OLEH Nora Eka
Putri
Dosen Fakultas Ilmu Sosial UNP
Pendidikan, tidak saja
mengajarkan keilmuan akan tetapi juga sikap dan tingkah laku, sehingga sering
kita dengar dalam pepatah usang maupun kiasan kontemporer bahwa orang yang
berilmu adalah orang yang jujur dan menjadi teladan bagi orang lain.
Faktanya dalam kehidupan
saat ini kejujuran adalah hal yang teramat mahal sehingga sulit ditemukan
nilai-nilai kejujuran terutama di dalam kehidupan sehari-hari. Semua aspek
kehidupan tidak sepenuhnya menjunjung nilai-nilai kejujuran. Sebut saja dunia
politik, dunia media, perekonomian, pendidikan, dan sosial budaya masyarakat.
Malah ranah pribadi hubungan kasih sayang dua manusia, baik dalam hubungan
pacaran ataupun ikatan perkawinan, banyak yang dimanipulasi, penuh intrik dan
kamuflase, sehingga setiap langkah dan tindakan yang dilakukan menjadi suatu
hal yang skeptis dan penuh curiga.
Uraian panjang akan
menghiasi penjelasan dari setiap aspek di atas. Hal yang menjadi perhatian
penting demi keberlangsungan kehidupan berbangsa, bernegara dan beragama salah
satunya adalah kejujuran dalam pendidikan. Bicara tentang pendidikan sebenarnya
terdiri dari beberapa bagian; pendidikan formal, pendidikan non formal,
pendidikan agama dan lain sebagainya.
Pendidikan merupakan
proses mentransfer ilmu dan pengetahuan tanpa meninggalkan pengajaran tentang
sikap dan tingkah laku kepada peserta didik. Mungkin tidak saja saat ini
(bahkan di masa lalu), namun hal yang cukup memprihatinkan dalam proses
pendidikan adalah kejujuran dalam penyelesaian tugas dan tanggungjawab yang
diberikan kepada peserta didik (pengerjaan tugas dan ujian bagi peserta didik).
Hampir semua orang di
Indonesia mengecap pendidikan (formal maupun informal), sehingga berbicara
tentang pendidikan bukanlah hal yang baru bagi setiap orang. Sangat urgen
ketika banyak di antara peserta didik yang mengerjakan tugas dan ujian dengan
cara yang curang atau tidak jujur. Banyak dijumpai siswa bahkan mahasiswa yang
melakukan ujian dengan cara yang tidak jujur. Berbagai faktor mempengaruhi
terjadinya kondisi demikian.
Proses “pembohongan”
yang dilakukan oleh siswa maupun mahasiswa dahulu memang tidak separah yang
terjadi saat ini. Lingkungan adalah faktor yang mempengaruhi perkembangan
mental dan kepribadian seseorang. Ketika lingkungannya sulit menemukan nilai
kejujuran dan keteladanan maka kepribadian seseorang tidak jauh berbeda dengan
kondisi tempat mereka hidup dan menjalani kehidupan.
Selain faktor internal,
beberapa pengaruh eksternal menjadi alasan mahalnya kejujuran bagi siswa atau
mahasiswa dalam mengerjakan tugas dan ujian. Saat ini orientasi siswa atau
mahasiswa adalah perolehan nilai dengan grade
maksimal, sebab pendidikan di Indonesia, terutama pendidikan formal diukur
dengan statistik nilai akhir bukan proses pembelajaran seorang siswa atau
mahasiswa, sehingga bagaimanapun caranya siswa atau mahasiswa akan berusaha
untuk mendapatkan nilai yang maksimal.
Kemudian pencapaian
gelar pendidikan yang lebih tinggi juga menjadi ukuran pendidikan di Indonesia
meskipun ketika gelar sudah didapatkan siswa atau mahasiswa barangkali sulit
untuk menjelaskan kompetensi yang sudah didapatkannya dari proses pendidikan
dan pengajaran yang ditempuh.
Pertanyaan di dalam
wawancara pekerjaan pun adalah seputar gelar dan hal yang bersifat simbolis dan
jarang mengkonfirmasi substansi dari keahlian yang sudah didapatkan oleh siswa
atau mahasiswa selama menempuh pendidikan dan relevansi dengan tugas dan
tanggungjawab pekerjaan yang akan diembannya. Beberapa alasan tersebut adalah
faktor ketidakjujuran siswa atau mahasiswa dalam pengerjaan tugas dan ujian
yang diberikan oleh guru atau dosen mereka.
Namun demikian, tidak
dipungkiri bahwa tidak semua siswa atau mahasiswa yang berlaku tidak jujur,
masih ada siswa atau mahasiswa yang sungguh-sungguh dalam pengerjaan tugas dan
ujian akan tetapi jumlahnya tidak signifikan. Melihat contekan atau catatan kecil (atau yang dikenal dengan istilah
jimat) adalah hal biasa bagi siswa atau mahasiswa. Berbagai tingkah dan pola
tidak jujur dilakukan untuk memudahkan pengerjaan ujian dengan hasil maksimal.
Guru atau dosen tidak
lagi menjadi “pengawas” dalam pelaksanaan ujian, akan tetapi ”diawasi” oleh
siswa atau mahasiswa. Gerak-gerik guru atau dosen adalah pertarungan dalam
ujian. Ironisnya kondisi tersebut terjadi pada lingkungan pendidikan yang
nantinya akan menghasilkan intelektual seperti perguruan tinggi, lebih ironis
lagi ketika perguruan tinggi tersebut adalah perguruan tinggi yang menghasilkan
seorang ”pendidik”. Demi hasil “simbolis” mahasiswa telah kehilangan moralitas
dan rasionalitas.
Ketika siswa atau
mahasiswa disalahkan karena kondisi tersebut, mereka berdalih hal itu dilakukan
karena tidak paham dengan penjelasan guru atau dosen. Bertanya kepada guru atau
dosen, mereka menampik hal itu terjadi karena siswa atau mahasiswa tidak mau
berusaha dan belajar sungguh-sungguh.
Meminta penjelasan dari
pemerintah pun tidak menyelesaikan persoalan, karena bagi mereka sistem
bersifat relatif dan menyesuaikan dengan kebutuhan dan yang paling penting UU
dibuat untuk kesejahteraan masyarakat termasuk UU tentang pendidikan. Saling
tuding, itulah kebiasaan bangsa Indonesia, dan akan lebih baik jika berbenah
diri pada masing-masing unsur yang terkait dengan persoalan itu. Pengerjaan
tugas dan ujian secara curang oleh siswa atau mahasiswa memperlihatkan bahwa
rendahnya moralitas dan kejujuran siswa atau mahasiswa.
Pencerdasan moral adalah
hal yang sangat penting meskipun terkadang sangat utopis, akan tetapi hal
tersebut adalah hal utama yang harus dilakukan. Perbaikan moralitas siswa atau
mahasiswa dapat dilakukan melalui proses pembelajaran, bahwa pembelajaran bukan
memberikan teks ilmu saja akan tetapi proses transfer of knowledge, konstruksi berpikir bahwa pendidikan dan
ilmu itu adalah hal yang tidak bisa dipisahkan dan berpengaruh bagi proses
berpikir dan bertindak seseorang. Kemudian aspek lingkungan juga harus
diperbaiki termasuk sistem dan regulasi pemerintah.
Peraturan perundangan
yang terkait dengan pendidikan juga harus mendukung perbaikan moral bagi pegiat
pendidikan dan juga peserta didik sehingga proses peningkatan kualitas
pendidikan berkesinambungan dan komprehensif. Dan yang tidak kalah pentingnya
adalah pendidikan agama bagi siswa dan mahasiswa. Tidak ada satu pun agama di
Indonesia yang menafikan kejujuran. Kejujuran adalah hal yang sangat penting dan
diakui oleh seluruh agama di Indonesia. Oleh sebab itu peran agama sangat
penting dalam melahirkan pribadi-pribadi yang jujur apalagi bagi penerus
bangsa.
Dimulai dari proses yang
kecil dan sederhanalah sebuah kejujuran dapat dibuktikan dan dipertahankan,
sehingga tidak akan ada lagi kasus korupsi, penipuan, pembunuhan dan hal yang
merugikan rakyat. Degradasi moral dan kasus-kasus hukum yang terjadi di
Indonesia salah satunya adalah karena tidak adanya kejujuran, akan tetapi hal
itu bukan berarti tidak bisa di atasi. Optimisme harus tetap dipelihara dengan
melakukan perbaikan kualitas hidup termasuk memperbaiki sikap siswa dan
mahasiswa dalam pengerjaan tugas dan ujian dalam menyelesaikan pendidikan, dan
semua itu adalah tugas kita bersama terutama para pegiat pendidikan dan
pengajaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar