Minggu, 15 November 2015

POLEMIK KKI 2015: Wawancara dengan Benny Yohanes: Saya Enggan Merespons di Media Sosial

Suasana rapat pra KKI 2014
Tak berapa lama setelah jumpa pers yang berlangsung di Direktorat Kesenian Kemendikbud, pada 2 November 2015, tentang pelaksanaan Kongres Kesenian Indonesia (KKI) III 2015 di Bandung, 1-5 Desember, segera kritikan keras muncul dari sejumlah seniman, sebagaimana terbaca di media sosial.
Bukan hanya kritik, sinisme, kecaman, bahkan tudingan. Beberapa seniman serta merta menolak hadir bahkan ada juga yang menyerukan boikot. Reaksi keras tersebut bukan berpangkal pada perkara materi kongres, tema, dan subtema, melainkan menyoal kota tempat berlangsungnya kongres.
Meski terkesan perkara teknis, tetapi reaksi tersebut baik dipahami sebagai sesuatu yang lumrah. Apalagi reaksi itu mendasar pada sesuatu yang jelas, yakni, keputusan forum “Persiapan Kongres Kesenian Indonesia III” yang diselenggarakan Bandung (10-12 Desember 2014), yang dalam butir terakhirnya menyebutkan; “KKI 2015 berlangsung di luar Pulau Jawa-Bali”
Mendasar pada hal itulah, keputusan yang menunjuk Bandung sebagai kota tempat berlangsungnya KKI 2015 dianggap menyimpang dari keharusan yang sudah diputuskan dalam forum Persiapan KKI 2015 . Tak hanya dianggap menyimpang, keputusan memilih Bandung juga disertai tudingan, bahwa ada percaloan oknum-oknum Direktorat Kesenian demi kepentingan Event Organaizer (EO).
Dan demi percaloan tersebut, sebuah provinsi yang telah mengajukan diri sebagai tuan rumah KKI 2015, dan bersedia menanggung transportasi lokal peserta; ditolak begitu saja.
Berikut kutipan wawancara dengan Dr. Benny Yohanes (Ketua Panitia Pengarah KKI 2015) yang dilansir di website http://kongreskesenian2015.org/.
Ada sejumlah tanggapan kritis terhadap pelaksanaan KKI 2015 di media sosial Facebook. Secara umum bagaimana sebenarnya Anda melihat sikap-sikap penolakan terhadap KKI 2015, bahkan termasuk dari mereka yang sebelumnya ikut menyusun tema kongres? Dan mengapa Panitia terkesan lamban dan enggan menanggapi?
Saya tidak mengikuti dan membaca langsung isi pernyataan dan tanggapan kritis di media sosial. Saya hanya mendapat informasi tentang pernyataan-pernyataan tersebut dari sejumlah pihak. Secara pribadi, saya juga tidak berniat menanggapi tanggapan kritis tersebut melalui media yang sama. Dalam hemat saya, ada ruang yang lebih proporsional dan objektif untuk menguji argumen dan konsep, misalnya menulis tanggapan kritis di media massa, yang melalui standar keredaksiannya, dapat menyeleksi isi tanggapan secara verifikatif. Standar keredaksian yang layak dapat memisahkan mana pandangan konstruktif dan bernilai secara epistemik; dan mana yang sekadar retorik emosional, insinuasi atau pernyataan kebencian yang tidak berdasar.
Terhadap hak menyatakan tanggapan untuk persoalan-persoalan makro kesenian, secara umum saya bersikap positif, dan saya memandangnya sebagai respon yang lumrah saja. Jika tanggapan tersebut dikaitkan dengan pelaksanaan KKI III 2015, sejauh menyangkut hal-hal yang substantif, dan dinyatakan dengan sikap yang konstruktif, dengan tujuan untuk mematangkan sikap berpikir, tanggapan tersebut pasti akan memiliki nilai untuk diperbincangkan lebih lanjut. Jika hal demikian yang muncul dari semangat tanggapan kritis tersebut, tentu para pihak tersebut akan merasa terundang untuk berpartisipasi dalam forum kongres. Dan forum kongres dapat memberi ruang dialog yang proporsional. Pilihan ini lebih konstruktif, dibanding dengan memamerkan opini sepihak, atau ajakan yang konfrontatif tanpa solusi, yang jika hanya dijajakan melalui media sosial yang penuh noises itu, hanya akan berakhir sebagai sampah informasi.
Secara pribadi, saya memang enggan merespons tanggapan yang terdistorsi menjadi banalitas pendapat. Saya tahu, bahwa media sosial punya efektivitas untuk menularkan pemihakan, atau memompa simpati, juga menimbun antipati tertentu. Cuma saja, ini jenis pemihakan yang dengan gampang bercampur dengan gosip, intimidasi dan reaktivitas yang instan. Jika panitia pengarah dikesankan lamban merespon, ‘kelambanan’ itu bisa berarti upaya menahan kewarasan, terhadap sikap-sikap reaktif, yang jika mata-rantainya diperpanjang, membuat kita saling berbantah dengan modal sebagai makelar gosip. Pada titik ini, saya merasa tidak piawai.
Tema KKI 2015 dipilih langsung oleh para seniman dalam forum acara “Persiapan Kongres Kesenian Indonesia III” di Bandung, 10-12 Desember 2014. Bagaimana proses pemilihan tema itu?
Tema KKI III 2015, sepanjang yang saya ikuti, dalam forum acara “Persiapan Kongres Kesenian III’ di Bandung, hampir setahun lalu, adalah tema yang dikembangkan dan diramu dari pertemuan pikiran yang saling melengkapi. Para seniman yang diundang oleh pihak Direktorat Kesenian, berasal dari latar belakang bidang seni yang beragam : teater, musik, sastra, seni rupa dan film. Jadi, tidak ada settingan atau penjaluran konsep yang sudah dikerangkakan sebelumnya. Memang ada stimuli awal untuk menangkap tema yang paling relevan. Stimuli awal itu adalah cara membaca realitas makro dalam kehidupan bernegara, yang secara kontras telah mengalami perubahan orientasi; dari orientasi kekuasaan yang sentralistik, berubah menjadi kekuasaan yang membuka partisipasi publik. Jadi, ‘perubahan’ menjadi kata-kunci, untuk melihat relasi dan implikasi yang muncul, dalam kehidupan kesenian di satu sisi, dan perilaku negara, yang direpresentasi oleh otoritas pemerintah, di sisi lainnya.
Perubahan yang prinsipil dalam praktik-praktik kesenian, ditandai diantaranya oleh semakin tumbuhnya komunitas-komunitas profesi seni yang semakin mandiri, yang orientasi nilai-nilai dan visi berkreasinya tidak lagi tergantung pada legitimasi birokrasi kesenian resmi. Ruang berkreasi yang semakin plural ini juga dicerminkan dalam bentuk-bentuk eksplorasi dan individuasi estetik, yang memunculkan derivasi konsep-konsep, variasi, pemuaian, dan pencanggihan media; interaksi dan eksperimentasi lintas medium seni, yang juga dipengaruhi oleh adopsi pada teknologi digital. Tetapi, vitalitas dan enerji praktik-praktik seni yang memuai dan menyebar ini, belum dibarengi dengan upaya pemetaan progresif, dan penguatan program makro pengembangan kesenian, yang seharusnya menjadi bentuk ‘politik kesenian’ yang dijalankan oleh pihak otoritas negara, sebagai cermin kehadiran negara dalam arus perubahan yang sedang terjadi. Titik simpul dari ‘Pertemuan Bandung’ itu, menelurkan mufakat, untuk mengusung tema utama KKI III 2015, yaitu : ‘Kesenian dan Negara dalam Arus Perubahan’.
Dari tema utama di atas, Pertemuan Bandung juga menyepakati untuk mengidentifikasi tiga (3) sub-tema, yang akan menjadi bahasan utama kongres, yaitu: 1) Politik Kesenian Dalam Perspektif Negara; 2) Pendidikan Seni, Media dan Kreativitas; 3) Seni Dalam Pusaran Kompleksitas Kekinian. Terhadap masing-masing sub-tema tersebut, peserta ‘Pertemuan Bandung’ juga memerinci sejumlah topik-topik kunci, yang dapat digunakan sebagai spektrum pembacaan bersama oleh peserta kongres nantinya, untuk membuka persoalan-persoalan makro kesenian, berdasarkan fenomena yang terjadi dalam berbagai bidang seni.
Setelah fase ‘Pertemuan Bandung’, pihak Direktorat Kesenian berinisiatif mengundang sejumlah praktisi seni, seniman, dan pemerhati seni, untuk berkenan menjadi Panitia Pengarah, dan dapat meneruskan langkah ‘Pertemuan Bandung’ dengan menghasilkan semacam Kerangka Acuan, untuk menjadi landasan pelaksanaan kongres. Dalam perkembangan pertemuan Tim Pengarah ini, ditambahkan satu (1) sub-tema lagi, yaitu : Kesenian, Negara & Tantangan di Tingkat Global. Argumen untuk tambahan sub-tema ini, berdasarkan pertimbangan faktual, bahwa arus perubahan dalam ranah kesenian, dan juga realitas kehidupan negara, sama-sama dihadapkan dan secara ekstensif harus mempertimbangkan perubahan yang terjadi di tingkat global. Kesenian Indonesia harus juga dibaca posisi, peluang, dan tantangannya, dalam realitas dunia internasional. Inilah yang terjadi dalam rangkaian pemilihan tema utama kongres, dan derivasi sub-temanya.
Umumnya penolakan mendasar pada kota tempat diselenggarakannya KKI 2015, dan itu dianggap menyimpang dari keputusan Persiapan KKI 2015. Bagaimana Anda melihat hal ini? Bagaimana sebenarnya daya tawar Steerring Committe terhadap keputusan Direktorat Kesenian yang berbeda dengan keputusan Persiapan KKI 2015 sebelumnya?
‘Pertemuan Bandung’ dilaksanakan, pertama untuk menguji dan memberi landasan argumen, apakah sebuah kongres kesenian, perlu dilaksanakan. Terhadap isu tersebut, peserta ‘Pertemuan Bandung’ menunjukkan sikap positif, bahwa kegiatan tersebut patut dilaksanakan. KKI III yang akan dilaksanakan tahun 2015, merupakan kegiatan evaluatif masyarakat kesenian, yang jejak historisnya dimulai dari KKI I tahun 1995, dan KKI II tahun 2005. KKI I dan II, sama-sama dilaksanakan di Jakarta (Jawa). Itu sebabnya, dalam ‘Pertemuan Bandung’ muncul aspirasi dari peserta, merekomendasikan pelaksanaan KKI III, seyogyanya dapat dilaksanakan di luar Jawa. Pertimbangan ini dikaitkan dengan kepentingan untuk menetralisir kecenderungan pelaksanaan kongres, yang berkesan Jawa-sentris.
Terhadap rekomendasi ‘Pertemuan Bandung’ menyangkut pilihan pelaksanaan kongres, secara teknis Direktorat Kesenian ternyata tidak bisa meloloskan poin keputusan tempat penyelenggaran KKI 2015, yakni, di luar Jawa. Hal itu menyangkut kalkulasi teknis anggaran jika KKI 2015 diadakan di luar Jawa. Dengan rencana mengundang dan menghadirkan total 700 peserta dari 37 propinsi di Indonesia, jika diadakan di luar Jawa, KKI 2015 akan memakan biaya tinggi. Terhadap pertimbangan dan kalkulasi ini, panitia pengarah mempersilakan pihak Direktorat Kesenian untuk dapat mengambil keputusan yang secara teknis paling ‘reasonable’ berdasarkan realitas anggaran yang tersedia, karena pihak Direktorat Kesenian yang akan melaksanakan aspek teknis pelaksanaan kongres ini, secara swakelola.
Yang terus dipertahankan oleh Panitia Pengarah, adalah prinsip landasan Kerangka Acuan Kongres, yang meneguhkan hasil ‘Pertemuan Bandung’, pilihan pembicara yang dinilai paling relevan dan kompeten, dan representasi objektif peserta kongres, yang dapat memenuhi aspek keterwakilan masyarakat kesenian, dan keseimbangan peserta asal setiap propinsi, berdasarkan pemetaan faktual-objektif, untuk memoderasi seleksi peserta yang cenderung berdasarkan favoritisme kolegial tertentu. Tentu, pilihan pembicara, pemetaan dan seleksi faktual-objektif peserta kongres, yang dilakukan secara urun-rembug oleh Panitia Pengarah, tetap dapat melahirkan versi-kontra dari para pihak yang merasa tidak puas. Hal demikian tidak dapat dihindari, dan menjadi risiko yang selalu terjadi, dalam setiap model pertemuan, yang berasaskan representasi. Tetapi, Panitia Pengarah berkeinginan agar KKI III 2015, tetap menjadi forum terbuka, dialogis, konstruktif, dan produktif, agar setiap peserta, dan para pihak yang terundang, dapat saling mempertemukan pikiran, dalam suasana yang saling menghormati, mencerahkan dan saling mendewasakan.
Apa yang Anda bayangkan dengan polemik sekitar KKI 2015 agar bisa menjadi lebih produktif dalam pertukaran pendapat dan argumen?
Alur persidangan KKI III 2015 didesain agar seluruh peserta kongres, tidak menjadi ‘rombongan tamu’ yang akan menghadiri kongres secara seremonial semata. Pertemuan setiap Bidang Seni ( Komite Seni Rupa, Teater, Sastra, Film, Musik, Tari, Lintas Media), dan dialog Sidang Komisi (Lintas Bidang Seni) lebih diharapkan jadi forum yang berbuah, agar dialog lintas peserta (yang merepresentasi berbagai kategori kepentingan internal dan eksternal masyarakat kesenian) dapat semakin aktif, otoritatif dan produktif. Dari Sidang Komite, diharapkan dapat menggagas pemikiran, inisiatif bersama, dan menawarkan sejumlah solusi program. Dari Sidang Komisi akan tergodok rumusan dan aksi kolektifnya, yang akan menjadi pijakan vital, dan rekomendasi strategis; untuk dikonstruksi menjadi program makro pengembangan kesenian, yang selanjutnya wajib diadopsi oleh pihak otoritas Negara, untuk menjalankan model politik kesenian yang kongkrit, utuh, terintegrasi dan berkesinambungan.
Secara ideal, kongres adalah alat bersama untuk menyimak visi, mempertemukan dan mengkonstruksi serial program kolektif dan strategis dari seluruh elemen masyarakat kesenian. Yang harus dikawal dari hasil rekomendasi kongres adalah bagaimana formula dan konstruksi gagasan-gagasan itu, dapat dijalankan oleh seluruh shareholder masyarakat kesenian, dalam praktik nyata. Karena itu, kongres seyogyanya tidak menjadi sekadar arena adu retorik, atau konfrontasi temporer tanpa solusi. Sebuah kongres tanpa polemik, tentu bukan kongres yang sehat. Tetapi, polemik yang sehat tidak dapat dibangun dari sikap awal yang intoleran atau pemaksaan insinuasi. Tempat yang proporsional untuk menguji aspirasi, kekuatan gagasan dan membangun inisiatif bersama adalah dengan bertatap muka, di tempat yang nyata, dan bicara sebagai bagian dari pemanusiaan kita.
Mengapa KKI 2015 akhirnya diselenggarakan di Bandung padahal keputusan Persiapan KKI 2015 menyebutkan diadakan di luar Jawa?
Menjawab pertanyaan di atas mestilah dulu menjawab pertanyaan ihwal posisi keputusan Persiapan KKI 2015. Apakah keputusan Persiapan KKI 2015 itu merupakan sebuah rekomendasi, atau suatu keharusan yang setiap butirnya wajib dilaksanakan oleh Direktorat Kesenian sebagai badan penyelenggara KKI?
Keputusan menggelar forum “Persiapan Kongres Kesenian Indonesia III” di Bandung diputuskan dalam rapat di Jakarta, 8 November 2014, dihadiri oleh sejumlah seniman; Benny Yohanes, Ari Batubara, Ahda Imran, Irawan Karseno. Pertemuan tersebut merupakan upaya menampung berbagai masukan ihwal gagasan penyelenggaraan KKI 2015. Dan demi mendapat masukan yang lebih beragam dari para seniman, maka digagaslah forum “Persiapan Kongres Kesenian III 2015” di Bandung. Lalu dipilihlah 50 seniman dari seluruh Indonesia (dari berbagai bidang seni, juga aktivis kesenian, dan pengamat) yang diandaikan bisa menjadi representasi para seniman dan dunia kesenian di Indonesia.
Forum Persiapan KKI 2015 juga perlu diadakan untuk menjawab pertanyaan: Apakah dalam KKI 2015 perlu diadakan atau tidak? Dan jika perlu, apa isu utama yang sebaiknya diangkat untuk menjadi kongres?
Selama dua hari forum Persiapan KKI 2015 berlangsung dan bermufakat, bahwa KKI 2015 perlu diadakan. Lewat Tim Perumus forum itu kemudian menyepakati keputusan tentang tema KKI 2015, yakni, “Kesenian dan Negara Dalam Arus Perubahan”, dengan tiga butir subtema, sekaligus juga memasukkan poin “KKI 2015 diadakan di luar Jawa”.
Dalam proses selanjutnya, pasca forum Persiapan KKI 2015, tanpa sedikit pun mencampuri atau mengubah tema dan poin-poin yang termaktub dalam subtema pada keputusan Persiapan KKI 2015, secara teknis Direktorat Kesenian ternyata tidak bisa meloloskan poin keputusan tempat penyelenggaran KKI 2015, yakni, di luar Jawa.
Hal itu menyangkut kalkulasi teknis anggaran jika KKI 2015 diadakan di luar Jawa. Dengan 700 peserta dan diadakan di luar Jawa, KKI 2015 akan memakan biaya tinggi karena harus menempuh dua kali penerbangan ke tempat berlangsungnya kongres, pulang-pergi. Demikian pula dengan pertimbangan jumlah kamar hotel di luar Jawa dan fasilitas untuk sebuah kongres dengan 700 peserta.
Alasan tersebut tentu saja mudah dibantah. Apalagi konon adanya tawaran dari pemda sebuah propinsi di luar Jawa yang bersedia menjadi tuan rumah, bahkan pemda propinsi tersebut konon pula bersedia menanggung seluruh transportasi lokal. Demikian pula alasan tentang fasilitas hotel yang ada di luar Jawa yang dianggap sebagai alasan mengada-ada dan gegabah.
Tetapi, bantahan tersebut juga bisa dijawab. Bahwa konon adanya tawaran dari sebuah propinsi di luar Jawa untuk menjadi tuan rumah dan kesanggupan pemda setempat menanggung transportasi lokal peserta, menimbulkan pertanyaan: Bagaimana prosedur penawaran itu diajukan? Siapa yang mengajukan, dan kepada siapa diajukan? Lalu, apa yang dimaksud dengan “menanggung transportasi lokal”; apakah transportasi peserta selama berada di kota tempat berlangsungnya kongres?
Tentu ada banyak hotel di luar Jawa yang bisa menampung 700 peserta. Namun, apakah itu ditampung dalam satu hotel dengan ketersediaan sarana-prasarana bagi sebuah kongres, atau disebar di beberapa hotel? Agar mencapai hasil yang maksimal Direktorat Kesenian sengaja ingin menampung peserta di satu hotel yang sekaligus menjadi tempat berlangsungnya kongres, agar peserta bisa menghadiri seluruh acara kongres tanpa terganggu oleh keperluan-keperluan yang lain.
Baiklah. Anggap dan taruhlah ada hotel di luar Jawa yang bisa menampung 700 peserta lengkap dengan fasilitas sarana-prasarana yang diperlukan. Tetapi, tetaplah soal yang paling menentukan ialah kendala anggaran jika diselenggarakan sebagaimana yang menjadi alasan pihak Direktorat Kesenian. Untuk penyelenggaraan KKI 2015 ini saja biaya yang mesti dikeluarkan, seperti disebutkan Direktur Kesenian Prof. Dr. Endang Caturwati dalam jumpa pers, (3/9), adalah 8 miliar.
Dengan biaya sebesar itu pun sejumlah kalangan menilai pelaksanaan KKI 2015 sebagai kegiatan mahal yang tak ada gunanya, bahkan sebaiknya dibatalkan. Sementara jika dilaksanakan di luar Jawa, dengan estimasi anggaran dua kali lipat, maka biaya yang diperlukan adalah 16 miliar.

Bahwa alasan tidak memilih tempat di luar Jawa itu lantas dikaitkan dengan adanya percaloan oknum Direktorat Kesenian demi kepentingan EO, sebagaimana yang ditudingkan, tudingan itu jadi menyedihkan sebab KKI 2015 tidak dilaksanakan oleh EO, tetapi secara swakelola.
Jawaban-jawaban di atas tentu tidak akan pernah memuaskan. Akan selalu ada celah untuk mengejarnya ke berbagai pertanyaan dan persangkaan berikutnya. Tetapi, baiklah, mari kita kembali pada pertanyaan sebelumnya yang jadi pangkal dari semua perkara, tentang posisi keputusan Persiapan KKI 2015. Apakah keputusan Persiapan KKI 2015 itu merupakan sebuah rekomendasi, atau suatu keharusan yang setiap butirnya wajib dilaksanakan oleh Direktorat Kesenian sebagai institusi penyelenggara KKI?
Sekali lagi mesti dikatakan, sejak awal forum pertemuan “Persiapan Kongres Kesenian Indonesia III 2015” di Bandung itu diniatkan untuk menampung berbagai pandangan, pendapat, atau masukan yang beragam dari para seniman tentang agenda pelaksanaan KKI 2015. Sejak hari pembukaan acara Persiapan KKI 2015, hal itu telah disampaikan pada seluruh peserta. Hasil atau keputusan Persiapan KKI 2015 tersebut merupakan masukan atau rekomendasi yang diajukan pada Direktorat Kesenian yang bertindak selaku fasilitator.
Kita jangan pura-pura lupa, bahwa sebuah rekomendasi tetaplah sebuah rekomendasi. Keharusan yang dimilikinya adalah keharusan untuk dipertimbangkan (baik secara substansi atau teknis), bukan suatu keharusan atau kemutlakan agar dilaksanakan dalam setiap poinnya. Secara substansial, pihak Direktorat Kesenian memosisikan keputusan Persiapan KKI 2015 itu sebagai suatu keharusan untuk melaksanakannya; KKI 2015 harus dilaksanakan dengan tema yang telah ditentukan sendiri oleh para seniman yang berkumpul dalam forum Persiapan KKI 2015.
Akan tetapi, tidak demikian dengan permasalahan teknis penyelenggaraan, yakni, keputusan ihwal tempat diselenggarakannya KKI 2015. Dalam hal ini, sebagai fasilitator, Direktorat kesenian tak bisa atau tidak memiliki kesanggupan anggaran untuk memfasilitasi penyelenggaraan KKI 2015 di luar Jawa, sebagaimana termaktub dalam poin keputusan Persiapan KKI 2015. Hal ini lepas dari kenyataan bahwa dalam rekomendasi tersebut tidak terdapat kata “harus”, termasuk yang dilekatkan pada kalimat “KKI 2015 diadakan di luar Jawa”.
Sebuah perhelatan besar seperti KKI 2015 memang tak akan pernah bisa memuaskan semua orang. Tentu saja amat bahkan sangat disayangkan, mengapa akhirnya KKI 2015 tidak bisa dilaksanakan di luar Jawa seperti yang telah diputuskan oleh para seniman lewat forum Persiapan KKI 2015, sehingga lagi-lagi hak-hak daerah di luar pulau Jawa disisihkan.
Anggapan itu tentu tidak salah, hanya saja KKI 2015 juga harus berhadapan dengan pertimbangan teknis badan penyelenggara, yakni, Diretorat Kesenian, institusi yang bertugas mengelola dan bertanggungjawab atas anggaran. Situasi yang akhirnya memaksa orang untuk bertolak-angsur. Dan di sinilah problemnya kemudian, ketika ternyata tidak semua orang bersedia dan sudi bertolak-angsur dengan otoritas di luar dirinya, untuk suatu urusan yang berada di luar tanggung jawab dirinya.
Tetapi apapun, sikap penolakan terhadap KKI 2015, serupa apa juga alasan dan argumennya, tetaplah mesti dihargai sebagai sebuah hak demi menyatakan suatu sikap. Dan KKI 2015 akan terus berlangsung dengan penghargaan semacam itu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...