Goenawan Mohamad cerita panjang lebar
seputar penyelenggaraan Frankfurt Book Fair 2015. Mulai dari persiapan hingga
tudingan korupsi.
Goenawan Mohamad memukul meja dengan
telapak tangannya. Ia tidak suka terhadap desakan anggota DPR agar anggaran
Frankfurt Book Fair (FBF) sebesar Rp 147 miliar diaudit, dan itu dinilainya
sebagai penghinaan. "Kalau saya mau cari uang, ngapain digaji Rp 19 juta
per bulan sebagai staf ahli (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan), ini
menghina," katanya.
Budayawan yang biasa disapa dengan Mas
Gun atau GM ini menawarkan diri untuk dipanggil dewan jika memang diperlukan.
"Saya akan datang dengan seluruh komite. Mereka (anggota dewan) pikir FBF
itu seperti pameran buku di sini (Indonesia)," kata Ketua Komite Nasional
untuk FBF 2015 tersebut.
GM didapuk sebagai ketua sejak awal tahun
ini, menggantikan Agus Maryono, ahli sungai dan merupakan insinyur lulusan
Jerman, yang sudah bekerja di komite sejak 2013, tapi mengundurkan diri. Namun
GM sudah terlibat sejak 2013, dengan status sebagai ketua sub komite seni
pertunjukan.
Persiapan yang dilakukan sejak 2013
sebenarnya agak goyah, karena anggaran seret. Waktu yang singkat, sementara
program penerjemahan buku harus jalan, membuat GM dan beberapa teman harus
nombok. Bahkan ia dan Slamet Rahardjo harus menginap di hotel murah di
Frankfurt.
"Setiap pagi harus mengepel karena
kalau dibersihkan bayar 8 Euro, saya harus hemat," ujarnya.
Belum lagi biaya kirim barang-barang ke
Frankfurt mulai dari set panggung, bumbu masak untuk kuliner sebanyak 500
kilogram, sampai gerobak angkringan. "Ketika Finlandia jadi tamu
kehormatan, mereka punya waktu 6 tahun persiapan."
Dalam waktu terbatas tim komite
menerjemahkan lebih dari 200 jilid buku ke dalam bahasa Jerman dan Inggris.
Selain Pulang (Leila S. Chudori) dan Amba (Laksmi Pamuntjak), ada juga karya
penulis lain, sebanyak 70 orang. Sebut saja Eka Kurniawan, Andrea Hirata, Dee
(Dewi Lestari), serta Ayu Utami. Diperkirakan ada 5.000 buku ikut dipajang di
paviliun tamu kehormatan FBF bertemakan "17,000 Pulau Imajinasi" itu.
GM, 74 tahun, janggutnya keriting dan
rambut belah samping--yang semakin menipis. Tapi masih terlihat sosok remaja
dalam dirinya: bersemangat untuk tertawa, dan antusias ketika bicara tentang
sastrawati cantik. "Faktanya sastrawati kita memang cantik-cantik,"
ujarnya tergelak. Tubuhnya tampak lebih kurus, beratnya turun tiga kilogram,
karena kelelahan.
Hampir dua jam tim Beritagar.id
berbincang dengan orang yang bertanggung jawab mengatur presentasi Indonesia di
FBF ini di Kompleks Komunitas Salihara, Pasar Minggu, Jakarta, Rabu lalu
(4/11/2015). Secara terbuka ia membahas persiapan dan rintangan timnya yang
terus terjaga sepanjang malam dalam bekerja, serta soal anggaran--termasuk
tuduhan korupsi di proyek ini.
Frankfurt
Book Fair (FBF) sudah usai (14-18 Oktober lalu). Apa catatan Anda?
Pertama, saya bersyukur memiliki tim
berdedikasi dan ahli. Kedua, kerja kami menunjukkan Indonesia tidak bisa
dianggap enteng, karena awalnya pihak Jerman khawatir gagal, ternyata kami
bisa. Bahkan mereka (orang Jerman) terkejut dengan apa yang kami tampilkan.
Menurut
Anda penampilan Indonesia secara keseluruhan di FBF?
Sangat oke, bagus sekali, saya sendiri
kaget. Lha kok yang datang banyak, sampai ratusan orang setiap hari. Saya
bangga.
Sebenarnya
se-prestise apa sih status Indonesia sebagai tamu kehormatan di FBF?
Saya sudah berkali-kali bercerita, tapi
tidak didengar. Ini prestisius sekali. Tapi tujuan kita bukan sekadar itu.
Tujuannya agar hak cipta buku-buku kita ada yang beli. Kalau hak cipta bisa
dijual di sana, industri buku kita bisa bangkit. Sehingga penerbit ada motivasi
untuk memproduksi buku bagus. Penerbit kita selama ini hanya produksi buku
kurikulum.
Kenapa
Indonesia dipilih menjadi tamu kehormatan?
Kita dilirik karena perkembangan
demokrasi dan ekonominya yang menonjol, tingkat melek hurufnya juga tinggi
yaitu 93 persen.
Dengan
tampil memukau, berarti Indonesia bisa terpilih lagi dong?
Tidak, baru 30 tahun yang akan datang,
dan tidak semudah itu. Finlandia saja antre selama 26 tahun baru akhirnya
ditunjuk. Mungkin ini seumur hidup sekali saja.
Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan menyebut Indonesia tamu kehormatan
terbaik dalam 10 tahun terakhir dalam keikutsertaannya. Benarkah?
Banyak yang memuji. Indonesia bahkan
menjadi sampul depan di media sana. Kuliner kita disambut baik. Untuk makan di
restoran paviliun kita, orang sampai antre dua jam.
Kita ini belajar dari RRC (Republik
Rakyat Cina) soal konsep acaranya. Mereka mempertunjukkan seni bela diri wushu
ketika menjadi tamu kehormatan. Kita juga pakai pertunjukan, tapi dengan tari.
Yang kami dapati juga, orang, Jerman tidak suka dengan yang berbau pariwisata
seperti Bali-Bali begitu. Di Frankfurt yang disajikan adalah kecerdasan baru.
Nah kita menampilkan itu.
Bagaimana
ceritanya Anda ditunjuk menjadi Ketua Komite Nasional untuk perhelatan FBF ini?
Saya sempat tidak setuju Indonesia jadi
tamu kehormatan. Karena persiapannya terbatas, dan ada keterlibatan
menteri-menteri di kepanitiaan. Saya tidak mau, karena tidak bisa bekerja
dengan menteri.
Kenapa
tidak mundur saja?
Ketika itu Wakil Menteri Pendidikan Bu
Wiendu (Nuryanti) mengganti struktur kepanitiaan, dengan tidak melibatkan para
menteri. Kemudian Pak Boediono, Wakil Presiden saat itu, menghubungi juga dan
meminta saya bergabung. Saya tidak bisa mundur lagi. Saat itu Ketua Komite
Nasional-nya Pak Agus Maryono, insinyur lulusan Jerman, ahli sungai.
Pada tahun itu (2013), baru
ditandatangani MoU dengan Direktur Frankfurt Book Fair, Juergen Boss. Kita
punya waktu dua tahun persiapan. Tapi pada 2015 Pak Agus mundur, dan dia
meminta saya menggantikan. Alasannya sibuk di UGM (Universitas Gadjah Mada).
Saat itu
sudah ada anggaran FBF turun dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan?
Tidak ada. Zero. Karena semua kementerian
tidak memiliki uang pada bulan Januari. Untuk penerjemah, pemerintah hanya
menganggarkan Rp150 ribu per halaman, padahal tarif internasional Rp480 ribu.
Mana ada penerjemah yang mau. Padahal waktunya mepet dan penerjemahan satu buku
itu butuh setahun. Penerjemah dari Jerman akhirnya banyak yang mundur. Tapi ada
yang tidak. Penerjemah dibayar lewat anggaran kebudayaan duta besar Indonesia
di Jerman.
Anda dan
tim merasa dihambat?
Bukan bermaksud pemerintah menghambat. Itu
adalah prosedurnya. Memang ada yang mencoba begitu (menghambat), tapi belum
bisa dibuktikan.
Ketika
Anies Baswedan menjadi menteri, apakah dia sudah tahu situasinya? Apa kata dia?
Tahu, tapi kan dia terbatas, sementara
program sudah jalan, jadi enggak bisa diubah. Anggarannya pun sudah ditetapkan
pada masa menteri sebelumnya.
Kenapa
Anda tidak mencari sponsor?
Saya mau cari sponsor, tapi pihak
kementerian bilang jangan. Ya sudah saya terpaksa nombokin.
Ada
tuduhan Anda mencari sponsor dan uangnya masuk kantong sendiri. Tanggapan Anda?
Boleh nanti dibongkar. Saya akan beberkan
berapa uang yang saya keluarkan.
Menjelang
"hari H" FBF kabarnya paviliun Indonesia belum jadi dan Anda harus
mengeluarkan uang pribadi?
Bukan soal itu, memang panggung itu
dibuat selama tiga hari oleh orang Jerman. Tapi disiapkan berbulan-bulan di
sini. Lambat memang, tapi baik. Tapi lebih baik begitu karena kami takut sekali
kepada KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Salah sedikit, bisa kena, tidak mau
saya, jadi hati-hati sekali. Sebab itu saya terkadang harus kompromi, dengan
mengeluarkan uang sendiri. Termasuk menyewa konsultan komunikasi di Jerman.
Tidak besar lah, tapi besar untuk kalian ha-ha-ha...
Proyek FBF
ini diduga tanpa tender, asal main tunjuk...
Tidak. Ini bukan proyek. Saya diminta
untuk membantu. Nah, ini kesalahan persepsi orang. Seolah-olah kami cari proyek.
Padahal banyak pengorbanan dari orang sekelas Slamet Rahardjo untuk acara ini.
Sungguh disayangkan. Kalau mau tahu, honor saya itu hanya Rp19 juta per bulan,
dan selalu terlambat.
Kalau saya mau cari uang, ngapain
mengejar Rp19 juta, kan menghina banget. Kami dikontrak sebagai staf ahli, yang
sebenarnya tidak perlu pekerjaan ini. Saya ini bergaji paling tinggi dari yang
lain. Bayangkan? Tim bekerja betul-betul demi republik. Karena tidak ingin
proyek ini jadi proyek pelat merah, yang biasanya berjalan tidak keruan.
Anggaran
disesuaikan dengan proposal program yang Anda buat?
Saya tidak pernah bikin proposal. Jadi,
bukan kami yang mengajukan. Program yang kami susun menyesuaikan dengan bujet
yang sudah ditetapkan, sekitar Rp150 miliar, tapi ternyata yang turun Rp147
miliar.
Alokasinya
untuk apa saja?
Dibagi ke beberapa satuan kerja. Yang
saya sesali, orang mengertinya FBF itu hanya di Frankurt. Padahal sebelum itu
ada rangkaiannya. Frankfurt adalah puncaknya. Jadi, dari bulan Mei 2015 sudah
harus mulai pameran buku di Leipzig, kemudian di Bologna, lalu di London. Belum
lagi menyiapkan seni pertunjukannya.
Total, ada 480 acara Indonesia di FBF.
Itu mendatangkan 11 arsitek, ada 1500 bambu yang diolah dulu di Indonesia,
kemudian bumbu masak untuk kuliner sebanyak 500 kilogram, belum lagi fotografi,
gerobak angkringan, pasang iklan di poster lampu di enam kota di Jerman dan
kereta api.
Benarkah
uang anggaran keluar lewat empat event organizer?
Tidak. Pokoknya ada beberapa EO (event
organizer). Misalnya untuk seni pertunjukan seminar, juga kuliner. Tapi kalau
soal uangnya saya tidak tahu.
Pengeluaran
terbesar itu untuk apa?
Pendirian Paviliun habis Rp19 miliar.
Mendatangkan orang juga banyak makan biaya. Latihan berbulan-bulan bagaimana?
Misalnya latihan Opera Tari Gandari. Itu butuh biaya juga. Belum lagi
mengundang pengarang dari Aceh dan Papua.
Apakah
uang nombok Anda dan teman-teman itu diganti?
Ada yang dikembalikan ada yang entah.
Lillahi ta'ala. Karena ya lebih banyak makan hati. Malah saya dan Slamet
Rahardjo menginap di sebuah hotel murah di Frankfurt. Slamet sampai membeli
ganjalan pot untuk bekerja di toilet--membuat program acara sampai begadang.
Untuk berhemat kami juga harus mengepel kamar sendiri, karena kalau dibersihkan
harus bayar 8 Euro. Ini pertama kalinya komite sebuah negara tidak tinggal di
hotel bintang lima.
Kenapa ada
tuduhan korupsi di proyek Frankfurt Book Fair ini?
Tidak ada yang kami tutup-tutupi. Saya
termasuk mengawasi kalau ada yang aneh-aneh. Saya pun enggak pernah pegang
uang, karena adanya di kementerian.
Komisi X
DPR akan memanggil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan terkait
desakan audit anggaran FBF. Anda siap dipanggil juga?
Silakan, tidak ada yang ditutup-tutupi,
dengan senang hati saya akan datang dengan seluruh komite. Kalau berani silakan
dewan panggil saya. Nanti mereka (dewan) akan malu sendiri. Mereka pikir FBF
itu seperti pameran buku di sini (Indonesia). Yang mengerti buku sedikit. Mereka
(dewan) pikir buku tidak penting. Yang penting olahraga. Uang bermiliar-miliar
untuk Asian Games yang kita kalah melulu tidak apa-apa, tapi buku yang kita
menang, malah dipersoalkan.
Mungkin
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tidak mengajak dewan untuk studi banding,
memperkenalkan FBF...
Pergi sendiri dong. Wartawan saja ada
yang pergi sendiri. Kita ini mengundang 17 wartawan Jerman ke Indonesia, yang
juga bertemu dengan Pak Jokowi. Liputan mengenai Indonesia dari Jerman sejak
itu bukan main, khususnya mengenai Islam dan sastra Indonesia.
Soal
konten yang dibawa Indonesia di FBF kabarnya diplomat di sana keberatan karena
kental dengan revolusi 1965?
Kata siapa? Kabarnya itu dari mana?
Bohong itu, acara kami itu dibantu orang KBRI (Kedutaan Besar Republik
Indonesia) kok, termasuk duta besarnya, Fauzi Bowo, yang juga turut membantu.
Bahkan saya menilai, Foke --panggilan Fauzi Bowo--hebat dalam berpidato dengan
bahasa Jermannya, dia arsitek yang menguasai panggung. Keren.
Anda dan
tim yang menyiapkan tema revolusi 1965 itu?
Momennya memang tepat. Revolusi 1965,
tahun ini 50 tahun--dan di Eropa lagi hangat. Karena ada persiapan pengadilan
internasional tentang 1965--yang isunya sampai ke Frankfurt. Tapi kami tidak
pakai tema. Buku yang masuk ya dipamerkan. Tidak ada batasan dari kementerian,
kita diberi kewenangan penuh.
Ada yang
menilai orang dan buku-bukunya terlalu Salihara sentris?
Siapa yang bilang. Memang ada berapa
orang Salihara yang pergi? Tidak banyak. Yang pergi misalnya adalah Nirwan
(Dewanto). Masa Ayu Utami tidak boleh pergi, kan dia bintang di sana.
Tapi buku
Laksmi Pamuntjak seperti yang ditonjolkan?
Novel Laksmi Pamuntjak dipilih sebagai
novel luar Jerman yang terbaik, dan sudah diterjemahkan sebelum tim dibentuk.
Anda
dituduh merumuskan novel Laksmi (Amba)?
Novel itu kan jalan sendiri. Siapa
mengarang Amba? Saya? Produktif benar
saya, mendingan saya karang sendiri. Gendeng apa. Mengapa harus pakai nama
orang lain. Tuduhan itu merendahkan perempuan.
Kabarnya
mantan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono meminta dia dan keluarganya untuk
berangkat ke sana tapi ditolak kementerian?
Pihak kementerian bilang kalau dengan Ibu
Ani (Yudhoyono) saja boleh. Kalau dengan keluarga tidak ada dananya. Memang,
Pak SBY sebenarnya akan dipanel dengan Pak Habibie dalam sebuah acara diskusi.
Kami undang dia sebagai pengarang. Tapi memang dia (SBY) sibuk, akhirnya tidak
jadi datang. Kementerian saja pejabatnya hanya lima orang, amat sedikit. Ketika
FBF tahun 2014, pejabatnya banyak bukan main.
Sumber: http://beritagar.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar