Sabtu, 16 Januari 2016

Kegelisahan Sutan Zaili Asril

OLEH Nasrul Azwar
Sutan Saili Asril
Tulisan dan pemikiran lebih panjang usianya daripada penulisnya karena ia akan dibaca terus menerus dari generasi ke generasi kendati penulisnya telah tiada. Kegelisahan paling panjang bagi Sutan Zaili Asril adalah Minangkabau, serta langkanya wartawan yang melahirkan buku.
Sutan Ziali Asril (60), wartawan senior yang visioner juga mantan COO Grup Padang Ekspres, telah dikebumikan di pandam pekuburan keluarga di Korong Kiambang, Kenagarian Pakanbaru, Kecamatan 2 x 11 VI Lingkung, Padang Pariaman, Sumatera Barat, Selasa (12/1/2016) menjelang salat Ashar. Ia istirahat di sebelah pusara Umi, ibunya, untuk selamanya.
Sosok yang dikenal pekerja  keras ini, lahir di Kiambang, 17 Mei 1955, meninggal dunia di Rumah Sakit Umum M Djamil Padang, Senin (11/1/2016) sekitar pukul 23.55 WIB (koreksi sebelumnya ditulis 00.15 WIB-Red) karena komplikasi penyakit yang derita lima tahun belakangan. Sutan Zaili Asril memiliki 4 putra-putri.
Sebelum dibawa ke peristirahatan terakhirnya, almarhum disemayamkan di rumah duka di Kompleks Taman Bungan Residence Lubak Buaya,Padang. Ratusan pelayat dari berbagai kalangan menyesaki rumah duka, sejak para jurnalis muda hingga senior, pejabat pemerintahan, akademisi,  warga sekitar, dan lainnya.
“Apa yang telah dilakukan almarhum semasa hidupnya yang dibentangkan dalam berbagai tulisan dan pikirannya, saya kira perlu kita teladani. Banyak nilai moral di dalamnya. Dan itu bisa kita pedomani,” kata Mahyeldi Ansharullah, Walikota Padang, saat melepas almarhum Sutan Zaili Asril di rumah duka.
Tak jauh beda, Duski Samad, pengajar di Pascasarjana IAIN Imam Bonjol Padang, mengatakan, Sutan Zaili Asril sosok yang tak pernah berhenti belajar hingga menghembuskan napas terakhirnya.
“Ini dibuktikannya, hingga kini Sutan Zaili Asril tercatat sebagai mahasiswa pascasarjana di IAIN Imam Bonjol Padang. Ia seorang yang tak mau berhenti belajar karena belajar itu baginya kelak akan memberi dan menebar kebaikan kepada orang lain. Dan itu telah ia lakukan,” kata Duski Samad sebelum jenazah dibawa ke musala kompleks untuk disalatkan.
Penulis Garis Miring
Sutan Zaili Asril semasa masih berada di Grup Padang Ekspres, punya kolum khusus di Harian Padang Ekspres yang terbit pada Minggt. Kolom itu, berupa pikiran dan pandangannya terhadap berbagai persoalan di Tanah Air, yang diberi nama “Cucu Magek Dirih.” Pada kolom ini pula, ia mendapat julukan baru: Penulis Garing atau garis miring karena setiap esainya yang dimuat di kolom ini, selalu disertai dengan garis miring yang jumlahnya sangat banyak.
Bersama almarhum Marthias D Pandu. Keduanya wartawan Kompas
Zaili merupakan salah seorang yang ikut merintis kehadiran surat kabar Padang Ekspres, yang merupakan grup dari JPNN. Kini media ini telah melahirkan Harian Pos Metro Padang, Padang TV, dan Rakyat Sumbar serta media online padangtoday.com.
Ia terjun menjadi wartawan sejak tahun 1979 dan pernah berkarier sebagai jurnalis di Harian Kompas, pernah menjadi pemimpin redaksi Sriwijaya Post masih grup Kompas.
Sutan Zaili bukanlah wartawan biasa, dia juga punya bakat menjadi pengarang atau penulis novel dan bahkan juga seorang pengusaha yang sukses.
Pada bulan Desember 2012, dia meluncurkan 5 buah novel sekaligus, sesuatu yang belum pernah terjadi dalam sejarah sastra Indonesia. Peluncuran 5 novel yang berjudul Revolusi Kaum Guci, Jalan Terjal dan Berliku, Mimpi-mimpi Myan, Prahara di Surau Kaki Bukik, dan Penelokan itu juga dihadiri oleh tokoh-tokoh Sumatera Barat baik pejabat maupun sastrawan dan tokoh pers. 
Kendati begitu, pada akhir dalam perjalanan karirnya di Group Padang Ekspres, ia berseteru dengan manajemen, dan Sutan Zaili Asril merasa disingkirkan dari media yang ia besarkan.

Baca: PenerbitHarian Padang Ekspres Digugat Sutan Zaili Asril

Wartawan yang Gigih

Sementara itu, Khairul Jasmi, Pemimpin  Redaksi Harian Singgalang yang memanggi almarhum dengan Da Zai, di matanya,adalah  sosok wartawan yang gigih dan pekerja keras. Selain itu, ia memiliki visi bisnis yang tajam.
“Dan itu ia buktikan dengan menakhodai  harian Padang Ekpres, sebuah surat kabar yang ia bangun bersama-sama Wiztian Yoetri awal tahun 1999. Surat kabar ini melahirkan Harian Pos Metro Padang, Harian Rakyat Sumbar, dan Padang TV, dan media lainnya,” terang sosok yang akrab disapa KJ ini.
Almarhum Sutan Saili Asril dibawa ke pemakaman di Kiambang, Padang Pariaman
Selain itu, tambah KJ, beberapa kali berdiskusi dengan Sutan Zaili Asril, ia menilai, almarhum memiliki kerisauan pada Minangkabau, dan ini tergambar dari novel yang ia tulis.
“Ia telah melahirkan lima novel. Salah satunya, novel berjudul “Praha di Surau Kaki Bukik”. Novel setebal 433 halaman itu sarat dengan pesan-pesan moral dan problematika Minangkabau,” jelasnya.
Juga, sosok Sutan Zaili Asril, sangat kritis terhadap berbagai kebijakan pemerintah yang dinilai merugikan rakyat dan masalah sosial lainnya.
“Ia akan mengeritik teman-temannya juga para pejabat dengan jujur sembari memberi jalan keluar yang bagus,” nilai KJ.
Selain kerisauan terhadap Minangkabau, Sutan Zaili Asril, juga punya obsesi agar semua wartawan mampu menulis dan melahirkan buku.
Amanah
Saya sendiri, Maknaih, mulai berinteraksi dengan almarhum saat merencanakan untuk penerbitan sebuah media yang taglinenya Majalah Analisis dan Pemikiran SAGA, jika tak salah sekitar tahun 2000 saat harian Padang Ekspres masih berkantor di Jalan Veteran Padang.
Dimakamkan di pandam pekuburan Korong Kiambang, Padang Pariaman
Tapi, SAGA gagal terbit di Jalan Veteran ini. Ia lahir di Jalan Proklamasi. Kantor Padang Ekspres yang cukup lama dihuni. Kendati begitu, saya aktif di majalah SAGA cuma 2 edisi. Penyebabnya, saya bertengkar keras dengan almarhum, yang saat itu sebagai pemimpin umum di majalah bulanan ini. Saya memilih keluar karena saya rasa ini pilihan terbaik. Tapi, komunikasi saya dengan Sutan Zaili Asril, yang saya panggil “Abang”, tidak serta serta retak. Kami kerap saling telepon. Dan maota jika bersua dalam sebuah acara atau lainnya. Ia sendiri memanggil saya “Maknaih”, seperti kebanyakan yang lainnya.
Lalu, saya bersama Eko Yanche Edrie dan Indra Sakti Nauli membesuk Sutan Zaili Asril di Rumah Sakit Umum Yos Sudarso Padang, pada Senin (4/1/2016). Saat kami masuk ke kamar nomor 312, ia sedang terlelap tidur. Dadanya turun naik. Ada selang infus di tangan dan hidungnya. Di sana ada sang istri dan kemanakan Sutan Zaili Asril, menjaga ia.  
Tak berapa lama, Sutan Zaili Asril terbangun. Lalu sang istri mengusap kening suaminya. Dan berbisik ada yang datang. Matanya pun terbuka.  Menatap kami, Eko, Indra dan saya.
Kami mendekat. Ia berbicara dengan nada halus dan liris. Eko mengelus tangan sosok yang masih punya semangat berdiskusi kendati terbaring sakit. Terdengar ia mengatakan ingin minum. Sang istri memberinya dengan sendok. Lalu mengusap dengan tisu tumpahan air di bibir lelaki yang ia sayangi itu.
Kemudian, Sutan Zaili Asril mengamit dengan matanya agar saya mendekat kepadanya. Saya mendekat.
“Ya Bang,” kata saya.
“Abang punya empat buku yang saling terkait. Sudah diprint dan dijilid. Sekarang ada di rumah,” kata Sutan Zaili Asril dengan suara yang terbata-bata.
“Bang, jangan sekarang kita bicara buku. Kita santai-santai saja. Kalau sudah sehat, baru kita bahas...,” jawab saya.
“Ini buku penting. Buku Minang sangat langka sekarang ini. Setelah AA Navis, menulis buku, tak banyak buku yang ditulis secara otodidak yang penulisnya bukan dari kalangan akedemis,” jelasnya.
“Maknaih baca dan edit, lalu terbitkan terserah bagaimana caranya. Jika perlu buku itu terbit sebelum Abang pergi,” kata Sutan Zaili tenang kendati agak sulit mengucapkannya.
Istrinya pun mengingatkan agar jangan banyak bicara. Saya dan Eko juga meminta agar ia tak banyak berpikir. Istirahat saja dulu.
“Saya menafsirkan itu adalah wasiat. Maka, saat  menjelang ke rumah duka tadi pagi saya mengingatkan wasiat itu kepada Nasrul Azwar,” tulis Eko Yanche Edrie dalam Catatan “Obituari Da Zai, Kami Rindu Garis Miringmu” di akun facebooknya, Selasa (12/1/2016) pukul 20.00 WIB dan diterbitkan di Harian Metro Andalas, Rabu (13/1/2016).
Doa pun mengalir dari kolega dan sahabatnya, tampak Wiztian Yoetri, mantan Pimred Padeks 
Selepas disalatkan kendati banyak yang tak bisa ikut karena keterbatasan daya tampung musala di kompleks tempat tinggal almarhum, sirene ambulan membelah siang.
Jenazah almarhum dibawa ke Kiambang, korong yang berada di Jalan Raya Padang-Bukittinggi, untuk dikebumikan. Wajah duka mendalam terlihat dari segenap para jurnalis dan karyawan yang pernah ia gembleng semasa ia aktif di Grup Padang Ekspres, antara lain Marah Suryanto, Sukri Umar, Nashrian Bahzein (Pimpred Padang Ekspres), Hendra Efidson (Pimpred Rakyat Sumbar), Revianda (Pimpred PosMetro Padang), Vinna Melwanti (Pimpred PadangTV), Yusrizal KW (Redaktur Padang Ekspres), Firdaus Arbie (Manajer), Montosori (Manajer), Zul Efendi (Wakil PU Harian Haluan), dan redaktur serta jurnalis lainya.
Kemudian tampak, jurnalis senior Fachrul Rasyid, Asril Koto, Yulizal Yunus, Abdullah Khusairi, Zelfeni Wimra (akademisi),  Yuen Karnova (sekda Bukittinggi), Syamsu Rahim (mantan Bupati Solok), Nita Indrawati (padangmedia.com), Wiztian Yoetri (pendiri Padang Ekspres), Adrian Tuswandi, Yal Aziz, M Fitrah, Hendra Makmur, Sondri BS, Yurnaldi, Syuhendri, dan lain sebagainya.
Saat pemakaman terlihat Wakil Walikota Pariaman Genius Umar, Wakil Bupati Padang Pariaman terpilih Suhatri Bur, dan tokoh masyarakat Kiambang-Sicincin.
“Tulisan dan buah pemikiran yang ditinggalkan Sutan Zaili Asril tentu akan lebih panjang umurnya daripada penulisnya. Dan itu akan dibaca terus menerus dari generasi ke ke generasi selanjutnya. Dan itu amal baik untuk penulisnya,” kata saya lirih sekali. Selamat jalan Bang! (Nasrul Azwar) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...