OLEH Muhammad
Al-Fayyadl
Banyak orang gundah, terutama mereka yang
di luar, melihat dinamika gerakan mahasiswa di bawah rezim “Reformasi”.
Sebagian gundah, melihat gerakan mahasiswa semakin sepi dari aktivis: daripada
terjun ke dalam dunia gerakan yang menyita energi, mahasiswa lebih memilih
hidup bersantai di kampus, atau mungkin berjualan dan berbisnis. (Bukankah itu
lebih menguntungkan? Dan lebih menyejahterakan?) Sebagian gundah, melihat gerakan
mahasiswa, yang dari segi kuantitas itu semakin sedikit (atau setidaknya
stagnan), masih saja tercerai-berai oleh perseteruan “dalam negeri”, friksi
antarteman, dan tentu saja perbedaan kepentingan. Sebagian lagi gundah, melihat
gerakan mahasiswa yang semakin tidak jelas tujuannya. Lihat saja, berapa
gerakan mahasiswa yang masih konsisten dengan misi awalnya memberdayakan
kemampuan intelektual mahasiswa dan mengasah kepekaan mereka pada realitas
sosial? Sebagai bandingan (yang tentu saja tidak sebanding), lihat juga, berapa
gerakan mahasiswa yang semakin mendekat pada pusat-pusat kekuasaan,
tempat-tempat modal dan kucuran dana mengalir dengan derasnya?
Berbagai ekspresi kegundahan itu sering
kali lahir dari suara-suara orang luar, atau sedikit aktivis gerakan yang
benar-benar mengerti persoalan dan masih idealistis. Biasanya, lalu dicarilah
penyebab, yang disinyalir merupakan faktor-faktor penyebab mewabahnya fenomena
itu.
Sebagian menilai, kemunduran gerakan
mahasiswa itu disebabkan oleh faktor budaya—ini pendapat yang sepertinya paling
banyak dianut pengamat gerakan mahasiswa. Yang dimaksud dengan faktor budaya
kurang lebih adalah faktor yang mengkondisikan kehidupan mahasiswa saat ini
dari segi-segi kebiasaan, tindak-tanduk, perilaku, atau minat mahasiswa secara
individual dan komunal. Kata kunci bagi faktor ini sederhana: “gaya hidup”,
atau meminjam kosakata yang sering dikutip, habitus. Sederhananya, kemunduran
gerakan mahasiswa disebabkan oleh perubahan gaya hidup mahasiswa itu sendiri
karena perubahan lingkungan kultural di mana mahasiswa hidup sehari-hari.
Budaya pop sering ditunjuk sebagai biangnya. Pergeseran gerakan mahasiswa
disebabkan oleh pengaruh gaya hidup mahasiswa dan aktivis-aktivisnya yang
semakin terpesona oleh budaya pop yang, kita tahu, dimotori oleh
teknologi-informasi, hiperrealitas media, dan dunia hiburan. Di balik itu
semua, bersembunyi pleasure: kesenangan. “Apa saja yang menyenangkan, itulah
yang penting”. Secara logis, karena gerakan mahasiswa tidak memberikan
kesenangan, minat mahasiswa untuk terjun di sana dengan sendirinya merosot.
Cara pandang ini dianut utamanya oleh para pengkaji cultural studies, yang
mendasarkan analisisnya pada politik budaya.
Pendapat pertama masih terdengar ilmiah,
dibandingkan dengan pendapat kedua ini: teori moralitas. Bila yang pertama
melihat faktornya pada hal-hal yang objektif (lingkungan, dst.), yang kedua ini
biasanya melihat penyebabnya pada hal-hal yang bersifat etis-moral. Menurutnya,
kemunduran gerakan mahasiswa dipicu oleh kemerosotan moral mahasiswa. Bahwa
mahasiswa tidak lagi mempunyai moralitas seperti dicita-citakan dari sosok
ke-“maha”-siswaannya. Bahwa mahasiswa, setelah dilihat dari perilaku
sehari-harinya dan idealisme dalam pikirannya, mengalami “degradasi moral” yang
serius, sehingga harapan yang diletakkan di pundak mereka sebagai “anak bangsa”
dan “calon-calon pemimpin bangsa” pupus sudah. Biang dari semua ini, bagi
pendapat kedua ini, adalah “hedonisme”. Perbedaannya dengan pendapat pertama:
bila yang pertama tidak terlalu menghakimi, pendapat kedua ini tidak hanya
menghakimi, tetapi juga menyesali. Hal yang disesalkan kerap kali adalah
“kurangnya penanaman nilai-nilai agama”, atau “kurangnya pendidikan moral”.
Barangkali maksudnya, semacam pendidikan PMP—tetapi untuk level mahasiswa.
Pendapat ketiga bisa dikatakan adalah
pendapat kaum “romantik”. Hal ini dapat dimaklumi, karena masa-masa mahasiswa
konon adalah masa-masa pencarian diri. Pendapat ini mengatakan, faktor
kemunduran gerakan mahasiswa terletak pada dimensi eksistensial, yaitu
hilangnya “jati diri” mahasiswa menghadapi godaan pragmatisme hidup. Entah
“jati diri” apa yang dimaksud, tetapi yang jelas bagi kalangan ini, mahasiswa
telah kehilangan kesadaran akan “keakuan”-nya, sehingga dia mudah terikut arus,
kehilangan arah, dan tenggelam dalam hiruk-pikuk dunianya. Ideal bagi kaum
romantik ini adalah sosok-sosok mahasiswa yang telah menjadi tokoh dan legenda
pada masanya masing-masing: Soe Hok Gie, Ahmad Wahib, Nurcholish Madjid, Arief
Rahman Hakim, Mahbub Djunaidi, dan lain seterusnya. Mereka adalah
legenda-legenda, karena dari mereka generasi mahasiswa saat ini dapat belajar
tentang “keteladanan sikap”, “pengabdian”, “pengorbanan”, dan lain sebagainya.
Demikianlah, kita lihat bagaimana
masing-masing dari ketiga pendapat di atas mencoba mencari tahu penyebab di
balik kemunduran gerakan mahasiswa. Masing-masing mencoba menelusuri mengapa
setelah lebih satu dekade, gerakan mahasiswa seperti kehilangan kekuatan dan
daya dobraknya. Padahal, bukankah konon mahasiswa adalah agent of change, agen
perubahan, dan agent of social control, agen kontrol sosial? Ke manakah kini
dua peran “mulia” ini?
Untuk melihat di mana persisnya persoalan
yang menghinggapi ketiga asumsi di atas, kita barangkali perlu melihat terlebih
dulu tawaran dan implikasi apa yang mungkin muncul dari masing-masing
ketiganya. Diandaikan, jika tawaran ini diterima dan dilakukan, kita akan
melihat kebangkitan kembali gerakan mahasiswa dalam waktu yang akan datang.
Pendapat pertama didasarkan pada faktor
budaya, yang lalu diandaikan mempengaruhi dinamika gerakan mahasiswa di dalam
kampus. Memang benar, perubahan budaya yang sangat cepat pasca-Reformasi telah
meruntuhkan sendi-sendi idealisme mahasiswa sendiri dan gerakan mahasiswa
secara umum. Akibat serbuan budaya yang berorientasi pada penikmatan, terjadi
kecenderungan individualisme yang luar biasa di kalangan mahasiswa. Perubahan
ini membuat dinamika gerakan mahasiswa terfragmentasi luar biasa, dengan
pecahnya perhatian dan konsentrasi mahasiswa antara mengejar prestasi di
kampus, mencari kesenangan individual, dan aktif dalam dunia gerakan.
Tetapi, apa yang tampaknya ditawarkan
oleh asumsi ini terombang-ambing antara pesimisme dan pencarian akan bentuk
“politik” baru yang berbeda dari “politik jalanan” yang lama. Pesimis: karena
dilihat dari budaya sehari-hari yang mengkondisikan mahasiswa saat ini, mereka
sulit keluar dan diharapkan menciptakan perlawanan. Dengan adanya berbagai
fasilitas yang makin melenakan, pusat-pusat perbelanjaan yang makin menyuburkan
konsumerisme, bagaimana mungkin mahasiswa mengelak dan menciptakan gaya hidup
alternatif? Dengan kata lain: mahasiswa sebagai subjek, telah kalah oleh
struktur, yaitu budaya konsumeris-populer yang merasuki kesehariannya. Di sisi
lain, meski pesimis, ada harapan bahwa mahasiswa tetap dapat berdinamika
politik, walaupun “politik” yang paling realistis menurutnya adalah politik
budaya, yaitu perlawanan atas kapitalisme dengan kritik budaya, dengan
penelanjangan mitos-mitos kapitalisme dalam hidup sehari-hari (politics of
everydays life).
Praksis dari politik budaya semacam ini
biasanya adalah perlawanan yang sporadis, fragmenter, dan tidak terencana,
dengan memanfaatkan budaya populer dan teknologi-informasi yang difasilitasi
oleh kapitalisme itu sendiri. Ilustrasi aktual dari praksis “politik” ini
adalah perlawanan dengan situs jejaring di dunia maya atas isu-isu sosial yang
berkembang. Dengan bergabung dengan grup-grup perlawanan di dunia maya, sang
mahasiswa sudah merasa ikut terlibat dalam perlawanan kolektif seantero jagat
atas rezim yang korup. Kalau begitu, masih butuhkah ia pada gerakan mahasiswa,
jika ia memang sudah bisa “melawan” dengan caranya sendiri? Maka, bagi penganut
asumsi ini, gerakan mahasiswa tidak mestinya dibatasi lagi secara
organisasional pada organ-organ politik kampus, tapi juga diperluas pada
perlawanan mahasiswa di luar kampus yang dilakukan secara individual atau
komunal. Demikianlah, praksis politik budaya yang pada mulanya ingin mencari
solusi atas kemandegan gerakan mahasiswa, justru berakhir dengan peluberan
(dissolution) gerakan mahasiswa.
Pandangan kedua melihat kemunduran
gerakan mahasiswa berakar pada dekadensi moralitas. Apa dan bagaimana
“moralitas” di sini, masih dapat diperdebatkan, tetapi rupanya ia dimaksudkan,
secara sederhana, merujuk pada kualitas diri dan kepribadian mahasiswa sebagai
“insan” berpendidikan, yang mestinya mampu menjalankan fungsi-fungsi
edukatifnya yang baik. Mahasiswa diharapkan menjadi “teladan moral” bagi
lingkungannya dan masyarakat luas pada umumnya.
Idealisasi moral semacam ini biasanya
melihat gerakan mahasiswa sebagai sarana perjuangan moral untuk menegakkan
tatanan masyarakat yang “baik” dan “bermoral”. Karena problemnya adalah
dekadensi moralitas, maka solusi yang ditawarkan untuk membangkitkan gerakan
mahasiswa adalah dengan “menginjeksikan” lebih banyak lagi nilai-nilai moral ke
dalam diri mahasiswa dan gerakan mahasiswa, agar dengan begitu, mereka terbebas
dari penyakit-penyakit moral yang berjangkit. Re-edukasi moral ini, yang
dilakukan entah dengan motif agama (menanamkan pendidikan agama ke dalam
kader-kader organisasi) atau dengan motif sekular (menanamkan pendidikan moral
kebangsaan), memiliki tujuan akhir: menghindarkan mahasiswa dari godaan
demoralisasi yang sedang mereka hadapi di kampus maupun di luar kampus
(korupsi, hedonisme, dst.).
Praksis dari gerakan mahasiswa yang
berbasis pada moralitas ini lebih bersifat terapis dan defensif. Terapis,
karena diandaikan bahwa mahasiswa, sebagai kaum muda yang mudah terpengaruh
oleh berbagai “maksiat” hidup, harus disembuhkan dari kenakalannya, agar
menjadi generasi yang “baik” dan “bermanfaat”. Defensif, dalam arti melindungi
mahasiswa dari wabah godaan hidup yang semakin merajalela. Kedua fungsi ini
pada gilirannya lebih cenderung ke dalam, yakni “mengobati” persoalan-persoalan
internal diri mahasiswa yang bersangkutan, daripada memberikan pandangan
bagaimana gerakan mahasiswa memainkan peran sosialnya.
Dapat kita katakan, pendekatan moralitas
seperti ini lebih berpusat pada pencarian solusi pada tingkat individu.
Persoalan ini juga menghinggapi pandangan ketiga di atas, yang melihat
kemunduran gerakan mahasiswa pada krisis eksistensial mahasiswa. Pendekatan
eksistensial akan cenderung melihat persoalan mahasiswa pada hilangnya
keotentikan, yang tentu saja bersifat individual. Mahasiswa dipandang tidak
otentik, karena telah tergiur oleh pragmatisme sesaat kekuasaan, fasilitas
hidup, dan kemudahan-kemudahan. Keotentikan diperoleh manakala mahasiswa mampu
menunjukkan asketisme, penolakan-diri, dan kebersahajaan.
Bunuh Diri
Kelas
Begitu beragamnya persoalan yang dihadapi
gerakan mahasiswa hingga kita tak mampu memilah antara persoalan yang kecil dan
besar, antara hulu dan hilir, antara orientasi dan problem internal organisasi
dan individu. Akibatnya, dihadapkan pada perubahan isu yang cepat, gerakan
mahasiswa bukan saja kehilangan strategi, tetapi juga yang lebih penting,
kerangka untuk membaca situasi.
Dan, inilah yang terjadi pada saat ini,
pasca-Reformasi, ketika Soeharto telah tumbang, dan kita gagap membaca siapa
lawan yang mesti dihadapi bersama.
Persoalannya tentu saja pada awalnya
adalah cara pandang. Cara pandang yang berpusat pada pembenahan internal
seperti tercermin dari solusi-solusi moral dan eksistensial di atas, tidak
mampu melihat posisi gerakan mahasiswa dalam konstelasi sosial-politik yang
lebih luas. Cara pandang pertama lebih baik, mampu mengidentifikasi bahwa
faktor krisis gerakan mahasiswa terletak pada kapitalisme, namun pandangan ini
menyimpan cacat serius, karena menganggap “politik jalanan” telah mati, dan
pertarungan mereka berkutat pada politik budaya.
Berbagai asumsi yang berkembang itu
mengabaikan dua hal yang menjadi tantangan eksternal gerakan mahasiswa ke
depan:
Pertama, relasi kuasa; dan kedua, relasi
struktural.
Gerakan mahasiswa saat ini harus
berhadapan dengan relasi kekuasaan yang kompleks di luar dirinya. Relasi itu
terlembaga dalam hubungan antara gerakan mahasiswa dengan institusi-institusi
kekuasaan yang berpotensi mengkooptasinya.
Institusi kekuasaan pertama, tentu saja,
adalah birokrasi kampus. Sebagai lembaga yang secara hierarkis membawahi
gerakan mahasiswa, birokrasi kampus bekerja dengan aparatus pengetahuan dan
kebijakannya yang tidak terbebas dari kepentingan.
Kampus telah menjadi tempat di mana
kekuasaan, secara efektif dan nyaris tanpa perlawanan, bekerja dan diterima.
Kebijakan itu mengkondisikan dua hal: normalisasi dan depolitisasi mahasiswa.
Normalisasi mengkondisikan mahasiswa agar berpikiran bahwa kehidupan normal di
kampus yang terpusat semata pada aktivitas pembelajaran akademik, merupakan
satu-satunya pola kehidupan yang layak dan mesti dijalani. Karenanya, suatu hal
yang sia-sia menghabiskan waktu menjalani kehidupan abnormal dalam gerakan
mahasiswa.
Efek normalisasi ini adalah depolitisasi
kampus secara massif, yakni hilangnya ketertarikan mahasiswa untuk memahami realitas
di luar kampus yang sarat dengan persoalan sosial, politik, dan ekonomi.
Hal-hal yang politis, dan dapat memicu keresahan (uprising), dinetralisir, agar
mahasiswa tidak beranjak dari bangku kuliah dan tetap menjalani kehidupan
normalnya di dalam kampus.
Normalisasi dan depolitisasi itulah yang
terjadi saat ini, ketika kampus telah menjadi tempat yang nyaman dan tenang
dari hiruk-pikuk di luar. Birokrasi kampus, secara persuasif, telah berhasil
memainkan perannya dalam mengkondisikan mahasiswa agar kembali ke kampus (back
to campus). Yang menarik, jika pada masa Orde Baru normalisasi kampus itu
dilakukan secara sentralistik oleh negara (lewat NKK/BKK), sekarang tanpa
sentralisasi pun, kampus dengan otomatis dan sukarela saat ini beramai-ramai
melakukan normalisasi ini tanpa instruksi dan intimidasi apa pun, dan dengan
sukarela pula mahasiswa menerima dan menjalankannya.
Institusi berikutnya adalah partai
politik. Bila birokrasi kampus hampir selalu dalam sejarahnya merupakan “musuh
dalam selimut” bagi gerakan mahasiswa, partai politik merupakan institusi
kekuasaan yang relatif baru pasca-Reformasi. Berkembangnya partai-partai
politik baru pasca-Reformasi menyediakan akses yang luas pada mahasiswa untuk
terlibat dalam “politik praktis”, politik prosedural yang berorientasi pada
kekuasaan.
Dengan kebebasan politik yang dibuka oleh
Reformasi, partai-partai politik saat ini tidak saja berkembang di dalam arena
politik, tetapi juga melebarkan sayapnya ke dalam kampus dan arena politik
kampus. Partai politik memanfaatkan kekosongan yang diakibatkan oleh
depolitisasi kampus untuk melakukan “politisasi” atas mahasiswa, namun dengan
tujuan yang tidak berangkat dari kepentingan mahasiswa, melainkan tujuan yang
dibentuk oleh kepentingan partai.
Mungkin, inilah alasan mengapa
penggerusan gerakan mahasiswa sebenarnya tidak terjadi “di dalam” secara moral
atau eksistensial, tetapi oleh kekuatan luar, yang lebih memperlakukan gerakan
mahasiswa sebagai kendaraan untuk meraup dukungan politik. Hadirnya partai
politik di arena kampus ini secara lambat-laun mengubah orientasi gerakan
mahasiswa dari gerakan politik ekstraparlementer menjadi gerakan politik
parlementer, yang prosedural, birokratis, dan normatif.
Kemunduran gerakan mahasiswa, dengan
demikian, makin menemukan titik terangnya, bukan karena faktor moralitas atau
kegamangan eksistensial aktivisnya, melainkan karena runtuhnya independensi
gerakan mahasiswa dalam relasi kuasa yang dihadapi. Lemahnya independensi
disebabkan oleh ketidakmampuan gerakan mahasiswa memetakan relasi kuasa baru
apa yang muncul sekarang, dan bagaimana ia mengambil posisi atasnya.
Karena relasi kuasa cenderung menjerat
gerakan mahasiswa dalam pusaran kepentingan yang memperalat, maka terlihat
bahwa gerakan mahasiswa mesti mengambil rute lain yang berbeda, yang
berorientasi bukan pada upaya memperkuat daya tawar melawan relasi kuasa yang
ada, melainkan pada perubahan “struktural” yang langsung dan menyentuh
persoalan riil yang terabaikan oleh relasi kuasa. Untuk memahami bagaimana
perubahan struktural ini dimungkinkan, kita mesti menengok mengapa mahasiswa
(masih) berpotensi menjadi faktor penting dalam perubahan di bawah rezim
“Reformasi” saat ini.
Sering dikatakan, bahwa mahasiswa adalah
kaum terdidik, yang dengan pengetahuan dan wawasan intelektualnya menempati
posisi tersendiri dalam masyarakat. Dengan kapasitas intelektualnya, mahasiswa
mendapatkan keistimewaan, privilese, dan akses, yang memungkinkannya mengalami
mobilitas sosial yang lebih tinggi daripada mereka yang tak berpendidikan. Ini
membuktikan, bahwa mahasiswa sebenarnya layak disebut sebagai kelas tersendiri
dalam masyarakat, suatu kelas dengan ciri-cirinya yang khas, meski labil,
dengan orientasi-orientasi sosial tertentu.
Kita tahu, sebuah kelas dicirikan oleh
keterkaitannya dengan relasi produksi yang berkembang di tengah masyarakat.
Mengingat bahwa relasi produksi yang berkembang saat ini adalah kapitalisme,
dengan berbagai variannya, maka mahasiswa sebagai sebuah kelas, langsung maupun
tak langsung, juga terlibat di dalamnya. Yang menarik dilihat: dalam kapasitas
apakah mahasiswa masuk dalam relasi produksi ini?
Tidak seperti para advokat cultural
studies di atas, yang melihat mahasiswa hanya sebagai konsumen pasif di hadapan
kapitalisme, mahasiswa sebenarnya juga merupakan produsen dalam relasi produksi
yang dijaga oleh kapitalisme. Relasi produksi itu, yang membedakannya dari
kelas-kelas sosial yang lain, terletak bukan pada kerja, yang menghasilkan
komoditas yang dapat dinikmati langsung, tetapi pada pengetahuan, yang menghasilkan
“komoditas”, tetapi dalam bentuk yang sama sekali lain. Ini membuat mahasiswa
memiliki posisi tersendiri yang berbeda.
Kelebihan pada pengetahuan (surplus of
knowledge) itu memungkinkan mahasiswa, selama maupun selepas masa pembelajaran
di kampus, untuk mengalami mobilitas sosial ke kelas-kelas yang lebih tinggi.
Dengan pengetahuannya, mahasiswa mendapatkan pekerjaan, yang memberinya akses
pada status sosial dan kekuasaan baru. Adanya surplus pengetahuan ini membuat
posisi mahasiswa berada dalam irisan kelas sosial yang paling bawah—yakni kaum
tak berpunya absolut—dan kelas-kelas sosial yang lebih tinggi.
Pertanyaannya: dengan surplus pengetahuan
dan akses yang dibuka olehnya, orientasi apa yang dituju oleh mahasiswa, dan
gerakan mahasiswa secara umum? Dengan daya tawar yang cukup memadai pada level
pengetahuan, mahasiswa dihadapkan pada dua pilihan yang saling berseberangan:
tetap tidak beranjak dari posisinya sebagai kaum terpelajar—dan dengan
demikian, mengambil sikap “netral” dan “apolitis”—atau memilih naik ke tangga
yang lebih tinggi, dan dengan demikian, menjadi bagian dari kelas yang lebih
dominan.
Pemandangan mahasiswa pasca-Reformasi
memperlihatkan kecenderungan kedua. Alih-alih tetap dalam posisinya, mahasiswa
lebih memilih jalur mobilitas sosial yang lebih menguntungkan, pertama-tama
secara individual, lalu secara komunal (kelompok). Pencarian keuntungan dalam jalur
mobilitas yang disediakan oleh relasi produksi dalam kapitalisme, lebih lanjut
membawa mahasiswa bergabung ke dalam kelas sosial dominan yang ada (existing
ruling class). Di sini terjadi keselarasan antara logika ekonomi yang berbasis
pada keuntungan, dengan logika politik yang berbasis pada kekuasaan.
Karena itu tidak mengherankan bila dalam
waktu cepat, mahasiswa mampu “bermetamorfosa-diri” menjadi penguasa yang dulu
dilawannya. Pasca-Reformasi, hanya dalam waktu tak lama setelah keberhasilan
menjatuhkan rezim Soeharto, terjadi migrasi besar-besaran mahasiswa dan aktivis
kampus ke hiruk-pikuk dunia politik parlementer, yang dengan sekejap menyulap
“eks-aktivis” menjadi kolaborator rezim.
Di luar praktik politik parlementer,
sering dihembuskan optimisme, bahwa mahasiswa merupakan calon kelas menengah
yang mapan, dan menjadi aktor penting bagi perubahan bangsa ke depan. Optimisme
ini, di satu sisi, menunjukkan bahwa mahasiswa belum memenuhi syarat untuk
disebut kelas menengah yang mandiri, karena belum masuk ke lapangan kerja yang
profesional, tetapi juga menunjukkan bahwa mahasiswa, oleh kelas-kelas dominan,
diharapkan menjadi partner untuk membangun dominasi kelas yang lebih kuat.
Dengan pengetahuan yang dimiliki, konsolidasi kelas-kelas dominan akan terasa
lebih cepat dan lengkap. Kelas dominan telah memiliki sumberdaya ekonomi dan
kekuasaan, dan kini, dengan masuknya sumberdaya pengetahuan yang disediakan
oleh intelektual kampus ini, semakin utuh dan kuat rekonsilidasi itu, yang
selanjutnya membawa pada penguatan stabilitas pada tiga wilayah ekonomi,
politik, dan sosial.
Tarikan-tarikan pada level struktural itu
konkret adanya, dan membuat kita bertanya: jika benar, mahasiswa merupakan
kelas tersendiri, mengapa ia tampak tak berdaya?
Paradoks kelas terletak pada
pasang-surutnya kesadaran akan eksistensinya sebagai kelas—atau, sederhananya:
kesadaran kelas. Dan pasang-surut ini, dalam konteks gerakan mahasiswa,
disebabkan oleh makin kaburnya kelas inferior yang menjadi dasar bagi
eksistensi gerakan mahasiswa sejak dulu, yakni kelas bawah (rakyat miskin) yang
termarjinalkan dalam kompetisinya dengan kelas-kelas dominan.
Pertanyaan kita, yang tampaknya tak akan
terjawab dalam waktu singkat: bila gerakan mahasiswa mampu menyadari
kolektivitasnya sebagai kelas sosial yang potensial untuk bergabung dengan
kelas yang dominan, bisakah mereka melakukan bunuh diri kelas, dengan memutus
segala ikatan mobilitas sosial yang dimungkinkan oleh potensinya sebagai kaum
intelektual?
Jika kita mampu menjawab pertanyaan pelik
ini, tampaknya kita baru menemukan sedikit titik terang ke mana orientasi
gerakan mahasiswa ke depan mesti dibangun.***
Muhammad
Al- Fayyadl-Pria kelahiran Oktober 1985 ini sejak kecil menghabiskan masa
pendidikan di pesantren, mulai Pesantren Nurul Jadid di Kecamatan Paiton,
Probolinggo, Pesantren Nurul Qur’an di Kecamatan Kraksaan, Probolinggo, sampai
Pesantren Annuqayah di Kabupaten Sumenep, Madura. Dia menempuh pendidikan sarjana
di Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga,
Yogykarta, dan menyelesaikan gelar master di Université de Paris VIII
(Vincennes-Saint-Denis), Jurusan Filsafat dan Kritik Kontemporer Kebudayaan,
Prancis. Sejak sekolah menengah atas, dia sudah rajin menulis di koran. Dia
kini telah menerbitkan beberapa buku, di antaranya Derrida (2005) dan Teologi
Negatif Ibn ‘Arabi: Kritik Metafisika Ketuhanan (2012). Selain sebagai pengasuh
dan pengajar di Pesantren Nurul Jadid, saat ini Fayyadl—panggilan akrabnya—juga
bergiat di Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA). Beberapa
tulisan progresif yang menyuarakan ketidakadilan dan ketertindasan rakyat bisa
ditemukan diberbagai situs web, antara lain, Islam Bergerak (www.islambergerak.com),
Literasi.co (www.literasi.co), Indoprogress (www.indoprogress.com), dan Daulat
Hijau (www.daulathijau.org). (sumber: literasi.co)
Sumber>
http://www.simpulsemarang.org/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar