Tulisan
Bre Redana ini banyak mendapat respons dari publik. Berikut kami turunkan
tulisan-tulisan yang dimuat di pelbagai media online yang menanggapi tulisan
ini. -Redaksi
OLEH BRE REDANA (Wartawan Senior Harian Kompas)
Belakangan ini, seiring berlayarnya waktu, kami wartawan
media cetak, seperti penumpang kapal yang kian dekat menuju akhir hayat.
Terakhir, di penghujung tahun, Ignatius Haryanto, pengamat pers yang luas
referensinya, salah satu anggota Forum Ombudsman surat kabar kami, memberikan
notifikasi dengan judul Senjakala Suratkabar di Indonesia? Pertanyaan lebih
lanjut ia ajukan: apakah ini akhir dari peradaban surat kabar cetak saat ini?
Faktor-faktor yang mendasari pertanyaannya berupa kondisi
yang niscaya sudah diketahui banyak orang, antara lain perkembangan teknologi
digital. Ini membawa konsekuensi bisnis. Pengiklan memilih berinvestasi pada
media yang lebih gemebyar seperti televisi, dengan penyiar yang kinyis-kinyis,
berikut kru lapangan yang militan, sampai kalau perlu mengabaikan tata krama.
Harus diakui, media cetak, koran, majalah, buku, kebiasaan
membaca yang mendasari tradisi dan terbentuknya sivilisasi manusia sampai
penghujung milenium kedua, sebagian kini tinggal kenangan belaka. Termasuk
jurnalisme.
Di mana pun di dunia, jurnalisme berangkat dari semangat
coba-coba, didasari kebutuhan untuk mengembangkan fondasi kultural bagi
perkembangan masyarakat. Semangat tersebut menyemaikan atmosfer kerja yang
setengahnya beraura misi suci, menegakkan kebenaran, mengembangkan compassion,
mengeksplorasi truth alias kasunyatan. Para pelakunya adalah figur-figur
otodidak, yang pada perkembangannya sebagian memiliki kewibawaan intelektual
melebihi doktor.
Kalau kemudian muncul sekolah atau pendidikan jurnalisme,
itu semata-mata reaksi pedagogis dari kesadaran akan kurangnya endorsement
akademik pada bidang pekerjaan ini. Pada perkembangannya, namanya bukan lagi
jurnalisme, tapi ilmu komunikasi, komunikasi sosial, marketing dan komunikasi,
dan lain-lain. Spektrum pendidikannya terus meluas, kini mencakup multimedia
dengan multiplatformnya, atau di masa mendatang entah apa lagi, karena yang
sekarang pun saya kurang paham apalagi yang akan datang.
Inilah era baru dunia media masa, dengan sifat bergegas,
serba cepat, tergopoh-gopoh. Mereka berilusi menampilkan informasi yang
pertama, yang tercepat, sekaligus lupa, bahwa yang pertama belum tentu yang
terbaik.
Seorang teman yang berkecimpung sejak lama di dunia public relations menuturkan, enak
menghadapi wartawan sekarang. Tinggal sediakan press release. Mereka melakukan
copy paste dari press release tadi apa adanya. Tidak perlu pusing menjawab
pertanyaan, karena mereka tidak bertanya. Dalam press tour ke luar negeri untuk
peliputan masalah tertentu, pertanyaan hanyalah kapan free time atau waktu
senggang. Mereka ingin jalan-jalan, belanja.
Dalam konstelasi baru media, koran disebut ”media
konvensional”. Boleh jadi sekonvensional wartawannya, yang memegang notes,
bolpen, mencatat yang diomongkan sumber berita. Wartawan media mutakhir tidak
mencatat. Mereka khusyuk dengan gadget. Barangkali merekam, mencatat, atau bisa
saja tengah berhubungan entah dengan siapa. Istilahnya: multitask. Sambil
mendengarkan yang di sini, berhubungan dengan teman yang di sana, pacar, saudara,
dan lain-lain.
Sikap seperti itulah yang tidak bisa diikuti wartawan
konvensional. Kami tidak mendelegasikan otak kami pada alat rekam. Kami sadar
akan signifikansi kehadiran, being there. Internet menyediakan semua data, tapi
dia tidak akan pernah bisa menggantikan proses pertemuan dan wawancara.
Wawancara bukanlah penampungan omongan orang, melainkan konfrontasi kesadaran.
Pada kesadaran ini terdapat dimensi lain dari jurnalisme, semacam dimensi
nonteknis taruhlah moral, etik, dan kemanusiaan.
Tahun segera berganti. Inikah senjakala surat kabar? Sekadar
mengingatkan para juragan: di balik cakrawala senja, nilai-nilai di atas tetap
diperlukan manusia.
Sumber:
Kompas, Minggu, 28 Desember 2015 (http://print.kompas.com/baca/2015/12/27/Inikah-Senjakala-Kami)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar