OLEH HILMAR FARID
Hilmar Farid saat mempresentasikan makalahnya di KKI III Bandung |
Ada dua kongres kesenian setelah
Indonesia merdeka. Kongres pertama masih di masa kejayaan Orde Baru pada 1995
dan kongres kedua di masa awal pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.
Kesimpulan dan rekomendasi dari kedua kongres sebenarnya sangat jelas dalam
kaitannya dengan diskusi mengenai negara dan kesenian atau politik kesenian.
Sayangnya institutional memory yang lemah membuat kita sering mengulang lagi
apa yang sudah dibicarakan dan diputuskan sebelumnya. Akan baik jika peserta
kongres sekarang mendapat salinan dari kesimpulan dan rekomendasi dua kongres
sebelumnya sehingga bisa melihat apa yang sudah dicapai, apa yang belum
dicapai, beserta alasannya. Dari sini kita bisa melihat peta permasalahan lebih
konkret dan akan menemukan jawaban yang lebih jitu pula.
Kongres 1995 membuat delapan rekomendasi,
antara lain mengenai kesenian dalam kurikulum sekolah, pengetahuan aparat
pemerintah mengenai kesenian, soal bantuan hukum bagi seniman (dalam konteks
sensor dan represi terhadap kesenian), serta perlunya lembaga kesenian yang
bersifat nasional. Rekomendasi dari Kongres 2005 jauh lebih rinci menyangkut
infrastruktur dan manajemen kesenian, dukungan APBN dan sektor usaha,
pendidikan kesenian khususnya di kawasan timur, soal balai seni untuk
penelitian dan pengembangan kesenian, dukungan bagi kantung dan komunitas
budaya, peran aktif seniman dalam tata kota, dan lainnya. Kongres juga menuntut
adanya UU Kesenian dan dibentuknya Departemen Kebudayaan.
Banyak rekomendasi dari kedua kongres
tersebut belum dilaksanakan. Mengapa begitu? Sementara kalau melihat agenda
kerja Ditjen Kebudayaan, khususnya Direktorat Kesenian, banyak sekali yang
dikerjakan, dari revitalisasi taman budaya dan Sinematek, beragam acara
kesenian di pusat maupun daerah, restorasi karya seni, pengiriman misi kesenian
ke luar negeri, bioskop keliling, dan sebagainya. Dalam Rencana Kerja
Pemerintah 2016 ada peningkatan kompetensi ribuan guru seni, pengembangan
materi ajar melalui film, pembangunan pusat kesenian Indonesia dan laboratorium
seni budaya di berbagai daerah. Belum lagi “demam festival” yang melanda
berbagai daerah melibatkan dinas kebudayaan (dan/atau pariwisata) setempat.
Dengan kata lain, kita tidak kekurangan
gagasan dan juga tidak kekurangan tindakan. Pertanyaannya kemudian, apakah gagasan
dan tindakannya itu nyambung? Apakah rekomendasi kongres itu benar
diterjemahkan menjadi tindakan atau tidak? Apakah tindakan berbagai instansi
pemerintah di bidang kesenian itu bersumber dari gagasan yang dibicarakan
panjang-lebar dalam kongres dan berbagai kesempatan lainnya? Lebih jauh lagi,
apakah berbagai kegiatan dan tindakan itu terkait satu sama lain dan menjadi
bagian dari sesuatu (strategi) yang lebih besar? Ataukah hanya merupakan
himpunan kegiatan atau proyek yang padam segera setelah dilaksanakan (atau
dalam beberapa kasus, bahkan sebelum selesai dilaksanakan)?
Kita tahu banyak hasil kongres, seminar
atau forum sejenis, yang berakhir di rak atau laci para pejabat dan pegawai,
termasuk mereka yang mendapat mandat untuk melaksanakan tindak lanjutnya, tanpa
pernah dibaca apalagi dipelajari. Mengapa? Menurut saya masalahnya bukan hanya
karena watak dan kultur birokrasi (saja) tapi juga, atau mungkin terutama,
karena kedua kongres dan acara sejenis itu tidak memiliki kedudukan yang kuat
dalam tata kuasa di negeri ini. Sejauh ini tidak ada kementerian atau lembaga
yang dapat menindaklanjuti berbagai rekomendasi penting tersebut, bukan karena
tidak tahu dan tidak mau, tapi karena tidak punya kekuatan politik dan
sumberdaya cukup. Bagaimana mungkin misalnya, Direktur Seni dan Film di Ditjen
Kebudayaan memastikan dukungan APBN, APBD dan PKBL (BUMN) dan CSR (swasta)
untuk kesenian, seperti diamanatkan Kongres 2005?
Agar kita tidak mengulangi kesalahan yang
sama dalam kongres ini harus dipikirkan mekanisme kelembagaan yang akan
menindaklanjuti kesimpulan dan rekomendasi dari kongres ini. Dalam Kongres 1995
para peserta mengharapkan Ditjen Kebudayaan untuk menindaklanjuti keputusan
kongres. Dalam Kongres 2005 peserta meminta Ditjen Nilai Budaya, Seni dan Film
untuk memfasilitasi pelaksanaan rencana aksi yang dibuat. Dalam kedua
kesempatan tim perumus dan panitia kongres menjalani ritual menemui presiden
dan pejabat tinggi negara lainnya dan menyerahkan keputusan kongres untuk
ditindaklanjuti. Tapi nyatanya kedua ditjen itu kesulitan untuk menindaklanjuti
rekomendasi yang paling sederhana sekalipun, yakni melaksanakan kongres
kesenian setiap lima tahun dan bukan setiap sepuluh tahun. Masalahnya kemudian
mekanisme kelembagaan apa yang diperlukan?
Jawaban atas pertanyaan itu sangat
terkait dengan program pemerintah secara umum dan aransemen kelembagaan yang
ada di bidang kesenian. Setelah pemilihan presiden 9 Juli 2014 lalu program
politik Jokowi-JK yang berjudul Jalan Perubahan meningkat statusnya menjadi amanat
rakyat untuk dilaksanakan. Program politik itu menetapkan visi pemerintah untuk
lima tahun ke depan adalah “membangun Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan
berkepribadian berlandaskan gotong royong.” Visi yang ringkas dan jelas, yang
kemudian dijabarkan menjadi 31 agenda pokok dengan 9 agenda prioritas yang
dikenal dengan sebutan Nawacita. Dalam kaitannya dengan kesenian program itu
secara eksplisit menyebut(1) pembentukan lembaga kebudayaan sebagai basis
pembangunan budaya dan karakter bangsa Indonesia, (2) pembangunan pusat-pusat
kebudayaan, kesenian, museum
Ada beberapa butir lain dari dokumen
Jalan Perubahan itu yang penting diperhatikan dalam kaitannya dengan kesenian.
Pertama, soal negara hadir untuk menjamin keamanan warga terutama terhadap
sikap sektarian yang intoleran. Kedua, soal membangun Indonesia dari pinggiran,
khususnya daerah dan desa. Dalam kaitannya dengan kesenian artinya lembaga
kebudayaan atau pusat kesenian harus diarahkan untuk membangun masyarakat yang
lebih inklusif baik dari segi sosial maupun geografis. Ketiga, soal tempat
kesenian dalam peningkatan kualitas hidup. Kesenian selama ini dianggap sebagai
kemewahan dan bukan elemen dasar dari kehidupan. Perlu ada reorientasi yang
tercermin antara lain dalam sistem pendidikan. Keempat, penguatan modal sosial
terutama kepedulian, gotong royong dan kepercayaan sosial. Semua ini adalah
arah kebijakan yang strategis sifatnya.
Di sini kita akan memasuki persoalan
kunci yang selama ini membuat gagasan dan tindakan berjalan terpisah, yakni penjabaran
strategi umum ke tingkat program dan kemudian ke tingkat kegiatan yang konkret.
Prosesnya di dalam pemerintahan sangat kompleks karena menuntut kerja sama yang
padu antara Bappenas, Kemenkeu, berbagai kementerian dan lembaga sektoral,
serta DPR. Seperti kita tahu proses ini jauh dari mudah dan sangat diwarnai
kepentingan politik, kepentingan komersial (proyek), dan juga pertimbangan
ketersediaan sumber daya. Jangankan memastikan partisipasi publik, di kalangan
pejabat dan pegawai negara pun masih banyak perdebatan tentang pembagian kerja,
kewenangan, alokasi anggaran yang tumpang-tindih atau beririsan. Kegiatan yang
dengan tajuk ‘kesenian’ tersebar di berbagai K/L yang belum tentu berkomunikasi
satu sama lain.
Dalam situasi seperti itu tidak mengherankan
jika kesimpulan dan rekomendasi kongres tidak menemukan slot atau tempatnya
lalu menguap. Untuk memastikan agar hasil dari kongres ini tidak menguap lagi
maka pembahasannya perlu juga mempertimbangkan nomenklatur dalam birokrasi yang
terkait dengan kesenian. Masalahnya di dalam birokrasi pun nomenklatur ini
belum sepenuhnya jelas bahkan sampai para pejabat dan pegawai pun mengeluh
karena adanya perubahan terus-menerus. Pengalaman selama ini sudah cukup
kiranya untuk menyimpulkan bahwa kita tidak mungkin menunggu kejelasan datang
dari birokrasi. Kejelasan hanya mungkin datang dengan gerakan dan aksi, dan
kongres ini adalah forum yang tepat untuk memulainya.
Langkah pertama yang sangat mendasar
adalah meninjau secara kritis apa yang sesungguhnya kita hadapi. Kita ingin
karya seni yang baik. Kita ingin seniman hidup layak agar dapat menghasilkan
karya seni yang baik. Kita ingin karya seni yang baik dinikmati sebanyak
mungkin orang sehingga masyarakat menjadi lebih baik. Kita punya daftar
keinginan yang sangat panjang. Untuk memastikan semua keinginan bisa tercapai
kita perlu menempatkannya dalam kerangka sistem yang jelas. Kita perlu melihat
apa saja unsur pembentuk dari sistem itu dan memperhatikan saling-hubungan di
antaranya. Dengan kerangka itu kita bisa terhindar dari daftar keinginan yang
panjang dan melihat masalahnya secara strategis dengan membedakan akar dari
batang, dahan, ranting dan daun. Melanjutkan rujukan kepada alam ini, kita
perlu melihat kesenian sebagai sebuah ekosistem.
Titik berangkat kita adalah kesenian itu
sendiri. Ada banyak definisi dan pengertian kesenian dan biarlah para ahli yang
memperdebatkannya. Hal yang pasti bahwa seni hidup dalam ruang sosial. Sesuatu
menjadi karya seni ketika dikomunikasikan kepada yang lain. Sebuah naskah drama
yang hebat tidak akan menjadi kesenian jika tersimpan dalam laci tanpa ada
orang lain tahu. Dengan kata lain ada kondisi di luar karya itu sendiri yang
memungkinkan kesenian yang untuk mudahnya kita bagi saja menjadi pengetahuan
dan fasilitas. Paduan di antara keduanya memungkinkan orang mencipta sebuah
karya, menikmati karya yang diciptakan, mengkomunikasikannya kepada orang lain,
sehingga menjadi satu siklus kesenian atau art cycle. Dampak dari keseluruhan
siklus ini bisa bersifat individual (kita berbahagia karena mengalami peristiwa
seni yang indah) dan bisa juga bersifat kolektif (masyarakat menjadi lebih
toleran terhadap perbedaan karena sering terpapar pada karya dan peristiwa
kesenian).
Mari kita perdalam masing-masing bagian
lebih jauh. Di tingkat yang paling awal ada pengetahuan dan fasilitas.
Pengetahuan dapat dibentuk melalui lembaga pendidikan formal di sekolah dasar,
menengah dan tinggi (sekolah seni), maupun melalui sanggar atau dengan berguru
kepada seorang ahli/empu. Keseluruhan hubungannya cukup kompleks dan membentuk
sebuah sub-sistem tersendiri. Demikian pula fasilitas atau infrastruktur
kesenian yang mencakup art venue, organisasi kesenian, lembaga dan jaringan
lembaga, dan kebijakan publik mengenai kesenian. Keseluruhan hubungan berbagai
unsur ini pun membentuk sebuah sub-sistem yang memiliki daya hidup dan
permasalahannya sendiri. Pertanyaannya kemudian apakah aransemen seperti ini
mendukung siklus kesenian yang mencakup kreasi, produksi, distribusi dan
konsumsi? Apakah lembaga yang bertanggungjawab mengurus art venue sudah
memadai? Apakah didukung dengan anggaran cukup? Berapa jumlah sekolah seni
sekarang? Bagaimana distribusinya secara geografis agar bisa ‘membangun
Indonesia dari pinggiran’?
Pekerjaan besar di sini adalah menandai
kekosongan di tingkat aturan, kelembagaan dan juga anggaran. Balitbang
Kemendikbud bisa bekerja sama dengan perguruan tinggi dan berbagai organisasi
kesenian dan budaya untuk menyelesaikan pekerjaan ini. Peran negara lebih jauh
adalah fokus pada apa yang tidak mungkin disediakan oleh publik sendiri.
Seperti misalnya sekolah seni. Kita tahu sekolah seni tidak ‘menjual’ antara
lain karena seniman belum dianggap sebagai profesi yang stabil. Seniman bisa
sangat makmur bisa juga sebaliknya. Karena itu negara harus hadir untuk
menyediakan lembaga pendidikan seni, membantu sanggar dan organisasi yang
menyelenggarakan pendidikan kesenian dalam berbagai bentuk. Begitu pula halnya
dengan art venue. Negara hadir
menyediakan art venue dengan dukungan
dana cukup agar tidak perlu mencari tambahan masukan (atau pemasukan utama)
dengan menyewakannya untuk kawinan, dan agar kongres kesenian tidak perlu lagi
diselenggarakan di hotel.
Tingkat selanjutnya adalah siklus
kreasi-produksi-distribusi-konsumsi kesenian yang masing-masing bagiannya bisa
dibaca sebagai sub-sistem tersendiri. Kreasi misalnya walau bersifat individual
tapi juga punya dimensi sosial. Agar dapat mencipta seseorang perlu
menyelesaikan urusan reproduksinya sebagai individu dengan memenuhi berbagai
kebutuhan dasarnya. Produksi hampir selalu bersifat sosial karena melibatkan
berbagai pihak dalam prosesnya sekalipun itu pementasan naskah monolog misalnya
atau sebuah pameran tunggal. Distribusi dan konsumsi juga merupakan proses
sosial karena menyangkut seleksi karya yang akan ditampilkan, promosi dan
komunikasi, serta partisipasi publik. Kehadiran negara di tingkat ini kerap
mengundang perdebatan. Di satu sisi kehadiran negara dirasakan perlu sebagai
fasilitator, tapi di sisi lain kehadiran negara dicurigai akan melakukan
intervensi.
Dalam prakteknya sekarang ada beberapa
K/L yang mengurus siklus kesenian ini – walau parsial dan dengan fasilitas
sangat terbatas – seperti Kemendikbud, Kemenpar, dan juga Badan Ekonomi
Kreatif. Melihat skala dan jangkauannya selama ini, belum lagi kecurigaan
adanya intervensi, aransemen kelembagaan ini mungkin tidak lagi efektif. Kita
perlu mekanisme kelembagaan independen yang punya kekuatan dan sumberdaya
cukup, semacam lembaga atau dewan kesenian di tingkat nasional, sementara K/L lebih
bertindak sebagai fasilitator. Khususnya dalam interaksi dengan seniman dan
tenaga kreatif, seleksi karya yang akan ditampilkan, dan berbagai dimensi
‘intelektual’ dari proses ini sebaiknya diserahkan kepada mekanisme kelembagaan
yang independen tersebut. Mengingat kedudukan dan fungsinya untuk melakukan
koordinasi lintas-K/L maka kewenangannya perlu diperkuat oleh setidaknya
Peraturan Presiden.
Di samping itu perlu dibentuk badan
independen lain yang mengurus segi finansial dari siklus kesenian ini agar
tidak bergantung pada anggaran negara. Badan independen ini bisa memberikan
hibah kepada seniman atau proyek seni yang potensial (dan tidak mungkin
dibiayai langsung dari anggaran negara karena satu atau lain alasan). Ada
banyak sekali model di dunia yang bisa diikuti dan biayanya juga tidak luar
biasa sekali. Anggaran dari National Endowment of the Arts di Amerika sekitar
USD 146,2 juta atau sekitar Rp 2,02 trilyun untuk tahun 2015. Masih lebih kecil
dari anggaran Jaring Aspirasi Masyarakat (Jasmas) yang dikorupsi oleh dua
pegawai Pemprov Jawa Timur pada tahun 2012-2013, yang kasusnya mencuat
belakangan ini. Selama 2001-2015 ada 1.365 kasus korupsi yang sudah berkekuatan
hukum atau in kracht van gewijsde dengan total nilai Rp 168,19 trilyun. Jika
kita bisa menyelamatkan separuhnya saja, maka Dana Hibah Kesenian di Indonesia
mungkin bisa dua kali lipat daripada National Endowment of the Arts.
Tingkat yang terakhir menyangkut manfaat
dan dampak dari siklus kesenian terhadap individu maupun masyarakat yang lebih
luas. Ukuran yang dipakai di sini adalah peningkatan kualitas hidup seperti
halnya pendidikan dan kesehatan. Kita percaya bahwa kesenian bisa membuat
pengetahuan bertambah, kapasitas berpikir menguat, imajinasi berkembang,
sehingga masyarakat sebagai keseluruhan lebih kreatif dalam memecahkan masalah.
Kita percaya bahwa kesenian mengkomunikasikan hal-hal yang mungkin sulit
disampaikan dengan cara lain, mengangkat hal-hal yang disembunyikan karena
berbagai hambatan sosial, yang kesemuanya bermuara pada pembentukan dan
penerimaan nilai-nilai baru yang sangat diperlukan bagi kemajuan masyarakat.
Sisi yang lebih tangible tentunya menyangkut ekonomi kesenian yang jika
ditekuni dengan sungguh-sungguh bisa menjadi sektor yang sangat signifikan.
Kehadiran negara di tingkat ini tentu
sangat diperlukan dan sudah melibatkan berbagai unsur dan cabang birokrasi yang
tidak terkait langsung dengan kesenian, seperti misalnya Dirjen Pajak,
Kemendag, Kemenperin, Kemenhan, dan lainnya. Sudah ada sejumlah peraturan
khususnya untuk menarik manfaat ekonomi dari siklus kesenian. Belum ada
peraturan yang memungkinkan kontribusi pelaku ekonomi secara langsung kepada
siklus kesenian seperti misalnya aturan tax-deductible donations, yang
mengkonversi pajak menjadi sumbangan bagi kesenian. Untuk manfaat yang
intangible diperlukan institusi kritik yang solid. Negara bisa berperan dengan
menerbitkan (kembali) jurnal sastra dan seni yang sangat marak pada 1950an tapi
padam sama sekali hari ini. Media elektronik juga perlu menjadi bagian dari
ekosistem ini dengan memperbesar ruang untuk kritik dan kajian yang sangat
diperlukan.
Gambaran mengenai ekosistem kesenian ini
masih perlu dilengkapi dengan rincian aktor dan lembaga serta perangkat aturan
hukum yang membentuk hubungan di antaranya. Diperlukan berbagai keahlian mulai
kajian hukum, manajemen dan politik, sampai pada ekonomi dan keuangan, di
samping tentunya berbagai bidang kesenian dan kebudayaan. Untuk memastikan
bahwa berbagai temuan dan hasil kajian bermuara pada tindakan diperlukan
keterlibatan dari berbagai K/L terkait di tingkat pusat maupun daerah, DPR/D,
dewan kesenian dan organisasi kesenian, serta tentunya seniman sendiri.
Kesepakatan dan kerja sama yang terbentuk dalam prosesnya akan menjadi jalan
untuk memecahkan tumpang-tindih kewenangan dan kelembagaan yang ada selama ini.
Saya berharap kongres ini menjadi langkah penting menuju ke arah itu.
Disampaikan pada Kongres Kesenian Indonesia III di Bandung, 2-5 Desember
2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar