OLEH Mayonal Putra
Staf Pengajar
LPGM-Padang dan Anggota LPPI Sumatera Barat
“Sekolahlah tinggi-tinggi, kelak kau akan kaya, akan
mendapatkan pekerjaan yang hebat, akan melepaskan keluargamu dari jeritan
kemiskinan, akan…” Pesan
seorang ayah kepada anaknya.
Apa jadinya, kalau pemahaman tentang
kebergunaan pendidikan itu hanyalah mendapatkan pekerjaan dengan upah layak.
Tidak sedikit orangtua, menjadikan orientasi
masuk sekolah/perguruan tinggi tetentu, bagi anak-anaknya, mengharapkan kelak
si anak dapat pekerjaan yang mampu mendongkrak stratafikasi sosial keluarga. Orientasi
pendidikan yang pragmatis ini, akan cenderung menghasilkan individu-individu
yang pragmatis pula, dikemudian hari.
Salah satu penyebab bertambahnya angka
pengangguran setiap tahun, yang didominan oleh (mereka) lulusan perguruan
tinggi, adalah gengsi. Karena, persepsi yang dibangun dari awal memasuki dunia
pendidikan (perguruan tinggi), mendapatkan pekerjaan yang bergengsi. Seiring
perkembangan zaman, seberapa persen betul, pekerjaan—dalam pandangan sarjana
itu—yang tersedia dan mampu menampung ribuan lulusan perguruan tinggi setiap
tahunnya? Menurut data Biro Pusat Statistik (BPS), menyebutkan jumlah sarjana,
pada Februari 2007 sebanyak 409.900 orang. Setahun menjadi 626.200 orang. Jika
tiap tahun rata-rata bertambah 216.300 orang, ditaksir sekitar 2012 jumlah
pengangguran dari lulusan perguruan tinggi tingkat sarjana, lebih 1 juta orang.
Belum termasuk hitungan, lulusan diploma (D3, D2, D1, dan SMA).
Negara tidak pernah menggaransi—perihal harapan
pendidikan yang dirumuskan secara nasional—untuk memasukkan (mereka) ke dunia
kerja yang jelas. Harapan (negara) terhadap pendidikan, termaktub di dalam UU nomor
20 tahun 2003 Bab II pasal 3, dituliskan: “Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Jauh panggang dari api, ketika harapan
pendidikan yang paling utama adalah pekerjaan. Semestinya menjadi penyadaran bagi seluruh
pihak (masyarakat, orang tua, sekolah/perguruan tinggi, siswa/mahasiswa), bahwa
“pekerjaan” sebagai sisi pragmatis dari harapan pendidikan, harusnya menjadi
harapan kedua. Klausul undang-undang tersebut, memberikan implikasi kepada
seluruh pelaku pendidikan agar mengorientasikan pendidikan untuk membangun
karakter peserta didik yang mempunyai ciri-ciri pribadi sebagaimana tercantum
dalam tujuan tersebut.
Kegagalan
Melihat hasil pendidikan dewasa ini, yang
kadang kala, masyarakat awam tidak percaya lagi (untuk memasukkan
anak-kemenakannya) ke dunia pendidikan yang lebih tinggi, sebenarnya menunjukkan
sebuah kesimpulan, bahwa lembaga pendidikan, sekolah/perguruan tinggi (formal,
informal, non formal) gagal dalam menanamkan hakikat pendidikan kepada
siswa/mahasiswanya, yang biasanya dikemas dalam bentuk orientasi.
Kegagalan lembaga pendidikan tersebut,
cenderung tidak akan mewujudkan harapan pendidikan yang dilalui, baik bagi diri
yang bersangkutan, apalagi bagi masyarakat. Sehingga siswa/mahasiswa sebagai
objek dari sekolah/perguruan tinggi menjadi orang-orang yang mengawang, tidak
tahu arah, tidak tahu tujuan dan fungsi dari apa yang mereka jalani, kecuali mereka
hanya mengganggap tugas-tugas pendidikan adalah sebuah tanggung jawab yang
dijalani dengan terpaksa, tidak terlahir dari dalam diri, dan mengesankan bahwa
sekolah/kuliah hanya sebuah prestise.
Padahal, sekolah/perguruan tinggi
mempunyai jadwal untuk menanamkan orientasi kepada siswa/mahasiswa baru setiap
tahunnya. Kalau di sekolah biasanya disebut masa orientasi siswa (MOS), sedang
di perguruan tinggi mempunyai istilah yang berbeda-beda (Unand disebut Bhakti,
IAIN IB disebut Opak, UNP disebut PKMB). Masa itu sebetulnya adalah masa orientasi.
Masa dimana diarahkan serta ditanamkan kepada siswa/mahasiswa hakikat pendidikan
yang akan dijalani untuk beberapa tahun ke depan. Tujuannya untuk membangun
karakter pribadi, cakap, kreatif dan lain sebagainya.
Tidak adanya orientasi yang jelas oleh
pihak sekolah kepada siswanya, yang seharusnya ditanamkan semenjak siswa itu
pertama sekali sekolah, tepatnya pada masa orientasi siswa (MOS), maka siswa
selaku objek dari sekolah tidak sepenuhnya menyadari, bahwa pendidikan itu
adalah haknya, sebagai wahana untuk mengoptimalkan potensi, dalam rangka
menumbuhkan karakter diri.
Kemudian, sekolah/perguruan tinggi dengan
seluruh elemennya, selalu menggiring siswa/mahasiswanya agar tidak melenceng
dari harapan pendidikan yang termaktub dalam undang-undang nomor 20 tahun 2003
tersebut.
AOrientasi pendidikan tersebut dapat
dipahami, ketika seluruh unsur dalam sebuah sekolah/perguruan tinggi tahu dengan
fungsi pendidikan. Fungsi pendidikan itu dirumuskan oleh Syamsu Yusuf LN ke
dalam 3 (tiga) hal. Pertama, fungsi
pengembangan. Menegaskan bahwa pendidikan bertanggung jawab untuk mengembangkan
potensi atau keunikan individu, baik yang terkait dengan aspek intelektual,
emosional, sosial, maupun moral spiritual. Kedua,
fungsi penyesuaian. Dalam hal ini, Syamsu Yusuf—pakar pendidikan UPI
Bandung—menegaskan bahwa pendidikan harus dapat memfasilitasi perkembangan
karakteristik individu. Upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam hal itu
diantaranya adalah metode pembelajaran yang harus variatif, kaya, dan tidak menoton.
Kemudian menyelenggarakan kegiatan ekstrakurikuler sebagai media pengembangan,
baik bakat maupun minat siswa/mahasiswa.
Siswa/mahasiswa bukanlah robot yang harus
dipaksa dalam masalah akademik semata. Mengasah kemampuan kognitif saja tidak
akan menghasilkan lulusan yang luwes serta bersahaja. Maka perlu keseimbangan
antara aspek kognitif, afektif serta psikomotorik. Ekstra kurikuler, merupakan
wadah penyeimbang diantara ketiga aspek tersebut.
Jika diperhatikan lebih lanjut,
pendidikan (kita) bermasalah dalam hal ini. Indonesia, menjadwalkan jam
pelajaran tingkat sekolah dasar sekitar 1400 jam per tahun, sedangakan,
Unesco—badan yang membidangi pendidikan di PBB—hanya menjadwalkan jam pelajaran
dalam pendidikan dasar sekitar 800 jam per tahun.
Usia anak mempengaruhi penyusunan jadwal,
dan kurikulum pendidikan. Tidak mungkin anak usia bermain dipaksa untuk belajar
dari pagi sampai malam, sehingga tidak ada peluang baginya untuk berinteraksi
dengan teman sama besarnya, dan tidak pula kesempatan baginya untuk bermain.
JJ.Rosseau, sebagi bapak psikologi romantika, menyebutkan,”biarkan anak
bermain, berikan kebebesan kepadanya”,. Ini bertujuan agar perkembangannya
tidak tertaganggu.
Ada lagi kasus di sekolah bertaraf
international, yang marak sejak 4 tahun silam. Dimana siswa yang membayar
mahal, dilayani dengan pola khusus untuknya, agar mereka dapat memanfaatkan
waktu untuk menguasai mata pelajaran saja, lalu diberikan fasilitas lengkap,
tidak boleh dimarahi guru. Ini dianggap sebagai program pendidikan yang paling
berkwalitas. Padahal banyak sekali “tidak sesuainya” dengan cita-cita dan
orientasi pendidikan nasional secara
ideal. Adanya pembedaan cara, gaya, pelayanan serta fasilitas belajar antara
anak regular dengan anak non regular (bertaraf internasional)
tersebut, mengindikasikan bahwa pihak sekolah bagai memijak betung sebelah.
Di sekolah/perguruan tinggi yang
mewajibkan, bahwa akademik adalah hal yang paling utama dan tidak bisa di ganggu-gugat,
cendrung mengabaikan wahana pengembangan diri peserta didik yang disebut
kegiatan ekstrakurikuler tadi.
Fungsi ketiga adalah fungsi integratif. Fungsi ini sangat pokok.
Menegaskan pendidikan harus mampu mengintegrasikan nilai-nilai sosial budaya
kedalam kehidupan para peserta didik, seperti menyangkut tata karma,
solidaritas, toleransi, kooperasi, kolaborasi dan empati.
Mengatasi penganguran dari golongan
terdidik, musti dijenguk keakar masalahnya. Sejauhmana masyarakat, termasuk
keluarga, serta orang yang sedang menjalani pendidikan mampu menelaah bahwa
hakikat pendidikan itu tidaklah bersifat pragmatis, tapi lebih kenilai individu
yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab. Kesemuanya itu menjadi penyadaran bersama, maka
orang-orang yang menjalani pendidikan, bertanggung jawab untuk hidupnya serta
pekerjaannya, sebagai out put dari
pendidikan yang telah dijalani bertahun-tahun. Untuk menumbuh-kembangkan
penyadaran itu, lembaga pendidikan, sekolah/perguruan tinggi mempunyai posisi
yang strategis.
Agar orientasi pendidikan itu terlaksana
sebagaimana idealnya, selayaknya dunia pendidikan tidak ditangani oleh
orang-orang non pendidikan. Dan tidak pula dapat disentuh oleh kepentingan-kepentingan
tertentu, apalagi terjebak kedalam politik praktis.
Untuk mengatasi masalah pendidikan, yang
semakin semrawut, haruslah dengan budi pekerti yang luhur. Sebab, pelaksana
pendidikan, dalam hal ini guru, menyadari betapa pentingnya profesinya itu
untuk memajukan peradaban bangsa melalui pendidikan. Harapan kedua, yang
berorientasi kepada pekerjaan, akan mengikut saja setelah seseorang lulus
sekolah/perguruan tingggi, ketika dalam prosesnya ia benar-benar menyadari dan
menekuni, bahwa pendidikn itu orientasinya adalah moral, cakap, kreatif serta
bertanggung jawab. Semoga!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar