OLEH NIRWAN DEWANTO
Mendikbud Anies Baswedan saat buka KKI III di Bandung |
Forum-Kongres
yang kita hadiri untuk tiga hari ke depan ini niscayalah mengandung ironi yang
begitu besar. Dalam hubungannya dengan produksi seni, penyebaran hasil-hasil
seni, pemeliharaan sumber-sumber kreatif, pembinaan masyarakat pemirsa, dan
perhubungan internasional antar-pekerja seni, dan segala hal yang
bertali-temali dengan itu, sudah lama kita tak melihat peran Negara.
Kaum
seniman dan pekerja seni adalah bakat-bakat alam yang mencari jalan sendiri di
tengah lautan kemiskinan dan mediokritas: sebagian besar “mati” sebelum karir
mereka sungguh-sungguh berkembang, dan hanya sebagian kecil berlanjut dengan
reputasi yang kokoh untuk jangka waktu yang panjang. Sementara berbagai
“institusi” seni (komunitas-komunitas seni, pusat-pusat seni, berbagai situs
yang memungkinkan kreativitas dan penyebaran seni terjadi) hanya hidup dengan
berbagai inisiatif pribadi berjangka pendek, yaitu sebatas usia para pendiri
masing-masing, bahkan lebih pendek lagi. Pada hemat saya, kesenian kita dalam
tiga dasawarsa terakhir ini adalah cerminan kebebasan dan segala cadangan
kreatif yang ada di luar ranah Negara. Dengan demikian, kita bertanya-tanya
mungkinkah suara-suara yang tercetus dari forum ini sampai ke telinga
Negara—dan, kemudian, apakah Negara sanggup menggerakkan tubuh dan jiwanya
untuk menjadi bagian dari kehidupan kesenian mutakhir.
Saya tekankan “kehidupan kesenian mutakhir”, sebab visi kebudayaan dari
pihak Negara—jika visi semacam itu ada; dan tentu saja “ada” bukan hanya sebagai
cetak biru, tetapi juga sebagai cerminan dari sikap umum masyarakat
“pascakolonial”—adalah “kebudayaan nasional sebagai puncak-puncak kebudayaan
daerah”. Kurang lebih, kesenian nasional yang diminati, dipelihara dan
diproyeksikan ke masa depan adalah bentuk-bentuk yang setara dengan Taman Mini
Indonesia Indah atau Cakrawala Budaya Nusantara (nama sebuah mata acara TVRI di
zaman Orde Baru dulu)—dan “garis” ini belum banyak berubah hingga sekarang. Ke
mancanegara, diplomasi kebudayaan yang dikerjakan oleh Negara tidak lebih
daripada menghadirkan kesenian “kartupos bergambar” semacam itu: Indonesia
adalah sebuah negeri Timur, yang selalu harus mentimur-timurkan dirinya. Di
luar arus “fundamentalisme Timur” yang lebih cocok menjadi proyek turisme itu,
hasil-hasil kesenian mutakhir—yaitu yang menyajikan sekian wajah kontemporer
Indonesia, dan tentu saja inilah wajah-wajah yang progresif sekaligus
“bermasalah”—menjadi pemain internasional di luar perhatian Negara.
Tapi siapakah Negara itu sebenarnya? Benarkah orientalisme
baru—orientalisme untuk diri sendiri itu—yang menempel pada “kepribadian
nasional” adalah proyek Negara yang sadar sesadar-sadarnya? Tampaknya tidak.
Saya cenderung mengatakan bahwa “fundamentalisme Timur” adalah ilusi tentang
“berdiri di atas kaki sendiri” dalam menghadapi tekanan global, sebuah “politik
identitas” yang menjadi substitusi bagi begitu banyaknya kelemahan kita dalam
memelihara dan mengembangkan berbagai institusi budaya di dalam negeri.
“Pelestarian budaya” justru mencerminkan sikap yang tidak rasional dalam
melihat warisan-warisan Nusantara. Sesungguhnya, dalam kehidupan sehari-hari,
(maafkan saya), masyarakat Indonesia hanya melihat dan memangsa—atau
dimangsa—kebudayaan populer, tepatnya kebudayaan massa global. Kita tidak melihat
karya-karya Affandi dan Sindudarsono Sudjojono, karena kita tak memiliki museum
seni rupa; kita tidak bisa lagi menikmati karya-karya Teguh Karya dan Djadug
Djajakusuma, karena kita tidak mampu memelihara Sinematek; kita lupa kepada
Armijn Pane dan Sitor Situmorang, karena kita menelantarkan Pusat Dokumentasi
Sastra H.B. Jassin. Sikap mentimur-timurkan diri, baik ke dalam maupun ke luar,
adalah sikap termudah yang bisa didirikan untuk menepis tantangan Dunia.
Sementara kerja memperbaiki, merawat dan membangun berbagai institusi
yang mampu terlibat secara organik dalam kreativitas dan penyebaran kesenian
mutakhir adalah kerja mahabesar yang tak punya batas waktu, mungkin kita bisa
melihat Negara melalui aktor-aktornya, pemain-pemain tangguh yang bisa berimprovisasi
di luar skenario Negara. Saya sebut “improvisasi” karena mereka itu, dengan
segenap bakat alam dan wawasan pencerahan yang mereka miliki, sanggup melawan
arus dan menangkap kesempatan sejarah untuk berbuat besar. Ali Sadikin
(Gubernur Jakarta Raya; almarhum), Edi Sedyawati (Direktur Jenderal
Kebudayaan), Murtidjono (Kepala Taman Budaya Surakarta; almarhum),
misalnya—semuanya adalah “orang pemerintah”—pada masa masing-masing adalah
sedikit dari para aktor penting yang pernah kita miliki. Ali Sadikin mendirikan
Taman Ismail Marzuki di Jakarta, situs terpenting yang bisa menampilkan hasil
eksperimentasi seni mutakhir di Indonesia sejak 1968 sampai pertengahan 1980-an
(dan bersamaan dengan itu, ia juga tokoh utama di balik pendirian Pusat
Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta/Institut
Kesenian Jakarta, Sinematek Indonesia, Balai Seni Rupa dan Keramik, Lembaga
Bantuan Hukum); Edi Sedyawati mendirikan Art Summit, forum tiga tahunan bagi
seni pertunjukan internasional, dengan masa cemerlang sejak 1995 sampai awal
2000-an; Murtidjono menjadikan Taman Budaya Surakarta sebagai situs penampilan
terpenting—di luar Jakarta—bagi kesenian baru di Indonesia sepanjang
1980-1990-an.
Pada masa kejayaan masing-masing, Taman Ismail Marzuki, Art Summit, dan
Taman Budaya Surakarta menjalankan tiga hal yang kait-berkaitan: mendorong
eksperimentasi seni, membina penonton seni, dan mengembangkan jejaring seni
nasional/internasional. Dan persis di titik inilah saya mau mengatakan bahwa
apa yang bernama tantangan global itu sejak dulu berada di dalam tubuh kesenian
Indonesia, yaitu bahwa kreativitas seni dan penyebaran seni selalu mengandung
wawasan transkultural dan internasional. Art Summit membawa Sankai Juku, Kazuo
Ohno dan Henrietta Horn ke Indonesia, dan mendampingkan mereka dengan
hasil-hasil seni pertunjukan kita yang terbaik; dan, bersamaan dengan itu,
penonton kita pun memperbaharui selera dan wawasan—dan demikianlah kita percaya
bahwa eksperimentasi seni adalah juga cara untuk mengajak khalayak meningkatkan
diri. Taman Ismail Marzuki ialah tempat warga kita mendapatkan “hiburan yang
lain”: misalnya karya-karya Rendra, Pameran Besar Seni Lukis Indonesia, Retno
Maruti dan Sardono W. Kusumo, tetapi juga karya-karya Victor Vasarely, Alwin
Nikolais, dan Pina Bausch. Sedangkan Taman Budaya Surakarta—sangat berbeda
dengan Taman-Taman Budaya di kota-kota lain—membuktikan bahwa Indonesia bukan
hanya Pusat, tapi juga Daerah, yaitu Daerah yang mampu juga menjadi pusat lain,
yang memperkaya kriteria nasional. Ketika sang Gubernur dan sang Dirjen
meninggalkan kursi jabatan mereka, selesai jugalah kinerja dan prestasi puncak
situs dan forum yang mereka taja. Sedangkan Taman Budaya Surakarta terpaksa
kehilangan segala keleluasaannya dengan pembelakukan UU tentang Otonomi Daerah.
Aktor-aktor Negara yang saya sebut di atas adalah anomali yang sangat
langka—dan saya kira belum ada lagi di zaman Reformasi sekarang. Rupa-rupanya,
birokrasi Negara kita begitu kaku sehingga ia tidak bisa mengadopsi kebajikan
dan gagasan yang tumbuh dari dalam, oleh eksponen-eksponennya sendiri. Maka
makin besarlah ironi yang ada di Forum ini: apakah telinga Negara sanggup
suara-suara dari luar, suara-suara kita, yang hendak mendorong kebajikan jadi
kebijakan. Bila merawat dan melanjutkan apa-apa yang sudah ada saja tidak
mampu, maka lebih baiklah Negara tidak diharapkan lebih jauh dalam mendorong
kehidupan kesenian. Demikianlah kita tahu bahwa kesenian kita berkembang di
“kantung-kantung seni”, yaitu berbagai komunitas, institusi dan festival yang
mulai dengan inisiatif berbagai pribadi. Kantung-kantung ini mengembangkan—dan
memang harus mengembangkan—jejaring internasional karena, antara lain, semakin
miskinnya dukungan kemitraan dari dalam negeri. Mereka bermain dengan faktor
sejarah yang untuk selang beberapa waktu ini saya beri nama internasionalisme
baru.
Art Summit yang telah kita perbicangkan sedikit-banyak sudah menetapkan
asas-asas internasionalisme baru: yaitu, antara lain, bagaimana pihak dalam
negeri merumuskan kembali kriteria seni “universal” dengan meninggalkan lingkup
“kebudayaan nasional” yang kaku dan mempersandingkan-mempertandingkan diri
dengan karya-karya dari bangsa-bangsa lain. Secara lebih radikal lagi,
internasionalisme baru adalah tumbuhnya berbagai pusat-pusat budaya baru di
“dunia ketiga” untuk menyaingi pusat-pusat lama di “dunia pertama”. Dengan
persaingan ketat ini, pusat-pusat lama itu juga mengerjakan otokritik sehingga
mereka makin terbuka terhadap keterlibatan negeri-negeri pascakolonial. Dalam
internasionalisme baru, seni modern di “dunia ketiga” (yang pada masa
internasionalisme lama hanya dipandang sebagai bayang-bayang modernisme
artistik di “dunia pertama”) berjuang— atau diperjuangkan—menjadi “seni
kontemporer” yang bersifat global, yang tidak lagi universal namun
transkultural. Korea Selatan (Gwangju, Busan), Jepang (Fukuoka), Australia
(Brisbane), Afrika Selatan (Johannesburg), Cina (Shanghai, Hongkong),
Singapura, Uni Emirat Arab (Sharjah), misalnya, adalah pusat-pusat baru itu.
Sementara pusat-pusat lama seperti New York, Paris, Berlin, terus merumuskan
diri kembali dalam karnaval seni sedunia. (Untuk pembahasan yang lebih rinci,
sila membaca Lampiran Satu—“Siasat Khatulistiwa”.)
Internasionalisme baru inilah yang mendorong karya-karya seni rupa kita
hadir ke berbagai fora penting internasional, khususnya sejak akhir 1990-an.
Nama-nama seperti Heri Dono, Eko Nugroho, Tintin Wulia, Melati Suryodarmo
banyak beredar di berbagai gelanggang dunia—pasti bukan nama-nama yang
diharapkan ada dalam “diplomasi budaya” yang standar itu. Para kurator kita,
para pemilik-pengelola rumah-rumah seni kita, dan akhirnya para seniman kita
sendiri adalah “makelar” yang baik bagi hasil-hasil terbaru kesenian kita,
karena mereka ini mampu mengaitkan diri dengan wacana-wacana yang sedang
berlaku di “pasar” dunia. Internasionalisme baru juga memberi peluang untuk
menegakkan peristiwa dan instititusi dalam negeri. ArtJog, sebuah art fair
tahunan di Yogyakarta, misalnya, sangat berhasil bukan hanya dalam menjaring
karya-karya nasional dan internasional berdasarkan kekhasan tema yang
diusungnya, tetapi juga menjadikan dirinya peristiwa yang dinanti-nantikan oleh
para pemirsa Yogyakarta maupun Indonesia. Kelebihan ArtJog adalah, bahwa ia
bisa menjadi alternatif terhadap berbagai biennale yang pernah ada di tanah
air, yang belum berhasil terbangun menjadi institusi dan peristiwa yang tangguh
dan mendatangkan penonton; pada saat yang sama, ia berhasil “membangkitkan”
puluhan pameran seni rupa yang lain di Yogyakarta dan sekitarnya. Inilah yang
saya sebut sebagai “kebudayaan warga”, yang sama sekali tidak mengandung faktor
Negara di dalamnya.
Biennale Jakarta yang sekarang sedang berlangsung juga bermain di kancah
internasionalisme baru. Setelah bertahun-tahun berada dalam situasi hidup segan
mati tak mau, Biennale Jakarta kali ini tampaknya mencoba mengadopsi salah satu
prinsip moda produksi yang dikerjakan oleh berbagai biennale penting di dunia,
yaitu kurasi yang dikerjakan oleh seorang kurator “bintang” internasional,
dalam hal ini Charles Esche. Menggunakan seorang kurator-bintang tentu saja
adalah bagian dari usaha untuk menempatkan Biennale Jakarta di peta dunia, dan
saya kira langkah demikian adalah bagian dari pelembagaan dan pengembangan
Biennale, yang tidak juga beroleh dukungan kelembagaan secara mendasar dari
dalam negeri. Kita tentu bisa menyebut beberapa contoh lain: sejumlah festival
seni pertunjukan tahunan di Yogyakarta, Surakarta, Makassar, Bali, yang
dikerjakan oleh kaum seniman dan pegiat seni. Di negeri-negeri yang sehat,
“kebudayaan warga” semacam itu pastilah diadopsi oleh Negara (yang di titik ini
bisa saja bernama Kotamadya atau Provinsi), bukan untuk dicaplok menjadi
“kebudayaan nasional” atau “kebudayaan daerah” yang resmi-resmian, tetapi untuk
memperluas ruang publik, untuk mengukuhkan kemerdekaan. Untuk sementara ini,
harapan kita hanya bersandar pada ketangguhan para pendiri dan pengelola
berbagai peristiwa kesenian itu (yang tentu saja akan dibatasi usia), seraya
ingatan kita melayang kepada “mati”-nya beberapa yang pernah sangat
membanggakan—Art Summit dan Jakarta International Film Festival, misalnya.
Ada beberapa kali saya mendengar sejumlah kurator dan seniman kita
berkata bahwa kurang-lebih di medan internasional, kita baru menjadi pemain
yang pasif belaka. Kehadiran Indonesia masih terlalu tipis di gelanggang dunia,
ini pun berkat “kemurahan hati” pihak pengundang dan bukan usaha pro-aktif para
pihak di dalam negeri. Pada dasarnya kita masih menjadi “obyek”, langsung
maupun tidak, dari kriteria yang dibangun oleh pihak pengundang. Ejek-ejekan
semacam itu tentu mengandung kebenarannya sendiri: semua lompatan ke dunia itu
sporadis belaka, sebab memang tidak ada fundamen-penopang yang kokoh di dalam
negeri. Apa boleh buat, pusat-pusat budaya baru di “dunia ketiga” maupun “dunia
pertama”, yang terus membesarkan dan memperbaharui diri seturut kedigdayaan
ekonomi dan/atau kekokohan “politik kebudayaan” masing-masing, memerlukan
khazanah-khazanah lain untuk mendukung kiprah-kepusatan mereka. Singapura,
misalnya, dengan cepat dan cekatan membangun koleksi seni rupa Asia Tenggara,
dan Indonesia pastilah jadi pemasok terpenting. Kelak, mungkin, kita hanya bisa
melihat sejarah seni rupa modern kita di negeri-pulau itu—karena kita tak juga
memiliki museum seni rupa, misalnya?
Mungkin ada yang menyela dengan cepat: bukankah Indonesia sudah menjalankan
diplomasi kebudayaan yang baru, yang sangat berbeda daripada sebelumnya?
Bukankah, misalnya, Paviliun Indonesia di Biennale Venezia (sejak 2013) dan
kehadiran Indonesia sebagai Tamu Kehormatan di Frankfurt Book Fair (2015) itu
awal yang sangat baik, jika bukan langkah cemerlang? Dan keduanya adalah
kerjaan Negara, bukan? Saya katakan bahwa permulaan adalah permulaan, satu
langkah kecil yang mesti disusul oleh 1001 langkah berikutnya. Perihal Paviliun
Indonesia di Venezia itu, yang sudah sudah ditaja oleh Kementerian Pariwisata
dan Ekonomi Kreatif, pertanyaan kita adalah, bisakah Paviliun Indonesia itu
dipertahankan hingga 50 tahun ke depan (seperti Paviliun Britania Raya,
misalnya). Ya, hanya dalam waktu minimal sepanjang itu akan ada langkah yang ajeg
dan terukur untuk memperkenalkan hasil-hasil seni rupa kita ke dunia—ini pun
bukan seni rupa “versi pemerintah”, tapi hasil kurasi yang independen dan
sinambung. Dan pertanyaan berikutnya lagi: bagaimana anggaran belanja Negara
membolehkan sewa tempat (bayar di depan!) untuk setengah abad itu? Kemudian,
apakah Negara sanggup menunjuk dewan kurator independen dan membiarkannya
memilih karya-karya yang bisa jadi “subversif”? Terdengar absurd, bukan? Yang
pasti, jalan keluarnya pastilah bukan “revolusi mental”.
Dan setelah Frankfurt Book Fair 2015, yang semestinya terjadi adalah,
Indonesia akan terus-menerus hadir (juga dalam bentuk paviliun nasional) di
berbagai pameran buku penting di dunia ini—Leipzig, London, Bologna, misalnya.
Tampaknya tidak ada pilihan lain—kecuali bila Indonesia mau kembali lagi
menjadi daerah tidak dikenal, daerah gelap-gulita di tengah Dunia yang
rajin-membaca-dan-menulis. Tentulah keikutsertaan dalam berbagai gelanggang
“unjuk gigi buku” itu hanya bisa benar dan adil bila Indonesia juga mendirikan
Pusat Penerjemahan Nasional, yang dikelola oleh para “kurator” independen, yang
bebas dari kepentingan Pemerintah atau Penerbit. Absurd lagi, bukan? Namun,
tanpa melampaui absurditas itu, Indonesia tidak akan mampu berdiri sama tinggi
dengan negeri-negri “kecil” seperti Israel, Slovenia, Georgia, Bosnia; bahkan
dengan negeri-negeri pascakolonial yang lebih “menderita” seperti Senegal,
Kenya, Paraguay, Srilanka. (Untuk pembicaraan yang lebih ilustratif, sila
membaca Lampiran Dua—“Di Manakah Sastra Dunia”.) Sesungguhnya, bila kita
melihat minat Dunia kepada Indonesia, kita akan lebih terkejut lagi. Kajian
Indonesia di berbagai universitas di dunia ini sudah susut jauh, bahkan banyak
yang “mati” (sementara kajian terhadap negara-negara Asia Tenggara yang lain
tumbuh pesat). Kenapa Indonesia semakin menjadi negeri yang tak menarik (kalau
bukan yang menakutkan) bagi Dunia? Tidakkah ini berarti kita gagal
menerjemahkan diri kita—dalam arti yang seluas-luasnya?
Dalam berbagai tahap penting kesenian kita, pengaruh dari dunia luas
selalu menjadi bagian penting daya cipta domestik. Modernitas pada dasarnya
adakah hasil penerjemahan atas dunia ke dalam konteks lokal-nasional maupun
penerjemahan atas diri kita ke dunia. Enam puluh lima tahun lalu, eksponen
generasi yang menyertai Revolusi Kemerdekaan menulis Surat Kepercayaan
Gelanggang, yang antara lain menyatakan “Kami adalah ahli waris yang sah dari
kebudayaan dunia.” Dalam cahaya hari ini, kita bisa mengatakan bahwa dengan
sikap itulah Indonesia menjadi khazanah yang membuka diri terhadap—bermain-main
sekaligus bertarung dengan—dunia tanpa rasa jirih. Kebudayaan dunia ialah
pengertian yang plural, dan tentulah di dalamnya terkandung bukan hanya aneka
warisan bangsa-bangsa lain, tapi juga pelbagai warisan Nusantara. Hanya dengan
sikap kosmopolitan demikianlah kita bisa menjauh dari perilaku playing the
victim di
hadapan “globalisasi”, perilaku yang kerap menyaru dalam diplomasi kebudayaan
penyaji kesenian kartupos bergambar.
Dunia yang kita maksud itu tidaklah akan melenyapkan yang nasional
maupun yang lokal; bahkan sebaliknya. Bahkan Dunia itu mesti kita letakkan di
antara Pusat dan Daerah: sebab wawasan internasional bukanlah cakrawala
pasca-nasional. Kita harus percaya bahwa internasionalisme-baru akan menyingkirkan
berbagai penghambat integrasi nasional, misalnya saja kompleks rendah diri
Daerah terhadap Pusat, atau keangkuhan Pusat terhadap Daerah. Dan itulah yang
terjadi dengan berbagai peristiwa seni yang kita percontohkan di atas. Khazanah
seni rupa Yogyakarta pada dua dasawarsa terakhir, misalnya, berlingkup
internasional: dengan itulah ia leluasa mengatasi Pusat Nasional, seraya
memperbaharui kualitas nasional yang tidak dikerjakan oleh Negara. Di titik ini
saya ingin mengatakan bahwa wawasan internasional akan membuat kita
mengutamakan kembali kontinuitas dalam sejarah kebudayaan kita, yaitu
kontinuitas antara warisan-warisan Nusantara, kreativitas hari ini, dan
warisan-warisan bangsa-bangsa lain. Terlalu banyak mulut yang memuja warisan
budaya leluhur: sikap irasional yang membiarkan sang warisan teronggok di
sudut, dan akhirnya terkubur menjadi milik masa silam; sementara si empunya
mulut ternyata menjadi menjadi sekadar pemeluk kebudayaan massa. Sangat ironis
bahwa nasionalisme kebudayaan justru menghasilkan diskontinuitas, yang
memandulkan warisan-warisan Nusantara ke dalam berbagai dongeng berbau
kemenyan.
Secara harfiah, beginilah jadinya: bila anda mau membantu kesenian dalam
jangka panjang, anda tidak melulu perlu memberikan dana produksi kepada kaum
seniman. Memelihara dan menegakkan museum arkeologi, museum etnografi, museum
seni rupa modern, museum-museum yang lain, itu lebih penting, sebab inilah
tugas pendidikan (dan) kebudayaan, yang akan melahirkan bakal-bakal seniman,
ilmuwan dan cendekiawan cemerlang. Mendukung festival-festival internasional di
dalam negeri itu sangat penting, sebab jalan inilah yang akan memperbesar
lingkaran pemirsa berkualitas tinggi, yang pada gilirannya akan merangsang
ciptaan seni yang lebih menantang lagi. Menegakkan taman-taman budaya di
berbagai daerah dan mendudukkan “orang-orang gila” seperti Murtidjono di pucuk
pengelolaan itu harus, sebab Indonesia bukan hanya Jakarta, Yogyakarta dan
Surakarta, sebab hanya “kegilaan” yang bisa membuat Negara hadir dalam kerja
kesenian. Dan seterusnya, dan sebagainya. Semoga jelaslah di titik ini bahwa
melindungi sumber-sumber kreatif, membina penonton seni, dan internasionalisasi
seni itu adalah satu paket pekerjaan mahabesar.
Tetapi satu paket pekerjaan mahabesar itu masih terlalu ringan jika anda
membanding-banding diri dengan negara-negara yang sudah ada di depan sana. Bila
anda melihat Korea Selatan, misalnya, maka anda akan tahu bahwa ada hubungan
erat antara ekspor K-Pop dan pemain sepakbola Korea dengan ekspor sastra modern
Korea, antara kreativitas sastra dalam negeri dengan pemantapan Pusat
Penerjemahan Sastra Korea, antara ekspor sinema mereka dengan penyelenggaraan
Festival Film Busan, antara penerimaan seniman-seniman rupa mereka oleh Dunia
dengan penyelenggaraan Biennale Gwangju dan kekokohan museum-museum seni
mereka, antara ekspor kesenian mereka dengan tingginya mutu pendidikan seni
mereka dan dengan lajunya industrialisasi mereka. Singkatnya, ledakan berbagai
sektor seni dan dan industri kreatif itu saling bertalian sebagai hasil kerja
keras berdasarkan “politik kebudayaan” yang dasar-dasarnya sudah mereka
letakkan dua dasawarsa lalu. Pelajaran penting: sebuah bangsa punya
komitmen—setelah mengatasi berbagai trauma masa silam—untuk hal yang
fundamental untuk jangka waktu sangat panjang, dalam hal ini pembangunan
kebudayaan, terlepas dari sesiapa yang berkuasa. Dan karena Korea Selatan hanya
satu dan tak bisa digandakan, anda tentu bisa mencari model-model lain dari
belahan dunia yang lain, yang lebih berterima dan masuk-akal.
Dan karena Indonesia adalah negeri yang istimewa oleh keanekaragamannya
dan pengalaman sejarahnya yang tak terbandingkan, anda mungkin akan menyarikan
pelajaran terburuk dari semua model-model itu. Sebab, yang baik-baik akan
meninabobokan, dan yang buruk-buruk akan membuat anda sangat menyadari konteks
domestik. Atau justru anda tidak perlu mencari jauh-jauh keluar sana, sebab
anda hanya bisa berbuat yang kecil-kecil saja, yang tidak mendasar, sebab
birokrasi Negara memang tidak bisa diubah secara fundamental. Maka anda akan
menemukan model, misalnya, tentang hibah seni bagi berbagai seniman, kelompok
seni, komunitas seni, festival seni, lokakarya seni: sesuatu yang kecil dan
“mudah”, tapi sangat vital dan tak bisa ditunda. Apa pun itu, bagaimanapun
tafsir anda atas model-model “strategi kebudayaan” itu, toh akhirnya anda
bertanya juga, bagaimana mungkin birokrasi kita—atau birokrasi mereka—bisa
menganggapnya masuk-akal dan bisa dikerjakan, jika mengatasi mediokritasnya
sendiri saja ia tidak mampu. Atau akan datangkah tokoh-anomali, satu atau
beberapa, yang berkiprah dengan revolusi mental atau revolusi besi baja. Bila
jawabnya adalah tidak, maka tulisan ini—pamflet ini—adalah sebuah elegi
terhadap peran Negara dalam kehidupan kesenian kita.
Lampiran Satu: Siasat
Katulistiwa
Biennale seni rupa sesungguhnya adalah bagian paling
hilir dari seluruh jaringan pelembagaan seni rupa di sebuah kota atau sebuah
negeri. Salah satu mata rantai pelembagaan yang mantap itu adalah museum seni
rupa dengan koleksi dan kurasi yang terpercaya, yang membuat publik datang
kepadanya untuk menghayati khazanah seni rupa nasional. Sementara itu, di
bagian hulu dari mata rantai yang panjang itu, para seniman rupa bereksperimen
mereaksi khazanah seni rupa nasional maupun dunia—dan para peneliti, kritikus
dan kurator mengolah wacana yang bersangkut-paut dengan segala eksperimen
kreatif itu.
Seperti kita tahu, jaringan seni rupa yang saya maksud
di atas itu di tanah air kita tidak ada. Boleh dikatakan bahwa publik kita
tidak mengenal seni rupa Indonesia (dan tampaknya satu-satunya kebudayaan yang
mereka kenal ialah kebudayaan populer). Dan, sebagaimana pernah dikatakan oleh
kritikus Sanento Yuliman, karya-karya seni rupa kita mendarat—terpingit—di
pangkuan para kolektor belaka, seakan tersembunyi selama-lamanya. Sementara
itu, pameran-pameran di berbagai galeri dan “rumah seni” tampaknya hanya menarik
minat lingkaran kolektor dan seniman sendiri.
Di seberang “kemiskinan nasional” tersebut di atas, di
aras internasional, Indonesia tampaknya dapat membanggakan seni rupanya—yakni
di berbagai biennale penting, balai lelang, art fairs, residencies, pesanan
karya oleh merek-merek dagang besar, dan tentu saja dalam koleksi sejumlah
museum dan kolektor utama. Internasionalisme adalah ciri penting dari praktek
dan pewacanaan seni rupa Indonesia mutakhir. Paling tidak sudah dua-tiga
dasawarsa terakhir ini para seniman dan kritikus seni rupa kita tidak lagi
bicara tentang “kepribadian nasional”—yang dulu adalah jargon kunci kaum
“modernis nasional” yang tampaknya dibebani secara sadar atau tak sadar oleh
diktum “kebudayaan nasional adalah puncak-puncak
kebudayaan daerah”.
kebudayaan daerah”.
Kurang-lebih dalam 15-an tahun terakhir, berbagai
biennale di Indonesia adalah jawaban terhadap internasionalisme tadi. Sudah
sangat sedikit, dan barangkali juga tidak ada, biennale yang berniat menjaring
karya-karya puncak seni rupa kita yang mengusung “pencarian identitas
keindonesiaan”, seperti yang dikerjakan rangkaian Biennale oleh Dewan Kesenian
Jakarta di tahun 1970-an. (Kita ingat pula, bahwa paradigma “modernisme
keindonesiaan” di lingkungan seni rupa Taman Ismail Marzuki sudah berakhir
dengan Biennale Seni Rupa ke IX di tahun 1993 dengan kurator Jim Supangkat.)
Demikianlah, tanpa “nasionalisme” berbagai biennale seni rupa kita adalah upaya
sang kurator untuk merumuskan kembali apa dan bagaimana itu sesungguhnya seni
rupa.
Secara lebih khusus, internasionalisme yang saya
maksud adalah internasionalisme baru yang mencoba mengguncangkan modernisme
tinggi yang berporos Paris-New York. Dalam internasionalisme lama, berlaku
prinsip bahwa pengaruh seni rupa memancar dari wilayah pusat (yaitu
negara-negara “maju”, seringkali bekas penjajah) ke wilayah pinggiran (yaitu
negara-negara “berkembang”, seringkali bekas jajahan), seiring dengan arus
modal, barang dan jasa dalam kapitalisme sedunia. Dalam internasionalisme baru,
perkembangan artistik (mencoba) membebaskan diri dari warisan struktur
pusat-pinggiran. (Dan bukankah hal ini setara pula dengan bangkitnya sejumlah
negara Dunia Ketiga sebagai kekuatan ekonomi global yang baru?). Maka
pusat-pusat lama, kalau pun bukan kehilangan pengaruh, berusaha
mendekonstruksikan diri sendiri, menjadi lebih terbuka terhadap apa-apa yang
dulu direndahkannya; sementara pusat-pusat baru bertumbuhan wilayah (yang dulu
disebut) pinggiran.
Berbagai pusat baru itu di negeri-negeri Dunia
Ketiga—berbagai museum dan biennale, misalnya—itu sudah barang tentu berusaha
keras membangun ciri khas dan “politik kesenian” yang bisa menonjolkan mereka
di aras internasional, dan semua itu jelas adalah bagian dari pelembagaan seni
rupa di ranah nasional masing-masing. Tapi jelaslah kiprah mereka mendorong
arus pertukaran yang tak terbayangkan di zaman modernisme tinggi, yaitu lalu
lalang kreativitas, wacana dan barang-barang seni dari pinggiran ke pinggiran.
Seni rupa mutakhir Indonesia jelaslah tumbuh menyokong dan disokong oleh internasionalisme
baru yang demikian.
Dua Biennale seni rupa yang akan segera kita
saksikan—yaitu Biennale Jogja XII dan Jakarta Biennale ke-15—dengan cara
masing-masing, saya kira, hendak menjawab kemiskinan kelembagaan seni rupa kita
dan dorongan internasionalisme yang sudah saya paparkan di atas. Adapun tulisan
ini, yang dibuat sebelum kedua Biennale itu berlangsung, juga mencoba melihat
apa yang mungkin terjadi di ruang-ruang pajangan berdasarkan pikiran para
penggagas kedua Biennale tersebut.
Para penggagas dan penyenggara Biennale Jakarta sejak
empat tahun terakhir ini—khususnya sejak Biennale yang ke-13—meletakkan seni
rupa dalam tanda kutip: yaitu bahwa seni rupa adalah “kemungkinan estetik” yang
selalu berhubungan dengan praktek sosial. Dengan prinsip ini, kita bisa
membayangkan bahwa dalam Biennale yang bersangkutan kita tidak akan—atau
sedikit sekali—melihat karya-karya konvensional seperi lukisan atau patung.
Kita mungkin akan bersiap-siap memandang berbagai aneka karya “media baru” yang
akan dipajang—pun bukan di ruang-ruang pameran yang tidak lazim, misalnya saja
di basement Teater Jakarta, sejumlah area publik seperti lapangan parkir di
derah perbelanjaan. Sejumlah ruang pamer konvensional masih akan dipergunakan,
namun tampaknya itu semua akan ditransformasikan menjadi “sesuatu yang lain”.
Barangkali boleh dikatakan bahwa Biennnale Jakarta
adalah sejenis “intervensi” terhadap ruang kota Jakarta yang hendak “memeriksa
posisi ulang warga dalam menyiasati segala keterbatasan, instabilitas, ancaman
dan masalah”. Dalam pada itu, yang akan tampil bukanlah karya-karya hasil
meditasi individu-seniman, tapi karya-karya yang berbasis riset, dan besar
kemungkinan hasil kolaborasi dan komunitas dari Indonesia maupun berbagai
negara di lima benua.
Dengan tajuk “Siasat”, Biennale Jakarta kali ini bukan
saja siasat untuk memeriksa kembali aspek-aspek sosial seni rupa mutakhir,
tetapi juga untuk mempersoalkan dasar-dasar penyelenggaraan seni rupa itu
sendiri. Para penggagas dan penyelenggaranya, misalnya, menolak untuk
mempekerjakan kurator—dan mengganti kerja kurasi dengan apa mereka sebut
kolaborasi, yaitu kolaborasi antara penyelenggara, seniman dan kelompok seni
terlibat, dan bahkan seluruh pemangku kepentingan yang terlibat dalam
penyelenggaraan Biennale. Ini adalah kritik terhadap peran kurator yang,
sebagaimana dikatakan oleh Ade Darmawan, sang Direktur Eksekutif, telah menjadi
kekuasaan besar tersendiri—semacam superkreator yang menindas produksi seni
dengan pilihan teorinya sendiri.
Sementara itu, Biennale Jogjakarta XII menjadi contoh
eksplisit dari apa yang saya sebut di atas sebagai gerakan dari wilayah
pinggiran ke wilayah pinggiran yang lain—yakni dari Indonesia ke negeri-negeri
Timur Tengah, dan sebaliknya. Seperti kita tahu, dalam perkisahan seni modern
dunia, dua kawasan ini tak punya hubungan sama sekali, sementara masing-masing
mengembangkan wawasan modern, termasuk modernisme artistik dengan jalan
menyerap, menapis dan membumikan apa-apa yang dipancarkan oleh wilayah pusat,
yaitu Eropa.
Agama-agama samawi sudah menghubungkan Kepulauan
Nusantara dan kawasan Timur Tengah selama berabad-abad, dan pada masa mutakhir
hubungan itu “diperkaya” oleh arus orang pergi umrah dan haji, tenaga kerja,
santri pembelajar ilmu agama, serta jaringan aktivisme dan terorisme. Gerakan
orang, jasa dan benda inilah yang menjadi titik tolak bagi pasangan kurator
Biennale Jogja XII — Agung Hujatnikajennong (Indonesia) dan Arah Rifky (Mesir)
— untuk menjadi semacam mak comblang bagi seniman-seniman dari kedua kawasan
untuk kerja kolaborasi.
Karya-karya seni yang akan tampil di Biennale Jogja
XII adalah yang akan ber-alusi terhadap migrasi dan pertukaran di antara kedua
kawasan. Para seniman itu, antara lain, berkarya melalui residensi (seorang
seniman Indonesia, misalnya, berproses di sebuah negara Timur Tengah; dan
seorang seniman Yaman, di Yogyakarta). Yang menarik dan baru mungkin adalah
metoda dan prosedur ini: seorang seniman mengajukan proposal kepada seniman
yang lain, dan yang terakhir ini berkarya menanggapi proposal itu.
Tidak terlalu sulit membayangkan bahwa kedua Biennale
yang kita bicarakan di atas akan lebih menyajikan paparan ketimbang pameran.
Dalam sebuah pameran, penonton di ruang pameran (yaitu ruang pameran yang
konvensional seperti galeri atau museum) adalah mereka yang siap menikmati
karya seni, mencerna keindahan, menilai baik-buruk sebuah karya; artinya,
wawasan seni mereka selaras dengan karya-karya tersaji. Sementara dalam sebuah
paparan, penonton mencari-cari di manakah keindahan, sebab karya-karya tersaji
berada di luar wawasan seni mereka; atau, seluruh pengetahuan seni mereka
dikonfrontasikan oleh karya-karya yang justru sedang mempersoalkan apa dan
bagaimana yang telanjur disebut karya seni itu.
Sebuah paparan seni rupa pada dasarnya merupakan
bagian dari apa yang selama ini disebut demokratisasi seni: yakni seni memang
bukan hanya harus menyentuh isu publik tapi juga harus hadir dalam jangkauan
tangan orang ramai. Bagi kalangan seni rupa sendiri, demokratisasi ialah upaya
terus menerus untuk memperluas medium dan makna seni. Sementara itu, publik
sendiri harus dianggap sebagai pemilik pengetahuan, termasuk pengetahuan seni,
yang juga selalu memperkembangkan diri.
Di negeri-negeri yang normal, publik seni
memperkembangkan diri di atas jaringan kelembagaan seni yang mantap—dan mereka
bergerak seiring dengan berbagai eksperimen dalam pewacanaan dan penciptaan
seni. Di tanah air kita sendiri, kurang-lebih empat dasawarsa setelah
“demokratisasi seni” dicanangkan oleh Gerakan Seni Rupa Baru di tahun 1975, boleh
dikatakan bahwa seni rupa atas sudah merangkul seni rupa bawah dan budaya
massa, sementara koleksi seni rupa nasional yang terbuka untuk publik terasa
semakin absen. Artinya, publik seni rupa yang nyata belum ada.
Yogyakarta, “ibukota seni rupa Indonesia sejak zaman
Revolusi Kemerdekaan sampai hari ini”, misalnya, tetap saja kota tanpa museum;
sementara apa yang telanjur bernama Jogja National Museum, yang menempati
gedung bekas Akademi Seni Rupa Indonesia yang termasyhur itu, adalah “museum”
dengan nol koleksi. (Adapun pulau-pulau cemerlang di lautan “daerah istimewa”
tersebut adalah sekian rumah-studio para seniman dan rumah seni yang
“tersembunyi”.)
Biennale Jogja barangkali adalah semacam shock therapy
untuk masyarakat setempat yang tak sempat menatap kekayaan sejarah seni rupa
mereka sendiri. Mungkin buat mereka, seni ialah peristiwa, suasana, aksiden,
ketakterdugaan, pelesetan, segala sesuatu yang sama jauh dari benda rupa atau
barang rupa. Khalayak Yogyakarta cenderung menatap seni rupa lebih sebagai
proses daripada produk, klop dengan watak kelisanan dan serba-guyon yang kental
melumuri pergaulan budaya di kota itu.
Namun janganlah lupa bahwa di masa Orde Baru,
Yogyakarta adalah juga ranah seni rupa yang bisa mengatasi “nasionalisme
kebudayaan” yang digalakkan rezim itu. Adalah Galeri Cemeti (kini Rumah Seni
Cemeti), sebuah institusi swadaya, yang sangat berhasil dalam menjadi pintu
gerbang pergaulan seni rupa Indonesia dan seni rupa internasional. Semangat
internasional inilah yang kini menerus, bertransformasi ke dalam Biennale
Jogja. Para penggagas dan penyelenggaranya sudah menetapkan tema besar
“Equator”—yang bermakna gerakan sepanjang dan sekitar garis khatulistiwa—untuk
Biennale sepanjang 2011-2022.
Salah satu masalah besar di dalam penyelenggaraan
Biennale di negeri kita adalah ketidakpastian: misalnya, ketidakpastian dalam
soal dukungan dana, yang membuat sang penyelenggara tidak dapat bekerja dengan
rencana yang ketat dan waktu yang cukup. Tema pokok “Siasat” yang dimajukan
para penggagas dan penyelenggara Jakarta Biennale ke-15 juga dapat dimaknai
dalam kaitan ini. Negosiasi dan bersiasat ialah kata kunci dalam
penyelenggaraan—yaitu negosiasi dengan para peserta, dengan
penguasa-dan-penyandang dana, dengan pemilik ruang yang akan jadi situs pameran,
dan akhirnya dengan pemirsa.
Dan pada akhirnya Biennale itu sendiri ialah paparan
rupa yang mesti bersiasat dengan lautan citra sedunia dalam konteks tanah air
kita. Jika kita menerima bahwa memang semua lembaga kesenirupaan kita bersifat
cair dan tak mentradisi, tidakkah lebih baik menegaskan sifat likuid tersebut
dalam keseluruhan pajangan—yaitu menjadi paparan ketimbang pameran. Jika
lanskap kota itu sendiri dapat dianggap sebagai padatan, maka paparan seni rupa
itu ibarat cairan yang akan terus “menyesuaikan diri” dengannya—termasuk
menerima segala paradox dan guncangan yang terkandung olehnya.
Menyertai Jakarta Biennale dan Biennale Jogja, adalah
sebuah pameran besar di Galeri Nasional, Jakarta, yang diberi tajuk SEA Plus.
Menampilkan para seniman dari Asia Tenggara (negara-negara anggota ASEAN) dan
sejumlah negeri di Asia Selatan dan Asia Timur, para kurator pameran ini (tiga
orang, seluruhnya dari Indonesia) hendak menampilkan apa yang mereka sebut
“seni rupa global”—karya-karya yang tidak lagi terikat kepada lingkungan budaya
asal. Ini adalah juga penegasan kembali tentang gerakan dari wilayah pinggiran
ke pinggiran, suatu sisi lain dari “pergerakan arus informasi dan investasi
ekonomi yang tak memiliki pusat”. Menurut rencana yang masih mengandung konon,
SEA Plus kelak akan menjadi Biennale yang ditaja Pemerintah Pusat.
Internasionalisme dari wilayah pinggiran—sebagaimana
diperlihatkan oleh Jakarta Biennale ke-15, Biennale Jogja XII, dan SEA Plus
barangkali ialah kompensasi atas segala ketidakmampuan kita membangun,
memperkokoh dan merawat berbagai institusi seni rupa bagi publik nasional.
Sifat likuid penyelenggaraan ketiganya—yang saya kira lebih berupa paparan
ketimbang pameran—seakan menjadi siasat lembut-halus tak terkatakan untuk
mengobati kegagalan negara dalam membangun kebudayaan nasional. Modernitas kita
tetap berbau kampung, modernisme kita hanya setengah-hati, birokrasi kita
menggerogoti dirinya sendiri: itulah sebabnya khalayak kita harus membiasakan
diri dengan museum-tanpa-dinding yang hanya terisi oleh karya-karya dari masa
depan.
Lampiran Dua: Di Manakah “Sastra Dunia”
Kurang lebih
empat dasawarsa lalu, kritikus sastra H.B Jassin berkata bahwa sastra Indonesia
adalah warga sastra dunia. Di zaman “globalisasi” sekarang, tampaknya
pernyataan Jassin itu benar dalam satu hal: kita memang berupaya menjadikan
sastra dunia sebagai milik kita, menjadikannya bagian dari kehidupan sastra
Indonesia mutakhir. Paling tidak, dengan “sastra dunia” itulah para sastrawan
kita mempunyai ukuran baik-dan-buruk dalam mencipta dan menilai. Namun, apakah
sastra Indonesia dikenal atau tidak di lingkaran dunia, itu soal yang berbeda
sama sekali.
Ya, “sastra
dunia.” Dengan tanda kutip. Sebab istilah itu sangat bermasalah. Bagaimana
mungkin kita—atau siapa saja—tahu tentang sastra dunia jika itu berarti
karya-karya sastra yang ada di seluruh dunia dari berbagai zaman pula?
Pada suatu
hari saya bertanya kepada seorang penulis prosa yang suka membanggakan diri
mengenal sastra dunia: Apa yang Bung kenal tentang sastra dunia? Lalu ia
menyebut nama-nama, antara lain, Haruki Murakami dan Roberto Bolaño. Dan
sejumlah penulis pemenang Hadiah Nobel dan Hadiah Man Booker dalam sepuluh
tahun terakhir. Tanpa penulis-penulis itu, katanya, kita akan miskin.
Tapi itu cuma
nama-nama yang ada di pasar, yang sedang hot di toko-toko buku di seluruh dunia
(juga mungkin di Jakarta), begitulah jawab saya.
Saya bertanya
lebih lanjut: Jadi buat Bung sastra dunia itu adalah nama-nama pengarang yang
didesakkan pasar buku dunia kepada kita? Lagipula itu hanya buku-buku yang
berbahasa Inggris, bukan?
Ketika dia
mulai merah-padam, saya bertanya lagi: Apa Bung peduli pada pada karya-karya
sastra dari Lithuania, Pantai Gading, Laos, Ecuador, Vanuatu? Apa kita bisa
menoleh kepada karya-karya yang biarpun dianggap penting dalam bahasa-bahasa
nasional masing-masing, tetap tak tersedia terjemahan Inggrisnya? Ia tercenung
lama, dan jawaban dia—juga jawaban saya—adalah tidak. Sudah pasti tidak!
Maka di titik
ini, kami berdua bersepakat bahwa kami tidak mengenal apa itu sastra dunia.
Maka, cuma ada “sastra dunia.”
Dengan cara
yang sama kita bisa bertanya siapakah penulis dan pengulas sastra di belahan
bumi mana saja yang tahu perihal sastra Indonesia? Jawaban yang paling mungkin:
Tidak ada. Atau, belum ada. Kecuali segelintir pakar yang peduli kepada
Indonesia—dan melihat sastra Indonesia sebagai bagian dari perhatian mereka
kepada Indonesia. Dan kita tahu pula, studi Indonesia di luar negeri semakin
susut jumlahnya, dan dibiarkan susut belaka. (Yang paling terkenal, seperti di
Universitas Leiden, bahkan sudah tutup.)
Baiklah. Kita
kendurkan sedikit makna “sastra dunia”. Misalnya saja, “sastra dunia” adalah
sastra-sastra nasional atau regional yang mungkin dikenal di kancah dunia.
Dengan cara ini tampaknya kita bisa menggolongkan “sastra dunia” berdasarkan
seberapa jauh bahasa-bahasa pembawanya tersebar ke belahan-belahan bumi.
Golongan
pertama adalah sastra-sastra yang ditulis dalam bahasa-bahasa bekas kaum
penjajah—bahasa-bahasa Prancis, Spanyol, Portugis dan—terutama—Inggris.
Lagipula, lembaga penerbitan di khazanah bahasa-bahasa itu memang luar biasa
kuatnya, sehingga jadilah mereka agen-agen globalisasi sastra yang kuat. (Maka
kita paham kenapa sastra Argentina dan sastra Brasil mudah ditangkap oleh
industri perbukuan di dunia ini.)
Golongan kedua
adalah sastra-sastra yang ditulis dalam bahasa-bahasa yang terpelihara sejak
dari masa klasik ke masa modern—misalnya saja, bahasa-bahasa Arab, Turki, Cina,
Jepang, Ibrani. Sementara itu, minat dunia akademik di Barat terhadap
bahasa-bahasa ini juga sudah melembaga lantaran bangsa-bangsa yang bersangkutan
(pernah) telanjur kuat dalam sebaran agama-agama, perdagangan, imperialisme,
pengaruh politik, ilmu pengetahuan, dan diaspora.
Golongan
ketiga adalah sastra-sastra yang ditulis dalam bahasa-bahasa Eropa
“pinggiran”—misalnya bahasa-bahasa Rusia, Finlandia, Swedia, Cek; bahkan
bahasa-bahasa Albania, Polandia, Lithuania. Mereka ini bukan hanya “saudara
sepupu” Eropa Barat; dalam lapangan seni budaya, mereka pernah menyumbang
banyak kepada gerakan modernisme internasional. Mereka berpengalaman dalam
menduniakan hasil-hasil sastra dan seni mereka.
Golongan
keempat adalah sastra-sastra dalam bahasa-bahasa setempat yang, betapapun lebih
terbaca luas di negeri-negeri bersangkutan, tertutup kepada dunia luar oleh
sastra berbahasa bekas-penjajah, misalnya Inggris. Ini kasus untuk
sastra-sastra Hindi, Tamil, Telugu, Mayalayam, Bengali, Urdu di anak benua
India-Pakistan, misalnya.
Golongan
kelima adalah sastra-sastra nasional yang dijajakan oleh bangsa-bangsa yang
bersangkutan ke seluruh dunia, sebagai bagian dari kiprah mereka sebagai
kekuatan ekonomi dan budaya yang baru. Misalnya saja sastra Korea Selatan dan
Cina dalam dua dasawarsa terakhir. (Sebagaimana kita tahu, Korea Selatan,
adalah negeri yang sangat bersistem dalam mengembangkan ekonomi kreatif.)
Golongan
keenam adalah sastra-sastra yang ditulis dalam bahasa-bahasa nasional yang
tidak dikenal dunia; dan bangsa-bangsa yang bersangkutan pun tidak menjalankan
diplomasi budaya yang genah, yang bisa membuat hasil-hasil seni dan sastra
mereka dikenal masyarakat internasional. Sastra Indonesia termasuk ke dalam
golongan ini.
Tak terkira
jumlah karya sastra yang sudah dihasilkan oleh bangsa-bangsa di dunia ini.
Inilah lautan karya sastra yang keluasaannya tidak akan pernah terjelajahi
bahkan oleh pakar sastra bandingan yang paling piawai sekalipun, apalagi oleh
para sastrawan yang mengaku kenal dengan sastra dunia.
Demikianlah,
sastra dunia adalah rumah jagal sastra, jika saya boleh meminjam istilah seorang
pakar sastra bandingan bernama Franco Moretti. The slaughterhouse of
literature. Dalam sejarah sastra dunia sejak dulu hingga sekarang, karya-karya
yang dilupakan, “dibantai”, lenyap, “dimatikan” dalam gelombang sejarah, jauh
lebih banyak daripada karya-karya yang masih dibaca. Sastra dunia, untuk
mengutip Moretti lagi, adalah the great
unread.
Sesungguhnya,
yang dianggap besar di masa kini seringkali yang diremehkan di masanya sendiri.
Yang dianggap berjaya di masa sekarang mungkin akan dilupakan di masa-masa
mendatang. Yang terkubur di zaman kemarin bisa saja naik ke puncak di zaman
esok. Yang dianggap penting di pasar dan dunia akademik mungkin akan jadi
sepele setelah para “agen pemasaran” itu berlalu, begitu juga sebaliknya.
“Sastra dunia” buat saya adalah sebuah
perpustakaan mahabesar. Di situ tersedia seluruh dokumentasi sastra-sastra
nasional di dunia ini dari seluruh zaman. Sayangnya para pustakawan di situ
lebih banyak mengarahkan para pengunjung ke sastra-sastra tertentu saja, yakni
yang berada di bagian yang bersih dan terang cahayanya. Tidak ada seorang
pustakawan pun yang kenal betul akan jalan menuju rak sastra Indonesia nun di
pojok gelap dan terpencil.
Tentu saja
bangsa Indonesia bisa memilih sendiri karya-karya sastra apa yang penting untuk
diri sendiri maupun untuk masyarakat pembaca di luar di sana. Kenapa tidak?
Dan membawa
sastra Indonesia ke gelanggang dunia adalah 1001 langkah yang harus
direncanakan dan ditempuh dengan cara saksama—dan dalam tempo yang pastilah
tidak sesingkat-seingkatnya. Terlibat sebagai Tamu Kehormatan di Frankfurt
Buchmesse di tahun ini baru satu langkah belaka, barangkali hanya langkah
kebetulan. Bahkan jika kita kelak berhasil mengerjakan 1003 langkah pun, kaidah
“rumah jagal sastra” tetap akan berlaku bagi sastra-sastra mana pun di dunia
ini.
Menerjemahkan
sastra Indonesia ke bahasa-bahasa asing; menarik minat para ahli, agen,
penerbit, media dan pembaca di mancanegara; bergiat dalam berbagai “diplomasi
kebudayaan” yang genah, dan seterusnya—semua itu memerlukan kerja dan komitmen
(dan dana) yang sinambung dan bersistem. Perlu kita camkan bahwa dalam
soal-soal tersebut negara-negara “kecil” seperti Georgia, Israel dan Slovenia
jauh lebih siap ketimbang Indonesia.
Tetapi
jangan-jangan semua upaya menuju “sastra dunia” itu hanya bisa terlaksana bila
bangsa dengan 250 juta warga ini benar-benar jadi bangsa yang gemar membaca dan
menulis—bangsa yang mencintai dan merawat bahasa, sastra dan kesenian sendiri.
Bukankah mendunia itu efek samping belaka dari beresnya kita menata kehidupan
di rumah sendiri?
Terima kasih.
Jakarta, November 2015
Disampaikan pada Kongres Kesenian Indonesia III di Bandung, 2-5 Desember
2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar