OLEH Israr Iskandar
Pengajar Sejarah
Politik FIB Universitas Andalas Padang
Tulisan Nora Eka Putri “Dunia Pendidikan,
Kejujuran yang Kian Langka” tak hanya mengonfirmasikan karut marut dunia
pendidikan, tapi juga dampak sistemiknya terhadap sistem nilai dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. (baca: link ini). Republik ini kian terjebak dalam siklus
ketidakjujuran.
Sayangnya rezim sekarang tidak memiliki kemauan
politik kuat membenahi pendidikan dalam arti yang seluas-luasnya. Penunaian amanat konstitusi masih bersifat
parsial, sebatas penambahan angka-angka rupiah untuk anggaran pendidikan di APBN
dan APBD, tapi belum menyentuh masalah “isi” pendidikan itu sendiri, yakni perbaikan
sistem nilai yang mempengaruhi kehidupan politik, hukum, sosial dan ekonomi
bangsa.
Alih-alih berharap, elit penguasa sekarang
malah mempolitisasi pendidikan untuk kepentingan politiknya. Contoh terbaru adalah kasus beredarnya
buku-buku tentang sosok, pemikiran dan kiprah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY) di berbagai daerah. Beredarnya serial “success story” SBY itu secara
politis dinilai sebagai bentuk kampanye kepada calon-calon pemilih pemula pada
Pemilu 2014 nanti, tapi secara etika mengandung “cacat etis” karena materi buku
yang akan dibaca peserta didik itu tidak sepenuhnya mencerminkan realitas.
Politik
dan Etika
Jika SBY berkuasa di negara otoriter, masalahnya
tak akan memunculkan riak politik seperti sekarang. Di zaman Orde Baru, umpamanya,
monopoli penguasa terhadap wacana publik, termasuk kesejarahan, politik dan
hukum, tidaklah mengherankan. Legitimasi
kekuasaan Soeharto saat itu tak hanya ditopang kekuatan fisik (seperti militer,
polisi dan birokrasi), tapi juga penguasaan wacana lewat berbagai teks.
Berbeda dengan Orde Baru, wacana publik
di era reformasi bersifat fragmentaris. Dalam wacana publik apapun, penguasa di
era demokratis tidak mudah lagi melakukan monopoli atau hegemoni. Kalau seseorang
atau suatu kelompok penguasa mencoba mendominasi atau menghegemoni suatu wacana
sejarah atau hukum, misalnya, resistensi
dalam wujud kritik, protes atau wacana tandingan pun akan muncul.
Secara etika, seperti disinyalir
Indonesian Corruption Watch, gugatan tak hanya karena dugaan penyimpangan
penggunaan Dana Alokasi Khusus (DAK) dalam pengadaan buku-buku SBY di beberapa
daerah, tapi juga substansi buku. Beberapa kalangan melihat, materi dalam buku-buku
SBY terkait klaim keberhasilan pemerintahannya tak sesuai dengan realitas, khususnya menyangkut klaim sukses program pemberantasan
kemiskinan dan korupsi.
Dari aspek politik, kebijakan distribusi dan
diseminasi buku-buku SBY ke sekolah-sekolah dinilai sebagai upaya politisasi dunia
pendidikan untuk kepentingan politik kelompok penguasa. Amat naif dan bahkan
terkesan membodohi publik jika dikatakan (seperti diungkapkan sejumlah
fungsionaris Partai Demokrat) bahwa SBY tak mendapat keuntungan politik apa
pun, karena beliau tak bisa lagi maju sebagai capres pada Pilpres 2014. Padahal, sosialisasi “success story” SBY akan menjadi deposito politik tertentu,
khususnya bagi dinasti politik Cikeas maupun Partai Demokrat. Kiprah politik mereka,
khususnya untuk 2014 nanti, masih amat bergantung pada citra kepresidenan SBY
sekarang ini.
Sebenarnya dari aspek etika publik, ada pertanyaan
sederhana tapi mendasar: apakah etis jika untuk memenuhi bacaan murid tentang
kepribadian bangsa, instansi pendidikan yang berwenang hanya memasukkan (lenbih
banyak) buku-buku profil SBY ke sekolah-sekolah? Bagaimana dengan profil
presiden-presiden RI sebelumnya yang juga berjasa kepada bangsa dan negara ini?
Tokoh-tokoh nasional lain? Dalam
perspektif metodologi penulisan sejarah, kepemimpinan SBY yang sedang berjalan hanya
bisa dinilai secara relatif objektif setelah kelak tidak berkuasa lagi, katakanlah
pasca-dua periode jabatan kepresidenan penggantinya.
Betapa banyak tokoh historis lain yang
profilnya layak ditulis dan dibaca generasi muda. Sebagai negeri besar dengan
sejarah yang dinamis, Indonesia telah melahirkan banyak tokoh besar yang layak
diteladani integritas pribadi, prestasi dan kepemimpinannya. Untuk bidang politik, misalnya, tokoh yang
dimaksud tak hanya mereka yang pernah menduduki jabatan tertinggi, seperti presiden,
perdana menteri (semasa Demokrasi Parlementer) atau Ketua MPR (Orde Baru), tapi juga tokoh-tokoh nasional lainnya, baik yang
sudah bergelar pahlawan nasional maupun yang belum.
Untuk jabatan Presiden, selain buku SBY,
rak-rak buku sekolah juga mestinya diisi buku-buku profil Presiden Soekarno,
Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati Soekarnoputri. Untuk
jabatan perdana menteri atau wakil perdana menteri, bisa pula diterbitkan dan
disebarkan serial buku profil Perdana Menteri Sutan Sjahrir, Amir Sjarifuddin,
Mohammad Natsir, Sukiman, Wilopo, Ali Sastroamidjojo, Burhanuddin Harahap, Djuanda,
Subandrio, Leimena, Chairul Saleh dan lainnya.
Untuk posisi wakil presiden, bisa pula ditampilkan
buku serial profil Mohammad Hatta (juga pernah merangkap Perdana Menteri di
masa Revolusi), Sultan Hamengku Bawono IX, Adam Malik, Umar Wirahadikusumah,
Sudharmono, Try Sutrisno, Hamzah Haz, Jusuf Kalla hingga Boediono. Indonesia bahkan
pernah memiliki pemimpin politik yang jabatannya sepadan dengan jabatan presiden
di saat terjadinya Agresi Belanda II (tahun 1948), yakni Syafruddin
Prawiranegara, yang menjadi Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia
(PDRI). Dan banyak tokoh nasional lainnya yang layak dipelajari generasi
sekarang.
Kalau bisa buku serial tokoh yang
ditampilkan tak hanya dalam bentuk buku-buku proyek “seri kepribadian bangsa”
ala Pusat Buku Kemdiknas. Buku-buku semacam itu cenderung lebih banyak
menampilkan tokoh-tokoh “pemenang” dalam kancah sejarah.
Padahal, banyak juga tokoh yang dianggap
“pecundang” dalam sejarah justru menyimpan “keunggulan” lain yang mungkin bisa
dianggap luar biasa. Setiap tokoh historis (bukan mitologis) pastilah memiliki
keunggulan sekaligus kelemahan-kelemahannya sendiri.
Oleh karena itu, demi pendewasaan politik
dan pencerdasan kehidupan bangsa secara keseluruhan, Kemdiknas dan otoritas dunia pendidikan pada
umumnya sebaiknya juga merancang penulisan dan kemudian mendistribusikan
buku-buku profil lengkap para tokoh bangsa ataupun lokal yang ditulis pengarang
yang punya otoritas ilmiah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar