OLEH IRWAN BAJANG (Editor, Penulis dan Pekerja Buku)
Usai membaca “Inikah Senjakala Kami”… tulisan Bre Redana
yang saya dapatkan dari tautan dinding facebook seorang teman, saya segera menjentikkan
jari ke tombol share tulisan tersebut. Tak lupa saya sisipkan tulisan pendek
untuk ngeksis sekaligus sebagai status facebook saya; “Ya gimana nggak
ditinggalkan, esai di koran ini bahkan tidak ngomong apa-apa. Astaga! Bahkan di
titik krusial ketika sedang membicarakan senjakala dan ketertinggalan dirinya
sendiri. Parah.”
Tulisan pendek tersebut mungkin terkesan emosional. Dan saya
akui memang iya. Meskipun sebenarnya status pendek itu lebih pantas saya
klaim—karena itu tulisan saya sendiri—sebagai sebuah bentuk rasa heran dan
ketidakpercayaan. Kok bisa tulisan seperti itu dimuat di kolom ‘khusus’ sebuah
koran nasional dan di hari minggu pula. Hari di mana konon koran tidak selaku
hari biasanya, sehingga koran minggu perlu ditambahkan rubrik sastra, rubrik
hahahihi selebririti dan foto-foto yang aduhai jepretannya. Saya heran, di
samping isi esainya yang menurut saya tidak berbicara secara tajam, tulisan ini
ditulis oleh seorang seorang penulis cum jurnalis yang sudah malang melintang
publikasi di koran cetak. Dan sialnya lagi, tulisan buruk ini ada di hari
minggu. Hari di mana lebih enak bangun siang lalu sarapan yang enak dibanding
baca koran. Apalagi kalau tidak langganan dan harus keluar ke perempatan.
Oh ya, kalau Anda belum tahu, saya baca tulisan ini di koran
minggu edisi cetak yang didaringkan. Jadi bisa dibaca malam hari, sebab layar
ponsel pintar tidak mungkin dijadikan bungkus pecel. Aha!
Bre Redana membuka kunci paragraf pertamanya dengan kalimat
yang bagi saya terdengar frustrasi, tapi bagi Bre mungkin adalah sebuah
kebanggan. “Belakangan ini, seiring berlayarnya waktu, kami wartawan media
cetak, seperti penumpang kapal yang kian dekat menuju akhir hayat.” Kalimat ini
dipakai untuk kemudian diakhir di ujung paragraf dengam mempertanyakan, apakah
ini akhir dari peradaban surat kabar cetak saat ini?
Jika dimulai dengan sebuah perumpamaan berlayar menuju
kematian, Bre bukannya berduka dan bertobat mengoreksi banyak kemunduran atau
celah kesalahan yang harus dibenahi media cetak di mana ia dibesarkan. Bre
justru seolah sedang menepuk dada dan merasa bangga. Seolah sedang membayangkan
dirinya sebagai pelaut yang sedang berhadapan dengan badai. Seumpama Captain
Billy Tyne dalam Film The Perfect Storm. Alih-alih menghindari badai, ia malah
dengan bangga berlayar menerjang ombak. Atas nama kehormatan para pelaut yang
akan pulang segera dan berdiri gagah di dermaga.
Bukannya menunjukkan pengakuan terhadap media daring terkini
yang telah merampas belanja iklan yang dulu banyak dibayar ke media cetak, Bre
justru menambah pidato frustrasinya dengan menyebut “…para pengiklan memilih
berinvestasi pada media yang gemebyar seperti televisi dengan penyiar yang
kinyis-kinyis, berikut kru lapangan yang militan. Tak cukup dengan itu, Bre
menambahkan lagi; kalau perlu mengabaikan tata krama. Bre menuding ke para
pengiklan yang mengubah haluan meninggalkan keagungan media cetak, tapi Bre
tidak meyebut apa yang ia maksud sebagai mengabaikan tata krama itu. Tidak pula
menyebut contohnya satu pun.
Pada paragraf berikutnya, lagi-lagi lelaki yang mengawali
debut karier jurnalistiknya di bagian yang menangani ilmu pengetahuan dan
teknologi ini membuat sebuah pengakuan yang hampir mirip dengan dua paragraf
sebelumnya. Bre malah menyatakan tradisi membaca sesungguhnya ‘sebagian’ telah
berakhir hanya sampai penghujung millennium kedua, sedangkan saat ini semua
hanya tinggal kenangan.
Kalimat semacan ini khas gaya orang pintar pembaca segala
yang kerap menyalahkan sebuah kemunduran dan ketretinggalan selalu diakibatkan
oleh terjadi degradasi. Seolah zaman dulu—mungkin zaman ketika Bre masih
muda—semua orang suka membca. Lalu zaman makin mundur, orang makin tidak suka
membaca, meninggalkan tradisi bangun pagi lalu menggelar di teras rumah.
Membacanya sambil ngopi dan menyerap segala informasi dunia senikmat tegukan
kopinya.
Bre mengritik model para jurnalis baru media daring yang ke
mana-mana menenteng gawai pintar mereka. Berusaha mewawancara dan sambil
mengetik di depan narasumber, lalu segera mengirimkan tulisannya ke editor
untuk segera diedit dan diluncurkan secepat mungkin di jagad maya. Masuk langsung
di genggaman ponsel pintar siapa saja. Mungkin ini yang dimaksud Bre dalam
esainya sebagai sebuah pengabaian tata krama. Tapi toh sekali lagi Bre tidak
memberikan contoh apapun.
Bre mungkin tidak sadar. Bahwa bukan hanya sekarang—di era
senjakala media cetak yang ia pertanyakan—tapi sejak dulu orang-orang tidak
bisa membaca koran dengan lipatan sana sini sambil menonton televisi atau
sambil diselingi ngobrol. Atau sambil rebahan menunggu ngantuk. Tapi inilah
yang dilakukan oleh generasi pembaca terkini. Mungkin Bre masih ingin melihat
orang menunggu bus sambil mengapit koran, membaca majalah dan atau buku,
sekaligus membebani isi tasnya. Bre mungkin menganggap generasi gadget hanyalah
generasi yang duduk atau linglung sambil chatting dengan orang di seberang
sana. Ia abai, bahwa ada orang yang menekuri gawainya mungkin sedang membaca
liputan panjang jurnalisme ala pindai, jakartabeat, atau panajournal. Membaca
liputan kleidoskop akhir tahun New York Times atau Guardian, atau berburu
membaca blog penulis kesukaanya. Atau membaca tulisan seorang jurnalis idolanya
yang menulis di note facebook sembari langsung berdiskusi dan direspons oleh
orang orang yang menjentikkan tombol like dan mengajaknya berdebat sekaligus.
Atau bahkan bisa saja si anak muda yang duduk menekuni gawainya itu sedang
membaca buku tebal filsafat yang dilipat dan dijejalkan menjadi ukuran super
mini di layar dalam genggamannya.
Membaca keseluruhan tulisan Bre ini. Saya jadi heran. Kok ya
sekelas Bre Redana, penulis Potret Manusia Sebagai Si Anak Kebudayaan Massa,
bisa menulis secetek ini. Ia tidak menjelaskan tentang apa yg dimaksud judul
tulisannya. Kecuali hanya menyebut sekilas perubahan dan perbandingan media
daring dengan media konvensional. Itu pun hanya sedikit, hanya membahas
bagaimana cara wawancara jurnalis media cetak dan media terbarukan. Bre
menganggap menulis dengan catatan seolah lebih suci dan bermoral dibanding
merekam dan menulis dengan ponsel a la jurnalis muda kekinian. Selebihnya
tulisan ini tidak membahas apa apa. Tulisan Bre bagi saya semacam curhat
mendayu jurnalis senior yang masih punya pusaka jurnalisme di tengah era yang
melaju dengan cepat. Sayangnya, Bre tidak bisa menunjukkan pamor pusaka keramat
ini lewat tulisannya yang dangkal dan terburu-buru.
Bre tidak melek sama sekali, bahwa jurnalisme koran yang
meliput berita di siang hari, lalu harus dibaca besok pagi—itupun kalau segera
dapat korannya—hanya memiliki pola distribusi satu arah. Pembaca tidak bisa
memarahi wartwan ngawur tanpa melalui surat pembaca yang entah nantinya dimuat
atau tidak. Pada medium koran cetak, jurnalis menjadi sumber tunggal informasi
utama, atau menjadi sumber kebenaran dalam posisi tertentu. Sementara di era
digital, sebuah liputan atau tulisan bisa langsung dikritisi, dibedah dan
dijahit dengan informasi lain yang datang dari pembaca hanya beberapa detik
setelah tulisan itu selesai dibaca.
Bre seolah meratap, tapi ratapannya bagaikan ratapan
kehilangan seorang sufi tanggung. Sang sufi yang kehilangan benda
kesayangannya, alih-alih mencari malah memilih pasrah sembari terkagum dengan
keagungan rasa ikhlas menerima sekaligus rasa riya akan amalan suci yang sudah
lama ia jalani.
Mungkin Bre tidak sadar atau pura-pura lupa, ia melakukan
generalisasi untuk dirinya sebagai wartawan mewakili wartawan di media media
cetak. Bahwa membandingkan media cetak dan daring dari segi kualitas adalah
tindakan salah sejak awal diniatkan. Selain banyak yang media cetak yang bagus
dan mendalam, media cetak buruk dan dangkal juga tak kalah banyaknya. Bre malah
tidak tidak sadar, tulisannya di kompas cetak itu sekarang sudah dibaca lebih
banyak orang karena kompas menghadirkan versi daringnya.
Kekeliruan tambahan Bre dalam tulisannya ini adalah kebaruan
dan kecepatan itu tidak serta merta membuat media daring tidak lebih bermoral
dari media cetak. Belum tentu juga apa yang disebut Bre cepat selalu berbanding
lurus dengan ketidakmendalaman. Sebab berita yang lama ditulis, lalu harus
menunggu ayam berkokok untuk didistribusikan tidak juga menjamin tulisan atau
liputan itu akan lebih baik dibanding dikerjakan dengan cara cepat, tim yang
solid dan verifikasi data digital yang tidak mengharuskan kita masuk gudang dan
membongkar arsip. Dan mungkin saja, masyarakat terkini juga tidak selalu butuh
tulisan atau reportase mendalam setiap membaca.
Tulisan Bre bagi saya semacam tulisan curhat dan ngece. Tapi
Bre tidak bisa menunjukkan ecean-nya bisa menusuk sekaligus membuktikan tulisan
dan medianya lebih baik dari yang apa yang diece. Dan cobalah bayangkan, jika saya
harus menunggu seminggu untuk menyiarkan esai balasan ini. Saya harus
mengirimnya ke yang maha redaktur. Dan itupun kalau dimuat. Ampppuuuun!
Sumber: http://irwanbajang.com/2015/12/badai-senjakala-media-cetak-memang-sudah-dekat-kapten-bre-redana/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar