Senin, 09 November 2015

Wawancara Goenawan Mohamad: Di Frankfurt Kami Sajikan Kecerdasan Baru

Goenawan Mohamad cerita panjang lebar seputar penyelenggaraan Frankfurt Book Fair 2015. Mulai dari persiapan hingga tudingan korupsi.
Goenawan Mohamad memukul meja dengan telapak tangannya. Ia tidak suka terhadap desakan anggota DPR agar anggaran Frankfurt Book Fair (FBF) sebesar Rp 147 miliar diaudit, dan itu dinilainya sebagai penghinaan. "Kalau saya mau cari uang, ngapain digaji Rp 19 juta per bulan sebagai staf ahli (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan), ini menghina," katanya.
Budayawan yang biasa disapa dengan Mas Gun atau GM ini menawarkan diri untuk dipanggil dewan jika memang diperlukan. "Saya akan datang dengan seluruh komite. Mereka (anggota dewan) pikir FBF itu seperti pameran buku di sini (Indonesia)," kata Ketua Komite Nasional untuk FBF 2015 tersebut.
GM didapuk sebagai ketua sejak awal tahun ini, menggantikan Agus Maryono, ahli sungai dan merupakan insinyur lulusan Jerman, yang sudah bekerja di komite sejak 2013, tapi mengundurkan diri. Namun GM sudah terlibat sejak 2013, dengan status sebagai ketua sub komite seni pertunjukan.
Persiapan yang dilakukan sejak 2013 sebenarnya agak goyah, karena anggaran seret. Waktu yang singkat, sementara program penerjemahan buku harus jalan, membuat GM dan beberapa teman harus nombok. Bahkan ia dan Slamet Rahardjo harus menginap di hotel murah di Frankfurt.
"Setiap pagi harus mengepel karena kalau dibersihkan bayar 8 Euro, saya harus hemat," ujarnya.
Belum lagi biaya kirim barang-barang ke Frankfurt mulai dari set panggung, bumbu masak untuk kuliner sebanyak 500 kilogram, sampai gerobak angkringan. "Ketika Finlandia jadi tamu kehormatan, mereka punya waktu 6 tahun persiapan."
Dalam waktu terbatas tim komite menerjemahkan lebih dari 200 jilid buku ke dalam bahasa Jerman dan Inggris. Selain Pulang (Leila S. Chudori) dan Amba (Laksmi Pamuntjak), ada juga karya penulis lain, sebanyak 70 orang. Sebut saja Eka Kurniawan, Andrea Hirata, Dee (Dewi Lestari), serta Ayu Utami. Diperkirakan ada 5.000 buku ikut dipajang di paviliun tamu kehormatan FBF bertemakan "17,000 Pulau Imajinasi" itu.
GM, 74 tahun, janggutnya keriting dan rambut belah samping--yang semakin menipis. Tapi masih terlihat sosok remaja dalam dirinya: bersemangat untuk tertawa, dan antusias ketika bicara tentang sastrawati cantik. "Faktanya sastrawati kita memang cantik-cantik," ujarnya tergelak. Tubuhnya tampak lebih kurus, beratnya turun tiga kilogram, karena kelelahan.
Hampir dua jam tim Beritagar.id berbincang dengan orang yang bertanggung jawab mengatur presentasi Indonesia di FBF ini di Kompleks Komunitas Salihara, Pasar Minggu, Jakarta, Rabu lalu (4/11/2015). Secara terbuka ia membahas persiapan dan rintangan timnya yang terus terjaga sepanjang malam dalam bekerja, serta soal anggaran--termasuk tuduhan korupsi di proyek ini.
Frankfurt Book Fair (FBF) sudah usai (14-18 Oktober lalu). Apa catatan Anda?
Pertama, saya bersyukur memiliki tim berdedikasi dan ahli. Kedua, kerja kami menunjukkan Indonesia tidak bisa dianggap enteng, karena awalnya pihak Jerman khawatir gagal, ternyata kami bisa. Bahkan mereka (orang Jerman) terkejut dengan apa yang kami tampilkan.
Menurut Anda penampilan Indonesia secara keseluruhan di FBF?
Sangat oke, bagus sekali, saya sendiri kaget. Lha kok yang datang banyak, sampai ratusan orang setiap hari. Saya bangga.
Sebenarnya se-prestise apa sih status Indonesia sebagai tamu kehormatan di FBF?
Saya sudah berkali-kali bercerita, tapi tidak didengar. Ini prestisius sekali. Tapi tujuan kita bukan sekadar itu. Tujuannya agar hak cipta buku-buku kita ada yang beli. Kalau hak cipta bisa dijual di sana, industri buku kita bisa bangkit. Sehingga penerbit ada motivasi untuk memproduksi buku bagus. Penerbit kita selama ini hanya produksi buku kurikulum.
Kenapa Indonesia dipilih menjadi tamu kehormatan?
Kita dilirik karena perkembangan demokrasi dan ekonominya yang menonjol, tingkat melek hurufnya juga tinggi yaitu 93 persen.
Dengan tampil memukau, berarti Indonesia bisa terpilih lagi dong?
Tidak, baru 30 tahun yang akan datang, dan tidak semudah itu. Finlandia saja antre selama 26 tahun baru akhirnya ditunjuk. Mungkin ini seumur hidup sekali saja.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan menyebut Indonesia tamu kehormatan terbaik dalam 10 tahun terakhir dalam keikutsertaannya. Benarkah?
Banyak yang memuji. Indonesia bahkan menjadi sampul depan di media sana. Kuliner kita disambut baik. Untuk makan di restoran paviliun kita, orang sampai antre dua jam.
Kita ini belajar dari RRC (Republik Rakyat Cina) soal konsep acaranya. Mereka mempertunjukkan seni bela diri wushu ketika menjadi tamu kehormatan. Kita juga pakai pertunjukan, tapi dengan tari. Yang kami dapati juga, orang, Jerman tidak suka dengan yang berbau pariwisata seperti Bali-Bali begitu. Di Frankfurt yang disajikan adalah kecerdasan baru. Nah kita menampilkan itu.
Bagaimana ceritanya Anda ditunjuk menjadi Ketua Komite Nasional untuk perhelatan FBF ini?
Saya sempat tidak setuju Indonesia jadi tamu kehormatan. Karena persiapannya terbatas, dan ada keterlibatan menteri-menteri di kepanitiaan. Saya tidak mau, karena tidak bisa bekerja dengan menteri.
Kenapa tidak mundur saja?
Ketika itu Wakil Menteri Pendidikan Bu Wiendu (Nuryanti) mengganti struktur kepanitiaan, dengan tidak melibatkan para menteri. Kemudian Pak Boediono, Wakil Presiden saat itu, menghubungi juga dan meminta saya bergabung. Saya tidak bisa mundur lagi. Saat itu Ketua Komite Nasional-nya Pak Agus Maryono, insinyur lulusan Jerman, ahli sungai.
Pada tahun itu (2013), baru ditandatangani MoU dengan Direktur Frankfurt Book Fair, Juergen Boss. Kita punya waktu dua tahun persiapan. Tapi pada 2015 Pak Agus mundur, dan dia meminta saya menggantikan. Alasannya sibuk di UGM (Universitas Gadjah Mada).
Saat itu sudah ada anggaran FBF turun dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan?
Tidak ada. Zero. Karena semua kementerian tidak memiliki uang pada bulan Januari. Untuk penerjemah, pemerintah hanya menganggarkan Rp150 ribu per halaman, padahal tarif internasional Rp480 ribu. Mana ada penerjemah yang mau. Padahal waktunya mepet dan penerjemahan satu buku itu butuh setahun. Penerjemah dari Jerman akhirnya banyak yang mundur. Tapi ada yang tidak. Penerjemah dibayar lewat anggaran kebudayaan duta besar Indonesia di Jerman.
Anda dan tim merasa dihambat?
Bukan bermaksud pemerintah menghambat. Itu adalah prosedurnya. Memang ada yang mencoba begitu (menghambat), tapi belum bisa dibuktikan.
Ketika Anies Baswedan menjadi menteri, apakah dia sudah tahu situasinya? Apa kata dia?
Tahu, tapi kan dia terbatas, sementara program sudah jalan, jadi enggak bisa diubah. Anggarannya pun sudah ditetapkan pada masa menteri sebelumnya.
Kenapa Anda tidak mencari sponsor?
Saya mau cari sponsor, tapi pihak kementerian bilang jangan. Ya sudah saya terpaksa nombokin.
Ada tuduhan Anda mencari sponsor dan uangnya masuk kantong sendiri. Tanggapan Anda?
Boleh nanti dibongkar. Saya akan beberkan berapa uang yang saya keluarkan.
Menjelang "hari H" FBF kabarnya paviliun Indonesia belum jadi dan Anda harus mengeluarkan uang pribadi?
Bukan soal itu, memang panggung itu dibuat selama tiga hari oleh orang Jerman. Tapi disiapkan berbulan-bulan di sini. Lambat memang, tapi baik. Tapi lebih baik begitu karena kami takut sekali kepada KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Salah sedikit, bisa kena, tidak mau saya, jadi hati-hati sekali. Sebab itu saya terkadang harus kompromi, dengan mengeluarkan uang sendiri. Termasuk menyewa konsultan komunikasi di Jerman. Tidak besar lah, tapi besar untuk kalian ha-ha-ha...
Proyek FBF ini diduga tanpa tender, asal main tunjuk...
Tidak. Ini bukan proyek. Saya diminta untuk membantu. Nah, ini kesalahan persepsi orang. Seolah-olah kami cari proyek. Padahal banyak pengorbanan dari orang sekelas Slamet Rahardjo untuk acara ini. Sungguh disayangkan. Kalau mau tahu, honor saya itu hanya Rp19 juta per bulan, dan selalu terlambat.
Kalau saya mau cari uang, ngapain mengejar Rp19 juta, kan menghina banget. Kami dikontrak sebagai staf ahli, yang sebenarnya tidak perlu pekerjaan ini. Saya ini bergaji paling tinggi dari yang lain. Bayangkan? Tim bekerja betul-betul demi republik. Karena tidak ingin proyek ini jadi proyek pelat merah, yang biasanya berjalan tidak keruan.
Anggaran disesuaikan dengan proposal program yang Anda buat?
Saya tidak pernah bikin proposal. Jadi, bukan kami yang mengajukan. Program yang kami susun menyesuaikan dengan bujet yang sudah ditetapkan, sekitar Rp150 miliar, tapi ternyata yang turun Rp147 miliar.
Alokasinya untuk apa saja?
Dibagi ke beberapa satuan kerja. Yang saya sesali, orang mengertinya FBF itu hanya di Frankurt. Padahal sebelum itu ada rangkaiannya. Frankfurt adalah puncaknya. Jadi, dari bulan Mei 2015 sudah harus mulai pameran buku di Leipzig, kemudian di Bologna, lalu di London. Belum lagi menyiapkan seni pertunjukannya.
Total, ada 480 acara Indonesia di FBF. Itu mendatangkan 11 arsitek, ada 1500 bambu yang diolah dulu di Indonesia, kemudian bumbu masak untuk kuliner sebanyak 500 kilogram, belum lagi fotografi, gerobak angkringan, pasang iklan di poster lampu di enam kota di Jerman dan kereta api.
Benarkah uang anggaran keluar lewat empat event organizer?
Tidak. Pokoknya ada beberapa EO (event organizer). Misalnya untuk seni pertunjukan seminar, juga kuliner. Tapi kalau soal uangnya saya tidak tahu.
Pengeluaran terbesar itu untuk apa?
Pendirian Paviliun habis Rp19 miliar. Mendatangkan orang juga banyak makan biaya. Latihan berbulan-bulan bagaimana? Misalnya latihan Opera Tari Gandari. Itu butuh biaya juga. Belum lagi mengundang pengarang dari Aceh dan Papua.
Apakah uang nombok Anda dan teman-teman itu diganti?
Ada yang dikembalikan ada yang entah. Lillahi ta'ala. Karena ya lebih banyak makan hati. Malah saya dan Slamet Rahardjo menginap di sebuah hotel murah di Frankfurt. Slamet sampai membeli ganjalan pot untuk bekerja di toilet--membuat program acara sampai begadang. Untuk berhemat kami juga harus mengepel kamar sendiri, karena kalau dibersihkan harus bayar 8 Euro. Ini pertama kalinya komite sebuah negara tidak tinggal di hotel bintang lima.
Kenapa ada tuduhan korupsi di proyek Frankfurt Book Fair ini?
Tidak ada yang kami tutup-tutupi. Saya termasuk mengawasi kalau ada yang aneh-aneh. Saya pun enggak pernah pegang uang, karena adanya di kementerian.
Komisi X DPR akan memanggil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan terkait desakan audit anggaran FBF. Anda siap dipanggil juga?
Silakan, tidak ada yang ditutup-tutupi, dengan senang hati saya akan datang dengan seluruh komite. Kalau berani silakan dewan panggil saya. Nanti mereka (dewan) akan malu sendiri. Mereka pikir FBF itu seperti pameran buku di sini (Indonesia). Yang mengerti buku sedikit. Mereka (dewan) pikir buku tidak penting. Yang penting olahraga. Uang bermiliar-miliar untuk Asian Games yang kita kalah melulu tidak apa-apa, tapi buku yang kita menang, malah dipersoalkan.
Mungkin Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tidak mengajak dewan untuk studi banding, memperkenalkan FBF...
Pergi sendiri dong. Wartawan saja ada yang pergi sendiri. Kita ini mengundang 17 wartawan Jerman ke Indonesia, yang juga bertemu dengan Pak Jokowi. Liputan mengenai Indonesia dari Jerman sejak itu bukan main, khususnya mengenai Islam dan sastra Indonesia.
Soal konten yang dibawa Indonesia di FBF kabarnya diplomat di sana keberatan karena kental dengan revolusi 1965?
Kata siapa? Kabarnya itu dari mana? Bohong itu, acara kami itu dibantu orang KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia) kok, termasuk duta besarnya, Fauzi Bowo, yang juga turut membantu. Bahkan saya menilai, Foke --panggilan Fauzi Bowo--hebat dalam berpidato dengan bahasa Jermannya, dia arsitek yang menguasai panggung. Keren.
Anda dan tim yang menyiapkan tema revolusi 1965 itu?
Momennya memang tepat. Revolusi 1965, tahun ini 50 tahun--dan di Eropa lagi hangat. Karena ada persiapan pengadilan internasional tentang 1965--yang isunya sampai ke Frankfurt. Tapi kami tidak pakai tema. Buku yang masuk ya dipamerkan. Tidak ada batasan dari kementerian, kita diberi kewenangan penuh.
Ada yang menilai orang dan buku-bukunya terlalu Salihara sentris?
Siapa yang bilang. Memang ada berapa orang Salihara yang pergi? Tidak banyak. Yang pergi misalnya adalah Nirwan (Dewanto). Masa Ayu Utami tidak boleh pergi, kan dia bintang di sana.
Tapi buku Laksmi Pamuntjak seperti yang ditonjolkan?
Novel Laksmi Pamuntjak dipilih sebagai novel luar Jerman yang terbaik, dan sudah diterjemahkan sebelum tim dibentuk.
Anda dituduh merumuskan novel Laksmi (Amba)?
Novel itu kan jalan sendiri. Siapa mengarang Amba? Saya? Produktif benar saya, mendingan saya karang sendiri. Gendeng apa. Mengapa harus pakai nama orang lain. Tuduhan itu merendahkan perempuan.
Kabarnya mantan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono meminta dia dan keluarganya untuk berangkat ke sana tapi ditolak kementerian?
Pihak kementerian bilang kalau dengan Ibu Ani (Yudhoyono) saja boleh. Kalau dengan keluarga tidak ada dananya. Memang, Pak SBY sebenarnya akan dipanel dengan Pak Habibie dalam sebuah acara diskusi. Kami undang dia sebagai pengarang. Tapi memang dia (SBY) sibuk, akhirnya tidak jadi datang. Kementerian saja pejabatnya hanya lima orang, amat sedikit. Ketika FBF tahun 2014, pejabatnya banyak bukan main.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...