OLEH Raudal Tanjung Banua
Sastrawan dan anggota IKPS-DIY
Polres Pesisir Selatan gelar operasi kemanusiaan dalam rangka penanggulangan bencana |
Posisi Kabupaten Pesisir Selatan di tepian
Samudera Indonesia serta berada di Lempeng Eurasia, berisiko besar dalam gempa
bumi dan tsunami. Tapi alih-alih sebagai ancaman, bencana perlu dimaknai
sebagai resiko bersama yang mesti dihadapi dengan kearifan dan keselamatan. Karena
itu berbagai upaya terkait dengan mitigasi bencana mesti dilakukan secara
sinergis dan menyeluruh.
Salah satu upaya dilakukan oleh Ikatan
Keluarga Pesisir Selatan (IKPS) yang mengadakan seminar tentang mitigasi gempa
dan tsunami di TMII Jakarta (23 Juli) lalu. Menghadirkan pembicara dari
sejumlah kalangan, mulai ulama, pakar gempa, badan penanggulangan bencana, sampai
bupati Pessel, Drs. Nasrul Abit, MM. Upaya ini tentu lebih pas jika diadakan di
kampung-halaman, hal yang disadari oleh panitia; karenanya kegiatan serupa akan
diadakan pula di Pessel nantinya.
Sembari “menunggu” realisasi janji pengurus
IKPS, saya ingin berbagi rembug sedikit tentang kondisi di lapangan, khususnya
dari sisi sosial dan budaya. Meski mengambil contoh kasus di Pessel, tapi boleh
jadi merepresentasikan juga daerah lain di Sumbar, seperti Padang, Pariaman, Agam
dan Pasaman.
Kemurahan Alam
Sesuai namanya, Pessel memiliki garis
pantai (pesisir) sepanjang 232 km, membentang dari utara ke selatan. Penduduknya
mencapai 510.000 jiwa, sebagian besar tinggal di kawasan pesisir atau dekat
dengan laut, sisanya berada di kaki Bukit Barisan.
Laut dan bukit, merupakan dua potensi yang
dimiliki daerah ini sekaligus. Di laut, terdapat sejumlah pulau kecil, bahkan
jika ditarik garis lurus ke tengah sesungguhnya Kepulauan Mentawai juga berada
di kawasan laut Pessel. Di sisi lain, Pegunungan Bukit Barisan mengapit daratan
Pessel secara masif, membuat daratannya sangat sempit, hanya berkisar lebar
2-15 km saja. Selebihnya perbukitan yang mengurung kampung-kampung, dihubungkan
jalan kecil (artileri) yang menjalar di celah gunung. Menurut Bupati Pessel,
jumlah jalan jenis ini mencapai 74 ruas. Sebagian anak Bukit Barisan menjorok
sampai ke laut, menjadi semacam benteng alam yang kokoh.
Pessel juga memiliki banyak sungai dengan
muaranya yang lebar, teluk dan tanjung, yang memberi kelenturan tersendiri bagi
kontur wilayah dalam menghadapi keganasan Samudera Indonesia. Vegetasi alam
dengan berbagai tumbuhan khas pesisir dan rawa juga tumbuh subur di
kawasan ini, mulai dari sagu (rumbia), bakau, nipah, kundi, panai, karimuntiang
sampai kayu angeh yang getahnya membuat kulit melepuh.
Kondisi alam yang digambarkan di atas, bila
dilihat selintas akan terasa sebagai medan alam yang berat. Namun, jika dihayati
dan renungkan, kondisi alam yang sulit itu justru bisa dikelola sebagai benteng
pertahanan dalam menghadapi bencana, khususnya gempa dan tsunami yang beberapa
tahun belakangan cukup menghantui.
Secara alamiah, bukit-bukit karang dan
anak-anak Bukit Barisan yang menjorok sampai ke laut akan menjadi benteng alam dalam
menghadapi serangan tsunami, sekaligus jadi tempat aman untuk evakuasi karena
posisinya cukup tinggi. Begitu pula keberadaan pulau-pulau kecil di tepi
pantai, setidaknya akan menjadi “pemecah gelombang” bagi arus tsunami.
Pessel juga beruntung memiliki garis pantai
yang sejajar dengan Pulau Siberut dan Pagai, meski jauh di tengah, tapi
keberadaannya mampu menjadi pembatas samudera yang luas. Tanpa bermaksud
menjadikan penghuninya sebagai bumper, banyak pihak mengatakan,
Kepulauan Mentawai berperan menjadi semacam “karang penghalang” bagi ombak dan
gelombang besar, seperti Karang Penghalang di utara Australia—karena itu tugas
kita bersama menjaga Mentawai dari segala hal.
Muara sungai yang lebar, termasuk teluk dan
tanjung di Pessel, tentu juga secara alamiah berfungsi menyalurkan gelombang secara
lebih merata sehingga kekuatannya bisa dikurangi. Tidak kalah penting adalah
vegetasi pesisir yang diyakini bisa menjadi pemecah ombak atau gelombang
sehingga hempasannya menjadi lebih jinak. Jalan-jalan di celah perbukitan yang
menghubungkan daratan rendah dengan pegunungan, dengan sendirinya akan menjadi
jalur evakuasi manakala ada gempa dengan potensi tsunami.
Perubahan Alam
Berkah alamiah tersebut tentu punya resikonya
sendiri. Jalan yang melingkar di bawah bukit, misalnya, bisa saja longsor jika
terjadi gempa besar; jembatan di atas sungai terancam rusak atau putus, dan
seterusnya. Tentu, resiko orang hidup selalu ada. Sebuah pameo mengatakan,”jika
takut gelombang, jangan berumah di tepi pantai.”
Persoalannya bukan takut, tapi bagaimana mengolah ancaman
menjadi tak menakutkan. Itu artinya, kondisi alam dengan potensi yang
diberikannya, mesti tak berhenti sebagai sesuatu yang alamiah belaka.
Kesiap-siagaan menghadapi bencana bukanlah situasi yang terberi, namun mesti
diciptakan terus-menerus lewat kewaspadaan, pengadaan fasilitas, pembangunan
infrastruktur, menjaga alam, pelatihan dan seterusnya.
Sampai di sini, akan muncul pertanyaan: bagaimana kondisi
alam kini? Apa kabar alam Pessel? Kita harus jujur melihat kenyataan bahwa alam
Pessel sejatinya tidaklah aman dari ancaman; sebelum ancaman bencana dari alam
itu sendiri, toh ancaman datang dari manusia penghuninya.
Lihatlah kenyataan berikut: vegetasi tanaman pantai mulai
langka. Rumbia yang dulu biasa tumbuh rimbun dengan sagu-sagunya yang berguna
di rawa pantai, kini mulai sulit ditemui. Sagu tak lagi jadi alternatif pangan,
atap rumbia bukan lagi pilihan untuk rumah; bahkan pondok pun sekarang beratap
seng. Padahal, lokasi sekitar pesisir membuat seng sangat panas, ditambah
ancaman korosi (karat) oleh uap garam dari laut. Tapi toh atap rumbia yang
secara ekonomis menghidupi banyak keluarga “tukang atu atok” mulai tak dilirik.
Ini seiring hilang-lenyapnya rawa-rawa, sebagian mengering dangkal, sebagian
ditimbun dijadikan pemukiman baru. Padahal, rawa-rawa merupakan semacam kawasan
penyanggah antara pantai dengan daratan, di mana tumbuh subur vegetasi pesisir.
Sekarang rawa-rawa mulai lenyap atau dilenyapkan.
Begitu pula di muara sungai, dulu kita dengan mudah
menemukan kerimbunan pokok nipah yang buahnya enak dan daunnya bisa dijadikan
rokok klobot. Sekarang, muara sungai boleh dikatakan tandus sebab kehilangan
pokok nipah. Setali tiga uang, tanaman bakau di pantai dan laguna, juga
berkurang baik karena tak dirawat maupun dijadikan kayu bakar. Tanpa upaya
penanaman kembali. Bahkan semak-belukar seperti panai, pohon jarak dan kundi
yang biasanya merimbuni pantai, di antara deretan pohon kelapa, kini pun sulit
tersua.
Tengok pula kenyataan yang memiriskan hati bahwa sebagian
dari alam tak luput tereksploitasi. Pantai Putih Kambang, misalnya, compang-camping
karena pasirnya diperjualbelikan warga. Muara sungai besar juga dibiarkan
dangkal oleh endapan tanpa ada upaya memperlebar/mengeruk. Beberapa bukit di
pantai juga kerowak, misalnya Gunung Rajo di Surantih yang dulu diruntuh dan
dipakai untuk memperluas Pelabuhan Teluk Bayur. Bukit lain yang potensial
banyak dipakai untuk perkebunan dan berladang. Tak salah mengolah lahan
tersebut, tapi perhatikan kondisi yang mengancam.
Misalnya, bukit terjal yang berpotensi longsor jelas tak
layak dipakai untuk berkebun, lebih baik dihutankan saja. Saya tak tahu persis
konsep pengelolaan Bukit Langkisau Painan; di satu sisi memang membuka lokasi
wisata sekaligus dapat dijadikan jalur evakuasi, tapi apakah sudah diantisipasi
kemungkinan lain seperti longsor (baik saat gempa maupun musim hujan) mengingat
punggungnya sudah dibuka sedemikian rupa?
Perubahan Prilaku
Uraian di atas, baru menyangkut kondisi alam. Kita bisa lihat
pula dari sisi perilaku manusianya. Misalnya, rumah-rumah kayu sekarang sudah
tak lagi diminati; rumah-rumah kayu tua yang sesungguhnya aman dan nyaman,
ramai-ramai diganti rumah beton yang konstruksinya belum tentu tahan gempa. Secara
psikologis, orang yang bertahan di rumah kayu merasa malu dan berlomba
membangun rumah batu. Padahal di tempat lain, seperti di Jawa dan Sulawesi, muncul
kesadaran mempertahankan atau membangun rumah kayu dengan merujuk kearifan
lokal. Minangkabau memiliki arsitektur memukau dalam rumah kayu, tidak saja
keindahan dan keunikannya, juga ketahanan dan keamanannya; tak hanya berfungsi
sebagai “rumah adat”, juga rumah tinggal yang nyaman. Pencapaian arstiektural
semacam ini justru ditinggalkan.
Memang, sekarang kayu semakin sulit didapatkan dan
semakin mahal, namun sesungguhnya Pessel punya potensi pohon kelapa yang
merupakan jenis kayu olahan bermutu baik untuk berbagai keperluan termasuk
perumahan. Di Jawa, pohon kelapa (glugu) bukan saja alternatif, tapi utama.
Diakui, masyarakat kita merasa berat hati menebang kelapanya sebab program
peremajaan kelapa tidak berjalan. Kelapa tua yang sebenarnya sudah tak
produktif itu lalu tetap dijadikan andalan ekonomis, meski hasilnya sedikit.
Apa boleh buat. Di sini tampak, bahwa perubahan sikap hidup masyarakat bukan
kebetulan, tapi berkait-kelindan dengan sistem yang lebih besar, seperti dalam
upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat lewat peremajaan/budidaya tanaman.
Kemampuan masyarakat membaca prasyarat alam juga mulai
berkurang, seiring lenyapnya tradisi/ritual serta kurang munculnya para jenius
lokal (local genius). Bukan bermaksud meromantisir jika kita ingat
kembali misalnya bagaimana tradisi mengobat padi di kalangan petani mulai
ditinggalkan, tradisi balimau menjelang lebaran juga hilang makna, dan
dalam konteks lautan, dulu warga cepat paham bahwa ada penyu “naik” atau
bertelur hanya dengan mendengar dentuman ombak; nelayan tahu kapan laut akan
pasang dari membaca kepak camar. Sekarang apakah kebijakan semacam itu masih
terus ada?
Ironisnya, jalan-jalan artileri yang membentang ke
pedalaman banyak dalam keadaan rusak, sehingga sulit dipakai sebagai jalur
evakuasi. Paling menyedihkan, jalan Kambang-Muarolabuh (Kambura) yang sangat
penting bagi jalur evakuasi sampai saat ini masih buntu. Pelatihan evakuasi
juga kurang, atau ada, tapi lebih banyak di ibukota Painan, lalu bagaimana
dengan kecamatan lain?
Gerakan Bersama
Kenyataan di atas memerlukan jalan keluar yang mesti
diperhatikan oleh semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat. Gerakan
bersama yang dapat dilakukan, di antaranya: Pertama, gerakan menjaga
benteng alam. Pulau-pulau kecil di lepas pantai, bukit karang, anak-anak Bukit
Barisan, muara sungai, rawa, laguna, teluk dan tanjung mesti dijaga dari kerusakan,
baik alamiah seperti pendangkalan muara sungai, maupun oleh tangan tak
bertanggung jawab seperti penambangan illegal. Benteng alam yang rusak, segera perbaiki,
misal lewat penghijauan, pengerukan lumpur, dan sebagainya.
Kedua, gerakan menanam. Vegetasi khas pesisir harus
dibudidayakan dan ditanami kembali, meliputi bakau (mangrove) di pantai,
nipah di muara, sagu di rawa-rawa, pohon jarak dan kelapa di pantai.
Pemerintah, pencinta alam, anak sekolah, Polri/TNI dan seluruh lapisan
masyarakat mesti dilibatkan. Budidaya satwa khas pesisir juga perlu, mulai
jenis ikan, penyu maupun burung. Sebab satwa juga bisa memberi isyarat alam
sebagai pratanda bencana, sekaligus untuk meningkatkan ekonomi warga.
Ketiga, perbaiki fasilitas dan infrastruktur. Jalan artileri
yang rusak mesti diperbaiki, tak semata untuk transportasi harian, juga jalur evakuasi
jika datang bencana. Warga yang akan mendirikan bangunan dihimbau memenuhi
syarat tahan gempa, jika perlu dikontrol pemerintah atau lembaga sosial, syukur
ada subsidi; sementara rumah yang sudah berdiri bisa dicek dan dievaluasi
apakah cukup aman atau perlu renovasi.
Keempat, lengkapi warga dengan alat dan latihan. Gempa memang tak
bisa dideteksi, namun tsunami bisa diamati dengan alat pantau yang dipasang di
setiap kawasan, tak hanya di ibukota kabupaten, juga di kecamatan. Latihan
evakuasi, tak hanya diadakan di pusat pemerintahan, tapi merata; tak hanya semangat
saat sering dihoyak gempa, juga “di masa tenang” sebagai bentuk kontinuitas
penanganan bencana.
Kelima, perbanyak sumber informasi kebencanaan. Ini bisa
dilakukan secara bertingkat mulai dari kabupaten sampai ke nagari; pengetahuan
dan informasi gempa/tsunami disosialisasikan melalui penerangan, brosur atau
program lain, sehingga warga tak cemas menghadapi alam. Informasi yang salah
membuat warga panik. Perlu pula diciptakan pusat keramaian baru, di luar warung
kopi atau pasar, tempat masyarakat tertarik berkumpul secara informal, misalnya
membuat koran dinding di depan kantor wali nagari atau lokasi strategis
lainnya.
Keenam, urus dan selesaikan jalan Kambura. Ini merupakan jalur
utama jika suatu ketika terjadi bencana yang tak diharapkan. Kita tahu, jalan
raya di Pessel sejak zaman “saisuak” adalah jalan “satu poros” yang merentang
sepanjang pesisir. Ini sangat rawan. Jika tsunami datang, kondisinya bisa
seperti pesisir Aceh, di mana jalannya langsung habis, jembatannya putus
sehingga warga terkepung dan sulit mendapat bantuan. Memang ada jalan
Kerinci-Tapan atau Alahanpanjang-Pasarbaru yang melintang dari gunung ke
pantai, tapi lokasinya jauh di ujung; satu di utara, satu nun di selatan. Sementara
penduduk Pessel di kawasan tengah (eks. Bandar Sepuluh) termasuk sangat padat.
Lagi pula, untuk mencapai kedua kawasan itu tidaklah mudah, sebab harus memutar
ke kabupaten bahkan propinsi tetangga.
Demikianlah pokok-pokok pikiran ini disampaikan untuk
dijadikan pertimbangan pihak terkait. Semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar