Suasana rapat pra KKI 2014 |
Tak berapa lama setelah jumpa pers yang
berlangsung di Direktorat Kesenian Kemendikbud, pada 2 November 2015, tentang
pelaksanaan Kongres Kesenian Indonesia (KKI) III 2015 di Bandung, 1-5 Desember,
segera kritikan keras muncul dari sejumlah seniman, sebagaimana terbaca di
media sosial.
Bukan hanya kritik, sinisme, kecaman,
bahkan tudingan. Beberapa seniman serta merta menolak hadir bahkan ada juga
yang menyerukan boikot. Reaksi keras tersebut bukan berpangkal pada perkara
materi kongres, tema, dan subtema, melainkan menyoal kota tempat berlangsungnya
kongres.
Meski terkesan perkara teknis, tetapi
reaksi tersebut baik dipahami sebagai sesuatu yang lumrah. Apalagi reaksi itu
mendasar pada sesuatu yang jelas, yakni, keputusan forum “Persiapan Kongres
Kesenian Indonesia III” yang diselenggarakan Bandung (10-12 Desember 2014),
yang dalam butir terakhirnya menyebutkan; “KKI 2015 berlangsung di luar Pulau
Jawa-Bali”
Mendasar pada hal itulah, keputusan yang
menunjuk Bandung sebagai kota tempat berlangsungnya KKI 2015 dianggap
menyimpang dari keharusan yang sudah diputuskan dalam forum Persiapan KKI 2015
. Tak hanya dianggap menyimpang, keputusan memilih Bandung juga disertai
tudingan, bahwa ada percaloan oknum-oknum Direktorat Kesenian demi kepentingan
Event Organaizer (EO).
Dan demi percaloan tersebut, sebuah provinsi
yang telah mengajukan diri sebagai tuan rumah KKI 2015, dan bersedia menanggung
transportasi lokal peserta; ditolak begitu saja.
Berikut kutipan wawancara dengan Dr. Benny Yohanes (Ketua
Panitia Pengarah KKI 2015) yang dilansir di website http://kongreskesenian2015.org/.
Ada
sejumlah tanggapan kritis terhadap pelaksanaan KKI 2015 di media sosial Facebook. Secara umum bagaimana
sebenarnya Anda melihat sikap-sikap penolakan terhadap KKI 2015, bahkan
termasuk dari mereka yang sebelumnya ikut menyusun tema kongres? Dan mengapa
Panitia terkesan lamban dan enggan menanggapi?
Saya tidak mengikuti dan membaca langsung
isi pernyataan dan tanggapan kritis di media sosial. Saya hanya mendapat
informasi tentang pernyataan-pernyataan tersebut dari sejumlah pihak. Secara
pribadi, saya juga tidak berniat menanggapi tanggapan kritis tersebut melalui
media yang sama. Dalam hemat saya, ada ruang yang lebih proporsional dan
objektif untuk menguji argumen dan konsep, misalnya menulis tanggapan kritis di
media massa, yang melalui standar keredaksiannya, dapat menyeleksi isi
tanggapan secara verifikatif. Standar keredaksian yang layak dapat memisahkan
mana pandangan konstruktif dan bernilai secara epistemik; dan mana yang sekadar
retorik emosional, insinuasi atau pernyataan kebencian yang tidak berdasar.
Terhadap hak menyatakan tanggapan untuk
persoalan-persoalan makro kesenian, secara umum saya bersikap positif, dan saya
memandangnya sebagai respon yang lumrah saja. Jika tanggapan tersebut dikaitkan
dengan pelaksanaan KKI III 2015, sejauh menyangkut hal-hal yang substantif, dan
dinyatakan dengan sikap yang konstruktif, dengan tujuan untuk mematangkan sikap
berpikir, tanggapan tersebut pasti akan memiliki nilai untuk diperbincangkan
lebih lanjut. Jika hal demikian yang muncul dari semangat tanggapan kritis
tersebut, tentu para pihak tersebut akan merasa terundang untuk berpartisipasi
dalam forum kongres. Dan forum kongres dapat memberi ruang dialog yang
proporsional. Pilihan ini lebih konstruktif, dibanding dengan memamerkan opini
sepihak, atau ajakan yang konfrontatif tanpa solusi, yang jika hanya dijajakan
melalui media sosial yang penuh noises itu, hanya akan berakhir sebagai sampah
informasi.
Secara pribadi, saya memang enggan
merespons tanggapan yang terdistorsi menjadi banalitas pendapat. Saya tahu, bahwa
media sosial punya efektivitas untuk menularkan pemihakan, atau memompa
simpati, juga menimbun antipati tertentu. Cuma saja, ini jenis pemihakan yang
dengan gampang bercampur dengan gosip, intimidasi dan reaktivitas yang instan.
Jika panitia pengarah dikesankan lamban merespon, ‘kelambanan’ itu bisa berarti
upaya menahan kewarasan, terhadap sikap-sikap reaktif, yang jika mata-rantainya
diperpanjang, membuat kita saling berbantah dengan modal sebagai makelar gosip.
Pada titik ini, saya merasa tidak piawai.
Tema KKI
2015 dipilih langsung oleh para seniman dalam forum acara “Persiapan Kongres
Kesenian Indonesia III” di Bandung, 10-12 Desember 2014. Bagaimana proses
pemilihan tema itu?
Tema KKI III 2015, sepanjang yang saya
ikuti, dalam forum acara “Persiapan Kongres Kesenian III’ di Bandung, hampir
setahun lalu, adalah tema yang dikembangkan dan diramu dari pertemuan pikiran
yang saling melengkapi. Para seniman yang diundang oleh pihak Direktorat
Kesenian, berasal dari latar belakang bidang seni yang beragam : teater, musik,
sastra, seni rupa dan film. Jadi, tidak ada settingan atau penjaluran konsep
yang sudah dikerangkakan sebelumnya. Memang ada stimuli awal untuk menangkap
tema yang paling relevan. Stimuli awal itu adalah cara membaca realitas makro
dalam kehidupan bernegara, yang secara kontras telah mengalami perubahan
orientasi; dari orientasi kekuasaan yang sentralistik, berubah menjadi
kekuasaan yang membuka partisipasi publik. Jadi, ‘perubahan’ menjadi
kata-kunci, untuk melihat relasi dan implikasi yang muncul, dalam kehidupan
kesenian di satu sisi, dan perilaku negara, yang direpresentasi oleh otoritas
pemerintah, di sisi lainnya.
Perubahan yang prinsipil dalam
praktik-praktik kesenian, ditandai diantaranya oleh semakin tumbuhnya
komunitas-komunitas profesi seni yang semakin mandiri, yang orientasi
nilai-nilai dan visi berkreasinya tidak lagi tergantung pada legitimasi
birokrasi kesenian resmi. Ruang berkreasi yang semakin plural ini juga
dicerminkan dalam bentuk-bentuk eksplorasi dan individuasi estetik, yang
memunculkan derivasi konsep-konsep, variasi, pemuaian, dan pencanggihan media;
interaksi dan eksperimentasi lintas medium seni, yang juga dipengaruhi oleh
adopsi pada teknologi digital. Tetapi, vitalitas dan enerji praktik-praktik
seni yang memuai dan menyebar ini, belum dibarengi dengan upaya pemetaan
progresif, dan penguatan program makro pengembangan kesenian, yang seharusnya
menjadi bentuk ‘politik kesenian’ yang dijalankan oleh pihak otoritas negara,
sebagai cermin kehadiran negara dalam arus perubahan yang sedang terjadi. Titik
simpul dari ‘Pertemuan Bandung’ itu, menelurkan mufakat, untuk mengusung tema
utama KKI III 2015, yaitu : ‘Kesenian dan Negara dalam Arus Perubahan’.
Dari tema utama di atas, Pertemuan
Bandung juga menyepakati untuk mengidentifikasi tiga (3) sub-tema, yang akan
menjadi bahasan utama kongres, yaitu: 1) Politik Kesenian Dalam Perspektif
Negara; 2) Pendidikan Seni, Media dan Kreativitas; 3) Seni Dalam Pusaran
Kompleksitas Kekinian. Terhadap masing-masing sub-tema tersebut, peserta
‘Pertemuan Bandung’ juga memerinci sejumlah topik-topik kunci, yang dapat
digunakan sebagai spektrum pembacaan bersama oleh peserta kongres nantinya,
untuk membuka persoalan-persoalan makro kesenian, berdasarkan fenomena yang
terjadi dalam berbagai bidang seni.
Setelah fase ‘Pertemuan Bandung’, pihak
Direktorat Kesenian berinisiatif mengundang sejumlah praktisi seni, seniman,
dan pemerhati seni, untuk berkenan menjadi Panitia Pengarah, dan dapat
meneruskan langkah ‘Pertemuan Bandung’ dengan menghasilkan semacam Kerangka
Acuan, untuk menjadi landasan pelaksanaan kongres. Dalam perkembangan pertemuan
Tim Pengarah ini, ditambahkan satu (1) sub-tema lagi, yaitu : Kesenian, Negara
& Tantangan di Tingkat Global. Argumen untuk tambahan sub-tema ini,
berdasarkan pertimbangan faktual, bahwa arus perubahan dalam ranah kesenian,
dan juga realitas kehidupan negara, sama-sama dihadapkan dan secara ekstensif
harus mempertimbangkan perubahan yang terjadi di tingkat global. Kesenian
Indonesia harus juga dibaca posisi, peluang, dan tantangannya, dalam realitas
dunia internasional. Inilah yang terjadi dalam rangkaian pemilihan tema utama
kongres, dan derivasi sub-temanya.
Umumnya
penolakan mendasar pada kota tempat diselenggarakannya KKI 2015, dan itu
dianggap menyimpang dari keputusan Persiapan KKI 2015. Bagaimana Anda melihat
hal ini? Bagaimana sebenarnya daya tawar Steerring Committe terhadap keputusan
Direktorat Kesenian yang berbeda dengan keputusan Persiapan KKI 2015
sebelumnya?
‘Pertemuan Bandung’ dilaksanakan, pertama
untuk menguji dan memberi landasan argumen, apakah sebuah kongres kesenian,
perlu dilaksanakan. Terhadap isu tersebut, peserta ‘Pertemuan Bandung’
menunjukkan sikap positif, bahwa kegiatan tersebut patut dilaksanakan. KKI III
yang akan dilaksanakan tahun 2015, merupakan kegiatan evaluatif masyarakat
kesenian, yang jejak historisnya dimulai dari KKI I tahun 1995, dan KKI II
tahun 2005. KKI I dan II, sama-sama dilaksanakan di Jakarta (Jawa). Itu
sebabnya, dalam ‘Pertemuan Bandung’ muncul aspirasi dari peserta,
merekomendasikan pelaksanaan KKI III, seyogyanya dapat dilaksanakan di luar
Jawa. Pertimbangan ini dikaitkan dengan kepentingan untuk menetralisir
kecenderungan pelaksanaan kongres, yang berkesan Jawa-sentris.
Terhadap rekomendasi ‘Pertemuan Bandung’
menyangkut pilihan pelaksanaan kongres, secara teknis Direktorat Kesenian
ternyata tidak bisa meloloskan poin keputusan tempat penyelenggaran KKI 2015,
yakni, di luar Jawa. Hal itu menyangkut kalkulasi teknis anggaran jika KKI 2015
diadakan di luar Jawa. Dengan rencana mengundang dan menghadirkan total 700
peserta dari 37 propinsi di Indonesia, jika diadakan di luar Jawa, KKI 2015
akan memakan biaya tinggi. Terhadap pertimbangan dan kalkulasi ini, panitia
pengarah mempersilakan pihak Direktorat Kesenian untuk dapat mengambil
keputusan yang secara teknis paling ‘reasonable’ berdasarkan realitas anggaran
yang tersedia, karena pihak Direktorat Kesenian yang akan melaksanakan aspek
teknis pelaksanaan kongres ini, secara swakelola.
Yang terus dipertahankan oleh Panitia
Pengarah, adalah prinsip landasan Kerangka Acuan Kongres, yang meneguhkan hasil
‘Pertemuan Bandung’, pilihan pembicara yang dinilai paling relevan dan
kompeten, dan representasi objektif peserta kongres, yang dapat memenuhi aspek
keterwakilan masyarakat kesenian, dan keseimbangan peserta asal setiap
propinsi, berdasarkan pemetaan faktual-objektif, untuk memoderasi seleksi
peserta yang cenderung berdasarkan favoritisme kolegial tertentu. Tentu,
pilihan pembicara, pemetaan dan seleksi faktual-objektif peserta kongres, yang
dilakukan secara urun-rembug oleh Panitia Pengarah, tetap dapat melahirkan
versi-kontra dari para pihak yang merasa tidak puas. Hal demikian tidak dapat
dihindari, dan menjadi risiko yang selalu terjadi, dalam setiap model
pertemuan, yang berasaskan representasi. Tetapi, Panitia Pengarah berkeinginan
agar KKI III 2015, tetap menjadi forum terbuka, dialogis, konstruktif, dan
produktif, agar setiap peserta, dan para pihak yang terundang, dapat saling
mempertemukan pikiran, dalam suasana yang saling menghormati, mencerahkan dan
saling mendewasakan.
Apa yang
Anda bayangkan dengan polemik sekitar KKI 2015 agar bisa menjadi lebih
produktif dalam pertukaran pendapat dan argumen?
Alur persidangan KKI III 2015 didesain
agar seluruh peserta kongres, tidak menjadi ‘rombongan tamu’ yang akan
menghadiri kongres secara seremonial semata. Pertemuan setiap Bidang Seni (
Komite Seni Rupa, Teater, Sastra, Film, Musik, Tari, Lintas Media), dan dialog
Sidang Komisi (Lintas Bidang Seni) lebih diharapkan jadi forum yang berbuah,
agar dialog lintas peserta (yang merepresentasi berbagai kategori kepentingan
internal dan eksternal masyarakat kesenian) dapat semakin aktif, otoritatif dan
produktif. Dari Sidang Komite, diharapkan dapat menggagas pemikiran, inisiatif
bersama, dan menawarkan sejumlah solusi program. Dari Sidang Komisi akan
tergodok rumusan dan aksi kolektifnya, yang akan menjadi pijakan vital, dan
rekomendasi strategis; untuk dikonstruksi menjadi program makro pengembangan
kesenian, yang selanjutnya wajib diadopsi oleh pihak otoritas Negara, untuk
menjalankan model politik kesenian yang kongkrit, utuh, terintegrasi dan
berkesinambungan.
Secara ideal, kongres adalah alat bersama
untuk menyimak visi, mempertemukan dan mengkonstruksi serial program kolektif
dan strategis dari seluruh elemen masyarakat kesenian. Yang harus dikawal dari
hasil rekomendasi kongres adalah bagaimana formula dan konstruksi
gagasan-gagasan itu, dapat dijalankan oleh seluruh shareholder masyarakat
kesenian, dalam praktik nyata. Karena itu, kongres seyogyanya tidak menjadi
sekadar arena adu retorik, atau konfrontasi temporer tanpa solusi. Sebuah
kongres tanpa polemik, tentu bukan kongres yang sehat. Tetapi, polemik yang
sehat tidak dapat dibangun dari sikap awal yang intoleran atau pemaksaan
insinuasi. Tempat yang proporsional untuk menguji aspirasi, kekuatan gagasan
dan membangun inisiatif bersama adalah dengan bertatap muka, di tempat yang
nyata, dan bicara sebagai bagian dari pemanusiaan kita.
Mengapa
KKI 2015 akhirnya diselenggarakan di Bandung padahal keputusan Persiapan KKI
2015 menyebutkan diadakan di luar Jawa?
Menjawab pertanyaan di atas mestilah dulu
menjawab pertanyaan ihwal posisi keputusan Persiapan KKI 2015. Apakah keputusan
Persiapan KKI 2015 itu merupakan sebuah rekomendasi, atau suatu keharusan yang
setiap butirnya wajib dilaksanakan oleh Direktorat Kesenian sebagai badan
penyelenggara KKI?
Keputusan menggelar forum “Persiapan
Kongres Kesenian Indonesia III” di Bandung diputuskan dalam rapat di Jakarta, 8
November 2014, dihadiri oleh sejumlah seniman; Benny Yohanes, Ari Batubara,
Ahda Imran, Irawan Karseno. Pertemuan tersebut merupakan upaya menampung
berbagai masukan ihwal gagasan penyelenggaraan KKI 2015. Dan demi mendapat
masukan yang lebih beragam dari para seniman, maka digagaslah forum “Persiapan
Kongres Kesenian III 2015” di Bandung. Lalu dipilihlah 50 seniman dari seluruh
Indonesia (dari berbagai bidang seni, juga aktivis kesenian, dan pengamat) yang
diandaikan bisa menjadi representasi para seniman dan dunia kesenian di
Indonesia.
Forum Persiapan KKI 2015 juga perlu
diadakan untuk menjawab pertanyaan: Apakah dalam KKI 2015 perlu diadakan atau
tidak? Dan jika perlu, apa isu utama yang sebaiknya diangkat untuk menjadi
kongres?
Selama dua hari forum Persiapan KKI 2015
berlangsung dan bermufakat, bahwa KKI 2015 perlu diadakan. Lewat Tim Perumus
forum itu kemudian menyepakati keputusan tentang tema KKI 2015, yakni,
“Kesenian dan Negara Dalam Arus Perubahan”, dengan tiga butir subtema,
sekaligus juga memasukkan poin “KKI 2015 diadakan di luar Jawa”.
Dalam proses selanjutnya, pasca forum
Persiapan KKI 2015, tanpa sedikit pun mencampuri atau mengubah tema dan
poin-poin yang termaktub dalam subtema pada keputusan Persiapan KKI 2015,
secara teknis Direktorat Kesenian ternyata tidak bisa meloloskan poin keputusan
tempat penyelenggaran KKI 2015, yakni, di luar Jawa.
Hal itu menyangkut kalkulasi teknis
anggaran jika KKI 2015 diadakan di luar Jawa. Dengan 700 peserta dan diadakan
di luar Jawa, KKI 2015 akan memakan biaya tinggi karena harus menempuh dua kali
penerbangan ke tempat berlangsungnya kongres, pulang-pergi. Demikian pula
dengan pertimbangan jumlah kamar hotel di luar Jawa dan fasilitas untuk sebuah
kongres dengan 700 peserta.
Alasan tersebut tentu saja mudah
dibantah. Apalagi konon adanya tawaran dari pemda sebuah propinsi di luar Jawa
yang bersedia menjadi tuan rumah, bahkan pemda propinsi tersebut konon pula
bersedia menanggung seluruh transportasi lokal. Demikian pula alasan tentang
fasilitas hotel yang ada di luar Jawa yang dianggap sebagai alasan mengada-ada
dan gegabah.
Tetapi, bantahan tersebut juga bisa
dijawab. Bahwa konon adanya tawaran dari sebuah propinsi di luar Jawa untuk
menjadi tuan rumah dan kesanggupan pemda setempat menanggung transportasi lokal
peserta, menimbulkan pertanyaan: Bagaimana prosedur penawaran itu diajukan?
Siapa yang mengajukan, dan kepada siapa diajukan? Lalu, apa yang dimaksud
dengan “menanggung transportasi lokal”; apakah transportasi peserta selama
berada di kota tempat berlangsungnya kongres?
Tentu ada banyak hotel di luar Jawa yang
bisa menampung 700 peserta. Namun, apakah itu ditampung dalam satu hotel dengan
ketersediaan sarana-prasarana bagi sebuah kongres, atau disebar di beberapa
hotel? Agar mencapai hasil yang maksimal Direktorat Kesenian sengaja ingin menampung
peserta di satu hotel yang sekaligus menjadi tempat berlangsungnya kongres,
agar peserta bisa menghadiri seluruh acara kongres tanpa terganggu oleh
keperluan-keperluan yang lain.
Baiklah. Anggap dan taruhlah ada hotel di
luar Jawa yang bisa menampung 700 peserta lengkap dengan fasilitas
sarana-prasarana yang diperlukan. Tetapi, tetaplah soal yang paling menentukan
ialah kendala anggaran jika diselenggarakan sebagaimana yang menjadi alasan
pihak Direktorat Kesenian. Untuk penyelenggaraan KKI 2015 ini saja biaya yang
mesti dikeluarkan, seperti disebutkan Direktur Kesenian Prof. Dr. Endang
Caturwati dalam jumpa pers, (3/9), adalah 8 miliar.
Dengan biaya sebesar itu pun sejumlah
kalangan menilai pelaksanaan KKI 2015 sebagai kegiatan mahal yang tak ada
gunanya, bahkan sebaiknya dibatalkan. Sementara jika dilaksanakan di luar Jawa,
dengan estimasi anggaran dua kali lipat, maka biaya yang diperlukan adalah 16 miliar.
Bahwa alasan tidak memilih tempat di luar
Jawa itu lantas dikaitkan dengan adanya percaloan oknum Direktorat Kesenian
demi kepentingan EO, sebagaimana yang ditudingkan, tudingan itu jadi
menyedihkan sebab KKI 2015 tidak dilaksanakan oleh EO, tetapi secara swakelola.
Jawaban-jawaban di atas tentu tidak akan
pernah memuaskan. Akan selalu ada celah untuk mengejarnya ke berbagai
pertanyaan dan persangkaan berikutnya. Tetapi, baiklah, mari kita kembali pada
pertanyaan sebelumnya yang jadi pangkal dari semua perkara, tentang posisi
keputusan Persiapan KKI 2015. Apakah keputusan Persiapan KKI 2015 itu merupakan
sebuah rekomendasi, atau suatu keharusan yang setiap butirnya wajib
dilaksanakan oleh Direktorat Kesenian sebagai institusi penyelenggara KKI?
Sekali lagi mesti dikatakan, sejak awal
forum pertemuan “Persiapan Kongres Kesenian Indonesia III 2015” di Bandung itu
diniatkan untuk menampung berbagai pandangan, pendapat, atau masukan yang
beragam dari para seniman tentang agenda pelaksanaan KKI 2015. Sejak hari
pembukaan acara Persiapan KKI 2015, hal itu telah disampaikan pada seluruh
peserta. Hasil atau keputusan Persiapan KKI 2015 tersebut merupakan masukan
atau rekomendasi yang diajukan pada Direktorat Kesenian yang bertindak selaku fasilitator.
Kita jangan pura-pura lupa, bahwa sebuah
rekomendasi tetaplah sebuah rekomendasi. Keharusan yang dimilikinya adalah
keharusan untuk dipertimbangkan (baik secara substansi atau teknis), bukan
suatu keharusan atau kemutlakan agar dilaksanakan dalam setiap poinnya. Secara
substansial, pihak Direktorat Kesenian memosisikan keputusan Persiapan KKI 2015
itu sebagai suatu keharusan untuk melaksanakannya; KKI 2015 harus dilaksanakan
dengan tema yang telah ditentukan sendiri oleh para seniman yang berkumpul
dalam forum Persiapan KKI 2015.
Akan tetapi, tidak demikian dengan
permasalahan teknis penyelenggaraan, yakni, keputusan ihwal tempat
diselenggarakannya KKI 2015. Dalam hal ini, sebagai fasilitator, Direktorat
kesenian tak bisa atau tidak memiliki kesanggupan anggaran untuk memfasilitasi
penyelenggaraan KKI 2015 di luar Jawa, sebagaimana termaktub dalam poin
keputusan Persiapan KKI 2015. Hal ini lepas dari kenyataan bahwa dalam
rekomendasi tersebut tidak terdapat kata “harus”, termasuk yang dilekatkan pada
kalimat “KKI 2015 diadakan di luar Jawa”.
Sebuah perhelatan besar seperti KKI 2015
memang tak akan pernah bisa memuaskan semua orang. Tentu saja amat bahkan
sangat disayangkan, mengapa akhirnya KKI 2015 tidak bisa dilaksanakan di luar
Jawa seperti yang telah diputuskan oleh para seniman lewat forum Persiapan KKI
2015, sehingga lagi-lagi hak-hak daerah di luar pulau Jawa disisihkan.
Anggapan itu tentu tidak salah, hanya
saja KKI 2015 juga harus berhadapan dengan pertimbangan teknis badan
penyelenggara, yakni, Diretorat Kesenian, institusi yang bertugas mengelola dan
bertanggungjawab atas anggaran. Situasi yang akhirnya memaksa orang untuk
bertolak-angsur. Dan di sinilah problemnya kemudian, ketika ternyata tidak
semua orang bersedia dan sudi bertolak-angsur dengan otoritas di luar dirinya,
untuk suatu urusan yang berada di luar tanggung jawab dirinya.
Tetapi apapun, sikap penolakan terhadap
KKI 2015, serupa apa juga alasan dan argumennya, tetaplah mesti dihargai
sebagai sebuah hak demi menyatakan suatu sikap. Dan KKI 2015 akan terus
berlangsung dengan penghargaan semacam itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar