OLEH ARYA GUNAWAN (Jurnalis)
Majalah
berita mingguan yang bermarkas di London, The Economist edisi
terbaru (24 Agustus 2006) menurunkan laporan utama dengan judul provokatif, Who
Killed the Newspaper? Laporan tersebut mengupas kondisi terakhir yang tengah
dihadapi oleh surat kabar di seluruh dunia, yang secara umum menunjukkan
kecenderungan penurunan jumlah tiras.
Jauh
sebelumnya, persisnya di bulan April 2005, di hadapan Perhimpunan Para Editor
Surat Kabar Amerika Serikat, “raja” media Rupert Murdoch menyampaikan pidato
yang menyengat. Menurut pemilik salah satu perusahaan media terbesar di dunia
ini, News Corporation, para pemilik, pengelola, dan editor surat kabar tengah
menghadapi ancaman sangat serius yang telah hadir di hadapan mata sejak
beberapa tahun terakhir: para pembaca mulai meninggalkan surat kabar.
Penyebabnya jelas, yakni hilangnya sentuhan dan keterkaitan antara mereka yang
mengurusi surat kabar, terutama para editor dan wartawan yang bertanggung jawab
terhadap isi, dengan para pembaca. Di saat bersamaan dengan menyusutnya jumlah
pembaca lama, para pembaca baru pun–yakni mereka yang berangkat remaja dan yang
memasuki usia pra-dewasa, tak berhasil pula direngkuh.
Menurut
Murdoch, kaum muda yang semestinya menjadi lahan baru bagi surat kabar untuk
meningkatkan jumlah pembaca, tak ingin menyandarkan diri mereka kepada sosok
seperti dewa, yang menyampaikan sabda kepada mereka tentang apa yang dianggap
penting.
“Kaum
muda ini jelas-jelas tidak menginginkan berita yang disampaikan bagaikan kitab
suci. Sebagai sebuah industri, anehnya banyak dari kita yang selama ini berpuas
diri,” ujar Murdoch.
Keprihatinan
sang raja media yang di Inggris antara lain memiliki tabloid The Sun yang terbit harian dengan tiras
pada kisaran lebih dari dua juta eksemplar, dan mingguan News of the World dengan tiras lebih dari empat juta eksemplar ini
didasarkan kepada data-data yang memang bisa mengundang rasa cemas para
pengelola surat kabar.
Untuk
periode antara 1995-2003, misalnya, data Asosiasi Penerbit Surat kabar Sedunia
(World Association of Newspapers, bermarkas di Paris), jumlah total tiras surat
kabar mengalami penyusutan 2% di Jepang, 3% di Eropa. Penurunan tiras bahkan
lebih terasa lagi di Amerika, mencapai 5%. Di tahun 1960-an, empat dari lima
warga Amerika Serikat membaca satu surat kabar setiap hari. Dewasa ini hanya
separuh dari warga negeri Bush itu yang meneruskan kebiasaan ini.
Kecenderungan
yang Tak Tercegah
Kecenderungan
ditinggalkannya surat kabar ini sebetulnya sudah sejak lama menjadi bahan
pembicaraan di kalangan pelaku dan pengamat industri media. Sebagian besar data
dalam tulisan ini menggunakan Amerika Serikat sebagai rujukan, karena memang
negeri inilah yang paling konsisten melakukan survei dan pendataan media.
Dari data
di AS ini, penurunan tiras surat kabar sudah mulai terlihat sejak tahun 1964.
Setiap tahun terjadi penyusutan sebesar setengah persen, sebuah angka yang
mulanya dianggap tidak terlampau serius. Itulah yang agaknya menjadi penyebab
munculnya respons yang tidak terlampau serius pula dari para pemilik dan
pengelola media. Mereka menganggap penurunan tersebut hanyalah kecenderungan
sesaat, yang dalam waktu dekat akan berbalik arah lagi.
Namun
ternyata itu hanyalah harapan kosong. Tahun demi tahun, persentase penurunan
tiras kian tampak nyata. Sebuah survei, misalnya, menunjukkan penurunan jumlah
tiras total surat kabar AS setiap minggu, yang di tahun 1985 berada pada angka
63 juta, namun 15 tahun setelahnya menjadi 56 juta eksemplar. Harap diingat,
pada kurun waktu tersebut jumlah total penduduk AS meningkat hampir 45 persen.
Data dari
Audit Bureau of Circulations di AS mengenai jumlah tiras rata-rata 20 surat
kabar terkemuka di AS untuk periode enam bulan dari Oktober 2005 sampai 31
Maret 2006 , menunjukkan dengan jelas bahwa dari total 20 surat kabar AS
bertiras terbesar hanya lima (25%) yang mengalami kenaikan; selebihnya
mengalami penurunan.
Di tahun
1999 kecenderungan penurunan tiras ini mulai dirasakan dalam dalam skala
global, dan mulai dianggap sebagai ancaman yang tidak main-main bagi para
pelaku industri surat kabar. Pada tahun tersebut, angka penurunan mulai
mencapai 2% setiap tahun, hampir setiap tahun angkanya membesar. Di AS sendiri,
jumlah tenaga kerja di industri surat kabar merosot 18% dalam kurun waktu
antara tahun 1990-2004. Petunjuk penting lainnya yang mencerminkan keprihatinan
yang menimpa industri surat kabar ini adalah dijualnya sejumlah surat kabar
yang berada dalam kelompok bisnis Knight Ridder, di tahun 2005 lalu. Di bawah
kendali kelompok inilah semula beberapa surat kabar besar di AS berada.
Penjualan ini mengakhiri sebuah sejarah yang telah terentang selama 114 tahun.
Tahun 2006 ini, bank investasi Morgan Stanley, memberikan catatan merah untuk New
York Times Company, perusahaan yang menerbitkan surat kabar paling berpengaruh
di dunia, The New York Times. Catatan
merah itu diberikan karena harga saham perusahaan tersebut yang melorot hingga
setengahnya dalam waktu empat tahun terakhir ini.
Berpedoman
pada kecenderungan penurunan yang terus berlanjut inilah, maka Philip Meyer,
seorang guru besar jurnalisme dari AS, lewat bukunya yang provokatif, “The
Vanishing Newspaper: Saving Journalism in the Information Age” (University of
Missouri Press, 2004) membuat ramalan yang niscaya bisa membuat bergidik para
pemilik surat kabar: jika tidak ada teroboson yang radikal dan inovatif yang
bisa merangkul kembali para pembaca, maka tahun 2040 lonceng kematian untuk surat
kabar akan berdentang. Itulah tahun terakhir dimana surat kabar diterbitkan dan
masih bisa dinikmati oleh para pembaca yang jumlahnya tinggal segelintir.
Selepas tahun tersebut, surat kabar hanyalah bagian dari sejarah. Ia hanya
tinggal sebagai arsip yang dipelihara di museum.
Beberapa Penyebab
Penurunan Tiras
Kemanakah
perginya para pembaca surat kabar ini? Selama satu dekade terakhir ini, para
pengamat dan pelaku industri surat kabar melakukan telaah yang serius untuk
mencari faktor penyebab ditinggalkannya surat kabar oleh para pembaca. Salah
satu yang kemudian sering disebut sebagai penyebab utama adalah kian berjayanya
Internet, termasuk kemampuannya untuk menjadi penyedia informasi dan berita.
Kaum remaja dan yang berada di ambang dewasa – yang memang tumbuh bersamaan
dengan berkembangnya Internet – merasa lebih nyaman untuk mencari informasi dan
berita lewat Internet ketimbang lewat surat kabar. Di tahun 1990-an, portal
Internet terkenal seperti Yahoo! sudah menyediakan layanan informasi dan berita
ini.
Benar
bahwa televisi sejauh ini masih menempati posisi tertinggi sebagai sumber untuk
mendapatkan informasi dan berita. Namun Internet, khususnya portal-portal
berita, kian populer di kalangan kaum muda. Penelitian terakhir menunjukkan
bahwa kelompok usia 18-34 tahun terus bertambah jumlahnya dalam hal menggunakan
Internet sebagai sumber informasi mereka. Lebih dari 40 persen responden dalam
survei ini mengaku mengunjungi portal berita setidaknya sekali sehari, sebuah
persentase yang lebih besar dibandingkan jumlah kelompok umur ini yang mencari
berita dari surat kabar versi cetak setiap hari. Data lain di AS juga
menunjukkan bahwa jumlah mereka yang membaca berita melalui sumber-sumber
online mencapai 53,8 juta, hampir sama dengan jumlah mereka yang membaca surat
kabar dalam versi cetak, yakni 54,6 juta.
Namun
lebih dari sekadar kian berjayanya Internet terutama di kalangan kaum muda ini,
penurunan jumlah tiras surat kabar juga disebabkan oleh perilaku para pengelola
surat kabar sendiri yang – menurut istilah Rupert Murdoch dalam sambutannya
yang dikutip di awal tulisan ini – “telah kehilangan sentuhan dengan para
pembaca.” Para pengelola surat kabar, terutama para editor dan wartawan, masih
merasa sebagai penguasa informasi yang sok tahu, yang terus mendikte pembaca
mengenai apa yang harus mereka ketahui. Pendekatan seperti ini, menurut
Murdoch, harus diubah total, sehingga tidak akan pernah lagi terdengar
pertanyaan dari editor di ruang redaksi yang berbunyi, “Berita apa yang kita
punya hari ini?”. Pertanyaan ini harus diganti menjadi, “Apakah ada orang yang
menginginkan berita ini?”
Sikap
sebagian orang terhadap surat kabar memang telah berubah, terutama di
negeri-negeri yang teknologi informasinya telah berkembang jauh. Mereka tak
ingin lagi didikte mengenai apa yang baik-tidak baik, penting-tidak penting.
Mereka ingin didengarkan, karenanya mereka menginginkan perdebatan dan bukan
ceramah. Dikaitkan dengan berita di surat kabar, mereka ingin memperoleh
penjelasan mengenai konteks sebuah peristiwa, bukan semata-mata laporan tentang
sebuah kejadian. Dengan kata lain, mereka tidak hanya menginginkan jurnalisme
yang sekadar memberikan informasi tentang aspek “what” sebuah peristiwa,
melainkan juga aspek “why” nya.
Mereka
memerlukan konteks yang jernih dari sebuah peristiwa. Ambil contoh bencana
lumpur PT Lapindo Brantas di Sidoardjo, Jawa Timur. Surat kabar yang meliput
dengan mempertimbangkan konteks tentu tidak semata-mata melaporkan kejadian
itu, melainkan juga mengejar lebih jauh hingga ke penyebab peristiwa, dampaknya
yang luas, bahkan sampai ke penjelasan mengapa hingga sekarang tidak ada juga
tindakan tegas pemerintah terhadap mereka yang semestinya bertanggungjawab atas
bencana tersebut.
Mereka
juga ingin informasi yang secara langsung berpengaruh kepada diri mereka, yang
bisa secara langsung mereka manfaatkan. Mereka mungkin tak terlampau peduli
dengan pemberitaan mengenai terorisme yang selalu digembar-gemborkan oleh AS
dan para sekutunya. Namun mereka akan terpikat jika disuguhkan juga informasi
mengenai dampak langsung aksi-aksi terorisme ini, misalnya saja pengaruhnya
terhadap kawasan wisata semacam Pulau Bali. Mereka juga menginginkan berita
yang bisa mereka akses setiap saat mereka mau, dengan isi yang mengalami update
secara berkala.
Pada
hakekatnya, mereka ingin memiliki porsi yang lebih besar dalam bersentuhan
dengan media. Mereka tak ingin sekadar dijadikan sebagai obyek untuk
mendapatkan jumlah pembaca, dan dengan itu surat kabar bisa “berjualan” ke biro
iklan untuk mendapatkan pemasukan, melainkan juga sebagai subyek yang ingin
diajak berpartisipasi dalam proses dialog antara surat kabar dan masyarakat
pembaca. Inilah masa dimana para pembaca bukan lagi orang yang bodoh bagai
kerbau yang dicocok hidung, melainkan orang-orang yang pintar dan memiliki
pandangan serta aspirasi sendiri yang patut didengar oleh pengelola surat kabar.
Lebih dari satu dasawarsa yang lalu, pemikir Ignas Kleden sudah mengingatkan
pentingnya para pengelola surat kabar terusmenerus meningkatkan kemampuan
profesional mereka, karena sudah banyak pembaca yang jauh lebih pintar dan
tajam analisisnya ketimbang para editor dan wartawan yang mencekoki mereka
dengan gaya “sok tahu” itu.
Hilangnya
sentuhan antara pengelola surat kabar dan masyarakat pembaca ini semakin
diperburuk oleh kenyataan lain, yakni munculnya kasus-kasus yang berkaitan
dengan integritas. Sejumlah skandal terjadi dalam beberapa tahun belakangan,
bahkan menimpa surat kabar yang selama ini diketahui memiliki reputasi terpuji,
The New York Times. Surat kabar
paling berpengaruh di AS ini di tahun 2003 harus ternoda oleh tindakan seorang
repoter mudanya, Jayson Blair, karena terbukti melakukan berbagai kecurangan
dalam menunaikan tugas jurnalistiknya, termasuk tindak plagiat dan fabrikasi
berita. Setidaknya ada 36 tindak kejahatan jurnalistik yang terbukti telah
diperbuat oleh Blair. Skandal-skandal semacam ini, menurut pakar etika
jurnalistik, Bill Kovach, yang berpraktek lebih dari 40 tahun sebagai wartawan,
telah mengikis kepercayaan pembaca terhadap surat kabar.
Satu
faktor lain perlu juga dicatat, yang disebut-sebut ikut menyumbang terhadap
larinya para pembaca surat kabar ini: ketidakpahaman wartawan terhadap topik
yang digarap. Sebuah studi pernah dilakukan untuk melihat lebih jauh faktor
ini, dan ditemukanlah sejumlah penyebab mengapa wartawan tidak memiliki
pemahaman terhadap subyek liputannya. Penyebabnya mulai dari wartawan yang
memang tak memahami sepenuhnya subyek liputan, tekanan untuk mengejar tenggat
(deadline), tidak melakukan riset pendahuluan yang memadai, latar belakang
subyek liputan yang kompleks sehingga bisa menimbulkan kebingungan, kemalasan
para senior di ruang redaksi untuk menyempurnakan berita yang tak jelas itu,
wartawan tidak mengajukan pertanyaan yang cukup, wartawan tidak mengajukan
pertanyaan yang tepat.
Situasi
Indonesia
Kecenderungan
penurunan tiras surat kabar ini dirasakan juga di Indonesia. Jumlah tiras surat
kabar memang sempat melonjak tajam tak lama setelah Indonesia memasuki era
reformasi di tahun 1998. Ini tentu bisa dimaklumi, karena katup yang selama ini
ditutup pemerintah Orde Baru, dibuka oleh rejim Presiden Habibie lewat Menteri
Penerangan Yunus Yosfiah. Tidak diperlukan lagi perizinan untuk mendirikan surat
kabar, sehingga praktis siapapun boleh terjun ke bisnis ini. Ratusan surat
kabar baru bermunculan, di pusat dan di daerah. Namun peningkatan yang
tiba-tiba ini tidak mampu bertahan lama, terutama karena hukum tangan besi dari
pasar bebas.Taklama kemudian, penurunan tiras surat kabar sudah menjadi
kecenderungan yang berlangsung dari tahun ke tahun. Data terakhir berdasarkan
hasil riset AC Nielsen untuk periode April-Juni 2006 ini, menunjukkan hampir
semua surat kabar di Indonesia mengalami penurunan jumlah pembaca. Beberapa surat
kabar utama mengalami penurunan antara 20-44%. Surat kabar paling berpengaruh
dengan tiras salah satu yang terbesar, Kompas, menyusut sebesar 0,4%.
Untuk
kasus Indonesia, perkembangan Internet belumlah dianggap sebagai penyebab utama
penurunan tiras surat kabar. Alasannya jelas; berbeda dengan di negara-negara
dimana penetrasi Internet sudah melampaui separuh dari jumlah penduduk, di
Indonesia Internet masih merupakan barang mewah yang hanya diakses oleh kurang
dari 5% total populasi. Jika bukan karena pengaruh Internet, apa yang telah
memicu penurunan tiras di Indonesia ini? Memang belum ada data dari hasil riset
menyeluruh yang meneropong masalah ini, namun kuat dugaan penurunan tiras surat
kabar Indonesia ini disebabkan oleh dua faktor utama: yaitu eksternal (yang
berasal dari lingkungan atau situasi di luar industri surat kabar), dan
internal (yang muncul dari dalam industri surat kabar sendiri).
Untuk
faktor eksternal, yang sangat nyata adalah daya beli yang menurun secara
drastis, terutama dengan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) sepanjang
tahun 2005 lalu. Kenaikan BBM ini telah mengakibatkan penurunan pendapatan
masyarakat, sekaligus penurunan strata mereka. Kelompok masyarakat yang tadinya
masih tergolong kelas menengah (sehingga diasumsikan masih mungkin menyisihkan
sebagai penghasilan mereka untuk mengkonsumsi surat kabar), kini merosot ke
kelas bawah. Dalam status baru ini, menyisihkan sebagian penghasilan untuk
berbelanja informasi boleh jadi telah dianggap sebagai suatu kemewahan, atau
sebuah kemubaziran. Mereka lebih memilih untuk mendapatkan informasi dari
sumber-sumber yang gratis (televisi dan radio). Bertambahnya jumlah stasiun
televisi dan radio juga termasuk dalam faktor eksternal ini, yang membuat
masyarakat memiliki begitu banyak pilihan sumber informasi dan berita tanpa
harus membayar, tidak seperti jika mereka harus mendapatkannya dari surat kabar.
Sedangkan
yang termasuk dalam faktor internal antara lain adalah menurunnya kredibilitas
dan integritas surat kabar. Kredibilitas terkait dengan hal ihwal seperti
lemahnya kemampuan profesional wartawan/editor sehingga berita yang disajikan
dipertanyakan mutunya; ketidakpedulian terhadap etika jurnalistik. Adapun
integritas berhubungan dengan independensi para pelaku/pengelola surat kabar
tersebut. Kedua aspek ini merupakan masalah sangat serius yang kini tengah
dihadapi oleh industri surat kabar Indonesia. Begitu banyak kasus yang menimpa surat
kabar Indonesia berkaitan dengan kredibilitas dan integritas ini, mulai dari
sejumlah media yang sama sekali tidak mengindahkan etika (menyajikan topik dan
bahasa yang vulgar dan tak beradab, gambar-gambar berselera rendah,
mengeksploitasi seks-kekerasan-mistik), hingga ke kasus-kasus suap baik
terang-terangan melalui tindak pemerasan terhadap narasumber maupun lewat cara
halus dengan menghalalkan praktek “jurnalisme amplop” ataupun membuka diri
untuk “dibeli” oleh pihak yang berkuasa secara politik maupun finansial.
Surat
kabar yang diragukan independensinya karena tergantung kepada kekuatan
finansial dari lembaga di luar dirinya ini sudah menjadi sebuah praktek yang
meluas, terutama di daerahdaerah. Banyak surat kabar di daerah yang menyediakan
halaman khusus untuk “dibeli” oleh pihak pemilik uang, yang paling sering
adalah pemerintah daerah. Halaman ini kemudian bisa digunakan secara bebas
pihak pemda untuk diisi dengan informasi/berita yang meningkatkan citra pemda.
Celakanya, tidak ada penjelasan yang tegas dari pengelola surat kabar yang
bersangkutan bahwa “halaman dedikasi” tersebut sebetulnya bukanlah berita
murni, melainkan iklan terselubung. Praktek yang benar mengatur bahwa pembaca
harus diberi petunjuk yang jelas yang membedakan antara berita dan iklan,
misalnya dengan mencantumkan penjelasan tersebut secara tertulis (lazimnya
diberi label “advertorial”, gabungan dari advertisement alias iklan dan
editorial).
Merujuk
kembali ke bagian terdahulu yang menyebutkan bahwa larinya pembaca surat kabar
antara lain juga karena pembaca tak disuguhi sajian berita dengan kandungan
yang bermutu dan kemasan yang menarik. Kondisi seperti ini juga menjadi menu
sehari-hari surat kabar di Indonesia. Comotlah secara acak surat kabar di
setiap kota, maka tidak sulit bagi kita untuk menjumpai berita-berita yang
masuk dalam kelompok tadi: mencerminkan ketidakpahaman wartawan terhadap obyek
yang dilaporkannya.
Ambil
contoh salah satu berita di harian Kompas,
edisi 2 Januari 2005, halaman 4, di bawah judul “Dana Pemulihan Aceh Belum
Jelas”. Pada alinea pertama terbaca kalimat berikut: Pencantuman permintaan
pemerimaan untuk Aceh sebesar lima persen plafon Dana Alokasi Umum secara
nasional harus dilihat lebih sebagai kebutuhan Aceh untuk pemilihan setelah
puluhan tahun terlibat konflik dan juga dihantam bencana besar tsunami. Soal
besar Dana Alokasi Umum yang diminta, perdebatan mungkin saja akan lumayan alot
karena beragam pertimbangan. Alinea ini tentu bisa diperjelas, dipersingkat
(termasuk mengurangi istilah “Dana Alokasi Umum” yang disebut dua kali).
Tentu
saja kita bisa menderetkan contoh semacam ini hingga berhalaman-halaman. Contoh
lainnya dalam skala yang lebih serius karena berpotensi menyesatkan khalayak
pembaca dapat dilihat pada berita “Misteri Sang Perekam Peledak Bom”,
yang dimuat di halaman muka harian Kompas,
7 Oktober 2005. Topik berita ini tentu saja amat-sangat menarik, karena
berkaitan dengan peristiwa peledakan bom Bali II, 1 Oktober 2005. Judulnya juga
sangat mengundang rasa ingin tahu pembaca. Namun isinya mengandung sejumlah
persoalan mulai dari struktur yang sebetulnya bisa dibuat lebih runtut dan
jernih, sampai kepada masalah yang lebih serius yaitu lemahnya verifikasi
(sebagian besar informasi diperoleh dari pihak kepolisian, dan terkesan tidak
ada upaya dari wartawan yang melaporkan peristiwa ini untuk menggugat keabsahan
informasi itu lebih jauh). Laporan tersebut juga memuat opini yang tidak begitu
simpatik, karena menempatkan pembaca yang tak sepandangan dengan isi laporan
tersebut sebagai pihak yang penuh curiga sehingga bisa menghambat proses
pendewasaan bangsa Indonesia.
Saya
ambil contoh lain, salah satu berita di halaman muka koran Tempo edisi Jumat, 20 Agustus 2004, di bawah judul “Air Mancur HI
Terhenti Karena Pencuri Kabel”. Isi berita: air mancur di kawasan Bundaran
Hotel Indonesia (HI) Jakarta mati karena ada kabel listrik yang berfungsi
menggerakkan air itu dicuri. Pemberi keterangan: Asisten Pembangunan Pemda DKI,
dan Kepala Dinas Pertamanan DKI. Karena kejadian ini, sistem air mancurnya jadi
rusak, dan butuh dana untuk perbaikan. Dananya sedang dihitung, dan
disebut-sebut sedikitnya Rp 100 juta.
Semestinya
wartawan yang meliput berita ini tidak boleh berhenti di situ, karena masih
banyak pertanyaan yang mengganjal: apa semudah itu orang mencuri kabel di
sebuah lokasi yang sangat terbuka dan strategis, dan biasanya sering dilalui
patroli polisi sampai larut malam; bagaimana proses pencuriannya; mana bukti
bekas kabel yang dicuri; bahkan kapan peristiwa itu terjadi juga tak tercantum
di berita tadi; apa betul perbaikannya memerlukan dana Rp 100 juta; apa saja
yang diperbaiki; berapa panjang kabel yang diganti; apa jenisnya, berapa
harganya, dst. Ataukah jangan-jangan tidak pernah ada kejadian pencurian, dan
yang terjadi adalah kerusakan alamiah karena hubungan arus-pendek alias
korsluiting, yang membuktikan bahwa proses pembangunannya di tahun 2002 lalu
tidak hati-hati dan tak sebanding dengan anggaran yang diberita Tempo
disebutkan sebesar Rp 12 milyar itu?
Kompas
memberitakan peristiwa yang sama, di hari yang sama di halaman 18. Sudah ada
keinginan Kompas untuk menelusuri
lebih jauh, yakni dengan menanyakan ke warga di sekitar lokasi, yang
menyebutkan bahwa pernah ada kejadian dua pekan lalu dimana muncul kepulan asap
dari bawah tugu (tempat kabel berada), bahkan terdengar suara letusan. Bukanlah
ini menyiratkan ada sesuatu yang salah secara alamiah? Sayangnya Kompas tak mengejar lebih jauh.
Siasat
dan Inovasi
Seiring
dengan hadirnya awan kelabu yang menggelantung di atas jagad industri surat
kabar ini, lahirlah berbagai gerakan untuk melibatkan khalayak pembaca media
kian berkembang. Dari sini muncul sejumlah konsep baru, antara lain “citizen
journalism” (jurnalisme kerakyatan), dimana semua orang pada hakekatnya bisa
dan boleh menjadi jurnalis. Salah satu penganjur gerakan ini adalah Dan
Gillmor, wartawan/kolomnis yang menulis untuk surat kabar San Jose Mercury News di AS. Menurut Gilmor, masa depan kegiatan
peliputan dan produksi berita akan menjadi lebih sebagai sebuah dialog, atau
sebuah seminar. “Garis batas yang memisahkan antara produsen dan konsumen media
akan mengabur,” ujarnya, dalam bukunya We the Media: Grassroot Journalism by
the People, for the People (2004).
Dilandasi
pada keyakinan seperti itu pula maka media secara keseluruhan, dan surat kabar
secara khusus, melakukan berbagai eksperimentasi untuk menyiasati tantangan
ini. Bagaimana cara mengajak khalayak diajak untuk lebih terlibat dalam sebuah
berita? Televisi melakukannya dengan mengajak pemirsa untuk ikut secara
langsung dalam diskusi atas sebuah topik yang tengah hangat. BBC London,
misalnya, menggagas program Have Your Say, misalnya. Lewat program ini pemirsa
diundang untuk terlibat langsung dalam sebuah diskusi atau perdebatan mengenai
sebuah topik aktual, yang disiarkan secara langsung. Pilihan topik pun tak
jarang diserahkan kepada pemirsa. Versi online program Have Your Say ini
mencatumkan tiga cara untuk bisa berhubungan langsung dengan penanggungjawab
program: bisa dengan mengirimkan berita (apakah ada pemirsa yang menjadi saksi
sebuah perisitiwa? Ataukah ada pemirsa yang punya ide topik liputan berita?);
bisa lewat kiriman foto dan rekaman video; bisa pula dengan mengajukan topik
yang layak didiskusikan dalam program siaran langsung Have Your Say tersebut.
Dalam sebuah konferensi internasional yang berlangsung di Singapura Juni lalu,
Ruxandra Obreja dari BBC News London,
menyebutkan bahwa program ini mendapatkan sambutan yang sangat positif dari
pemirsa.
Surat
kabar juga berupaya mencari berbagai siasat, mulai dari mengubah kemasan dan
tampilan, mengubah format, melakukan konvergensi (menerbitkannya dalam versi
online, dilengkapi pula dengan arsip audio visual yang bisa diakses langsung
pada saat yang sama). Akibat lanjut dari perubahan ini adalah gaya penulisan
jurnalistik yang berubahnya pula, yaitu menjadi lebih ringkas namun padat.
Salah satu surat kabar yang menjadi pelopor inovasi ini adalah The Times yang
terbit di London. Sejak tahun 2004, surat kabar ini mengubah formatnya menjadi
seukuran tabloid, sekaligus mengakhiri sejarah panjangnya selama lebih dari 200
tahun dalam format broadsheet (lembar lebar). Rupert Murdoch selaku pemilik The Times menyebut format baru tersebut
dengan istilah “compact” alias format yang lebih padat. Murdoch dengan bangga
menyebutkan bahwa perubahan format dan gaya jurnalistik The Times wajah baru itu sebagai tanggapan nyata terhadap keinginan
khalayak pembaca. “Itu bukti bahwa kami tengah berbenah diri, mendengarkan apa
yang diinginkan pembaca,” ujar Murdoch.
Versi
online The Times juga menunjukkan
keinginan untuk merebut kembali para pembaca yang hilang itu. Lihat misalnya
penggalan salah satu berita The Times
versi online edisi 22 Agustus 2006 berikut ini, yaitu mengenai tabrakan dua
kereta-api di Mesir, yang menewaskan 58 orang.
A passenger train heading towards a railway station in
northern Egypt collided with a second train yesterday, killing 58 people and
injuring more than 140. Both commuter trains had been heading south from the
towns of Mansoura and Benha in the Nile delta when the accident happened
outside Qalyoub, 12 miles (20km) north of Cairo. The Mansoura train was
travelling at about 50mph (80km/h) before the collision and had apparently
failed to obey a stop signal outside the railway station, police sources said.
The driver was killed.
Perhatikan
beberapa ciri dari berita ini, yang agaknya menjadi standard The Times karena ciri-ciri yang sama
juga dijumpai hampir di seluruh berita lainnya. Dari segi kemasan: ada gambar
yang sangat mewakili dari peristiwa yang dilaporkan, judul yang tegas dan jelas
(kendati dalam kasus ini judulnya lumayan panjang), kepala berita (lead) yang
jelas dan langsung pada sasaran, kalimat-kalimat yang ringkas.
Yang
menarik untuk diperhatikan dan dicatat adalah pada berita versi online ini tertera sebuah gambar mini
kamera video, diserta dengan tulisan: Times Online TV. Mereka yang tengah
berada di situs online tersebut bisa mengklik gambar kamera tadi. Dan sudah
bisa dibayangkan apa yang terjadi selanjutnya: si pengakses disuguhi rekaman
gambar perisitiwa tabrakan kereta api tersebut. Dengan segala kelengkapannya
inilah agaknya The Times versi online
mendeklarasikan diri sebagai The Newspaper that Speaks.
Tetap Harus Berhati-hati
Tentu
saja kreasi dan inovasi baru semacam ini layak untuk disambut. Namun tetap
dengan sikap yang hati-hati, karena jika terlampau menghamba pada perubahan
format dan kemasan ini, bukan mustahil malah terperangkap sehingga menghasilkan
liputan yang dangkal. Inilah yang juga diingatkan oleh The Economist melalui
laporan utama di edisi terbarunya sebagaimana dikutip di pembuka tulisan ini.
“Banyak surat kabar yang mencoba menarik pembaca muda dengan mengalihkan
variasi pemberitaan mereka sehingga lebih mengarah ke hiburan, gaya hidup dan
topik-topik lainnya yang kelihatan lebih relevan untuk kehidupan sehari-hari
orang banyak ketimbang menyajikan liputan internasional dan politik.”
The Economist menginginkan agar surat
kabar tetap bisa mencurahkan perhatian untuk menjalankan tugas utama
jurnalistik: menggali kebenaran, memberdayakan publik, mengungkap
skandal-skandal politik dan perusahaan. Majalah berpengaruh ini bahkan terkesan
pesimis bahwa sejumlah inovasi yang lebih mengandalkan pada kemasan tersebut
akan bisa membuat surat kabar mempertahankan napas panjang. “Sejauh ini,
sejumlah kegiatan baru ini kelihatannya tak juga mungkin untuk menyelamatkan
sebagian besar mereka. Andaikan bisa, maka upaya itu akan mengorbankan peran
publik dari surat kabar sebagai Pilar Keempat,” ujar laporan The Economist.
Gelombang
perubahan dan re-posisi surat kabar ini juga sempat mengimbas hingga ke
Indonesia.
Beberapa surat
kabar, misalnya, ikut mengalami perubahan format. Dari sejumlah surat kabar
yang berubah format ini, Kompas
merupakan fenomena yang menarik untuk ditilik lebih jauh. Perubahan format Kompas yang berlaku sejak tanggal 28
Juni 2005 (tepat di ulang tahunnya yang ke-40) sudah dihembus-hembuskan
jauh-jauh hari, lewat iklan di surat kabar itu sendiri juga lewat televisi.
Pada hari-H, hadirlah format baru itu, dengan sejumlah hal baru di antaranya:
ukuran yang lebih kecil, berita di halaman muka yang tidak bersambung ke
halaman dalam, dan karena itu halaman muka hanya bisa memuat lebih sedikit
berita, banyak berita yang ditulis menggunakan by-line (mencantumkan nama
lengkap wartawannya, bukan sekadar singkatan/kode), ada pengantar untuk judul
yang ditampilkan dalam huruf berwarna.
Pada hari
pertama perubahan format itu rubrik Opini surat kabar tersebut dipenuhi oleh
tulisan yang menjelaskan alasan perubahan format tadi, mulai dari Tajuk Rencana
(“Mengapa “Kompas” Diredesain”), tulisan Kepala Litbang Kompas, Daniel Dhakidae
(“Kompas 2005: Mengapa Berubah?”), pandangan wartawan senior Kompas, Ninok
Leksono (“Koran, Renaisans Menuju Masa Depan Berbagi”), hingga ke tulisan dari
Mario R. Garcia, “otak” di balik perubah format Kompas, juga sederet surat
kabar lainnya di berbagai penjuru dunia (“Desain untuk Pembaca Era Digital”).
Perubahan format ini tentu saja memicu pro dan kontra, dalam diskusi-diskusi
maupun dalam tulisan langsung di surat kabar tersebut, salah satunya adalah
dari pakar ilmu komunikasi Universitas Indonesia, Dedy N. Hidayat lewat judul
tulisan yang memikat, “Kompas” Mencari Kompas.
Namun
belakangan kebijakan perubahan format Kompas ini kelihatannya tidak begitu
membawa hasil seperti yang diinginkan. Hanya berselang beberapa bulan setelah
lahirnya format baru itu, beberapa ketentuan tampak tidak dipatuhi lagi: berita
di halaman muka “tidak putus di tempat” alias bersambung ke halaman dalam,
by-line juga sudah semakin jarang terlihat, pemaparan yang semula ingin ringkas
kembali panjang. Jika kita memperhatikan Kompas
edisi hari ini, maka seperti tak kelihatan lagi perbedaannya dengan format dan
gaya penulisan di era sebelum perubahan format, kecuali untuk tulisan di rubrik
Tajuk Rencana yang terus dipertahankan untuk ringkas dan padat. Menarik untuk
mengulas lebih jauh pergeseran kembali Kompas
ini, sehingga bisa diketahui secara jelas apa yang telah menjadi penghambat
utama sehingga tak bisa terus mempertahankan format baru secara sepenuhnya.
Kuat dugaan, salah satu penyebabnya adalah karena Kompas tidak terus-menerus mencurahkan upaya untuk memperkokoh
esensi utama yang melahirkan perubahan format itu, yakni gaya jurnalisme yang
juga ringkas, padat, tajam. Kompas
kembali hadir dengan gaya jurnalistik yang tidak ringkas, bahkan mulai dari
judul. Lihatlah contoh-contoh berikut:
“Tak Ada Restitusi Kedaluwarsa” (ditambah
dengan subjudul “Pemerintah Terancam
Membayar Bunga Dua Persen per Bulan”, edisi Selasa 22 Agustus 2006). Ada juga
“Indofood Ambil Alih ISG Asia” (ditambah dengan sub judul: “Grup Salim Makin Merajai Bisnis Sawit”, atau “Impor Komponen Masih Tinggi” (dengan
subjudul “Butuh Komitmen Pemerintah
Membangkitkan Industri Padat Karya”). Kedua contoh itu dari edisi Kamis, 24
Agustus 2006. Juga ada judul “Tiga Heli
Coba Atasi Kebakaran” (subjudul:
Penerbangan di Bandara Sulthan Thaha Jambi Kacau, edisi Minggu 27 Agustus
2006). Kepala berita (lead) juga
cenderung tidak ringkas, misalnya saja pada berita di bawah judul “Lee Kuan Yew Nilai Otorita Pulau Batam
Mengalami Kemunduran” (Kompas, Jumat 25/8/06), dijumpai kepala berita
seperti ini: Menteri Senior Singapura Lee
Kuan Yew menilai kawasan otorita Pulau Batam, Kepulauan Riau, yang bakal
dijadikan salah satu kawasan ekonomi khusus di Indonesia, sekarang ini justru
mengalami kemunduran jika dibandingkan ketika Pemerintah Singapura bekerja sama
dengan Pemerintah Indonesia di masa pemerintahan Soeharto.
Kembali
ke Akar
Tulisan
ini ingin menyimpulkan bahwa perubahan memang tengah berlangsung, sebagian
besar berisi keprihatinan. Siasat dan inovasi memang mutlak diperlukan. Namun
di atas semua itu, nilai jurnalistik yang asasi tetaplah harus menjadi
pertimbangan utama. Khalayak pembaca perlu terus menerus diyakinkan bahwa para
pengelola surat kabar adalah orang-orang yang layak dipercaya dari segi
kredibilitas dan profesionalisme, serta dari integritasnya. Dengan begitu, surat
kabar sebagai produk yang mereka hasilkan juga akan beroleh kepercayaan yang
sama. Jurnalisme baru dalam pandangan saya justru adalah “jurnalisme lama”,
jurnalisme yang merujuk kembali ke akarnya: sebuah tugas mulia yang memburu
kebenaran lalu menyajikannya kembali kepada khalayak dengan niat yang lurus
agar khalayak lebih tercerahkan dan terberdayakan. Untuk mencapai tujuan mulia
itu seluruh standard dan nilai jurnalistik yang selama ini sudah dikenal, perlu
terus diperkokoh: wartawan dan editor harus tak henti mengedepankan rasa ingin
tahu yang dilandasi pada skeptisisme, tak bosan melakukan verifikasi, tak malas
dan tak lekas berpuas diri, tak surut mempertahankan nilai-nilai dasar etika
jurnalistik (keakuratan, keberimbangan, kejujuran dan keadilan), sembari terus
mengasah keterampilan dalam mengumpulkan bahan, ketajaman analisis, kemahiran
menulis.
Jika
semua hal di atas telah dilakukan dengan sepenuh upaya, masih ada harapan untuk
melihat surat kabar tetap tegak sebagai salah satu tonggak dalam memperjuangkan
kebenaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar