Kamis, 05 November 2015

Kejujuran yang Kian Langka dalam Dunia Pendidikan

OLEH Nora Eka Putri

Dosen Fakultas Ilmu Sosial UNP

Pendidikan, tidak saja mengajarkan keilmuan akan tetapi juga sikap dan tingkah laku, sehingga sering kita dengar dalam pepatah usang maupun kiasan kontemporer bahwa orang yang berilmu adalah orang yang jujur dan menjadi teladan bagi orang lain.

Faktanya dalam kehidupan saat ini kejujuran adalah hal yang teramat mahal sehingga sulit ditemukan nilai-nilai kejujuran terutama di dalam kehidupan sehari-hari. Semua aspek kehidupan tidak sepenuhnya menjunjung nilai-nilai kejujuran. Sebut saja dunia politik, dunia media, perekonomian, pendidikan, dan sosial budaya masyarakat. Malah ranah pribadi hubungan kasih sayang dua manusia, baik dalam hubungan pacaran ataupun ikatan perkawinan, banyak yang dimanipulasi, penuh intrik dan kamuflase, sehingga setiap langkah dan tindakan yang dilakukan menjadi suatu hal yang skeptis dan penuh curiga.
Uraian panjang akan menghiasi penjelasan dari setiap aspek di atas. Hal yang menjadi perhatian penting demi keberlangsungan kehidupan berbangsa, bernegara dan beragama salah satunya adalah kejujuran dalam pendidikan. Bicara tentang pendidikan sebenarnya terdiri dari beberapa bagian; pendidikan formal, pendidikan non formal, pendidikan agama dan lain sebagainya.
Pendidikan merupakan proses mentransfer ilmu dan pengetahuan tanpa meninggalkan pengajaran tentang sikap dan tingkah laku kepada peserta didik. Mungkin tidak saja saat ini (bahkan di masa lalu), namun hal yang cukup memprihatinkan dalam proses pendidikan adalah kejujuran dalam penyelesaian tugas dan tanggungjawab yang diberikan kepada peserta didik (pengerjaan tugas dan ujian bagi peserta didik).
Hampir semua orang di Indonesia mengecap pendidikan (formal maupun informal), sehingga berbicara tentang pendidikan bukanlah hal yang baru bagi setiap orang. Sangat urgen ketika banyak di antara peserta didik yang mengerjakan tugas dan ujian dengan cara yang curang atau tidak jujur. Banyak dijumpai siswa bahkan mahasiswa yang melakukan ujian dengan cara yang tidak jujur. Berbagai faktor mempengaruhi terjadinya kondisi demikian.
Proses “pembohongan” yang dilakukan oleh siswa maupun mahasiswa dahulu memang tidak separah yang terjadi saat ini. Lingkungan adalah faktor yang mempengaruhi perkembangan mental dan kepribadian seseorang. Ketika lingkungannya sulit menemukan nilai kejujuran dan keteladanan maka kepribadian seseorang tidak jauh berbeda dengan kondisi tempat mereka hidup dan menjalani kehidupan.
Selain faktor internal, beberapa pengaruh eksternal menjadi alasan mahalnya kejujuran bagi siswa atau mahasiswa dalam mengerjakan tugas dan ujian. Saat ini orientasi siswa atau mahasiswa adalah perolehan nilai dengan grade maksimal, sebab pendidikan di Indonesia, terutama pendidikan formal diukur dengan statistik nilai akhir bukan proses pembelajaran seorang siswa atau mahasiswa, sehingga bagaimanapun caranya siswa atau mahasiswa akan berusaha untuk mendapatkan nilai yang maksimal.
Kemudian pencapaian gelar pendidikan yang lebih tinggi juga menjadi ukuran pendidikan di Indonesia meskipun ketika gelar sudah didapatkan siswa atau mahasiswa barangkali sulit untuk menjelaskan kompetensi yang sudah didapatkannya dari proses pendidikan dan pengajaran yang ditempuh.
Pertanyaan di dalam wawancara pekerjaan pun adalah seputar gelar dan hal yang bersifat simbolis dan jarang mengkonfirmasi substansi dari keahlian yang sudah didapatkan oleh siswa atau mahasiswa selama menempuh pendidikan dan relevansi dengan tugas dan tanggungjawab pekerjaan yang akan diembannya. Beberapa alasan tersebut adalah faktor ketidakjujuran siswa atau mahasiswa dalam pengerjaan tugas dan ujian yang diberikan oleh guru atau dosen mereka.
Namun demikian, tidak dipungkiri bahwa tidak semua siswa atau mahasiswa yang berlaku tidak jujur, masih ada siswa atau mahasiswa yang sungguh-sungguh dalam pengerjaan tugas dan ujian akan tetapi jumlahnya tidak signifikan. Melihat contekan atau catatan kecil (atau yang dikenal dengan istilah jimat) adalah hal biasa bagi siswa atau mahasiswa. Berbagai tingkah dan pola tidak jujur dilakukan untuk memudahkan pengerjaan ujian dengan hasil maksimal.
Guru atau dosen tidak lagi menjadi “pengawas” dalam pelaksanaan ujian, akan tetapi ”diawasi” oleh siswa atau mahasiswa. Gerak-gerik guru atau dosen adalah pertarungan dalam ujian. Ironisnya kondisi tersebut terjadi pada lingkungan pendidikan yang nantinya akan menghasilkan intelektual seperti perguruan tinggi, lebih ironis lagi ketika perguruan tinggi tersebut adalah perguruan tinggi yang menghasilkan seorang ”pendidik”. Demi hasil “simbolis” mahasiswa telah kehilangan moralitas dan rasionalitas.
Ketika siswa atau mahasiswa disalahkan karena kondisi tersebut, mereka berdalih hal itu dilakukan karena tidak paham dengan penjelasan guru atau dosen. Bertanya kepada guru atau dosen, mereka menampik hal itu terjadi karena siswa atau mahasiswa tidak mau berusaha dan belajar sungguh-sungguh.
Meminta penjelasan dari pemerintah pun tidak menyelesaikan persoalan, karena bagi mereka sistem bersifat relatif dan menyesuaikan dengan kebutuhan dan yang paling penting UU dibuat untuk kesejahteraan masyarakat termasuk UU tentang pendidikan. Saling tuding, itulah kebiasaan bangsa Indonesia, dan akan lebih baik jika berbenah diri pada masing-masing unsur yang terkait dengan persoalan itu. Pengerjaan tugas dan ujian secara curang oleh siswa atau mahasiswa memperlihatkan bahwa rendahnya moralitas dan kejujuran siswa atau mahasiswa.
Pencerdasan moral adalah hal yang sangat penting meskipun terkadang sangat utopis, akan tetapi hal tersebut adalah hal utama yang harus dilakukan. Perbaikan moralitas siswa atau mahasiswa dapat dilakukan melalui proses pembelajaran, bahwa pembelajaran bukan memberikan teks ilmu saja akan tetapi proses transfer of knowledge, konstruksi berpikir bahwa pendidikan dan ilmu itu adalah hal yang tidak bisa dipisahkan dan berpengaruh bagi proses berpikir dan bertindak seseorang. Kemudian aspek lingkungan juga harus diperbaiki termasuk sistem dan regulasi pemerintah.
Peraturan perundangan yang terkait dengan pendidikan juga harus mendukung perbaikan moral bagi pegiat pendidikan dan juga peserta didik sehingga proses peningkatan kualitas pendidikan berkesinambungan dan komprehensif. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah pendidikan agama bagi siswa dan mahasiswa. Tidak ada satu pun agama di Indonesia yang menafikan kejujuran. Kejujuran adalah hal yang sangat penting dan diakui oleh seluruh agama di Indonesia. Oleh sebab itu peran agama sangat penting dalam melahirkan pribadi-pribadi yang jujur apalagi bagi penerus bangsa.
Dimulai dari proses yang kecil dan sederhanalah sebuah kejujuran dapat dibuktikan dan dipertahankan, sehingga tidak akan ada lagi kasus korupsi, penipuan, pembunuhan dan hal yang merugikan rakyat. Degradasi moral dan kasus-kasus hukum yang terjadi di Indonesia salah satunya adalah karena tidak adanya kejujuran, akan tetapi hal itu bukan berarti tidak bisa di atasi. Optimisme harus tetap dipelihara dengan melakukan perbaikan kualitas hidup termasuk memperbaiki sikap siswa dan mahasiswa dalam pengerjaan tugas dan ujian dalam menyelesaikan pendidikan, dan semua itu adalah tugas kita bersama terutama para pegiat pendidikan dan pengajaran. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...