OLEH Alwi Karmena
Leon Agusta |
“Di hari raya. Di hari rindu beralun
alun. Selendangmu ibu, terkibas diterpa angin… Ah. Salamku lah itu…”
Sebaris puisi indah amat tersemat di
hati–Kenapa Tak pulang Sayang yang ditulisnya puluhan tahun yang lalu, dengan
gemetar namun khidmad, saya kutip dari antalogi puisi Monumen Safari. Buku
kumpulan empat penyair: Rusli Marzuki Saria, Leon Agusta, Chairul Harun, dan
Zaidin Bakry. Sebuah buku tua yang telah menguning kertasnya.
Leon Agusta, lahir di Sigiran Maninjau 77
tahun yang lalu, 5 Agustus 1938. Meninggal dunia pada Kamis (10/12/2015) di
Padang. Nama kecilnya Ridwan Ilyas.Tak jelas mengapa dia mengubah namanya jadi
Leon Agusta. Leon seorang tokoh kontemplatif yang sentimentil. Belakangan ini,
entah kenapa, dia jadi acap mengeluh. Bukan karena dia amat menyadari dirinya
telah demikian rapuh. Beberapa penyakit kronis ia akui sebagai seperangkat
derita yang telah menggerogoti hari tuanya yang rembang. Tapi, dia mengeluh
atas respons anak-anak muda, terutama orang birokrasi yang kurang merespons
upaya luhurnya membangun Leon Agusta Institut. Ya. Untunglah masih ada Julia
anaknya yang gigih, meski terseok, anak permpuannya itu terus…terus memikul
gagasan tersebut ke gelanggang.
Bang Leon Agusta, begitu dia saya sapa.
Dunia kesenian tahu. Saya adalah orang yang amat dekat dengan beliau. Sejak
awal 70-an. Kami membangun Bengkel Teater bersama Wisran Hadi, tokoh teater
yang pada pertengahan jalan, Wisran memisahkan diri membangun Bumi Teater.
Saya bertahan di “Bengkel”nya di Hiligoo,
rumahnya Bang BHR Tanjung yang juga dedengkot teater. Bahkan, ketika dia hijrah
ke Jakarta, sampai hari-hari penghabisan ini, kami masih berkomunikasi lewat
“Surat Surat Kebudayaan”. Sering dia mengatakan dirinya amat rindu pulang.
Leon boleh dikatakan penyair yang
sentimentalitasnya menghunjam dalam. Nyanyan Hujan di sajak-sajaknya mewakili
iklim batinnya yang sering berawan. Sepertinya, dia fasih sekali menafsirkan
isi palung dari “nuansa puitik”, rindunya yang tersembunyi dalam getir
pergulatannya menepis jarak.
Leon sebenarnya amat cinta kampug
halaman. Dia bangga jadi orang Maninjau. Walau telah melanglang ke mancanegara,
Padang Kota Tercinta (Puisinya yang dijadikan motto Kota Padang) adalah
pelabuhan ciptanya, cintanya yang penghabisan. Pelabuhan tempat dia kini
menutup pelayaran di bahtera hidup dunia. Sang Khaliq memanggil aktor ini untuk
menghadap menunaikan janji pertemuan abadi.
Petang kemaren. Bang Leon “mengicuh”
saya, seperti Wisran mengecoh saya. Padahal, jauh-jauh hari dia ingin
bercengkrama, bicara tentang puisi-puisi yang belum sempat dipubliklasi. Dia
masuk RSUP M Jamil Padang. Tak ada yag memberi tahu saya, ya Allah. Saya sejak
lama menunggu dia dari Jakarta. Tapi, diam-diam dia meyelusup masuk ke Jati
(RSUP). Saya tak perduli nama-nama penyakitya. Saya, dia, dia dan dia lainnya
lagi, bahkan beratus ratus kawan lain juga punya beratus-ratus penyakit. Saya
hanya peduli, kalau dia datang bercakap-cakap tentang puisi dengan saya.
Tapi, petang hari rembang. Leon Agusta,
penancap utama pilar teater modern di Sumatera Barat ini, tiba tiba memadamkan
lampu pentas “sandiwara rutin” saya. Saya tak bisa main- main lagi. Saya
kehilangan tenaga. Ingin berlutut pada kelam. Kenapa rupanya? Tiba-tiba sahabat
saya, guru saya, penyair melankolis itu, pulang ke kampung abadi tanpa saya
berkesempatan melepas. Pulang. Yang pasti tak akan kembali lagi.
Selamat jalan Bang Leon.
(senja berembang malam di kantorku)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar