rakyat Using Banyuwangi”. Kantor Wilayah Surabaya Provinsi Jawa Timur, Proyek Pembinaan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Jawa Timur, Departemen Pendidikan Nasional.
Ningsih, Sri dkk. 2003. ”Struktur dan Ajaran Moral dalam Dongemg Anak di Jawa Timur”. Bagian Proyek Pembinaan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Jawa Timur Tahun 2003. (Laporan Penelitian).
Sujiono Yuliani N. 2011. Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta:PT Indeks
Young, Mary Eming. 2002. From Early Child Development to Human Development. Wasington:The World Bank.

C. Media
Acara Kick Andy, Metro TV, Jumat, pk. 22.30, 26 Juli 2013
http://www.wikipedia.com
http://www.pikiran-rakyat.com/node/186763

Tulisan ini disampaikan dalam Kongres Bahasa Indonesia X di Hotel Grand Sahid Jaya, 28—31 Oktober 2013 yang digelar Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta 2013


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...