OLEH Linda Christanty (Sastrawan)
Sebuah
Pengantar
Linda Christanty |
Pemimpin kudeta berdarah itu Suharto,
seorang perwira Angkatan Darat. Dia dilantik menjadi presiden sesudah
menggulingkan Sukarno, pejuang kemerdekaan, proklamator dan presiden pertama
Indonesia. Dia lebih sopan dibanding Jenderal Pinochet yang pasukannya membunuh
Presiden Allende di istana presiden di Santiago, karena dia hanya mengurung
Presiden Sukarno yang sakit parah sampai mati di sebuah rumah di Jakarta.
Tapi Suharto lebih menakutkan ketimbang
Kapten Moussa Dadis Camara yang melakukan kudeta lalu membiarkan tentaranya
membunuh ratusan demonstran dan memperkosa perempuan dengan bayonet di sebuah
stadion olah raga di Conakry, Guinea. Selain mengerahkan tentara untuk membunuh
rakyat Indonesia, dia juga memanfaatkan konflik dalam masyarakat untuk
menggerakkan pembunuhan-pembunuhan massal terhadap “orang-orang ateis” atau
“orang-orang tidak beragama” dengan semangat Inkuisisi ala Spanyol dulu yang
dilakukan di sebuah negara dengan populasi pemeluk Islam terbesar di dunia.
Untuk menghindari penyebutan nama Suharto sebagai pelaku kudeta, sebagian orang
Indonesia lebih suka mengkhayal: ada konspirasi di balik peristiwa 1965 dan
dalang sebenarnya tidak terungkap. Seolah-olah dia memerintahkan pembunuhan
tanpa sadar dan dalam pengaruh hipnosis makhluk angkasa luar.
Di tahun-tahun menjelang kudeta itu
Indonesia dan Malaysia berkonfrontasi tentang perbatasan. Perdana Menteri
Malaysia Tunku Abdul Rahman Putra ingin Kalimantan Utara menjadi bagian dari
negara federasi Malaysia, sedangkan Presiden Sukarno menghendaki rakyat di
tempat itu menentukan sendiri pilihan mereka, bukan bergabung dengan ‘negara
boneka neokolonialis-neoimperialis’. Tapi Sukarno kemudian membantu rakyat di
perbatasan untuk cenderung memilih Indonesia. Malaysia sebagai anggota
persemakmuran Inggris mendapat dukungan penuh dari bekas tuannya Inggris dan
tentu saja, Amerika Serikat, sekutu Inggris. Konflik ini bertambah rumit,
karena pemerintah Tiongkok yang dekat dengan elite Partai Komunis Indonesia
ikut campur dengan mendukung Sukarno. Dalam konteks global, Perang Dingin
sedang berlangsung keras, sengit, dan gila. Meskipun perang terbuka tidak
pernah terjadi antara Indonesia dan Malaysia, konfrontasi dua negara baru
berakhir setelah Suharto berkuasa. Efek sampingnya adalah ideologi komunisme
terlarang di Indonesia. Partai komunis dibubarkan, tidak boleh bangkit lagi
selamanya.
Pembunuhan-pembunuhan politik atas nama
negara merupakan hal biasa di masa Suharto atau masa Orde Baru. Jenderal yang
selalu tersenyum itu bertanggung jawab terhadap operasi-operasi militer dengan
bermacam sasaran, di antaranya penembakan para pengangguran dan pemuda putus
sekolah secara nasional sebagai ganti memberi mereka pendidikan dan pekerjaan
yang layak, yang dikenal dengan istilah “penembakan misterius” atau “petrus”,
pembunuhan jamaah pengajian di Tanjung Priok, Jakarta, dan di Talang Sari,
Lampung, pembunuhan sepertiga rakyat Timor Timur di masa pendudukan militer
Indonesia, pembunuhan puluhan ribu orang Aceh dan pemerkosaan terhadap lebih dari
seribu perempuan Aceh di masa konflik bersenjata antara pemerintah Indonesia
dan Gerakan Aceh Merdeka selama 29 tahun, dan penghilangan paksa sejumlah
aktivis demokrasi antara tahun 1997 hingga 1998.
Hujan penindasan menumbuhkan jamur
perlawanan. Partai-partai oposisi dan organisasi-organisasi massa anti
pemerintah berdiri. Media nasional dengan oplah terbesar serta paling
berpengaruh di Indonesia, yaitu surat kabar Kompas,
memuat berita aksi mahasiswa, petani ataupun buruh pabrik, meski sesudah itu
para redakturnya ditelepon dan diancam markas besar Tentara Nasional Indonesia.
Beberapa stasiun televisi swasta juga menyiarkan berita yang sama, meskipun
setelah itu mereka harus menayangkan perwira militer memberi pernyataan resmi
yang berbeda. Ketika Tabloid Detik,
Majalah Tempo, dan Majalah Editor dibreidel serentak pada 21 Juni
1994, mahasiswa, seniman, aktivis politik, wartawan dan buruh turun ke jalan
untuk mendeklarasikan solidaritas.
Bagaimana nasib sastra Indonesia di masa
diktator militer Suharto? Para penulis tetap menulis. Kadang-kadang karya
sastra yang memiliki muatan politik dapat lolos dari sensor. Seno Gumira
Ajidarma menerbitkan “Saksi Mata” pada 1994, sebuah kumpulan cerita pendeknya
tentang invasi dan tindak kekerasan militer Indonesia di Timor Timur. Setahun
setelah terbit, “Saksi Mata” memperoleh penghargaan sastra dari pemerintah
Indonesia. Karya-karya lain yang mengkritik pemerintah Suharto dimuat di
sejumlah majalah mahasiswa dan media independen milik organisasi-organisasi
oposisi. Oplah semua media itu terbatas, tapi peredarannya jauh lebih luas
dalam skala yang masif berkat proses penggandaan yang dilakukan para pembaca
untuk menyebarluaskannya. Gelombang informasi ini berlangsung tanpa henti dan
menjadi bagian dari gerakan melawan kediktatoran.
Sajak-sajak Wiji Thukul, seorang penyair
rakyat, rutin dibacakan dalam aksi-aksi massa. Sajak-sajaknya telah menjadi
setara folklor dalam gerakan perlawanan di Indonesia. Sajak-sajak itu
mengkritik keras pemerintah yang otoriter, pengusaha yang rakus dan militer
yang kejam. Salah satu buku puisinya berjudul “Mencari Tanah Lapang”,
diterbitkan di Belanda ketika Suharto masih berkuasa. Dia pengurus Partai
Rakyat Demokratik, partai oposisi terpenting dan paling radikal di masa puncak
Orde Baru. Tapi partai tersebut mengalami perpecahan hebat pasca- Suharto.
Beberapa kadernya bergabung dengan partai yang didirikan Letnan Jenderal
Prabowo Subianto Djojohadikusumo, bekas pemimpin Komando Pasukan Khusus, yang
dianggap terlibat penculikan aktivis di masa Suharto. Wiji Thukul dan tiga
kader Partai Rakyat Demokratik diculik beberapa bulan sebelum Suharto
mengumumkan pengunduran diri sebagai presiden. Mereka belum ditemukan sampai
hari ini. Ketika itu Indonesia tengah dilanda krisis moneter yang parah,
sedangkan demonstrasi yang menentang pemerintah telah berlangsung hampir setiap
hari.
Bermacam cerita ditulis pasca-Suharto,
dari cinta sampai politik, dari seks sampai agama. Dalam lima tahun sejak
reformasi, cerita-cerita bertema seks yang ditulis para perempuan penulis
tiba-tiba mendominasi dunia penulisan di Indonesia dan pembicaraan di media
massa, meski cerita-cerita bertema lain juga ada. Euforia itu dapat dimaklumi.
Seks adalah salah satu perayaan kebebasan. Tapi karya-karya Pramoedya Ananta
Toer, pejuang kemerdekaan nasional kami dan anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat,
organisasi sektoral Partai Komunis Indonesia, tetap berstatus terlarang. Enam
tahun sesudah reformasi, Munir Said Thalib, seorang aktivis kemanusiaan,
diracun atas perintah negara dan meninggal dunia di pesawat terbang rute
Jakarta-Amsterdam. Pemerintah pasca Suharto sengaja membiarkan konflik dalam
masyarakat berkembang dan berlarut-larut, sehingga intimidasi dan kekerasan
dengan mengatasnamakan agama meningkat di berbagai tempat di Indonesia akhir-akhir
ini. Ketidakpuasan terhadap pemerintah teralih kepada sesama warga. Hukum tidak
ditegakkan dengan adil.
Para penulis Indonesia yang akan saya
bicarakan ini adalah mereka yang mengalami masa-masa penuh gejolak tadi. Tapi
bukan hanya alasan itu yang membuat saya memilih mereka di antara ratusan
penulis lain. Saya tidak menulis katalog, sehingga kriteria menjadi penting.
Para penulis ini telah mencipta karya-karya yang menampilkan keberagaman
pemikiran, tema, dan pengalaman mereka melalui kecakapan menulis yang baik,
selain memperlihatkan bentuk-bentuk baru dalam bercerita selama satu dekade
terakhir. Azhari Aiyub, AS Laksana, Zen Hae, dan Nukila Amal adalah nama-nama
yang patut diketahui siapa pun yang berminat terhadap sastra Indonesia
kontemporer. Karya-karya mereka menyuarakan dinamika hubungan antar manusia di
sebuah negeri, yang juga terhubung dan menjadi bagian dari persoalan-persoalan
umat manusia di mana pun.
Membakar
Tuhan dan Ibu yang Terjun ke Laut
Azhari Aiyub telah melalui dua tragedi,
perang dan bencana alam. Dia lahir dan tinggal di Aceh, wilayah di ujung barat
Indonesia, tempat Gerakan Aceh Merdeka pernah menuntut kemerdekaan untuk Aceh.
Orangtuanya, adiknya dan seluruh sanak saudaranya hilang karena tsunami pada 26
Desember 2004. Ada atau tidak ada hubungan dengan tragedi itu, dia telah
menentang kebenaran absolut tentang narasi penciptaan atau narasi tentang Tuhan
dengan mencipta narasi lain atau kebenaran lain.
Dia memberitahu kita salah satu ciri
Tuhan, yaitu mengidap kudis, sejenis penyakit kulit menular. Akibatnya banyak
orang terlanda histeria lalu pergi ke berbagai tempat untuk mencari penderita
kudis dalam “Pengantar Singkat untuk Rencana Pembunuhan Sultan Nurrudin”, satu
dari serangkaian cerita Azhari mengenai penyerangan kesultanan Aceh terhadap
kota Malaka, yang ketika itu dikuasai Portugis. Cerita ini berlatar waktu akhir
abad ke-16 hingga awal abad ke-17. “Hamzah dari Fansur”, ceritanya yang lain,
mengungkap kebiasaan seorang lelaki membawa sangkar burung yang diselimuti kain
hitam ke mana pun pergi. Tiap kali ada orang yang ingin mengetahui isi sangkar
itu, dia menjawab singkat, “Tuhan.” Suatu hari dia membakar sangkarnya. Tuhan
dimusnahkan. Azhari telah mengubah Tuhan yang sakral menjadi Tuhan yang profan,
yaitu makhluk berkudis, ataupun setara dengan benda-benda tidak berguna. Tidak
semua orang di Aceh membaca cerita itu, tapi kantor Azhari diserbu massa pada
akhir tahun 2011. Dia dianiaya lebih dari 50 orang dengan tuduhan telah
melanggar syariat Islam atau perintah Tuhan. Penyebabnya? Salah satu penduduk
kampung melihatnya hanya mengenakan celana pendek saat menerima tamu.
Tidak hanya perihal Tuhan yang menarik
dalam cerita-cerita Azhari. Dia mengisahkan peran manusia dalam arus politik
dan perdagangan dunia di kota-kota pelabuhan. Tiap sosok memiliki sisi kelam
dan agenda rahasia sebagai motif, lalu dia mengerahkan mereka membangun
struktur cerita secara dinamis, dengan detail dan intensitas yang hanya sanggup
dilakukan seorang penulis yang memiliki pengetahuan, kecerdasan, ketangkasan,
kepekaan dan imajinasi yang luar biasa. Tokoh utama ceritanya bernama Si Ujud,
putra syahbandar yang ingin membalas kematian keluarganya dengan membunuh
sultan. Si Ujud sempat menjadi mata-mata sultan sebelum rahasianya terbongkar.
Kematian Si Ujud dikisahkan dalam empat versi yang terdiri dari empat cerita
terpisah. Azhari menyuguhkan teka-teki dan siasat rumit yang menjulur dari
benak-benak tergelap manusia, disertai apendiks, seolah-olah hasil penelitian
ilmiah. Cerita-cerita Si Ujud merupakan epos yang terinspirasi oleh teks kuno
Hikayat Malem Dagang. Dalam manuskrip itu, Si Ujud antagonis yang jahat dan
angkuh. Azhari mengubah Si Ujud menjadi protagonis yang menjalani hidup penuh
petualangan, mengalami intrik politik tak berkesudahan dan menghadapi kekejaman
tiada tara yang mengancam jiwanya serta orang-orang terdekatnya di masa monarki
absolut, di saat Lamuri diperintah Sultan Nuruddin.
Karya pertamanya terbit pada 2003, buku
cerita pendek berjudul “Perempuan Pala” dan berisi 13 cerita yang mengisahkan
perempuan di tengah situasi konflik di Aceh. Di buku ini para perempuan menjadi
korban, penyintas atau pemberi inspirasi. Salah satu cerita, “Hikayat Asam
Pedas”, menggambarkan perang telah merenggut harapan siapa pun tanpa ampun.
Sebagai koki andal, Azhari fasih menjelaskan manfaat dan jenis-jenis bumbu yang
ternyata menjadi pengantar untuk memasuki pusaran konflik dan tragedi dalam
pengalaman seorang nenek yang gagal menyantap hidangan kesayangan. Nenek itu
tengah menghayati proses memasak sambil membayangkan kelezatan masakannya
ketika tiga lelaki datang untuk menangkapnya, gara-gara dia memperoleh ikan
dari seseorang yang diduga mata-mata tentara. Dia bahkan tidak diizinkan
mencicipi masakannya yang sebentar lagi matang.
Buku ini diterbitkan sebelum pemerintah
Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka sepakat beramai pada 15 Agustus 2005 di
Helsinki, Finlandia, untuk mengakhiri perang mereka. Antropolog James T. Siegel
memberi kata pengantar untuk edisi Bahasa Inggris Perempuan Pala yang murung
tapi bertabur satir dan humor gelap ini.
Azhari juga menulis puisi, selain prosa.
Pada 2005 dia menerima Free Word Award dari Poets of All Nation di Belanda.
Selain mendirikan lembaga kebudayaan Komunitas Tikar Pandan pada 2003, dia
pernah bekerja sebagai wartawan di Banda Aceh dan kini mengelola rubrik budaya
Serambi Indonesia, suratkabar terbesar di Aceh.
Sejarah dan politik juga menjadi tema
utama dalam karya-karya AS Laksana. Cerita-ceritanya menunjukkan bahwa masalah
terbesar umat manusia berawal dari kegagalan komunikasi yang membuat mereka
tidak mampu untuk saling berempati. Kegagalan-kegagalan itu membuahkan konflik.
Bukunya “Murjangkung, Cinta yang Dungu dan Hantu-Hantu”, berisi 20 cerita yang
dibuka dengan riwayat kota Batavia (Jakarta masa lalu) di masa kekuasaan
Murjangkung, sebutan rakyat Jawa untuk Jan Pieterszoon Coens, gubernur jenderal
Hindia Belanda dan pendiri kota itu. Drama dalam cerita “Bagaimana Murjangkung
Mendirikan Kota dan Mati Sakit Perut” dimulai ketika orang-orang pribumi di
seberang benteng meludah. Sepercik ludah busuk mereka terlontar jauh hingga ke
dalam benteng lalu mendarat di jidat Murjangkung. Perang baru berhenti setelah
Murjangkung pergi ke alam baka akibat kolera. Pramoedya Ananta Toer menggugat
sejarah yang ditulis penguasa dengan menulis sejarah dari perspektif rakyat
yang melawan, tapi AS Laksana menggugat sejarah dengan mencampur fakta dan
ironi. Keduanya sama-sama menolak narasi arus utama.
Buku pertamanya “Bidadari yang Mengembara”
terbit pada 2004, lalu memperoleh anugerah Buku Sastra Terbaik versi Majalah
Tempo. Pada 2013, “Murjangkung, Cinta yang Dungu dan Hantu-Hantu” meraih
penghargaan yang sama dari majalah tersebut dan Lima Besar Khatulistiwa
Literary Award (penghargaan sastra nasional yang penting di Indonesia). Dia
dulu wartawan di tabloid Detik hingga
tabloid itu dibreidel pemerintah Suharto pada 1994 dan sekarang menulis kolom
tetap “Ruang Putih” di suratkabar Jawa
Pos, yang dikenal sebagai kolom suratkabar terpopuler di Indonesia.
AS Laksana mengutip legenda, dongeng ataupun
kisah tertentu dalam kitab suci dengan tujuan membantahnya. Dalam “Otobiografi
Gloria”, narator cerita adalah bayi yang dibunuh oleh kakeknya sendiri. Paman
sekaligus ayah Gloria, nama arwah bayi itu, tidak punya pekerjaan dan suka
mabuk-mabukan. Dia mati dieksekusi ‘penembak misterius’, sebuah operasi militer
di masa Suharto yang mengemban misi khusus membasmi gali (singkatan dari
gabungan anak liar, sebutan untuk para pengangguran dan pemuda putus sekolah).
Ibu Gloria merahasiakan nama lelaki yang telah menghamilinya, sementara
orangtuanya tidak percaya bahwa dia hamil dalam keadaan perawan seperti Maria
Magdalena ketika mengandung bayi Jesus. Kisah terakhir dalam buku ini,
“Peristiwa Kedua, Dalam Sebuah Komidi Putar”, membuat para pembaca Indonesia
teringat presiden Suharto, yang hidupnya diliputi mitos. Asal-usulnya tidak
jelas, sehingga AS Laksana menciptakan biografi untuk tokoh ini. Seorang
pembantu yang sudah tua tanpa sengaja diterima bekerja di rumah anaknya sendiri
yang tidak mengenalinya. Mereka bercinta, sehingga nenek itu hamil dan
melahirkan anak sekaligus cucu yang kelak menjadi pemimpin. Di Indonesia pernah
beredar cerita bahwa Suharto dilahirkan dari skandal pembantu rumah tangga yang
menjalin hubungan khusus dengan majikannya. Penyebaran cerita skandal ini dapat
dianggap sebentuk resistensi dari kalangan rakyat terhadap kekuasaan absolut,
yang memakai topeng moral dan kehormatan agar disegani. Suharto selalu
menyetarakan dirinya dengan raja-raja Jawa. Saat skandal tersebar, maka kekuasaan
memiliki titik lemah untuk dijatuhkan. Kita juga masih ingat cerita skandal
mengenai kalung berlian Marie Antoinette, permaisuri Louis XVI, yang beredar di
kalangan rakyat Perancis. Puncaknya, rakyat yang membenci keserakahan monarki
Perancis menjatuhi Marie hukuman mati dengan guillotine.
Semua cerita AS Laksana berisi humor
gelap dengan lapisan-lapisan kisah yang jalin-menjalin untuk kemudian menyatu
dalam komposisi yang solid. Cerita-ceritanya adalah kritik terhadap ideologi
harmoni, yang dulu dipraktikkan pemerintah Suharto dalam mengatur negara dan
bahkan, mengatur unit terkecil dari negara, yaitu keluarga. Rakyat harus patuh
pada penguasa yang menjadi pelindung atau pengayom. Istri wajib merawat
anak-anak dan mendukung karier suami sebagai kepala keluarga. Keselarasan ini
semu belaka. AS Laksana menampilkan nilai-nilai yang jungkir balik atau
kekacauan dalam relasi harmoni itu, sedangkan kasih sayang yang tulus seorang
adik terhadap kakak misalnya, justru ditampilkan dari sudut pandang orang gila
dalam “Teknik Mendapatkan Cinta Sejati”.
Tapi ketika Nukila Amal menerbitkan novel
pertamanya “Cala Ibi” pada 2003, dia tidak hanya menuturkan sejarah sebuah
keluarga. Dia telah membuat Indonesia Timur tidak lagi berstatus periferi dalam
lansekap politik nasional kami yang sejak Suharto berkuasa hanya terpusat di
Pulau Jawa. Nukila, yang pernah bekerja sebagai pembuat roti di Jakarta,
mengembalikan wilayah itu menjadi pusat cerita dalam novelnya, setelah lama
berhenti menjadi magnet bagi kapal-kapal asing pemburu rempah-rempah di masa
silam dan salah satu saksi penting dari era kapitalisme perdagangan.
Novel ini mengurai tarik-menarik antara
dunia modern dan tradisional, kehidupan urban dan dinamika kampung halaman,
dampak iklan dan tafsir mimpi, kedamaian dan perang, yang merentang dalam
riwayat empat generasi.
“Cala Ibi, nama lain untuk burung gereja
dalam bahasa Ternate, salah satu pulau di kepulauan Maluku, adalah novel yang
sangat puitis. Seekor burung bebas terbang dan hinggap, sehingga menyaksikan
banyak peristiwa atau mendengar percakapan antar manusia untuk dituturkan.
Penggunaan jukstaposisi dalam novel ini menunjukkan pencapaian baru di dunia
sastra Indonesia, yakni prosa yang bersifat puisi: Bapakku bening air kelapa
muda. Ibuku sirup merah kental manis buatan sendiri. Aku Bloody Mary.
Selain “Cala Ibi”, dia menerbitkan buku
cerita pendek “Laluba” pada 2005. Cerita utama buku ini, “Laluba”, mengisahkan
seorang perempuan yang terjun ke laut untuk menyelamatkan janin dalam rahimnya
ketika kampungnya diserang orang-orang bersenjata. Kerusuhan antar pemeluk
agama telah mencapai Maluku Utara tak lama sesudah pemerintah Suharto berakhir.
Janin yang tumbuh itu dinamai Laluba, sesuai keinginan suaminya, yang juga tak
selamat dari serangan tersebut. Ini kisah yang indah dan menyentuh tentang ibu
yang memilih tenggelam bersama bayinya yang belum sempat dilahirkan, juga cinta
yang mendalam sepasang suami istri:
"Senyap sekali. Hangat. Sinar matahari sampai ke dalam
sini, menerangi air cerah biru. Biru berbayang, mengelabu. Berganti kelabu
hijau. Kian menghijau. Ikan-ikan kecil datang berputar, berkitaran tak heran.
Di belakang mereka mengambang bayang-bayang, terbang. Pria-pria. Putih pucat,
biru, ungu. Mereka menatap kita tak berkedip, tak berbicara, hanya rambut,
jemari dan pakaian mereka yang melambai. Terumbu-terumbu karang yang malang...
Ah, aku dapat melihat ayahmu, Nak. Ia mendatangi kita, melayang di antara
pria-pria. Lihat rambutnya, berkibar seperti surai kuda, bajunya meliuk seperti
ganggang. Ia memandangmu dengan wajah bening dan senyum seluas awan, kau, yang
masih meringkuk malu-malu..."
Laluba meraih Penghargaan Sastra Pusat
Bahasa, Kementerian Pendidikan Nasional, pada 2010, sedangkan “Cala Ibi” masuk 10
besar Khatulistiwa Literary Award 2003.
Nukila juga menaruh minat khusus pada
kuliner, sebagaimana Azhari. Cerita pendeknya “Smokol”, mengisahkan pemuda yang
senang menyiapkan hidangan istimewa untuk menjamu para tamunya. Cerita ini
memperoleh penghargaan Cerita Pendek Pilihan Harian Kompas pada 2008. Aroma kesedihan dalam “Hikayat Asam Pedas” Azhari
bertukar menjadi kegembiraan dalam “Smokol”, kosa kata dari bahasa Ternate
untuk waktu makan di antara sarapan dan makan siang.
Ternyata makan buah durian menjadi
momentum berharga dalam hidup penyair Zen Hae, seperti pengalaman kebanyakan
orang Indonesia. Buah tropis berduri berbau menyengat berdaging tebal lunak
dengan kombinasi rasa pahit-manis yang ganjil ini sangat ditakuti orang-orang
Eropa, tapi membuat penghuni kawasan Asia Tenggara tergila-gila. Melalui “Hantu
Pemakan Durian” yang dimuat dalam buku puisinya Paus Merah Jambu, Zen mengajak
kami mengenang kembali kebersamaan atau masa silam yang indah, ketika tinggal
di kampung atau di pinggiran kota, saat menunggu pohon-pohon durian berbuah.
Sajak ini medium untuk melawan lupa.
Buah durian matang jatuh sendiri dari
pohon dan biasanya di malam hari, sehingga kegelapan malam juga menggugah
imajinasi penunggu durian runtuh untuk membayangkan peristiwa tertentu, seperti
hantu-hantu yang bangkit dari makam-makam tua. Misteri, rahasia, kenangan, dan
keinginan untuk menautkan diri pada masa lampau menjadi ciri-ciri puisi Zen.
Konsekuensinya adalah dia mencampur mitos, tahayul dan cerita rakyat dengan
simbol-simbol dunia modern.
Dia telah menulis puisi di media massa
sejak tahun 1995, tapi buku puisinya “Paus Merah Jambu” baru terbit pada 2007.
Buku ini meraih 5 besar Khatulistiwa Literary Award 2007 dan dinobatkan sebagai
Buku Sastra Terbaik versi Majalah Tempo
di tahun yang sama. Zen tidak hanya menulis puisi. Buku cerita pendeknya “Rumah
Kawin” terbit pada 2004. Dia pernah menjadi anggota Komite Sastra Dewan
Kesenian Jakarta sebelum bekerja di Komunitas Salihara, Jakarta.
Zen sering dijuluki ‘penyair Betawi
terakhir’. Julukan ini tentu saja ironi. Barangkali masih akan ada
penyair-penyair Betawi sesudah dia, tapi faktanya orang-orang Betawi makin
tergusur dari Jakarta yang dulu “desa” mereka. Tanah-tanah mereka hilang akibat
perluasan kota dan bahkan dimulai berabad-abad lalu, saat gubernur jenderal Murjangkung
menguasai Batavia, dalam cerita AS Laksana. Kehilangan tanah adalah kehilangan
pohon durian, kalong merah bata, makam leluhur, cerita purba, riwayat para
pendahulu dan apa saja yang pernah berada di situ. Tanah adalah akar budaya dan
jati diri. Zen menggunakan perumpamaan yang jenaka untuk memanggil apa yang
telah hilang atau pergi itu—"maka kalian yang pernah terusir kupanggil
pulang dengan rindu tiga sisir dan cinta lima nampan".
“Hantu Pemakan Durian” tidak sekadar
nostalgia. Puisi ini menyuarakan upaya untuk menggali, menemukan kembali, dan
menata ulang warisan sebuah bangsa atau komunitas. Memori individu yang menjadi
bagian dari memori kolektif menyediakan sarana untuk menyusun atau melengkapi
bagian-bagian yang hilang atau yang sengaja dihilangkan. “Hantu Pemakan Durian”
juga kiasan dari orang-orang yang mengalami perubahan ruang hidup. Hantu
tradisional telah tersingkir oleh hantu-hantu urban yang tidak lagi
bergentayangan di kebun durian atau sungai, tapi di kafe atau apartemen.
Pola ‘menggali dan menemukan’ melalui
ingatan terulang dalam puisi “Naga”. Subjek lirik puisi ini seekor naga yang
sembur apinya mendidihkan samudera. Dia rela dianggap anumerta selama
berabad-abad dan dihidupkan hanya dalam dongeng demi melindungi tuannya. Suatu
hari dia ingin kembali ke alam nyata, tapi tuannya tidak ingin melihatnya lagi.
Zen memberi riwayat yang berbeda untuk makhluk legenda dari Tiongkok yang
populer di negara-negara Asia Tenggara ini.
“Naga” yang murung dan gelap berlanjut
pada “Juru Peta” yang gelap dan sureal.
Setelah merasa jemu tinggal di benua yang
hanya seukuran sarang burung, seseorang ingin menemukan kamar rahasia pembunuh
kaisar. Dia membuat peta yang tidak biasa, dengan menghubungkan tiap kota bukan
dengan jalan, jalur kereta api atau pesawat terbang, tapi dengan ingatan akan
kepulangan. Zen menulis puisi ini untuk Jorge Luis Borges, sastrawan Argentina
yang meninggal pada 1986 dan dipuja sejumlah penulis Indonesia, yang justru
dikritik sastrawan dan wartawan Uruguay Eduardo Galeano yang wafat pada 13
April 2015 lalu. Galeano menyebut Borges seorang rasis, pemuja diktator militer
Jenderal Videla, dan tukang cerita sejarah aib universal yang tidak bereaksi
apa pun terhadap aib negerinya sendiri.
Mengingat atau mengenang, upaya yang
terus muncul dalam puisi Zen, dengan mengungkap ‘masa kanak-kanak’ yang
membekas dan menjadi ibu bagi semua kenangan kita.
"Seorang yang mirip kekasihnya
terbaring tenang di dalam es itu, membayangkan piknik musim panas dan
perjalanan melingkar ke sebuah telaga, sedang ia seekor arapaima gigas yang
menanti bongkahan es itu meleleh agar terhapus rajah di sekujur tubuhnya. agar
gembira menara-menara gereja yang pernah menggemakan nyanyian kudus masa
kanak-kanaknya. agar kembali pulang seorang penguasa yang disesatkan di gurun
tanpa bintang."
Kebenaran yang disembunyikan demi
menghindari tragedi justru mendatangkan tragedi. Juru peta yang telah meminjam
rupa pelayan rahasianya untuk menghindari musuh akhirnya dibunuh oleh pemburu
yang mencari sang tuan, yakni dirinya sendiri.
Keempat penulis ini dapat menjadi lebih
besar di masa mendatang, menjadi raksasa sastra kami. Tapi mereka juga dapat
hilang sama sekali dari pengaruh kata-kata oleh berbagai sebab. Menulis tidak
semata-mata merayakan kesenangan, melainkan pilihan dan kesempatan untuk
bertindak.***
Jakarta,
Maret 2015
Esai
ini pernah dimuat dalam bahasa Jerman dalam buku "Hanbuch Indonesien"
(Horlemann Verlag, 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar