OLEH Abdul Hadi W. M. (Budayawan)
Abdul Hadi W.M bersama cucunya |
Salah satu masalah yang memprihatinkan
sekarang ini di bidang kajian ilmu-ilmu kebudayaan dan humaniora ialah simpang
siur dan rancunya pengertian tentang kebudayaan. Ada yang mengaburkan arti
kebudayaan dengan peradaban. Ada juga yang mengartikannya terlalu luas sehingga
mencakup apa saja dalam kegiatan hidup manusia yang sebenarnya tidak bisa
dimasukkan sebagai wilayah kebudayaan. Yang lain lagi mengartikan terlalu
sempit sebatas kesenian,kesusastraan, arsitektur dan adat istiadat. Kesimpang
siuran dan kekusutan pengertian itu
sudah pasti berpengaruh terhadap upaya pengembangan dan penentuan kegiatan
kebudayaan yang akan dilakukan, dan sudah pasti pula menimbulkan kebingungan
dalam menyusun kebijakan dan strategi kebudayaan di masa depan.
Memang begitu banyak takrif atau definisi
yang diberikan terhadap kebudayaan
dantidak sedikit di antaranya saling bertentangan, sehingga cukup
membingungkan bagi orang yang baru belajar untuk mengerti masalah-masalah
kebudayaan. Pada tahun 1960an misalnya Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada
disebut secara resmi sebagai Fakultas Sastra dan Kebudayaan. Beberapa tahun
kemudian kata-kata Kebudayaan dihilangkan dan kini fakultas yang sama dirubah
menjadi Fakultas Ilmu-ilmu Kebudayaan. Ini jelas mencerminkan kebingungan sejumlah
sarjana. Di Malaysia fakultas yang sama, misalnya di Universiti Sains Malaysia,
diberi nama Pusat Pengajian Ilmu Kemanusiaan.
Di situ orientasi kajian kebudayaan tidak
hanya ditujukan pada fenomena sejarah, tetapi juga pada kajian teks klasik
(filologi). Bahkan kajian teks sastra klasik dipandang sentral, di samping teks
modern, sebab teks-teks inilah yang
menyajikan sumber nilai dan wawasan untuk memahami apa itu kebudayaan suatu
bangsa. Di Indonesia kajian serupa cenderung dipinggirkan, sehingga sarjana-sarjana
sastra kita tidak banyak mengenal khazanah intelektual dan budaya bangsanya,
baik dari zaman Hindu maupun Islam.
Walaupun takrif kebudayaan begitu
banyaknya, tidak sedikit pula sebenarnya
ada kesamaan asas yang melatari pemahamannya. Kecuali itu berkembangnya banyak
teori dan pendekatan yang berbeda-beda pada masa yang akhir ini, telah menimbulkan aliran pemikiran yang
berbeda-beda dan penekanan yang berbeda-beda pula tentang kebudayaan.
Kebudayaan
Taylor, seorang sarjana anthropologi Inggeris
pada abad ke-19, sebagai contoh, memberi takrif sebagai berikut: “Kebudayaan
ialah keseluruhan kompleks dari kehidupan, meliputi ilmu pengetahuan, kesenian,
sastra, dogma-dogma agama, nilai-nilai moral, hukum, adat-istiadat masyarakat
dan semua kemampuan dan kebiasaan yang diperoleh manusia dalam kedudukannya
sebagai anggota masyarakat.” (`Effat al-Sharqawi 1981:6) Kata-kata ’semua
kemampuan dan kebiasaan yang diperoleh manusia’ membuat rancunya pengertian
kebudayaan dan peradaban (civilization). Padahal alat-alat atau sarana yang
digunakan manusia untuk makan, tidur dan melakukan kegiatan lain berada dalam
wilayah peradaban, begitu pula kesanggupannya menggunakan alat dan sarana
tersebut, serta kemampuan mengembangkannya menjadi teknologi yang canggih.
Kata-kata ‘kebudayaan’ pada mulanya
diperkenalkan oleh Mangkunagara VII pada tahun 1920 untuk menerjemahkan
kata-kata culture (Inggeris) atau kultur (Belanda). Kata-kata tersebut berasal
dari kata-kata Jawa-Sanskerta ‘kabudidayan’ yang merupakan bentukan dari kata
budi dan daya. Dalam bahasa Jawa kata ’kabudidayan’ biasanya digunakan untuk
menyebut kegiatan mengolah tanah pertanian, sama dengan asal mula penggunaan
culture dalam bahasa Inggeris yang erat kaitannya dengan kata agriculture (Fizee 1982).
Dalam bahasa Sanskerta dan Jawa kata-kata
‘budhi’ diberi arti kesadaran atau kecerdasan akal. Kebudayaan di sini lantas
dapat dirartikan sebagai upaya manusia
untuk mengungkapkan kemampuan ’diri’nya dengan menggunakan kecerdasan akal
budinya, dengan tujuan mengolah kehidupannya sebaik mungkin. Dalam bahasa
Melayu kata budi juga diartikan sebagai kesadaran yang tumbuh disebabkan
bekerjanya akal pikiran dan sarana kerohanian yang lain, seperti rasa, kalbu
dan imaginasi.
Kata-kata budi berpadanan arti dengan
perkataan `aql dan fikr (akal dan pikiran) dalam bahasa Arab. Bertolak dari hal
tersebut, kebudayaan dapat diartikan sebagai
upaya manusia yang dilakukan secara sadar menggunakan akal pikiran untuk
memberdayakan potensi kerohaniannya, agar
mutu kehidupannya meningkat dan bertambah baik. Dengan demikian harkat
dan martabatnya akan meningkat pula
Sayangnya untuk perkataan civilization,
di Indonesia kita tidak mengambil dari kata-kata Jawa-Sanskerta, tetapi dari
kata-kata Melayu-Arab – yaitu ’peradaban’, dari akar kata adab, yang berarti
civility atau sopan santun. Dalam kata adab,
terkandung makna yang merangkum keterpelajaran, ketinggian pendidikan,
sehingga seseorang yang memiliki adab berarti orang terpelajar, terdidik dan
memiliki pengetahuan. Kata peradaban juga mensyaratkan perlunya pemilikikan
kemampuan maksimal dalam menaati hukum,
penggunaan teknologi dan teori-teori pengetahuan serta metodenya yang
sedang berkembang.
Masyarakat berperadaban, yang disebut
Civil Society atau Masyarakat Madani,
juga ditandai dengan ”kegemarannya belajar, membaca dan menulis”. Kemampuan
menggunakan teknologi, metode ilmiah dan baca tulis diperlukan dalam rangka
meningkatkan dan mengembangkan kemajuan khususnya di bidang ekonomi, politik
dan kebudayaan. Tidak mengherankan apabila dalam bahasa Inggeris kata-kata adab
(yang dalam bahasa Arab juga berarti sastra) diterjemahkan menjadi
belle-lettres.Ini membawa alamat bahwa masyarakat atau bangsa yang berperadaban
adalah bangsa yang memiliki tradisi baca tulis yang maju, sebagaimana
ditunjukkan masyarakat Eropah, Amerika dan Jepang dewasa ini.
Untuk menjernihkan pengertian ‘kebudayaan’ dan ‘peradaban’, ada baiknya
kita menyimaknya dalam tradisi intelektual Barat dan Islam, di samping mencoba
mencari pengertiannya dari tradisi intelektual Sanskerta atau Hindu-Jawa. Cara
demikian sangat tepat, karena kebudayaan Indonesia bukan saja dipengaruhi
kebudayaan Hindu-Jawa, tetapi dilapisi juga dan dipengaruhi oleh kebudayaan
Islam-Melayu dan Eropah-Amerika. Penolakan terhadap salah satu tradisi
intelektual akan berakibat buruk bagi perkembangan wacana keilmuan dan tidak
akan mencapai tujuan yang diinginkan.
Hadharah
dan Madaniyah
Dalam tradisi intelektual Islam
(Arab-Persia-Melayu) untuk kata-kata kebudayaan digunakan kata-kata al-hadharah
atau hadharah, sedangkan untuk kata-kata peradaban atau civilization digunakan
kata-kata al-madaniyah atau madaniyah saja. Kata-kata yang sama pengertiannya
dengan madaniyah ialah al-tsaqafah.
Al-hadharah berasal dari kata kerja
hadhara, artinya datang atau hadir, kebalikan dari tidak datang atau tidak
hadir. Di sini perkataan hadhara diartikan sebagai ‘tinggal di wilayah
perkotaan’. Sedangkan untuk ‘tinggal di kawasan pedesaaan’ disebut al-badiyah,
darimana kata-kata baduwi (kehidupan nomaden) berasal. Orang desa yang pindah
ke kota disebut hadharah, artinya berkebudayaan. Sedangkan orang yang tetap
tinggal di pedesaan dan menjalani kehidupannya sebagai baduwi, disebut tidak
berkebudayaan.
Penggunaan kata-kata hadharah jelas
berkaitan dengan adanya petunjuk bahwa yang utama dan hakiki dalam kebudayaan
ialah adanya gerak, tindakan, perubahan, peningkatan pola dan gaya hidup, serta
pertambahan kebajikan dan kearifan. Orang-orang yang tinggal di kota itu
berkembang dan membentuk pola kehidupan tertentu untuk memperbaiki keadaan
hidupmereka. Upaya perbaikan keadaan tersebut dilakukan melalui kerjasama,
solidaritas sosial, tindakan-tindakan tertentu seperti mengembangkan pemikiran,
pengetahuan, falsafah hidup, seni, sastra, bahasa, arsitektur, musik,
pertukaran pikiran dan maklumat (informasi) tentang berbagai hal.
Dalam bukunya al-Muqadimah Ibn
Khaldun mengembangkan lebih jauh
pengertian al-hadharah sebagai kebudayaan dalam arti sebenarnya. Dia berpendapat bahwa kebudayaan ialah
kondisi-kondisi kehidupan yang melebihi dari apa yang diperlukan.
Kelebihan-kelebihan tersebut berbeda-beda sesuai tingkat kemewahan yang ada
pada kondisi tersebut. Menurut Ibn Khaldun, kehidupan tidak akan berkembang
benar-benar kecuali di kota. Di kota sajalah
terdapat kondisi kehidupan yang melebihi dari apa yang diperlukan.
Kondisi yang lebih inilah tujuan utama semua aktivitas kehidupan. Karena itu
kebudayaan dikaitkan dengan negara oleh Ibn Khaldun. Dengan adanya negara, maka
kebudayaan akan berkembang dengan mantap dan dengan dilandasi kebudayaan, maka
negara aakan mempunyai tujuan spiritual dan sistem nilai yang selaras dengan
cita rasa bangsa yang warga dari negara bersangkutan.
Tetapi negara juga sering menjadi musuh
dan penindas kebudayaan. Contohnya ialah sebagaimana ketika Persia dan Baghdad
berada di bawah kekuasaan Daulah Ilkhan Mongol pada abad ke-13 M atau Cina di
bawah kekuasan Dinasti Yuan Mongol, pada abad abad ke-13 dan 14 M. Pada masa
itu kebebasan ditindas dan negara menjadi musuh kebudayaan. Satu-satunya
kebudayaan yang boleh berkembang hanyalah kebudayaan penguasa. Pada masa modern
negara-negara yang menganut ideologi Fascisme dan Komunisme adalah contoh
negara yang menjadi musuh kebudayaan. Di Indonesia hal serupa terjadi pada masa
pemerintahan Demokrasi Terpimpin Sukarno (1959-1966) dan Orde Baru Suharto
(1967-1998). Kedua rezim penguasa ini mengingkari kenyataan anthropolgis dan
historis bangsa Indonesia yang majemuk. Rezim Orde Baru malah lebih jauh
menerjemahkan ’persatuan’ dan ’kesatuan’ sebagai ’penyeragaman’ dan
’keseragaman’, melemparkan dan meminggirkan, bahkan menindas ’yang lain’.
Padahal ’yang lain’ itu sebenarnya harus diakui
eksistensinya, sebab memiliki sejarah panjang dan terkait dengan keberadaan
dan keutuhan bangsa kita secara keseluruhan.
Ibn
Khaldun dan Kebudayaan
Tetapi baiklah, kita kembali dulu pada
Ibn Khaldun. Dalam pandangan Ibn Khaldun jelas sekali bahwa kebudayaan hanya
mungkin berkembang apabila ada negara atau kerajaan berdaulat, yang aktif dan
berkemauan baik untuk mengembangkan kebudayaan dan menciptakan kondisi
kehidupan yang lebih baik dan menyenangkan, atau ramah bagi perkembangan
kebudayaan. Di sini faktor politik, ekonomi dan pendidikan, serta jaminan hukum
yang jelas, memainkan peranan penting dalam menciptakan kondisi yang
menyenangkan dan ramah. Tetapi faktor yang tidak kalah penting ialah perhatian
negara atau aga,a terhadap perkembangan
agama yang sehat, pemikiran falsafah, tradisi ilmiah, kehidupan intelektual,
kesenian dan kesusastraaan –- karena bidang-bidang inilah yang memberikan
sumbangan bagi pengembangan kecerdasan, kepribadian dan jatidiri masyarakat.
Kebudayaan dalam artian yang luas merupakan wilayah nilai-nilai dan ethos, yang
apabila ditingkatkan akan mampu menjadi sumber pencarian identitas dan jati
diri. Nilai-nilai dan identitas tidak dapat diperoleh dari pembangunan ekonomi
yang pragmatis dan utiliter, yang berorientasi pada pasar dan persaingan bebas.
Juga identitas bangsa tidak bisa diperoleh dari budaya materialisme dalam
bentuk konsumerisme, hedonisme dan sejenisnya. Juga tidak akan pernah diperoleh
dari majunya teknologi dan perkembangan industri pariwisata dan hiburan.
Menurut Ibn Khaldun, dalam sejarah umat
manusia terbukti bahwa kebudayaan yang tinggi
tidak tumbuh di daerah pedesaan atau dalam masyarakat nomaden Masyarakat
semacam itu tidak memiliki jiwa yang mobil dan kurang ramah terhadap perubahan.
Padahal mereka ini sebenarnya siap berkebudayaan dan mengembangkan kebudayaan.
Dalam kenyataan orang-orang nomad seperti suku-suku Arab Baduwi memusuhi kebudayaan dan memandulkan
kehidupan, tidak berusaha menjadikan kehidupan lebih indah dan berkualitas.
Dalam masyarakat kota kemajuan dan
perkembangan kebudayaan sangat mungkin berkembang. Perkembangannya ditentukan
oleh kualitas lembaga pendidikan dan kebijakan kebudayaan yang ditempuh
pemerintah, apakah ia akan berperan sebagai pelindung, pemelihara dan
pengembang kebudayaan, atau sebaliknya akan tampil sebagai penindas kebudayaan
atau acuh tak acuh terhadap kebudayaan. Lembaga
pendidikan sangat penting, karena di situ dikembangkan berbagai metode
keilmuan dan pemikiran, gagasan falsafah dan wawasan kebudayaan. Di situ pula kecerdasan budi dan
kalbu generasi muda dididik, bakat seni diberi jendela untuk berkembang ke arah
yang luhur. Oleh karena itu lembaga pendidikan tidak hanua dibatasi fungsinya
sebagai tempat mengajarkan ilmu pengetahuan dan hanya bertujuan mencerdaskan
akal. Lembaga pendidikan diarahkan pula sebagai tempat generasi muda mengenal
kebudayaan, sejarah dan jati diri bangsanya yang terekam dalam karya-karya
seni, sastra, pemikiran falsafah dan adat istiadat. Selain itu, tradisi baca
tulis, semangat penelitian ilmiah, jiwa wiraswasta, kecenderungan ke arah
inovasi dan kreativitas, harus ditumbuhkan melalui lembaga pendidikan. Tiga
sendi utama perkembangan budaya, yaitu bahasa, berhitung dan logika, serta budi
pekerti dan estetika haruslah diberi
perhatian khusus.
Perkataan Arab lain yang juga digunakan
untuk menyebut kebudayaan ialah al-hijr, yang artinya kota; al-wabar, bahan
untuk membuat kemah yang merupakan lambang kemajuan atau kemoderenan; dan al-madar, artinya gumpalan tanah untuk
membangun rumah, yang merupakan simbol kebudayaan (`Effat al-Sharqawi 1981).
Dengan menghubungkan perkembangan
kebudayaan dengan wujudnya negara yang berperan mengembangkan dan memelihara
kebudayaan, secara tersirat Ibn Khaldun menghu bungkan pula kebudayaan dengan sejarah. Bahkan di
kalangan pemikir modern kebudayaan diidentikkan dengan sejarah, dan bahwa
antara keduanya memiliki kesalingtergantungan. Dengan perkataan lain,
kebudayaan suatu bangsa atau masyarakat pada masa tertentu tidak sama dengan
kebudayaan mereka pada masa atau babakan sejarah lain. Di Indonesia misalnya
begitu banyak kebudayaan daerah yang tidak lagi berkembang karena matinya
kerajaan yang dahulu pernah mengembangkannya. Karena tidak dikembangkan lagi
oleh pendukungnya, dan hanya diterima sebagai warisan yang dilap-lap, maka
kebudayaan tersebut menjadi mandeg dan beku.
Kebudayaan Melayu dan Aceh pernah
merupakan kebudayaan bercorak kosmopolitan pada masa kejayaan Malaka dan Aceh
Darussalam. Begitu juga kebudayaan Islam di Pesisir Jawa, dan kebudayaan Hindu
Jawa pada zaman Majapahit. Tetapi lama kelamaan kebudayaan tersebut berubah
menjadi kebudayaan agraris feodal dan kehilangan watak kosmopolitannya, setelah
melalui perubahan-perubahan politik dan pemerintahan dalam sejarah
perkembangannya. Perubahan watak itu bisa dikaji dengan cara membandingkan
karya sastra yang berkembang pada zaman yang berbeda-beda dalam suatu
masyarakat.
Perspektif
Modern
Pada zaman modern pengertian kebudayaan
selalu dikaitkan dengan kemajuan, demokrasi dan pengetahuan manusia dalam
berbagai bidang seperti bahasa, sastra, seni rupa, musik, industri hiburan,
perdagangan, falsafah dan lain-lain. Semua bentuk dan perwujudan ekspresi
manusia (etika, estetika, intelektualitas dll) menjadikan manusia lebih
bermartabat dan berdaulat atas kehidupannya. Manifes Kebudayaan (1963), yang
dicetuskan oleh sejumlah cendekiawan dan seniman Indonesia pada zaman
tertindasnya demokrasi dan HAM oleh sistem Demokrasi Terpimpin, menghubungkan
pengertian kebudayaan dengan terciptanya perbaikan kondisi hidup manusia
Indonesia yang dengan itu dapat memiliki kesanggupan yang tangguh dalam
mengangkat martabatnya di tengah bangsa-bangsa lain di dunia.
Dalam pengertian tersebut kebudayaan
dikaitkan dengan kondisi ideal dan nyata yang digerakkan oleh seperangkat
pandangan hidup dan sistem yang mampu menghargai plurarisme, perbedaan
pendapat, demokrasi, tidak menempatkan sektor yang satu (misalnya politik dan
ekonomi) lebih tinggi dari sektor lainnya (misalnya agama dan kebudayaan),
Kebebasan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, tercakup dalam
pengertian ini Dengan perangkat-perangkat ini perdamaian, kemajuan dan
kebahagiaan bisa dicapai. Dan dengan kondisi yang demikian itu pula bangsa
Indonesia bisa meningkatkan mutu kehidupan dan memantapkan nilai-nilai ideal
yang terdapat dalam pandangan hidupnya; serta mampu mengembangkan diri dan
jatidirinya dalam ilmu pengetahuan, falsafah, agama, bahasa, seni dan
kesusastraan.
Dalam bukunya The Story of Philosophy dan The Story of Civilization, Will
Durant mengatakan bahwa, “Kebudayaan
dimulai ketika pergolakan, kekacauan dan keresahan telah reda” (yaitu telah
ditransformasikan ke dalam karya seni, karya keilmuan atau falsafah). “Sebab
apabila manusia aman dan bebas dari rasa takut maka akan timbul dalam dirinya
dorongan-dorongan untuk mencari berbagai rangsangan alamiah dan tak henti-hentinya
melangkah di jalannya untuk memahami kehidupan dan memekarkannya”.
Dengan demikian pengertian kebudayaan ada
hubungannya dengan kegairahan manusia untuk memahami dan memekarkan kehidupan,
dan upaya ke arah itu hanya mungkin apabila rangsangan-rangsangan kerohanian
yang ada dalam diri manusia terus dipupuk dalam berbagai bidang kegiatan.
Dengan demikian rangsangan tersebut akan hidup.
Will Durant menghubungkan kebudayaan
(culture) dan pertanian (agriculture); kemudian peradaban (civilization) dengan
civility atau sopan santun orang terpelajar. Peradaban sebagai civility ditemui
dalam masyarakat kota, seperti tampak dalam cara makan dan berpakaian. Durant
mengatakan bahwa demikian oleh karena
hanya di kota terhimpun kekayaan dari berbagai pelosok desa, dan di kota
pulalah dijumpai otak-otak berbakat. Maka itu hanya di kota saja terjadi
penciptaan karya intelektual dan seni, serta di kota pula muncul industri untuk
melipatgandakan sarana-sarana hiburan, kemewahan dan seni. Pun hanya di kota
para pedagang saling bertemu untuk saling bertukar barang dagangan dan idea,
sehingga membuat akal budi subur, kecerdasan meningkat, dan semua itu pada
akkhirnya mempengaruhi kekuatannya dalam mencipta dan membuat sesuatu.
Dengan kata lain hanya di kota orang dituntut
menghasilkan bermacam-macam karya dan ekspresi, yang mendorong mereka terlibat
aktif secara sadar dalam kehidupan sains, falsafah, sastra dan lain sebagainya.
Peradaban, menurut Will Durant, jelas berbeda dari kebudayaan. Kebudayaan
berkaitan dengan upaya memberdayakan potensi kejiwaan dan rohani manusia.
Apabila potensi kejiwaan dan rohaninya berkembang, maka manusia akan dapat
mengolah lingkungan hidup dan kehidupan sosialnya dengan baik dan indah. Di
lain hal salah satu arti dari peradaban ialah bentuk tingkah laku manusia
beradab sebagai diperlihatkan oleh orang-orang kota. Mereka dapat berbuat
demikian karena tingkat ekonomi dan kemampuan teknologinya telah berkembang.
Ciri orang kota antara lain ialah
tindakan-tindakannya selalu terkait dengan tingkat pendidikan dan
keterpelajaran yang dimiliki. Mereka selalu menggunakan pikiran dan
aturan-aturan tertentu untuk menghindari timbulnya konflik yang menimbulkan
keresahan dan ketidakamanan. Di sini kaitan peradaban dengan hukum atau aturan
formal lain sangat jelas. Masyarakat beradab patuh pada hukum yang disepakati
bersama, dan sebaliknya dalam menjalankan segala kegiatannya masyarakat
mendapat jaminan hukum – baik itu kegiatan keagamaan, seni, ilmiah atau
intelektual. Bahkan karena kegiatan-kegiatan merupakan afktor penting kemajuan
negara, negara tidak boleh berpangku tangan untuk tidak memberi bantuan dan
menyedikan tempat kegiatan yang pantas.
Tetapi pemikiran yang lebih jelas tentang
kebudayaan dapat dijumpai dalam pemikiran filosof mazhab Jerman. Menurut mazhab
Jerman, kebudayaan ialah segala bentuk atau ekspresi dari kehidupan batin
masyarakat. Sedangkan peradaban ialah perwujudan kemajuan teknologi dan pola
material kehidupannya. Bangunan yang indah sebagai karya arsitektur mempunya
dua dimensi yang saling melengkapi: dimensi seni dan falsafahnya berakar pada
kebudayaan, sedangkan kecanggihan penggunaan material dan pengolahannya
merupakan hasil peradaban.
Dengan demikian, “kebudayaan ialah apa
yang kita dambakan, sedangkan peradaban ialah apa yang kita pergunakan’.
Kebudayan tercermin dalam seni, bahasa, sastra, aliran pemikiran falsafah dan
agama, bentuk-bentuk spiritualitas dan moral yang dicita-citakan, falsafah dan
ilmu-ilmu teoritis. Peradaban tercermin dalam politik praktis, ekonomi, teknologi,
ilmu-ilmu terapan, sopan santun pergaulan, pelaksanaan hukum dan undang-undang.
Pengertian yang diberikan oleh mazhab
Jerman ternyata tidak jauh berbeda dengan pengertian yang terdapat dalam
tradisi intelektual Islam, yang sebenarnya telah berakar dalam kebudayaan
Melayu Nusantara. Bertolak dari pengertian tersebut `Affat al-Syarqawi
mengartikan kebudayaan sebagai “Khazanah sejarah suatu bangsa/masyarakat yang
tercermin dalam pengakuan/kesaksiannya dan nilai-nilainya, yaitu kesaksian dan
nilai-nilai yang menggariskan bagi kehidupan suatu tujuan ideal dan makna
rohaniah yang dalam, bebas dari kontradiksi ruang dan waktu.
Adapun peradaban ialah “Khazanah
pengetahuan terapan yang dimaksudkan untuk mengangkat dan meninggikan manusia
agar tidak menyerah terhadap kondisi-kondisi di sekitarnya.”
“Kebudayaan ialah struktur intuitif yang
mengandung nilai-nilai rohaniah tertinggi, yang menggerakkan suatu masyarakat
melalui falsafah hidup, wawasan moral, citarasa estetik, cara berpikir,
pandangan dunia (weltanschaung) dan sistem nilai-nilai.” “Peradaban ialah
ikhtisar perkembangan yang dicapai dengan tenaga pikiran dan sejauh mana
kemajuan tenaga itu dalam mengendalikan segala sesuatu.”
Di sini peradaban meliputi semua
pengalaman praktis yang diwarisi dari satu generasi ke generasi lain. Peradaban
tampak dalam bidang fisika, kimia, kedokteran, astronomi, ekonomi, politik
praktis, fiqih mu`amalah, dan semua bentuk kehidupan yang berkaitan dengan
penggunaan ilmu terapan dan teknologi. Sedangkan kebudayaan di lain hal nampak
perwujudannya dalam hal-hal yang mencerminkan kehidupan rohaniah seperti
nilai-nilai moral, falsafah, sistem kepercayaan, adat istiadat, sastra, seni,
bahasa dan spiritualitas (mistisisme, tasawuf dll).
A.A Fizee dalam bukunya Kebudayaan Islam
(1982) memberi batasan pengertian
dan cakupan kebudayaan sebagai berikut:
Kebudayaan dapat berarti – (1) tingkat kecerdasan akal yang setinggi-tingginya
yang dihasilkan dalam suatu periode sejarah bangsa di puncak perkembangannya;
(2) dapat berarti juga hasil yang dicapai suatu bangsa dalam lapangan
kesusastraan, falsafah, ilmu pengetahuan dan kesenian; (3) dalam pembicaraan
politik, kebudayaan diberi arti sebagai ‘way of life’ suatu bangsa, terutama
dalam hubungannya dengan adat istiadat, ibadah keagamaan, penggunaan bahasa dan
kebiasaan hidup masyarakat.
Rujukan:
`Effat al-Sharqawi. Filsafat dan
Kebudayaan Islam. Terjemahan Utsmani. Bandung 1981.
A. Fizee. Kebudayaan Islam.Jakarta: 1982.
Will Durant, The Story of Civilization.
New York: 1961.
------------- The Story of Philosophy.
New York: 1962.
Ibn Khaldun. Mukadimah. Terj. Ahmadi
Thoha. Jakarta: 1987.
Ismail
R. Faruqi dan Louis L. Faruqi. Atlas Budaya Islam. Kuala Lumpur:
Dewan
Bahasa dan Pustaka, 1999
Tidak ada komentar:
Posting Komentar