OLEH Autar Abdillah
Jumpa pers KKI III 2015 |
Kajian terhadap kesenian (di) Indonesia,
masih cukup menggantungkan diri terhadap hasil pengkajian yang dilakukan
sejumlah peneliti asing --yang sebagian tidak mengalami langsung subjek
pengkajian yang dilakukannya. Sebagian besar berangkat dari paradigma yang
nyaris tidak mengakar pada kehidupan kesenian itu sendiri.
Ini persoalan mendasar pengkajian
kesenian Indonesia yang selalu dianggap sebagai persoalan yang remeh. Karena,
di satu pihak kita berhadapan dengan masih rendahnya minat dan upaya ke arah
penciptaan dan penemuan yang menuntut adanya kenyataan objektif dari suatu
kondisi kesenian yang ditumbuhkan masyarakat, dan di dalamnya terdapat sejarah
kelahiran khazanah seni tersebut, serta membawa seluruh entitas kebudayaan yang
dimilikinya. Di pihak lain, logika masyarakat kita nyaris gagal dalam menangkap
fenomena yang ditumbuhkan secara sistematik. Dan, sistematika itu pada selalu
dipecahkan melalui logika yang sesungguhnya bukan milik masyarakat yang
menghidupi kesenian dan membangun kebudayaanya secara bersamaan.
Lebih jauh, untuk mengetahui kesenian
kita sendiri, kita kekurangan data tertlis --dan kita memang tak memiliki
kebiasaan untuk melakukan pendataan tertulis. Sehingga, pengembangan kesenian
yang kita lakukan lebih merupakan akumulasi dari ketidakberdayaan menghadapi
logika yang serba terpecah. Hal ini bukan saja berakibat pada rendahnya mutu
atau kualitas pengkajian, tetapi juga rendahnya penemuan atas realitas yang
sesungguhnya terjadi dalam kesenian tersebut. Dan, entitas kultural tak mampu
dinyatakan secara meyakinkan pada tingkat pengkajian selanjutnya.
Dari kondisi tersebut, dalam Kongres
Kesenian Indonesia I/1995 mengemuka suatu upaya untuk mencari strategi
pengembangan kesenian (di) Indonesia sekarang ini, dan memberikan ancangan ke
depan terhadap kondisi kesenian tersebut. Di samping itu, persoalan manajemen
kesenian juga merupakan hal yang krusial. Manajemen kesenian dipandang sebagai
upaya untuk menempatkan kesenian "sejajar" dengan pertumbuhan
kehidupan lainnya di tengah-tengah masyarakat. Misalnya, perhatian pemerintah
yang terkesan lebih mementingkan olahraga ketimbang kesenian. Berbagai
fasilitas dan pemberdayaan sumberdaya manusia di bidang olehraga, jauh lebih
maju dibandingkan dengan kesenian. Didalamnya juga tersirat persoalan yang
bersifat organisatoris hingga penerapan kesenian sebagai suatu produk atau
komoditi, seiring dengan semakin gencarnya pengembangan sektor kepariwisataan.
Kesenian yang ditumbuhkan itu, harus
sudah memulai suatu perubahan pengelolaan yang didasari atas kebutuhan-kebutuhan
hidup para pelaku kesenian tersbut. Organisasi kesenian harus mampu membaca
peluang, dan kesempatan yang bisa direbut dan diraihnya, agar kesenian yang
dihadirkan memiliki kontinuitas dalam penyelenggaraannya.
Di samping itu, organisasi tersebut harus
mampu menunjukkan pada masyarakat, bahwa keseniannya memiliki peran penting
dalam tatanan kehidupan, baik itu dalam pengembangan diri maupun dalam konteks
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, atau lebih konkret pada pelaku kesenian
itu sendiri. Organisasi kesenian juga harus mampu menjalin komunikasi yang
positif secara insitusional. Hal ini menjadi penting, karena banyak organisasi
yang mengalami hambatan, karena hubungan yang tidak harmonis dengan lembaga
pemerintah, misalnya. Atau, ada lembaga pemerintah yang tidak apresiatif,
sehingga hanya pada kelompok atau pribadi tertentu saja lembaga itu memberikan
perhatiannya.
Kecenderungan pemahaman di atas,
mengisyaratkan pula bahwa dalam organisasi kesenian tersebut terdapat suatu
institusi yang lebih luas dan besar. Hubungan antar organisasi itu harus dapat
seharmonis mungkin. Mampu bersinergi. Dan, dalam menghadapi kenyataan seperti
ini, kita berhadapan dengan kenyataan bahwa tidak semua organisasi kesenian
akan mampu menghadapi rumitnya "birokrasi" yang mengurusi persoalan
kesenian dalam memberikan apresiasi yang dinamis dan konstruktif. Birokrasi
tersebut, bukan saja merupakan struktur yang sangat terikat pada struktur yang
lebih besar, seperti lembaga sosial politik, kejaksaan, depdikbud, kepolisian,
dan militer. tetapi juga, struktur yang lebih kecil, seperti hubungan antar
organisasi kesenian yang ada.
Dalam menghadapi kenyataan tersebut,
dengan setengah bercanda, dramawan Putu Wijaya mengisyaratkan untuk melakukan
strategi "tipu-tipuan". Artinya, institusionalisasi, dan
birokratisasi tersebut harus dihadapi dengan membangun kesan berada dalam
kenyataan yang memang diinginkan oleh instutusi maupun birokrasi --meskipun
seniman memiliki keinginan lain yang sesungguhnya hendak dilakukan.
Dengan demikian, kita dapat memandang
bahwa sesungguhnya persoalan manajemen kesenian tersebut terletak pada
bagaimana kesenian mampu membangun integrasi yang memang berangkat dari suatu
realitas yang diinginkan, dan dikehendaki pelaku maupun penyaksi kesenian.
Lalu, apakah semuanya akan selesai? Tentu tidak. Kita sangat menyadari, bahwa
kesenian yang diperlakukan sekarang merupakan kesenian yang sangat berkaitan
erat dengan struktur kehidupan yang sangat luas, dan beragam. Hal ini
dimungkinkan oleh suatu pergerakan atau pertumbuhan media massa --terutama
media massa cetak dan elektronik, yang semakin sangat interaktif dengan
pemirsanya.
Hubungan kesenian dan media semakin
menempatkan kesenian untuk harus mampu memasuki wilayah kompetitif satu sama
lainnya. Sineas Garin Nugroho mengisyaratkan suatu transformasi media yang
sangat mengejutkan. Media --segala media, telah mampu melakukan
perubahan-perubahan besar dalam hubungan-hubungan yang berlangsung dalam
masyarakat. Media, kini memasuki rumah-rumah, jalan raya, hingga tempat-tempat
tersembunyi sekalipun. Manusia semakin terdesak oleh kebutuhannya sendiri, baik
kebutuhan atas informasi, maupun kenikmatan-kenikmatan yang berkecenderungan
hedonistik.
Apapun alasannya, semua itu merupakan
kecenderungan yang terbangun dari segala aspek kehidupan yang ada. Garin
menggaris-bawahi strategi untuk menghadapi kesenian-kesenian baru yang kini
mulai mengidentifikasi diri. Terutama, pada upaya untuk mengantisipasi
informasi dan komunikasi --dalam media, yang tidak hanya bisa dihgandakan, tetapi
juga dirubah, diperbaiki hingga dimanipulasi. Di sini, kita harus menyediakan
diri untuk memasuki ketidakpastian-ketidakpastian, karena semakin kompleksnya
hubungan dalam interaksi bisnis, politik, maupun pendidikan. Interaksi dunia
objektif pun --yang berkonsekuensi pada kesuksesan, mulai dihadapi dengan
mekanisme yang cenderung berpihak pada keinginan kekuasaan. Jadi, disini kita
tidak hanya membutuhkan multi-media, tetapi juga multi-visi, multi-dimensi, dan
secara aktif menyadari keberadaan multikuturalitas, dan multimodernitas,
seperti yang disinyalir oleh kurator dan pengamat Seni Rupa, Jim Supangkat.
Dalam menghadapi gencarnya produk media,
maka industri kesenian harus segera juga menempatkan diri pada posisi yang
mampu menggalang kekuatan kreativitas dengan inovasi yang dinamis. Di sini,
kita tidak hanya berhadapan dengan paham-paham baru, tetapi juga mekanisme
perseptif yang berlainan dengan apa yang kemudian menjadi titik tolak
berkesenian. Mekanisme persepstif ini mengandaikan adanya transformasi
tanda-tanda yang lebih dominan dalam mengisi ruang aktif dalam pemikiran
manusia.
Selain itu, pandangan atau wawasan yang
lebih luas, dan mampu menangkap dan mengungkap realitas intrinsik dalam
kesenian harus mampu pula menjangkau konsekuensi logis peradaban yang berubah
sedemikian cepat. Ini merupakan hal yang dapat dihindari lagi, mengingat
bangsa-bangsa di luar kita telah melakukan berbagai penjelajahan yang mungkin
kita tak bisa mengikutinya. Sedangkan dunia pendidikan seni, baik formal maupun
informal, dituntut untuk mampu mengikutinya, sekaligus membangun dan terus
menerus mendorong lahirnya kesenian. Bukan mematikan atau melakukan
rekonstruksi yang justru mematahkan ruang dialoh kesenian tersebut. Sudah
saatnya pendidikan kesenian, bersikap terbuka terhadap segala gejala, dan mampu
hidup dalam setuap pertumbuhan kesenian yang ada.
Sastrawan dan tokoh pendidikan A.A. Navis
memberikan ilustrasi tentang suatu mekanisme pendidikan (seni) masa kolonial,
dan era nasionalisme. Pendidikan kesenian sekarang ini, bagi Navis, sudah
saatnya meninggalkan pola-pola feodalistik (yang menurutnya merupakan salah
satu ciri pendidikan kolonial). Dan, era nasionalisme dipandang telah membuka
jalan bagi kita. Mengapa? Karena pendidikan seni di sini menempatkan manusia sebagai
pelaku (sunjek). Kita tidak lagi dituntut untuk hanya sekedar menghafal
materi-materi yang acuannya sudah ketinggalan zaman dalam pertumbuhan
masyarakat maupun kesenian itu sendiri. Singkatnya, tuntutan untuk aktif dalam
kesenian, harus dimulai dari pelaku-pelaku yang menyadari bahwa kesenian
merupakan bagian yang integral dalam lingkungan hidupnya yang sangat luas.
Berbagai aktivitas kesenian yang diselenggarakan sekarang ini, seperti
festival-festival merupakan salah satu strategi saja dalam membangun kemungkina
terjadinya interaksi dalam kesenian.
Akhirnya, kita dapat menarik beberapa hal
yang memungkinkan kesenian dapat diterima masyarakatnya, dan memberi inspirasi
bagi pembangunan kehdiupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Pertama,
membangun kesadaran yang konstruktif terhadap peran kesenian yang berangkat
dari realitas kemanusiaan. Kedua, kesenian membangun manajemen yang memandang
pasar kesenian sebagai ruang publik yang menginginkan adanya
perubahan-perubahan, serta menyadari transformasi media yang juga turut
membentuk struktur masyarakat, politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan.
Ketiga, pendidikan seni harus mampu memberdayakan dirinya, sejalan dengan
kebutuhan masyarakat akan kesenian tersebut.
Dimuat di Surabaya
Post, Minggu, 24 Desember 1995
Baca juga:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar