Jumat, 06 November 2015

Pesisir Selatan Antara Kemurahan Alam dan Ancaman Bencana

OLEH Raudal Tanjung Banua
Sastrawan dan anggota IKPS-DIY
Polres Pesisir Selatan gelar operasi kemanusiaan dalam rangka penanggulangan bencana
Posisi Kabupaten Pesisir Selatan di tepian Samudera Indonesia serta berada di Lempeng Eurasia, berisiko besar dalam gempa bumi dan tsunami. Tapi alih-alih sebagai ancaman, bencana perlu dimaknai sebagai resiko bersama yang mesti dihadapi dengan kearifan dan keselamatan. Karena itu berbagai upaya terkait dengan mitigasi bencana mesti dilakukan secara sinergis dan menyeluruh.
Salah satu upaya dilakukan oleh Ikatan Keluarga Pesisir Selatan (IKPS) yang mengadakan seminar tentang mitigasi gempa dan tsunami di TMII Jakarta (23 Juli) lalu. Menghadirkan pembicara dari sejumlah kalangan, mulai ulama, pakar gempa, badan penanggulangan bencana, sampai bupati Pessel, Drs. Nasrul Abit, MM. Upaya ini tentu lebih pas jika diadakan di kampung-halaman, hal yang disadari oleh panitia; karenanya kegiatan serupa akan diadakan pula di Pessel nantinya.
Sembari “menunggu” realisasi janji pengurus IKPS, saya ingin berbagi rembug sedikit tentang kondisi di lapangan, khususnya dari sisi sosial dan budaya. Meski mengambil contoh kasus di Pessel, tapi boleh jadi merepresentasikan juga daerah lain di Sumbar, seperti Padang, Pariaman, Agam dan Pasaman.
Kemurahan Alam
Sesuai namanya, Pessel memiliki garis pantai (pesisir) sepanjang 232 km, membentang dari utara ke selatan. Penduduknya mencapai 510.000 jiwa, sebagian besar tinggal di kawasan pesisir atau dekat dengan laut, sisanya berada di kaki Bukit Barisan.
Laut dan bukit, merupakan dua potensi yang dimiliki daerah ini sekaligus. Di laut, terdapat sejumlah pulau kecil, bahkan jika ditarik garis lurus ke tengah sesungguhnya Kepulauan Mentawai juga berada di kawasan laut Pessel. Di sisi lain, Pegunungan Bukit Barisan mengapit daratan Pessel secara masif, membuat daratannya sangat sempit, hanya berkisar lebar 2-15 km saja. Selebihnya perbukitan yang mengurung kampung-kampung, dihubungkan jalan kecil (artileri) yang menjalar di celah gunung. Menurut Bupati Pessel, jumlah jalan jenis ini mencapai 74 ruas. Sebagian anak Bukit Barisan menjorok sampai ke laut, menjadi semacam benteng alam yang kokoh.  
Pessel juga memiliki banyak sungai dengan muaranya yang lebar, teluk dan tanjung, yang memberi kelenturan tersendiri bagi kontur wilayah dalam menghadapi keganasan Samudera Indonesia. Vegetasi alam dengan berbagai tumbuhan khas pesisir dan rawa juga tumbuh subur di kawasan ini, mulai dari sagu (rumbia), bakau, nipah, kundi, panai, karimuntiang sampai kayu angeh yang getahnya membuat kulit melepuh.
Kondisi alam yang digambarkan di atas, bila dilihat selintas akan terasa sebagai medan alam yang berat. Namun, jika dihayati dan renungkan, kondisi alam yang sulit itu justru bisa dikelola sebagai benteng pertahanan dalam menghadapi bencana, khususnya gempa dan tsunami yang beberapa tahun belakangan cukup menghantui.
Secara alamiah, bukit-bukit karang dan anak-anak Bukit Barisan yang menjorok sampai ke laut akan menjadi benteng alam dalam menghadapi serangan tsunami, sekaligus jadi tempat aman untuk evakuasi karena posisinya cukup tinggi. Begitu pula keberadaan pulau-pulau kecil di tepi pantai, setidaknya akan menjadi “pemecah gelombang” bagi arus tsunami.
Pessel juga beruntung memiliki garis pantai yang sejajar dengan Pulau Siberut dan Pagai, meski jauh di tengah, tapi keberadaannya mampu menjadi pembatas samudera yang luas. Tanpa bermaksud menjadikan penghuninya sebagai bumper, banyak pihak mengatakan, Kepulauan Mentawai berperan menjadi semacam “karang penghalang” bagi ombak dan gelombang besar, seperti Karang Penghalang di utara Australia—karena itu tugas kita bersama menjaga Mentawai dari segala hal.
Muara sungai yang lebar, termasuk teluk dan tanjung di Pessel, tentu juga secara alamiah berfungsi menyalurkan gelombang secara lebih merata sehingga kekuatannya bisa dikurangi. Tidak kalah penting adalah vegetasi pesisir yang diyakini bisa menjadi pemecah ombak atau gelombang sehingga hempasannya menjadi lebih jinak. Jalan-jalan di celah perbukitan yang menghubungkan daratan rendah dengan pegunungan, dengan sendirinya akan menjadi jalur evakuasi manakala ada gempa dengan potensi tsunami.
Perubahan Alam
Berkah alamiah tersebut tentu punya resikonya sendiri. Jalan yang melingkar di bawah bukit, misalnya, bisa saja longsor jika terjadi gempa besar; jembatan di atas sungai terancam rusak atau putus, dan seterusnya. Tentu, resiko orang hidup selalu ada. Sebuah pameo mengatakan,”jika takut gelombang, jangan berumah di tepi pantai.”
Persoalannya bukan takut, tapi bagaimana mengolah ancaman menjadi tak menakutkan. Itu artinya, kondisi alam dengan potensi yang diberikannya, mesti tak berhenti sebagai sesuatu yang alamiah belaka. Kesiap-siagaan menghadapi bencana bukanlah situasi yang terberi, namun mesti diciptakan terus-menerus lewat kewaspadaan, pengadaan fasilitas, pembangunan infrastruktur, menjaga alam, pelatihan dan seterusnya.
Sampai di sini, akan muncul pertanyaan: bagaimana kondisi alam kini? Apa kabar alam Pessel? Kita harus jujur melihat kenyataan bahwa alam Pessel sejatinya tidaklah aman dari ancaman; sebelum ancaman bencana dari alam itu sendiri, toh ancaman datang dari manusia penghuninya.
Lihatlah kenyataan berikut: vegetasi tanaman pantai mulai langka. Rumbia yang dulu biasa tumbuh rimbun dengan sagu-sagunya yang berguna di rawa pantai, kini mulai sulit ditemui. Sagu tak lagi jadi alternatif pangan, atap rumbia bukan lagi pilihan untuk rumah; bahkan pondok pun sekarang beratap seng. Padahal, lokasi sekitar pesisir membuat seng sangat panas, ditambah ancaman korosi (karat) oleh uap garam dari laut. Tapi toh atap rumbia yang secara ekonomis menghidupi banyak keluarga “tukang atu atok” mulai tak dilirik. Ini seiring hilang-lenyapnya rawa-rawa, sebagian mengering dangkal, sebagian ditimbun dijadikan pemukiman baru. Padahal, rawa-rawa merupakan semacam kawasan penyanggah antara pantai dengan daratan, di mana tumbuh subur vegetasi pesisir. Sekarang rawa-rawa mulai lenyap atau dilenyapkan.
Begitu pula di muara sungai, dulu kita dengan mudah menemukan kerimbunan pokok nipah yang buahnya enak dan daunnya bisa dijadikan rokok klobot. Sekarang, muara sungai boleh dikatakan tandus sebab kehilangan pokok nipah. Setali tiga uang, tanaman bakau di pantai dan laguna, juga berkurang baik karena tak dirawat maupun dijadikan kayu bakar. Tanpa upaya penanaman kembali. Bahkan semak-belukar seperti panai, pohon jarak dan kundi yang biasanya merimbuni pantai, di antara deretan pohon kelapa, kini pun sulit tersua.
Tengok pula kenyataan yang memiriskan hati bahwa sebagian dari alam tak luput tereksploitasi. Pantai Putih Kambang, misalnya, compang-camping karena pasirnya diperjualbelikan warga. Muara sungai besar juga dibiarkan dangkal oleh endapan tanpa ada upaya memperlebar/mengeruk. Beberapa bukit di pantai juga kerowak, misalnya Gunung Rajo di Surantih yang dulu diruntuh dan dipakai untuk memperluas Pelabuhan Teluk Bayur. Bukit lain yang potensial banyak dipakai untuk perkebunan dan berladang. Tak salah mengolah lahan tersebut, tapi perhatikan kondisi yang mengancam.
Misalnya, bukit terjal yang berpotensi longsor jelas tak layak dipakai untuk berkebun, lebih baik dihutankan saja. Saya tak tahu persis konsep pengelolaan Bukit Langkisau Painan; di satu sisi memang membuka lokasi wisata sekaligus dapat dijadikan jalur evakuasi, tapi apakah sudah diantisipasi kemungkinan lain seperti longsor (baik saat gempa maupun musim hujan) mengingat punggungnya sudah dibuka sedemikian rupa?
Perubahan Prilaku
Uraian di atas, baru menyangkut kondisi alam. Kita bisa lihat pula dari sisi perilaku manusianya. Misalnya, rumah-rumah kayu sekarang sudah tak lagi diminati; rumah-rumah kayu tua yang sesungguhnya aman dan nyaman, ramai-ramai diganti rumah beton yang konstruksinya belum tentu tahan gempa. Secara psikologis, orang yang bertahan di rumah kayu merasa malu dan berlomba membangun rumah batu. Padahal di tempat lain, seperti di Jawa dan Sulawesi, muncul kesadaran mempertahankan atau membangun rumah kayu dengan merujuk kearifan lokal. Minangkabau memiliki arsitektur memukau dalam rumah kayu, tidak saja keindahan dan keunikannya, juga ketahanan dan keamanannya; tak hanya berfungsi sebagai “rumah adat”, juga rumah tinggal yang nyaman. Pencapaian arstiektural semacam ini justru ditinggalkan.
Memang, sekarang kayu semakin sulit didapatkan dan semakin mahal, namun sesungguhnya Pessel punya potensi pohon kelapa yang merupakan jenis kayu olahan bermutu baik untuk berbagai keperluan termasuk perumahan. Di Jawa, pohon kelapa (glugu) bukan saja alternatif, tapi utama. Diakui, masyarakat kita merasa berat hati menebang kelapanya sebab program peremajaan kelapa tidak berjalan. Kelapa tua yang sebenarnya sudah tak produktif itu lalu tetap dijadikan andalan ekonomis, meski hasilnya sedikit. Apa boleh buat. Di sini tampak, bahwa perubahan sikap hidup masyarakat bukan kebetulan, tapi berkait-kelindan dengan sistem yang lebih besar, seperti dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat lewat peremajaan/budidaya tanaman.
Kemampuan masyarakat membaca prasyarat alam juga mulai berkurang, seiring lenyapnya tradisi/ritual serta kurang munculnya para jenius lokal (local genius). Bukan bermaksud meromantisir jika kita ingat kembali misalnya bagaimana tradisi mengobat padi di kalangan petani mulai ditinggalkan, tradisi balimau menjelang lebaran juga hilang makna, dan dalam konteks lautan, dulu warga cepat paham bahwa ada penyu “naik” atau bertelur hanya dengan mendengar dentuman ombak; nelayan tahu kapan laut akan pasang dari membaca kepak camar. Sekarang apakah kebijakan semacam itu masih terus ada?
Ironisnya, jalan-jalan artileri yang membentang ke pedalaman banyak dalam keadaan rusak, sehingga sulit dipakai sebagai jalur evakuasi. Paling menyedihkan, jalan Kambang-Muarolabuh (Kambura) yang sangat penting bagi jalur evakuasi sampai saat ini masih buntu. Pelatihan evakuasi juga kurang, atau ada, tapi lebih banyak di ibukota Painan, lalu bagaimana dengan kecamatan lain?
Gerakan Bersama
Kenyataan di atas memerlukan jalan keluar yang mesti diperhatikan oleh semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat. Gerakan bersama yang dapat dilakukan, di antaranya: Pertama, gerakan menjaga benteng alam. Pulau-pulau kecil di lepas pantai, bukit karang, anak-anak Bukit Barisan, muara sungai, rawa, laguna, teluk dan tanjung mesti dijaga dari kerusakan, baik alamiah seperti pendangkalan muara sungai, maupun oleh tangan tak bertanggung jawab seperti penambangan illegal. Benteng alam yang rusak, segera perbaiki, misal lewat penghijauan, pengerukan lumpur, dan sebagainya.
Kedua, gerakan menanam. Vegetasi khas pesisir harus dibudidayakan dan ditanami kembali, meliputi bakau (mangrove) di pantai, nipah di muara, sagu di rawa-rawa, pohon jarak dan kelapa di pantai. Pemerintah, pencinta alam, anak sekolah, Polri/TNI dan seluruh lapisan masyarakat mesti dilibatkan. Budidaya satwa khas pesisir juga perlu, mulai jenis ikan, penyu maupun burung. Sebab satwa juga bisa memberi isyarat alam sebagai pratanda bencana, sekaligus untuk meningkatkan ekonomi warga.
Ketiga, perbaiki fasilitas dan infrastruktur. Jalan artileri yang rusak mesti diperbaiki, tak semata untuk transportasi harian, juga jalur evakuasi jika datang bencana. Warga yang akan mendirikan bangunan dihimbau memenuhi syarat tahan gempa, jika perlu dikontrol pemerintah atau lembaga sosial, syukur ada subsidi; sementara rumah yang sudah berdiri bisa dicek dan dievaluasi apakah cukup aman atau perlu renovasi.
Keempat, lengkapi warga dengan alat dan latihan. Gempa memang tak bisa dideteksi, namun tsunami bisa diamati dengan alat pantau yang dipasang di setiap kawasan, tak hanya di ibukota kabupaten, juga di kecamatan. Latihan evakuasi, tak hanya diadakan di pusat pemerintahan, tapi merata; tak hanya semangat saat sering dihoyak gempa, juga “di masa tenang” sebagai bentuk kontinuitas penanganan bencana.
Kelima, perbanyak sumber informasi kebencanaan. Ini bisa dilakukan secara bertingkat mulai dari kabupaten sampai ke nagari; pengetahuan dan informasi gempa/tsunami disosialisasikan melalui penerangan, brosur atau program lain, sehingga warga tak cemas menghadapi alam. Informasi yang salah membuat warga panik. Perlu pula diciptakan pusat keramaian baru, di luar warung kopi atau pasar, tempat masyarakat tertarik berkumpul secara informal, misalnya membuat koran dinding di depan kantor wali nagari atau lokasi strategis lainnya.
Keenam, urus dan selesaikan jalan Kambura. Ini merupakan jalur utama jika suatu ketika terjadi bencana yang tak diharapkan. Kita tahu, jalan raya di Pessel sejak zaman “saisuak” adalah jalan “satu poros” yang merentang sepanjang pesisir. Ini sangat rawan. Jika tsunami datang, kondisinya bisa seperti pesisir Aceh, di mana jalannya langsung habis, jembatannya putus sehingga warga terkepung dan sulit mendapat bantuan. Memang ada jalan Kerinci-Tapan atau Alahanpanjang-Pasarbaru yang melintang dari gunung ke pantai, tapi lokasinya jauh di ujung; satu di utara, satu nun di selatan. Sementara penduduk Pessel di kawasan tengah (eks. Bandar Sepuluh) termasuk sangat padat. Lagi pula, untuk mencapai kedua kawasan itu tidaklah mudah, sebab harus memutar ke kabupaten bahkan propinsi tetangga.

Demikianlah pokok-pokok pikiran ini disampaikan untuk dijadikan pertimbangan pihak terkait. Semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...