Rabu, 30 Desember 2015

Badai Senjakala Media Cetak Memang Sudah Dekat, Kapten Bre Redana

OLEH IRWAN BAJANG (Editor, Penulis dan Pekerja Buku)
Usai membaca “Inikah Senjakala Kami”… tulisan Bre Redana yang saya dapatkan dari tautan dinding facebook seorang teman, saya segera menjentikkan jari ke tombol share tulisan tersebut. Tak lupa saya sisipkan tulisan pendek untuk ngeksis sekaligus sebagai status facebook saya; “Ya gimana nggak ditinggalkan, esai di koran ini bahkan tidak ngomong apa-apa. Astaga! Bahkan di titik krusial ketika sedang membicarakan senjakala dan ketertinggalan dirinya sendiri. Parah.”
Tulisan pendek tersebut mungkin terkesan emosional. Dan saya akui memang iya. Meskipun sebenarnya status pendek itu lebih pantas saya klaim—karena itu tulisan saya sendiri—sebagai sebuah bentuk rasa heran dan ketidakpercayaan. Kok bisa tulisan seperti itu dimuat di kolom ‘khusus’ sebuah koran nasional dan di hari minggu pula. Hari di mana konon koran tidak selaku hari biasanya, sehingga koran minggu perlu ditambahkan rubrik sastra, rubrik hahahihi selebririti dan foto-foto yang aduhai jepretannya. Saya heran, di samping isi esainya yang menurut saya tidak berbicara secara tajam, tulisan ini ditulis oleh seorang seorang penulis cum jurnalis yang sudah malang melintang publikasi di koran cetak. Dan sialnya lagi, tulisan buruk ini ada di hari minggu. Hari di mana lebih enak bangun siang lalu sarapan yang enak dibanding baca koran. Apalagi kalau tidak langganan dan harus keluar ke perempatan.
Oh ya, kalau Anda belum tahu, saya baca tulisan ini di koran minggu edisi cetak yang didaringkan. Jadi bisa dibaca malam hari, sebab layar ponsel pintar tidak mungkin dijadikan bungkus pecel. Aha!
Bre Redana membuka kunci paragraf pertamanya dengan kalimat yang bagi saya terdengar frustrasi, tapi bagi Bre mungkin adalah sebuah kebanggan. “Belakangan ini, seiring berlayarnya waktu, kami wartawan media cetak, seperti penumpang kapal yang kian dekat menuju akhir hayat.” Kalimat ini dipakai untuk kemudian diakhir di ujung paragraf dengam mempertanyakan, apakah ini akhir dari peradaban surat kabar cetak saat ini?
Jika dimulai dengan sebuah perumpamaan berlayar menuju kematian, Bre bukannya berduka dan bertobat mengoreksi banyak kemunduran atau celah kesalahan yang harus dibenahi media cetak di mana ia dibesarkan. Bre justru seolah sedang menepuk dada dan merasa bangga. Seolah sedang membayangkan dirinya sebagai pelaut yang sedang berhadapan dengan badai. Seumpama Captain Billy Tyne dalam Film The Perfect Storm. Alih-alih menghindari badai, ia malah dengan bangga berlayar menerjang ombak. Atas nama kehormatan para pelaut yang akan pulang segera dan berdiri gagah di dermaga.
Bukannya menunjukkan pengakuan terhadap media daring terkini yang telah merampas belanja iklan yang dulu banyak dibayar ke media cetak, Bre justru menambah pidato frustrasinya dengan menyebut “…para pengiklan memilih berinvestasi pada media yang gemebyar seperti televisi dengan penyiar yang kinyis-kinyis, berikut kru lapangan yang militan. Tak cukup dengan itu, Bre menambahkan lagi; kalau perlu mengabaikan tata krama. Bre menuding ke para pengiklan yang mengubah haluan meninggalkan keagungan media cetak, tapi Bre tidak meyebut apa yang ia maksud sebagai mengabaikan tata krama itu. Tidak pula menyebut contohnya satu pun.
Pada paragraf berikutnya, lagi-lagi lelaki yang mengawali debut karier jurnalistiknya di bagian yang menangani ilmu pengetahuan dan teknologi ini membuat sebuah pengakuan yang hampir mirip dengan dua paragraf sebelumnya. Bre malah menyatakan tradisi membaca sesungguhnya ‘sebagian’ telah berakhir hanya sampai penghujung millennium kedua, sedangkan saat ini semua hanya tinggal kenangan.
Kalimat semacan ini khas gaya orang pintar pembaca segala yang kerap menyalahkan sebuah kemunduran dan ketretinggalan selalu diakibatkan oleh terjadi degradasi. Seolah zaman dulu—mungkin zaman ketika Bre masih muda—semua orang suka membca. Lalu zaman makin mundur, orang makin tidak suka membaca, meninggalkan tradisi bangun pagi lalu menggelar di teras rumah. Membacanya sambil ngopi dan menyerap segala informasi dunia senikmat tegukan kopinya.
Bre mengritik model para jurnalis baru media daring yang ke mana-mana menenteng gawai pintar mereka. Berusaha mewawancara dan sambil mengetik di depan narasumber, lalu segera mengirimkan tulisannya ke editor untuk segera diedit dan diluncurkan secepat mungkin di jagad maya. Masuk langsung di genggaman ponsel pintar siapa saja. Mungkin ini yang dimaksud Bre dalam esainya sebagai sebuah pengabaian tata krama. Tapi toh sekali lagi Bre tidak memberikan contoh apapun.
Bre mungkin tidak sadar. Bahwa bukan hanya sekarang—di era senjakala media cetak yang ia pertanyakan—tapi sejak dulu orang-orang tidak bisa membaca koran dengan lipatan sana sini sambil menonton televisi atau sambil diselingi ngobrol. Atau sambil rebahan menunggu ngantuk. Tapi inilah yang dilakukan oleh generasi pembaca terkini. Mungkin Bre masih ingin melihat orang menunggu bus sambil mengapit koran, membaca majalah dan atau buku, sekaligus membebani isi tasnya. Bre mungkin menganggap generasi gadget hanyalah generasi yang duduk atau linglung sambil chatting dengan orang di seberang sana. Ia abai, bahwa ada orang yang menekuri gawainya mungkin sedang membaca liputan panjang jurnalisme ala pindai, jakartabeat, atau panajournal. Membaca liputan kleidoskop akhir tahun New York Times atau Guardian, atau berburu membaca blog penulis kesukaanya. Atau membaca tulisan seorang jurnalis idolanya yang menulis di note facebook sembari langsung berdiskusi dan direspons oleh orang orang yang menjentikkan tombol like dan mengajaknya berdebat sekaligus. Atau bahkan bisa saja si anak muda yang duduk menekuni gawainya itu sedang membaca buku tebal filsafat yang dilipat dan dijejalkan menjadi ukuran super mini di layar dalam genggamannya.
Membaca keseluruhan tulisan Bre ini. Saya jadi heran. Kok ya sekelas Bre Redana, penulis Potret Manusia Sebagai Si Anak Kebudayaan Massa, bisa menulis secetek ini. Ia tidak menjelaskan tentang apa yg dimaksud judul tulisannya. Kecuali hanya menyebut sekilas perubahan dan perbandingan media daring dengan media konvensional. Itu pun hanya sedikit, hanya membahas bagaimana cara wawancara jurnalis media cetak dan media terbarukan. Bre menganggap menulis dengan catatan seolah lebih suci dan bermoral dibanding merekam dan menulis dengan ponsel a la jurnalis muda kekinian. Selebihnya tulisan ini tidak membahas apa apa. Tulisan Bre bagi saya semacam curhat mendayu jurnalis senior yang masih punya pusaka jurnalisme di tengah era yang melaju dengan cepat. Sayangnya, Bre tidak bisa menunjukkan pamor pusaka keramat ini lewat tulisannya yang dangkal dan terburu-buru.
Bre tidak melek sama sekali, bahwa jurnalisme koran yang meliput berita di siang hari, lalu harus dibaca besok pagi—itupun kalau segera dapat korannya—hanya memiliki pola distribusi satu arah. Pembaca tidak bisa memarahi wartwan ngawur tanpa melalui surat pembaca yang entah nantinya dimuat atau tidak. Pada medium koran cetak, jurnalis menjadi sumber tunggal informasi utama, atau menjadi sumber kebenaran dalam posisi tertentu. Sementara di era digital, sebuah liputan atau tulisan bisa langsung dikritisi, dibedah dan dijahit dengan informasi lain yang datang dari pembaca hanya beberapa detik setelah tulisan itu selesai dibaca.
Bre seolah meratap, tapi ratapannya bagaikan ratapan kehilangan seorang sufi tanggung. Sang sufi yang kehilangan benda kesayangannya, alih-alih mencari malah memilih pasrah sembari terkagum dengan keagungan rasa ikhlas menerima sekaligus rasa riya akan amalan suci yang sudah lama ia jalani.
Mungkin Bre tidak sadar atau pura-pura lupa, ia melakukan generalisasi untuk dirinya sebagai wartawan mewakili wartawan di media media cetak. Bahwa membandingkan media cetak dan daring dari segi kualitas adalah tindakan salah sejak awal diniatkan. Selain banyak yang media cetak yang bagus dan mendalam, media cetak buruk dan dangkal juga tak kalah banyaknya. Bre malah tidak tidak sadar, tulisannya di kompas cetak itu sekarang sudah dibaca lebih banyak orang karena kompas menghadirkan versi daringnya.
Kekeliruan tambahan Bre dalam tulisannya ini adalah kebaruan dan kecepatan itu tidak serta merta membuat media daring tidak lebih bermoral dari media cetak. Belum tentu juga apa yang disebut Bre cepat selalu berbanding lurus dengan ketidakmendalaman. Sebab berita yang lama ditulis, lalu harus menunggu ayam berkokok untuk didistribusikan tidak juga menjamin tulisan atau liputan itu akan lebih baik dibanding dikerjakan dengan cara cepat, tim yang solid dan verifikasi data digital yang tidak mengharuskan kita masuk gudang dan membongkar arsip. Dan mungkin saja, masyarakat terkini juga tidak selalu butuh tulisan atau reportase mendalam setiap membaca.
Tulisan Bre bagi saya semacam tulisan curhat dan ngece. Tapi Bre tidak bisa menunjukkan ecean-nya bisa menusuk sekaligus membuktikan tulisan dan medianya lebih baik dari yang apa yang diece. Dan cobalah bayangkan, jika saya harus menunggu seminggu untuk menyiarkan esai balasan ini. Saya harus mengirimnya ke yang maha redaktur. Dan itupun kalau dimuat. Ampppuuuun!
Sumber: http://irwanbajang.com/2015/12/badai-senjakala-media-cetak-memang-sudah-dekat-kapten-bre-redana/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...