OLEH Ahda Imran (Sastrawan)
Menelaah kebudayaan adalah berperkara
dengan kuasa perubahan. Kuasa yang membawa perkembangan kebudayaan ke dalam
berbagai fenomena yang tak pernah diduga sebelumnya. Menakjubkan sekaligus
mendebarkan. Disokong oleh ‘revolusi’ teknologi komunikasi-informasi, kuasa
perubahan kian mendesakkan beragam pemikiran yang mengkritisi segala ihwal yang
selama ini kukuh dipercayai. Sebagai ruang yang paling progresif
merepresentasikan watak kebudayaan, kesenian niscaya tak bisa menyangkal kuasa
tersebut. Kuasa yang membawa kesenian ke dalam perkembangan berikutnya; baik
sebagai fenomena seni atau fenomena
kehadirannya di tengah publik.
Sedang dalam ruang yang lain, kuasa
perubahan juga memengaruhi jagat politik. Kuasa yang bukan sekadar mengubah
polarisasi kuasa politik, namun memastikan desain politik pembangunan negara.
Setidaknya dalam sepuluh tahun terakhir, kuasa perubahan di jagat politik
dengan berbagai isu dan friksinya, telah menyorongkan kegentingan dalam peran-fungsi
negara. Terutama persambungannya dengan perkembangan kebudayaan yang bisa
diselisik dari dinamika kesenian. Dinamika dengan fenomena kehadiran sonder
persambungannya dengan negara.
Sulit disangkal kuasa perubahan telah
menghamparkan kompleksitas baru yanggenting dan penuh paradoks; meniadakan segenap identifikasi dan kategori
seraya juga mengukuhkannya. Berbagai fenomena saling berkelindan yang di
dalamnya kesenian berbaur bersama peristiwa sosial, gaya hidup, media, ruang
publik, politik, hukum, ekonomi, tradisi kepercayaan, dan komunitas agama, tata
kelola pemerintahan.
Selama sepuluh tahun terakhir, perluasan
dinamika arena kesenian semacam ini tak
ayal lagi menimbulkan berbagai permasalahan. Mulai dari hak cipta, pemalsuan
lukisan yang menggegerkan, nasib berbagai ritual dan seni tradisi Indonesi,
dinamika seni urban yang kehilangan ruang habitusnya akibat politik pembangunan
kota, atau ragam kesenian yang dihantui
oleh ketakutan pada sensor segolongan masyarakat.
Batas
Kehadiran
Dalam seluruhnya itu negara tak pernah
hadir. Sebaliknya, negara selalu hadir dalam berbagai prosedur perijinan
aktivitas kesenian. Bahkan, di sejumlah daerah lembaga seperti dewan kesenian
didominasi oleh para birokrat, atau setidaknya dewan kesenian yang dikondisikan
berpatron pada kuasa birokrasi pemerintah. Alih-alih menjadikan kesenian sebagai
ujung tombak bagi strategi kebudayaan, hingga hari ini tak ada desain politik
kebudayaan yang jelas; bagaimana dan di mana sebenarnya negara memosisikan
peran dan fungsinya di tengah perkembangan kesenian. Termasuk batas-batas
kehadirannya. Terlebih manakala dinamika kesenian terus menggejala ke berbagai
arah dan isu, batas-batas kehadiran negara semakin diperlukan dan sekaligus
pula kian samar.
Batas kehadiran itu kian mustahil
dirumuskan sepanjang perspektif negara terhadap dinamika kesenian tak pernah
beranjak dari melulu membangun gedung kesenian, taman budaya, mengirim atau
menyertakan tim kesenian ke luar negeri. Atau, kesenian yang masih juga
dipandang melulu sebagai dekorasi, ornamen bagi niaga pariwisata, alasan untuk
membuat proyek keramaian yang dilabeli “festival”, atau lagi kesenian sebagai
alat pencitraan bagi hasrat politik kepada daerah.
Ringkasnya, arus besar perubahan yang
terjadi ternyata tidaklah mengubah perspektif negara terhadap kesenian. Oleh
sebab itu, umumnya bagi para seniman dan aktivis kesenian negara adalah sebuah
pesimisme. Berbagai program even kesenian yang diselenggarakan pemerintah selalu gagal memberi alasan untuk
tidak menyebutnya dengan sinisme “plat merah”. Sinisme “plat merah” itu bukan
hanya dilekatkan pada program iven yang berlangsung di berbagai daerah, namun
juga yang sifatnya nasional.
KKI
Menyadari sinisme semacam itu Direktorat
Pembinaan Kesenian dan Perfilman Direktoral Jenderal Kebudayaan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sengaja mengundang limapuluh seniman
berkumpul di Hotel Savoy Homman Bandung, 10-12 Desember 2014. Para seniman itu
berasal dari seluruh Indonesia dan dianggap
merepesentasikan berbagai bidang kesenian; teater, musik, sastra, tari,
seni rupa, film, selain juga kritikus, aktivis dan penggiat kesenian.
Mereka diundang dalam pertemuan bertajuk
“Persiapan Kongres Kesenian Indonesia III 2015”. Dalam pertemuan itu para seniman dipertemukan
untuk berembug menyiapkan pelaksaaan Kongres Kesenian Indonesia (KKI) III 2015 mendatang.
Dalam pertemuan itu Kemendikbud
menyorongkan draft kerangka acuan kerja kongres. Tetapi, setelah membahasnya
dengan kritis seluruh seniman menolak kerangka acuan tersebut. Bahkan, para
seniman lantas menyusun kerangka acuan kerja baru bagi pelaksanaan KKI III
2015. Bila dalam versi Kemendikbud isu
utama yang disorongkan adalah
“Reaktualisasi dan Refungsionalisasi Kesenian di Tengah Arus Perubahan”,
para seniman menggantinya menjadi
“Kesenian dan Negara dalam Arus Perubahan”, yang sekaligus disepakati
menjadi tema KKI III 2015.
Dengan tema itu, KKI III 2015 hendak
menaruh kuasa perubahan demi mengkritisi peran dan makna kehadiran negara di
tengah dinamika kesenian. Di situ, negara tidaklah lantas diposisikan sebagai
antagonis dalam cara pandang kelewat general dan hitam-putih. Melainkan
menelisik apa dan bagaimana sebenarnya hakikat keberadaan negara di tengah
kuasa perubahan dan dinamika kesenian. Bagaimana dan di mana negara menjelaskan
kehadiran dan batas-batas kehadirannya di tengah berbagai dinamika kesenian,
yang niscaya bertaut dengan berbagai ihwal dalam politik pembangunan. Jangan
sebut lagi tautannya dengan sejumlah
produk aturan seperti undang-undang, semisal, UU Hak Cipta, UU Anti Pornografi
dan Porno Aksi, RUU Kebudayaan, atau berbagai peraturan daerah yang bertaut
dengan dinamika kesenian.
Tim
Perumus
Tentu ada saja isu yang luput masuk ke
dalam kerangka acuan kerja hasil “Persiapan Kongres Kesenian Indonesia III
2015” itu. Tetapi, setidaknya para
seniman sudah menemukan mufakat permulaan untuk lebih dimatangkan lagi dalam iven
pra-kongres. Sejumlah isu yang telah menjadi kemufakatan mesti terus dikawal,
dijaga, dan lebih dipertajam, seraya juga terus menjaga pemerintah
(Kemendikbud) agar tetap duduk manis sebagai fasilitator.
KKI dan
Nasib Rekomendasi
Bagaimana anegara memandang kesenian
sebagai suatu hal yang penting, tidaklah bisa diukur dari sekadar melaksanakan
Kongres Kesenian Indonesia (KKI). Melainkan, bagaimana pemerintah merespon rekomendasi
yang dihasilkan oleh KKI, terutama yang berkait soal dengan kebijakan negara.
Bila mengukurnya dari konteks ini, maka hasilnya nol! Tak ada perhatian
perhatian pemerintah atas rekomendasi KKI. Seniman hanya diundang untuk
berkumpul, berdebat, dan bertengkar dalam kongres; apa dan bagaimana hasilnya
bagi pemerintah tidak lagi jadi penting.
Janganlah menelisik kelewat detail.
Sedangkan dua rekomendasi KKI tentang rentang waktu pelaksanaan KKI lima tahun
sekali saja tidak direspons oleh pemerintah. Oleh sebab itu, menjadi aneh bahwa
sejak KKI I pada 1995, KKI baru berlangsung dua kali. Dan jarak kedua KKI itu
adalah sepuluh tahun. Termasuk jarak antara KKI II pada 2005 dan KKI III 2015
mendatang.
KKI I berlangsung di Hotel Kartika
Chandara, Jakarta pada 3-7 Desember 1995, dengan tema “Retrospeksi dan Ancaman
ke Depan; Kajian, Penilaian, dan Strategi.”
Kongres yang bersamaan dengan semangat peringatan 50 Tahun Kemerdekaan
RI itu diikuti oleh 475 seniman dan pelaku seni dari seluruh Indonesia. Bahkan
ketika itu para seniman diterima di Istana Negara oleh Presiden Soeharto. Di
antara delapan rekomendasi yang disorongkan oleh KKI I, bahkan di nomor
pertama, disebutkan bahwa pelaksanaan KKI agar dilaksanakan lima tahun sekali.
Seluruh butir rekomendasi ditujukan pada Direktorat Jenderal Kebudayaan
RI.
Akan tetapi pada tahun 2000 nyatanya tak
ada KKI II. Alasan bisa saja bersebab situasi politik yang belum lagi stabil
selepas reformasi 1998. KKI II akhirnya baru bisa diselenggarakan pemerintah
pada 2005, di Padepokan Pencak Silat Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta,
26-30 September. Berbeda dengan KKI I 1995 di masa pemerintahan Orde Baru, KKI
II yang berlangsung di era reformasi itu penuh dengan suasana panas dan
terkesan hiruk pikuk.
Bahkan sejak awal pelaksanaan KKI II,
ramai berlangsung polemik dan desas-desus. Dari mulai hal-hal teknis
pelaksanaan, hingga isu bahwa KKI II
akan dijadikan legitimasi sekelompok seniman yang berhasrat mendirikan
Dewan Kesenian Indonesia. Lembaga yang dicetuskan oleh Kongres Dewan Kesenian
di Papua, dan mendapat tantangan dari berbagai pihak karena dianggap manuver
sekalangan seniman yang mencari gerbong baru setelah masa tugasnya berakhir di
Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).
Terutama pada malam pembukaan dan
sidang-sidang pleno, KKI II riuh rendah oleh suara keras para seniman yang
berebut bicara. Bahkan tak cukup hanya poster-poster di arena kongres yang
menyebut KKI II sebagai kongres plat merah yang menghamburkan-hamburkan uang
rakyat. Sebagian para seniman yang “galak” pun dengan heroik berdiri di atas
meja sambil memprotes pelaksanaan kongres.
Tetapi, KKI II akhirnya berlangsung
dengan salah satu rekomendasinya kembali menegaskan perlunya pelaksanaan KKI diadakan
pemerintah lima tahun sekali. Tetapi, lagi-lagi butir rekomendasi itu tak
dihiraukan pemerintah; tak ada pelaksanaan KKI III pada 2010. Demikian pula dengan butir rekomendasi
lainnya yang tak mendapat perhatian pemerintah, seperti juga nasib rekomendasi
KKI 1995 yang mendesak pemerintah membentuk
lembaga bantuan hukum bagi para seniman, pembentukan lembaga kesenian
yang bersifat nasional, perhatian yang lebih besar pada kesenian di dunia
pendidikan.
Ringkasnya, rekomendasi dari dua
pelaksaan KKI itu di mata pemerintah terkesan bukanlah sesuatu yang penting
apalagi berwibawa. Melaksanakan KKI bagi pemerintah hanya sekadar demi gugur
kewajiban. Hanya sekadar pembuktian bahwa negara memperhatikan kesenian.
Oleh sebab itu persiapan pelaksanaan KKI III
2015 mendatang sejak dini telah mewaspadai agar rekomendasi KKI III 2015
mendatang tidak bernasib sama dengan rekomendasi dua KKI sebelumnya.
Rekomendasi KKI III 2015 mesti terus dikawal yang untuk itu diperlukan sebuah
institusi, semacam Badan Pekerja Kongres Kesenian. Atau, bisa juga institusi seperti yang
dibayangkan oleh Irawan Karseno dari Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), yakni, Dewan
Kesenian Nasional. “Dewan ini bekerja untuk mengawal pelaksanaan rekomendasi KKI,
sekaligus juga menyiapkan KKI pada lima tahun berikutnya,” ujarnya.
Persiapan KKI III 2015 akhirnya adalah
pula merancang strategi setelah pelaksanaan kongres. Rekomendasi kongres tak bisa diserahkan begitu saja pada
pemerintah, apalagi dengan mudah percaya bahwa tuan-tuan birokrat itu akan
memerhatikannya. Lewat lembaga yang dibentuk, rekomendasi itu kelak bukan hanya
dikawal tapi juga perlu didesakkan pada negara.
Mufakat
Menuju Kongres Kesenian III
Pertemuan para seniman di Hotel Savoy
Homan Bandung, 10-12 Desember 2014 bertajuk “Persiapan Kongres Kesenian
Indonesia (KKI) III 2015”, berangkat dari satu tujuan, bersama merancang materi
kongres. Menginventarisasi sejumlah isu selama sepuluh tahun, serta tautannya
dengan perkembangan kesenian. Untuk itu Direktorat Pembinaan Kesenian dan
Perfilman Direktoral Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
(Kemendikbud) menyorongkan draft kerangka acuan kerja untuk dirembukkan oleh
para seniman. Draft tersebut merangkum keberadaan dan fungsi kesenian di tengah
berbagai fenomena perubahan, untuk lalu menyorongkan isu utama ke arah
refungsionalisasi dan reakatulisasi kesenian di tengah perubahan.
Akan tetapi, sejak dimulai sesi pertama
diskusi yang dipimpin Benny Yohanes, draft yang disorongkan tersebut langsung
jadi bulan-bulanan kritik para seniman. Apalagi diskusi memang diformat tanpa
pembicara, pengarah yang mengatur dan mencatat pemaparan seluruh peserta.
Selain kelemahan dalam memosisikan kesenian yang terkesan sekadar dekorasi atau
ornamen dalam kebudayaan, seperti disebut Chavchay Saefullah dan Hikmat
Gumelar, draft tersebut juga luput menating sejumlah isu yang dianggap penting.
Terutama relasi kesenian, negara, dan kuasa modal, atau posisi ruang publik
sebagaimana dilontarkan Halim HD.
Demikian pula isu utama yang disorongkan,
“Refungsionalisasi dan Reaktualisasi Kesenian di Tengah Arus Perubahan”. Isu
utama draft itu sepenuhnya berkonsentrasi pada kesenian, seakan kesenian bukan
bagian dari fenomena lainnya yang saling berkelindan di tengah arus perubahan.
Lagi pula seperti dikemukakan sastrawan Riau Taufik Ikram Jamil, soalnya
bukanlah refungsionalisasi dan reaktulasasi melainkan sikap dan pandangan
negara terhadap kesenian. Bahkan,
menurut Saut Situmorang isu utama kongres harus dibalik. “Bukan
refungsionalisasi dan reaktulisasi kesenian di tengah arus perubahan, tapi
refungsionalisasi dan reaktualisasi negara dalam arus kesenian!” ujarnya.
Seraya mengkritisi draft tersebut, para
seniman pun memaparkan pandangan mereka perihal berbagai isu yang dianggap
penting dimasukkan ke dalam persiapan kongres. Umumnya isu menyasar ke dalam
hubungan kesenian dan negara, termasuk yang terjadi kawasan Indonesia Timur yang menimbulkan
perasaan terasing sebagai bagian dari Indonesia. Sedang Halim HD dan Gustaff
Hardiman Iskandar memaparkan hubungan kesenian dalam keberadaan ruang publik
sebagai ruang bersama, seraya mempertanyakan batas-batas kehadiran negara.
Sementara Yusuf Sulilo Utomo menating
hubungan kesenian dan media-massa; pembangunan kesenian dan ekonomi
kreatif dari Embie C Noer; dan Irawan
Karseno yang menyoal pendidikan kesenian dan institusi serta lembaga-lembaga
kesenian. Di lain sisi, seraya mentautkan pembangunan kesenian dengan pasar
terbuka Asean, Irwansyah Harahap mempertanyakan pula sejumlah batasan. “Kongres
kesenian ini apakah kongresnya para seniman, ilmuwan seni, atau penikmat seni?
Apakah perlu dibuat batasannya?”
Senada dengan Irwansyah Harahap, Hikmat
Gumelar memandang kongres mesti berangkat pada pengertian yang sama ihwal
kesenian, mana yang tercakup dan mana yang tidak, agar program turunannya
menjadi jelas. Begitu pula pengertian negara yang menurutnya tak bisa
digeneralisasi secara berlebihan, sehingga terkesan persoalan di kawasan timur
lebih berat dari mereka yang ada di Indonesia Barat.
Para seniman akhirnya memperluas cakupan
isu yang bisa ditating kelak ke dalam kongres, yang umumnya bertaut dengan
peran dan fungsi negara; kesenian dan
fenomena hukum, reposisi komunitas dan institusi-insitusi seni, pendidikan,
ruang publik, dan tata kelola pemerintahan (otonomi daerah). Ada juga gagasan
yang seakan kembali mempertegas apa yang telah diserukan dalam rekomendasi KKI
I 1995, yakni, perlunya sebuah lembaga bagi para seniman.
Chavchay Saefullah dalam hal ini kembali
menyebut perlunya pembahasan kembali ihwal Dewan Kesenian Nasional (DKI) namun
tanpa desas-desus apapun seperti terjadi pada KKI II 2005. Sedang dalam bahasa
yang lain Saut Sitomorang menyebut lembaga tersebut dengan “Art Council”.
Karena kesenian bukanlah hobi tapi profesi maka menurutnya lembaga tersebut harus
menjadi lembaga profesi yang kuat. Organisasi tersebut bisa menyelesaikan
berbagai persoalan internal kesenian yang berlarut-larut.
Sesi pertama diskusi telah membawa
berbagai pemikiran mengerucut, membayangkan semacam konstruksi isu yang bisa
dielaborasi ke dalam kerangka acuan kongres. Meski pada sesi kedua diskusi
kembali mencair dan berputar-putar dengan berbagai argumen dan perbedaan
pandangan, namun pada sesi ketiga para seniman sampai pada sebuah kesepakatan,
yakni, menolak kerangka acuan kerja yang disorongkan oleh Direktorat Pembinaan
Kesenian dan Perfilman Direktoral Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan (Kemendikbud).
Para seniman sepakat memilih sepuluh
orang Tim Perumus untuk menyusun kerangka acuan kerja yang baru. Kerangka acuan
tersebut berangkat dari berbagai pandangan para seniman selama diskusi. Pihak
Direktorat Pembinaan Kesenian dan Perfilman Direktoral Jenderal Kebudayaan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), sama sekali tak keberatan
dengan penolakan tersebut. Mempersilahkan para seniman menggantinya dengan
kerangka acuan yang baru, bahkan mereka menolak untuk duduk sebagai Tim
Perumus.
Tim Perumus yang terdiri dari: Taufik
Ikram Jamil, Irwansyah Hararap, Jabatin Bangun, Halim HD, Arie Batubara, Irawan
Karseno, Ahda Imran, Tisna Sanjaya, Benny Yohanes, Gustaff Hariman Iskandar,
akhirnya merumuskan seluruh perbincangan yang akan menjadi kerangka acuan
kongres, dengan tema “Kesenian dan Negara dalam Arus Perubahan”, dengan tiga
subtema: “(Politik) Kesenian dalam
Perspektif Negara”, “Pendidikan Seni, Media, dan Kreativitas”, dan “Seni dalam
Pusaran Kekinian”. Masing tema terdiri dari 4-5 topik pembahasan.
Seluruhnya diandaikan bisa
merepresentasikan berbagai permasalahan yang berlangsung selama sepuluh tahun
terakhir dalam hubungan kesenian dan negara. Dan KKI III 2015 mendatang tidaklah bepretensi
menawarkan solusi atas berbagai permasalahan tersebut, namun setidaknya,
seperti tabiatnya kesenian, dari kongres mendatang akan muncul berbagai
perspektif pemikiran dalam memaknai
fenomena perubahan, termasuk bagaimana semestinya kesenian dan negara saling
memandang.
Antara
Bandung, Medan, Balikpapan
Tisna Sanjaya mengkritik kerangka acuan
kerja Direktorat Pembinaan Kesenian dan Perfilman Direktoral Jenderal
Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), sebab di situ
sejumlah pertunjukan kesenian hanya disebuat sebagai program pendukung KKI III
2015. Untuk itu ia menawarkan gagasan bahwa peristiwa kesenian dalam KKI III
2015 harus digarap dengan serius, harus dikonsep dengan kurasi yang jelas, dan
bukan semata sebagai unsur pendukung.
“Oleh sebab itu kongres harus memilih
tempat yang ideologis, misalnya, di tepi Sungai Citarum agar kesenian tidak
lagi dikotak-kotakkan tapi lebur dengan kehidupan,” paparnya dalam diskusi.
Gagasan ini menarik sebab Tisna seolah
sedang menggiring agar pelaksanaan Kongres Kesenian Indonesia (KKI) III 2015 berlangsung di Bandung. Tetapi,
dalam perbincangan di luar diskusi, secara tak langsung gagasan mendapat
tantangan dari Saut Situmorang dan sejumlah seniman dari Medan.
“Kapan terakhir Medan jadi tempat
pelaksaan kongres atau pertemuan kesenian atau kebudayaan? Tak pernah ‘kan?
Jadi, sudah waktunya Kongres Kesenian ini berlangsung di Medan!” kata Saut yang
langsung diamini oleh Irwansyah Harahap, Jabatin Bangu, dan Arie Batubara.
Meski tidak menyebut Kota Medan, namun
Halim HD yang berada di situ mengatakan sebaiknya pelaksanaan kongres
berlangsung di kota di luar Jawa. Bahkan usulan itu kembali dikatakannya dalam
rapat Tim Perumus, sehingga lolos menjadi salah satu catatan dalam hasil
rumusan kerangka acuan kerja yang dibawa ke dalam sidang pleno. Karena peserta
diskusi dalam sidang pleno lebih berfokus perdebatan materi rumusan hasil Tim
Perumus, usulan agar kongres diselenggarakan di luar Jawa, tidak menjadi
perhatian.
Maka, sampai acara usai para seniman
belum sampai pada mufakat final perihal kota yang jadi tuan rumah KKI III 2015,
kecuali catatan yang diberikan Tim Perumus, yakni, di luar Jawa. Beberapa hari
kemudian melalui Halim HD beredarlah pesan pendek dari sastrawan Kalimantan
Timur Korrie Layun Rampan yang merespons usulan agar kongres diadakan di luar
Jawa. Dalam pesan yang itu, Korrie menyatakan kesiapan Kota Balikpapan atau
Samarinda sebagai tuan rumah KKI III 2015.
Artinya,
telah tiga kota yang disebut oleh para seniman untuk menjadi tuan rumah
KKI III 2015. Dengan mengacu pada usulan Tim Perumus agar KKI III 2015
berlangsung di luar Jawa, bukan tidak mungkin akan muncul usulan kota
berikutnya dari para seniman. Kongres memang sebaiknya berlangsung di luar
Jawa, jangan lagi di Jakarta seperti dua pelaksanaan kongres sebelumnya.
Kota-kota di luar Jawa perlu mendapat kesempatan dan kebanggaan menjadi tuan
rumah KKI. Setidaknya, agar KKI tidak dianggap sebagai bagian dari peneguhan
Jawa sebagai pusat atau dominasi.
Akan tetapi, itu semua tampaknya adalah otoritas
pemerintah sebagai pelaksana, yang tentu berkaitan dengan sejumlah persoalan
teknis. Terutama dalam soal transportasi para peserta yang diundang, yang tentu
akan berpengaruh pada pembiayaan; dua kali lipat dibanding jika diadakan di
Jakarta atau Bandung. Tentu saja kendala teknis itu mesti dihitung dan tak bisa
dielakkan. Dan, sekali lagi, biarlah itu semua menjadi hak dan otoritas
pemerintah sebagaimana otoritas para seniman dalam menentukan seluruh materi
kongres.
Kendati begitu, wajar juga diajukan
pertanyaan ke hadapan otoritas pemerintah tersebut; bisakah besarnya biaya itu dimaknai sebagai
sesuatu yang lumrah dibayar sehingga para seniman, pelaku seniman, dan publik
kesenian di luar Jawa bisa merasakan dirinya sebagai bagian dari kesenian
Indonesia?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar