Rabu, 21 Oktober 2015

Tantangan Seni Pertunjukan Indonesia

Kelompok teater musikal mancanegara berdatangan ke Indonesia untuk mementaskan lakon terkenal, seperti Sound of Music. Pasar Negeri Jiran pun tak bergeming. Tantangan Indonesia menjadi tuan rumah bagi seniman teater musikal lokal dan mancanegara.
Lakon Beauty and The Beast di Ciputra Artpreneur Theater, Jakarta. (Detikcom Fotografer/Mohammad Abduh)

Laporan ini mengupas panjang lebar tentang seni pertunjukan Indonesia dengan segenap tantangannya dimuat di cnnindonesia.com, dan redaksi mantagibaru.com menilai tulisan ini sangat penting. Dengan menuliskan sumbernya, tulisan ini kami turunkan secara utuh dalam satu judul, dan subjudulnya sebagai judul tulisan yang dimuat website tersebut. Selamat membaca.

Untung Rugi Indonesia Menggelar Pertunjukan Seni Dunia
Ada dua alasan orang pergi berlibur ke luar negeri. Pertama, untuk mencari pengalaman baru. Kedua, untuk memamerkannya di media sosial. Apa pun alasannya, negara yang mereka datangi sudah pasti mendapatkan keuntungan secara ekonomi.
Belakangan ini, liburan ke luar negeri sambil menonton pergelaran seni sedang menjadi tren. Salah satu yang ramai diperbincangkan ialah menonton pertunjukan teater musikal ala Broadway yang populer di New York, Amerika Serikat. Kisah klasik yang diadegankan di atas panggung nan megah menjadi pencapaian tersendiri bagi mereka yang gemar akan seni.
Sekitar tahun 1990-an, Indonesia berhasil mendapatkan kue dari pasar konser musisi dunia. Sejak saat itu, banyak konser bertaraf internasional yang hadir di Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Kini, Indonesia kembali punya ambisi untuk mendapatkan kue dari pasar pertunjukan sandiwara kelas dunia.
Singapura sudah lebih dulu berambisi dalam hal itu. Di sana, berbagai teater Broadway sudah pernah digelar, dari Lion King hingga Cats. Dikatakan pemerhati seni Bram Kushardjanto, Singapura bisa lebih dulu mendapatkan kue karena infrastruktur mereka lebih mumpuni.
“Alasan pertama, gedung pertunjukan dengan standar produksi sekelas teater Broadway tersedia di Singapura. Jumlahnya juga lebih dari tiga lokasi. Ke-dua, Singapura mampu menghadirkan penonton dalam jumlah yang sangat banyak, karena sistem turisme di sana juga sudah bagus sekali,” kata Bram, saat dihubungi oleh CNN Indonesia pada Sabtu (10/10/2015).
Bram memuji apa yang sudah dilakukan oleh Singapura, tapi ia ingin agar Indonesia tidak terlena. Pasalnya, akan ada banyak sekali keuntungan yang Indonesia dapat jika bisa menggelar teater Broadway di tanahnya sendiri.
“Jumlah penonton yang banyak datang ke Singapura untuk melihat teater Broadway itu kebanyakan orang Indonesia. Saya pikir, sudah saatnya para pengusaha di dunia hiburan memikirkan peluang ini. Masa kita hanya jadi pembeli tiket sih?” ujar Bram.
“Bisa dibayangkan kok uang yang mengalir di industri teater Broadway ini. Pastinya juga berjumlah sangat besar. Satu produksi Beauty and the Beast saja bisa memutar miliaran uang,” lanjut Bram.
Bram merasa Indonesia sudah pantas menjadi tuan rumah teater Broadway. Tidak hanya di Jakarta, berbagai gedung pertunjukan yang layak pun sudah bertebaran di kota besar lainnya, antara lain Teater Jakarta, Ciputra Artpreneur, Teater Tanah Airku, Balai Kartini, Nusa Dua Bali, Bali Safari hingga Teater Besar Institut Seni Indonesia.
“Pasar penonton teater Broadway ada kok. Di Jakarta dan Bali sudah ada gedung pertunjukan. Saya pikir kalau distimulisasi, kota lain seperti Surabaya, Bandung, Medan atau Makassar akan bisa menyusul,” kata Bram.
“Jumlah penonton yang banyak datang ke Singapura untuk melihat teater Broadway itu kebanyakan orang Indonesia. Saya pikir, sudah saatnya para pengusaha di dunia hiburan memikirkan peluang ini. Masa kita hanya jadi pembeli tiket sih?”
Bram Kushardjanto
Lagi-lagi Pemerintah
Beberapa teater Broadway bertaraf dunia pernah digelar di Indonesia, salah satunya ialah Beauty and the Beast di Ciputra Artpreneur pada Mei kemarin. Teater yang tersebut sukses digelar, namun meninggalkan rasa miris di hati Bram.
“Industri di Broadway menjadi besar karena yang nonton tidak hanya orang Amerika. Broadway menjadi pilihan hiburan yang penting. Serius sekali buat strateginya. Nah bandingkan di sini, Wayang Orang Bharata bolak balik mati suri. Pemerintah daerah (Pemda) selama ini berpartisipasi cuma sebatas meminjamkan gedungnya saja. Tapi tidak ada upaya untuk menambah jumlah penontonnya,” kata Bram.
“Orang-orang Pemda bilang sudah dipromosikan. Promosi apa? Masuk brosur pariwisata yang penyebarannya juga nggak jelas ke mana itu? Strateginya mana? Itu baru Wayang Orang Bharata. Teater Miss Tjitjih sekarang merana. Tahu enggak mereka? Pemerintah jangan bisanya cuma nebeng promosi dong,” lanjut Bram.
Kelompok Sandiwara Miss Tjitjih mempersembahkan seandiwara yang mengisahkan tentang Pangeran Jayakarta dengan gaya komedi khas Sunda dan sebagai bintang tamunya Fitri Tropica. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Kelompok Sandiwara Miss Tjitjih mempersembahkan seandiwara yang mengisahkan tentang Pangeran Jayakarta dengan gaya komedi khas Sunda dan sebagai bintang tamunya Fitri Tropica.
Asas “sambil menyelam minum air” agaknya masih dijunjung tinggi oleh para turis jika bertandang ke suatu daerah. Jika di Singapura banyak pilihan tempat wisata lain yang bisa dikunjungi setelah menonton teater Broadway, apa yang bisa ditawarkan oleh Indonesia?
“Jangan takutkan hal tersebut. Indonesia memiliki banyak tempat wisata lain yang tidak kalah menarik dengan Singapura. Hanya saja konsep wisatanya perlu digarap dengan serius terlebih dahulu,” kata Bram.
Setelah Sound of Music digelar di Indonesia pada bulan ini, Bram masih menanti teater Broadway Phantom of the Opera, Cats, Miss Saigon, We Will Rock You dan Lion King. Namun ramainya teater Broadway dipastikan Bram tidak akan melunturkan kebudayaan asli Indonesia.
“Produksi-produksi internasional itu justru bisa jadi referensi bagus karena memperkaya produksi dan kreativitas seniman lokal. Pertanyaannya justru pengatur negara gimana? Mampu enggak mendorong kesenian lokal tetap maju?” ujar Bram menutup pembicaraan.
Suka Duka Menjadi Seniman Teater Musikal
Di balik kecerian para pemeran teater musikal, terdapat cerita suka dan duka dibalik senyum dan semangat mereka.
Untuk menghadirkan sebuah tampilan megah di atas panggung teater musikal bukan suatu perkara mudah, keringat dan air mata lah yang menjadi saksi jerih payah mereka.
Seorang penampil teater musikal dari Jakarta, Arsy Fadillah, menceritakan pengalamannya selama tiga tahun berkarya di ranah seni pertunjukan dalam bentuk teater musikal.
"Saya mulai tertarik dengan teater musikal ketika saya masih jadi mahasiswa, waktu itu saya belajar tentang performing art. Dalam subjek itu ada yang namanya teater musikal," kata Arsy kepada CNN Indonesia, Jakarta, Sabtu (10/10/2015).
Awalnya, ia mengaku hanya bisa menyanyi. Namun teater musikal tidak melulu menampilkan seni olah vokal itu, namun juga mengedepankan aspek akting dan menari.
"Teater musikal membuat saya sadar bahwa menyanyi bukan lah satu-satunya hal penting, namun menari dan akting juga harus dilatih," dia menceritakan.
Pada saat masih kuliah, ia dan teman-temannya sempat membuat projek teater musikal kecil-kecilan. Akan tetapi, ia mendapatkan dorongan dari teman-temannya untuk ikut audisi dan casting teater musikal di luar kampusnya.
"Jadi dari cuma project kelas, saya beranikan diri untuk audisi teater musikal di luar," Arsy menuturkan.
Setelah itu, Arsy, yang sudah ikut serta dalam lakon teater musikal seperti Once, Catch Me If You Can dan Love Beyond 12 AM, ini bertemu dengan banyak orang dari teater musikal. Ia mengaku mendapatkan banyak pengalaman saat itu.
Sebagai aktor teater musikal, banyak suka dan duka yang ia alami selama tiga tahun belakangan. Menjadi penampil dalam pagelaran musik itu membutuhkan kerja keras dan kucuran air keringat.
"Kalau lagi tampil, kita harus lebay, karena tidak seperti di bioskop, para penampil teater musikal kita harus menjangkau semua penonton dari depan sampai yang belakang," Arsy menceritakan.
Rasa letih, pulang larut malam, berlatih dengan keras, adalah konsumsinya sehari-hari. Namun ia tidak merasakan beban sekalipun, karena pekerjaan yang ia lakukan didasari dengan rasa cinta yang kuat terhadap teater musikal itu sendiri.
Selain itu, ia mempunyai cerita "memalukan" ketika tampil di atas panggung. Saat itu, sepatu yang ia pakai lepas dan menganggu konsentrasinya ketika bernyanyi dan berakting.
"Waktu itu sepatu saya lepas ketika saya tampil, jadi kita harus memasang sepatu kita tanpa memperlihatkan kalau itu kesalahan kita," ucapnya.
Pengalaman tak terlupakan lainnya adalah, ketika Arsy kehabisan suaranya. Setelah berhari-hari tampil nonstop, akhirnya suara Arsy pun habis, padahal ia masih harus melakoni teater musikal lainnya.
"Setelah beberapa hari tampil, saya harus bernyanyi lagi namun suara saya habis. Mau gak mau harus saya lypsinc, dibantu oleh rekan di belakang panggung," tambah Arsy.
Namun, selalu akan ada pelangi setelah hujan. Kata-kata itu cocok untuk menggambarkan karier Arsy sebagai penampil teater musikal. Walaupun begitu banyak duka yang ia harus alami, cerita-cerita bahagia pun juga keluar dari mulutnya.
"Paling bahagia itu, walaupun kita sudah capek tampil, tapi ketika melihat antusiasme penonton saya langsung semangat lagi untuk tampil di depan mereka," katanya.
Seringkali Arsy, yang sempat mewakili Indonesia di Latvia dalam ajang choir, mendapatkan standing ovation ketika turun dari panggung. Hal tersebut membuat rasa letih dalam dirinya hilang seketika.
Banyak keuntungan yang Arsy dapatkan selama ia melakoni hidupnya sebagai penampil teater musikal, ia mengaku mendapatkan banyak teman dan sahabat serta pelajaran baru.
Ke depannya, Arsy ingin sekali masyarakat Indonesia lebih sadar akan dunia seni pertunjukan, salah satunya adalah teater musikal.
Ia juga berharap, bahwa di masa depan, Indonesia akan memiliki sekolah-sekolah teater yang dapat melahirkan generasi penerusnya sebagai penampil.
"Semoga saja Indonesia akan menjadi sarang baru dari pasar teater musikal dunia."
Lebih lanjut, pada Desember nanti, Arsy akan mengikuti teater musikal Jersey Boys. Jersey Boys sendiri adalah cerita teater yang sangat terkenal di Broadway, New York, Amerika Serikat.
Mimpi Indonesia Jadi Magnet Pertunjukan Seni di Asia
Tak perlu lagi jauh-jauh ke New York atau London untuk menyaksikan gegap gempita pertunjukan teater Broadway. Kini, seperti halnya konser musik, Indonesia mulai dimasukkan dalam daftar negara yang dikunjungi saat teater itu berkeliling dunia.
Beauty and the Beast, misalnya. Saat mengadakan tur ke Asia, ia memutuskan mampir di Indonesia pada Mei sampai Juni lalu. Untuk pertama kalinya, seluruh masyarakat Indonesia berkesempatan menonton langsung gelaran Disney dan Broadway.
Bulan ini, ada Sound of Music. Dibawakan oleh West End Musical Theater dari London Palladium, Inggris pertunjukan musikal itu hadir di Indonesia, pertama dan satu-satunya negara di Asean yang dipilih. Mereka sampai memboyong 10 kontainer peralatan dan 90 kru langsung dari London.
Hadirnya pertunjukan-pertunjukan seni dunia itu tak lepas dari dibangunnya gedung teater berstandar internasional pertama di Indonesia. Beauty and the Beast dan Sound of Music kebetulan dipentaskan di gedung yang sama, Ciputra Artpreneur yang mulai aktif sebagai gedung pertunjukan sejak sekitar Agustus 2014.
"Dulu panggung Broadway tak pernah hadir, karena Indonesia belum punya fasilitas yang dianggap layak. Sekarang kita memilikinya, terutama audio yang berskala internasional," Direktur Ciputra Artpreneur Sri Muliani suatu kali pernah mengatakan.
Itu dibenarkan Martinus Johannes, Marketing Communication Ciputra Artpreneur, yang dihubungi CNN Indonesia, pada Sabtu (10/10/2015).
"Banyak standar yang harus dipenuhi untuk mengundang pertunjukan Broadway, dan kesesuaian teater merupakan salah satu yang terpenting," katanya meyakinkan.
Produser pertunjukan atau salah satu timnya bahkan sampai harus datang sendiri untuk memastikan gedung yang tersedia sesuai keinginan mereka.
Standar minimal, Martin menerangkan, biasanya berkaitan dengan luas panggung, fly tower dengan jumlah fly bar tertentu, fasilitas follow spot booth dan audiovisual, kapasitas manajemen, manajemen separasi yang baik, serta black of house yang bisa melayani sampai puluhan kru dan pemain.
Diakui Martin, tidak mudah memang mendapat kepercayaan produser pertunjukan sekelas Broadway. Namun sekali pertunjukan sukses, itu menjadi bukti untuk teater selanjutnya. Saat Beauty and the Beast, ia bercerita, para pemain pertunjukan sampai kaget dan kagum dengan apresiasi penonton.
"Mereka sangat terkesan, dan ini terlihat bahkan sampai komentar-komentar pribadi mereka di media sosial," tutur Martin. Tak disangka penonton Indonesia pun "melek" seni dan sangat menghargai pertunjukan kelas dunia semacam itu. Mereka puas.
Dari situ, jalan menuju pertunjukan selanjutnya seperti Sound of Music yang kini tengah berlangsung, jadi mudah. Martin bahkan mengakui adanya produser yang semakin aktif menawarkan pertunjukan ke Indonesia. Tim internal yang justru harus melakukan riset untuk menyeleksi.
"Harus sesuai dengan masyarakat Indonesia, karena kita dunia baru bagi Broadway, dan kami wajib memetakan perkembangannya agar bisa mengarah ke kemajuan seni pertunjukan Indonesia," tuturnya.
Saat ditanya tren atau seni pertunjukan seperti apa yang menjadi pilihan animo masyarakat, Martin tak bisa menjawab. Katanya, masih terlalu dini untuk mengatakan bahwa pemetaan tren itu sudah ada. "Tren kita baru mulai terbentuk," ujarnya.
Yang jelas, produser yang kebanyakan menawarkan pertunjukan ke Indonesia adalah dari New York. Pertunjukan yang ditawarkan pun mencakup Broadway dan West End. Bukan hanya itu, produser lokal pun semakin aktif. Meski tak bisa dipungkiri, ada perbedaan antara pertunjukan lokal dan asing.
"Tapi soal cara dan gaya menampilkannya saja. Banyak kok produksi profesional lokal yang udah mengerti keperluan standar teater," kata Martin.
Hanya saja, karena baru menggeliat, sistem produksi pertunjukan teater Indonesia belum teratur seperti Broadway atau West End. Persiapan tur Broadway jauh lebih matang. Proses pemasukan barang dan pengaturan panggung sangat cepat. Semua harus dibuat efisien di tengah jadwal padat.
"Kami jelas terbantu. Nah, produksi kita belum terbiasa dengan itu," ujar Martin melanjutkan.
Tak bisa dipungkiri, kehadiran Ciputra Artpreneur yang berdiri di atas lahan sekira 10 ribu meter persegi itu ibarat cambuk yang melecut geliat seni pertunjukan Tanah Air. Berlokasi tak jauh dari tengah kota, gedung itu juga mudah diakses dan dekat dengan pusat-pusat hiburan lainnya.
Diterangkan Martin, Ciputra Artpreneur sejatinya bukan hanya gedung pertunjukan semata. Ia juga berfungsi sebagai museum seni dan galeri.
"Semua dibuat dengan standar internasional, dengan fasilitas lengkap yang bisa mengakomodir karya seni dan pertunjukan internasional. Itu mencakup keamanan, peralatan teknis, fasilitas ruangan, dan lain-lain," ujarnya. Ia menambahkan, ada keunikan khusus yang disebut fly tower, di atas panggung.
"Gedung teater ini tingginya 22 meter dan mampu mengubah background panggung dalam hitungan detik," Martin mengatakan. Fly tower memang wajib ada di gedung pertunjukan. Di Jakarta pun sudah ada beberapa gedung yang dilengkapi itu. Namun, soal skala dan kelengkapan ia lebih unggul.
Jika diibaratkan di luar negeri, Martin menyebut Ciputra Artpreneur selayak MasterCard Theater di Marina Bay Sands.
"Saat pembuatan memang survei ke Italia, Inggris, China, Singapura, dan beberapa negara lain. Konsultannya pun para ahli yang terlibat pembangunan teater besar dunia," katanya.
Berbekal itu, Martin mengaku siap jika Indonesia diminta bersaing dengan negara-negara tetangga soal seni pertunjukan. Ia bahkan berani merebut pasar penonton pertunjukan seni di Singapura. Sebab, Ciputra Artpreneur bisa memberi pertunjukan dengan kualitas yang sama di dalam negeri sendiri.
"Pasar besar Singapura misalnya, sebenarnya ya warga Indonesia. Jadi kami yakin bisa menarik pasar. Kini kita bisa menonton pertunjukan internasional di Jakarta dengan lebih mudah dan efisien secara biaya," ujar Martin menekankan.
Ia menambahkan, Ciputra Artpreneur bahkan punya target menjadi lokasi utama bagi pertunjukan-pertunjukan teater internasional di Asia.
Air Mata Bahagia Para Pecinta Teater Musikal
Perasaan haru dan gembira, bercampur dengan tetesan air mata, menyelimuti para pecinta pagelaran teater musikal yang diselenggarakan di New York, London, Paris dan Singapura.
Mereka tak sanggup menahan rasa takjub ketika melihat para aktor memainkan perannya  di atas panggung megah yang disajikan dengan indah.
Beberapa orang yang pernah merasakan kemeriahan panggung teater musikal di beberapa kota besar di dunia, menceritakan pengalaman mereka dengan penuh semangat, mungkin karena mereka masih dapat merasakan atmosfer magis panggung teater musikal yang mereka hadiri.
Ade Marni, seorang pecinta teater musikal yang mengaku pernah merasakan megahnya panggung teater musikal di Singapura dan Australia, menceritakan keseruan yang ia dapatkan ketika terhanyut dalam kemeriahan pagelaran itu.
"Membuat saya merinding, saya sempat menangis pada saat menonton teater musikal di Singapura. Saya terbawa suasana lagu dan ceritanya," kata Ade pada saat dihubungi CNN Indonesia, Jakarta, pada Jumat (9/10/2015).
Kala itu, Ade menghadiri pagelaran teater musikal bertajuk Phantom of The Opera dan Lion King. Tidak hanya terharu, Ade pun dapat kembali merasakan asyiknya menjadi anak kecil lagi saat menonton teater musikal Lion King.
"Rasanya seperti menjadi anak kecil lagi, jadi nostalgia nih," Ade menceritakan.
Selain Ade, seorang pecinta teater musikal lainnya, Fiya Muiz, mengaku juga pernah menonton teater musikal Lion King. Namun, agaknya ia lebih beruntung dibandingkan Ade. Fiya menonton teater musikal Lion King di Lyceum Theatre di London, Inggris.
"Pengalaman yang sungguh berbeda, melebihi dugaan saya, tidak sia-sia saya menghabiskan uang banyak untuk menonton teater musikal itu," Fiya mengucapkan dengan penuh semangat.
"Produksi, tata panggung, dan aktornya berada di level yang berbeda, sangat luar biasa," dia menambahkan.
Sama halnya dengan Ramonita Baradja, seorang penulis dan pecinta teater musikal itu pernah merasakan dahsyatnya panggung teater di Royal Theatre Drury Land, Inggris. Kala itu ia menyaksikan teater musikal Shrek The Musical.
"Saya terharu, akhirnya saya bisa nonton langsung, salah satu pengalaman yang tidak dapat terulang lagi," Ramonita menjelaskan.
Bahkan, ia mengakui, walau diberikan kesempatan berulang-ulang untuk menonton teater musikal di sana, ia tidak akan pernah merasa jenuh.
Menurutnya, warga Inggris sendiri tidak mau menyebut teater musikalnya dengan nama Broadway, mereka memiliki sebutan tersendiri, yakni West End Shows.
Kesan Ramonita ketika melihat langsung panggung di sana juga menarik, yang biasanya hanya dapat dilihat dari internet, akhirnya ia dapat menjadi saksi dari keindahan panggung teater di London.
Cerita-cerita itu hanya akan membuat iri para pecinta teater musikal di Indonesia yang bermimpi ingin merasakan langsung pengalaman tak terlupakan itu.
Akan tetapi, kenapa harus jauh-jauh menonton teater musikal? Indonesia pun memiliki potensi yang sungguh besar untuk menggelar pagelaran teater musikal yang tidak kalah serunya, mengingat budaya negeri kita melimpah ruah.
Potensi Lakon Teater Musikal Indonesia
"Dari dulu, saya sudah berpikir bahwa Indonesia memiliki potensi pasar yang amat sangat baik untuk menggelar teater musikal," Ade mengujarkan.
Selain memiliki lahan yang dapat dijadikan tempat menggelar teater musikal, menurutnya banyak sekali budaya Indonesia yang dapat diadaptasikan menjadi cerita untuk teater musikal.
"Ya sebut saja Bawang Merah dan Bawang Putih, lalu juga ada Malin Kundang atau Rama Shinta. Cerita legenda itu dapat dijadikan teater musikal kok," tuturnya.
Namun, menurutnya, tingkat kedisiplinan masyarakat Indonesia pun juga harus ditingkatkan jika ingin mengadakan teater musikal dengan skala besar.
Ketika ia mengunjungi pagelaran teater musikal Phantom of The Opera di Marina Bay Sands, Singapura, ia mengatakan bahwa tingkat keamanannya sangat ketat, sampai-sampai para penonton tidak boleh mengambil foto ketika acara sedang dimulai.
"Saya sempat datang ke salah satu teater musikal di Indonesia, tapi banyak penonton yang mengambil foto ketika acara lagi dilaksanakan, hal itu sangat tidak baik," dia menjelaskan.
Menurutnya, cahaya yang dihasilkan kamera itu akan mengganggu penonton lainnya, sehingga tingkat kekhusyukan menonton teater musikal pun mengurang.
Mengaku pernah mengunjungi pagelaran teater musikal Sound of Music di Jakarta, Ade menegaskan bahwa tata panggung, kualitas musik dan suara serta ceritanya pun tidak kalah dengan teater musikal yang diadakan di luar negeri.
"Ngapain kita harus ke luar negeri untuk nonton teater musikal kalau kita sendiri bisa menyelenggarakannya di negeri kita sendiri."
Santun Menonton Seni Pertunjukan
Memiliki opini yang sama dengan Ade, Ramonita punya cerita lucu mengenai penonton yang mengambil foto disela-sela teater musikal sedang berlangsung.
"Di Amerika, sempat ada aktor teater musikal yang kesal dengan penonton karena mengambil foto dan memainkan handphone saat acara berlangsung, sampai-sampai aktor itu turun dari panggung dan merampas handphone penonton itu," Ramonita menceritakan.
Tidak hanya penonton yang terganggu, pemain teater musikal pun menurutnya dapat kehilangan fokus ketika ada cahaya yang muncul dari kamera foto atau handphone.
"Jadi harus benar-benar disiplin dan taat peraturan kalau mau nonton teater musikal."
Unsur Penting dalam Teater Musikal
Indonesia memang memiliki potensi besar dalam menyelenggarakan teater musikal, namun, menurut para penikmatnya, masih terdapat beberapa unsur penting yang harus dipenuhi oleh Indonesia.
"Musik, alur cerita, tata panggung, kostum para artis adalah hal-hal penting yang harus dipenuhi dalam menyelenggarakan teater musikal," ujar Ade.
Berbeda dengan Ade, Melisa, seorang pecinta teater musikal Tanah Air lainnya, mengatakan bahwa alur cerita berada di atas segala-galanya.
Ia menganggap, sebuah teater musikal lokal tidak perlu mendatangkan artis mancanegara, cukup dengan mendatangkan artis lokal yang memiliki kelihaian dalam berakting. Akan tetapi, alur cerita yang dibawa harus menarik, karena alur cerita dianggap sebagai daya tarik tertinggi dalam masyarakat.
Meski demikian, Melisa berkeluh kesah terkait kurangnya gedung atau wadah untuk menyelenggarakan teater musikal.
"Kalau Indonesia ingin menjadi pasar teater musikal," kata Melisa, "perbanyak gedung dan tempat untuk penyelenggaraannya. Masalah teknis juga harus diperhatikan biar semakin rapi pelaksanaannya."
Darurat Gedung Kesenian Khusus Pertunjukan Indonesia
Bagi sebagian pencinta seni, hadirnya kelompok teater musikal mancanegara, yang menyuguhkan lakon legendaris macam Sound of Music dan Beauty and The Beast di Indonesia, terbilang menyenangkan.
Selain beroleh pengalaman seru memirsa lakon favorit, juga kepuasan batin. Utamanya karena kelompok teater musikal mancanegara memang piawai meramu alur kisah dengan dukungan properti—dari kostum sampai tata panggung—memadai.
Namun bagi pegiat seni pertunjukan Jay Subiyakto, yang berpengalaman sebagai art director konser maupun teater musikal, kehadiran kelompok teater musikal mancanegara di Indonesia tak selamanya menyenangkan.
“Buat saya, hal itu merugikan kesenian Indonesia,” kata Jay kepada CNN Indonesia melalui sambungan telepon, pada Jumat (9/10/2015). “Kita cuma hadir sebagai penonton, dan yang ditonton pun bukan kelas satu.”
Ditegaskan Jay, bila gedung pertunjukan di Indonesia hanya terbuka bagi kelompok seni pertunjukan mancanegara, bukannya menjadi tuan rumah di negeri sendiri, maka lama kelamaan seni pertunjukan Indonesia bakal mati.
“Seharusnya gedung pertunjukan Indonesia lebih banyak menampilkan seni pertunjukan khas Indonesia,” kata Jay. Dengan begitu, kehidupan seniman dan seni pertunjukan Indonesia terus bergeliat dan berkembang maju.
Pria kelahiran Ankara, Turki, ini mencontohkan sikap bijak Pemerintah Jepang dan Korea Selatan dalam membangun infrastruktur demi mempertunjukkan karya seni budaya, sehingga produk domestik macam K-pop bisa mendunia.
Sayangnya, dalam pandangan Jay, sejauh ini Indonesia belum memiliki gedung pertunjukan memadai yang didukung kelengkapan infrastruktur. Ia mencontohkan kesulitan mengganti set properti dengan cepat di arena panggung sempit.
Jay mengaku prihatin, kebanyakan promotor dan penonton malah tak menghargai seni budaya lokal yang kita miliki, padahal pangsa pasarnya tak kalah besar. Terbukti lakon teater musikal Laskar Pelangi pernah berjaya, bahkan hingga Negeri Jiran.
Sebagaimana dikabarkan sejumlah media massa, tiket lakon teater musikal yang diadaptasi dari novel karya Andrea Hirata itu langsung sold out pada hari pertama penjualan. Lakon ini dipentaskan di Theater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, pada 1–11 Juli 2011.
Lakon yang menyedot sekitar 25.000 penonton ini digarap bersama oleh Miles Productions, Link Entertainment, Signature Musik Indonesia, dengan melibatkan Mira Lesmana, Riri Riza, Erwin Gutawa, Hartati, Toto Arto, dan tentu saja Jay.
Jay sendiri memulai kiprahnya, sejak 1990, sebagai sutradara video musik, antara lain untuk musisi Chrisye dan Anggun. Selain dikenal sebagai penata artistik andal, Jay juga berprofesi sebagai fotografer.
Pria berambut panjang ini pernah menjadi penata artistik konser Anggun, Rossa, 3 Diva, Koes Plus, Krisdayanti, Chrisye, serta David Foster bersama Twilite Orchestra. Juga teater musikal Ariah, Laskar Pelangi, dan Matah Ati.
Senada dengan Jay, Melisa Mangunsong yang kerap menonton aksi teater musikal di Indonesia dan mancanegara pun menilai, tidak perlu mendatangkan artis mancanegara, cukup dengan mendatangkan artis lokal yang memiliki kelihaian dalam berakting.
"Kalau Indonesia ingin menjadi pasar teater musikal, perbanyak gedung dan tempat untuk penyelenggaraannya," kata Melisa saat dihubungi CNN Indonesia, Sabtu kemarin (10/10/2015). "Masalah teknis juga harus diperhatikan biar semakin rapi pelaksanaannya."
Soal ini Jay berpendapat, “Singapura tidak punya seni budaya asli, tapi punya gedung pertunjukan yang bagus. Masa kita yang punya seni budaya asli begitu kaya dan beragam malah tidak punya gedung pertunjukan yang sama bagus?”
Ditambahkan Jay, kebutuhan seniman lokal bukan sekadar fasilitas gedung pertunjukan yang memadai, melainkan juga biaya sewa terjangkau. Tingginya harga sewa gedung pertunjukan pun bisa mematikan kehidupan seniman dan seni Indonesia sendiri. 
Bagaimana tidak, harga sewa gedung pertunjukan yang tinggi itu akan berimbas ke harga tiket pertunjukan. Sementara kebanyakan orang Indonesia enggan membeli tiket pertunjukan yang relatif mahal.
Selain perkara gedung pertunjukan, hal lain yang tak kalah penting adalah meramu kisah yang bisa diterima penonton era sekarang. Bukan semata “tradisional” melainkan ramuan baru yang membuat lakon tradisional tersimak segar dan baru.
“Kita harus mempertunjukkan kesenian kita sendiri. Seni kontemporer, seni zaman sekarang, yang memperlihatkan kemampuan kita sebagai negara maju,” kata Jay yang tak ingin mempertunjukkan seni Indonesia dalam kemasan kuno.
Sependapat dengan Jay, Melisa pun berharap, alur cerita teater musikal atau seni pertunjukan yang dibawakan para seniman harus menarik, karena alur cerita dianggap sebagai daya tarik tertinggi dalam masyarakat.
Sumber: cnnindonesia.com 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...