Kelompok teater musikal mancanegara
berdatangan ke Indonesia untuk mementaskan lakon terkenal, seperti Sound of Music. Pasar Negeri Jiran pun
tak bergeming. Tantangan Indonesia menjadi tuan rumah bagi seniman teater
musikal lokal dan mancanegara.
Lakon Beauty and The Beast di Ciputra Artpreneur Theater, Jakarta. (Detikcom Fotografer/Mohammad Abduh)
|
Laporan ini mengupas panjang lebar
tentang seni pertunjukan Indonesia dengan segenap tantangannya dimuat di cnnindonesia.com,
dan redaksi mantagibaru.com menilai tulisan ini sangat penting. Dengan
menuliskan sumbernya, tulisan ini kami turunkan secara utuh dalam satu judul,
dan subjudulnya sebagai judul tulisan yang dimuat website tersebut. Selamat
membaca.
Untung
Rugi Indonesia Menggelar Pertunjukan Seni Dunia
Ada dua alasan orang pergi berlibur ke
luar negeri. Pertama, untuk mencari pengalaman baru. Kedua, untuk memamerkannya
di media sosial. Apa pun alasannya, negara yang mereka datangi sudah pasti
mendapatkan keuntungan secara ekonomi.
Belakangan ini, liburan ke luar negeri
sambil menonton pergelaran seni sedang menjadi tren. Salah satu yang ramai
diperbincangkan ialah menonton pertunjukan teater musikal ala Broadway yang
populer di New York, Amerika Serikat. Kisah klasik yang diadegankan di atas
panggung nan megah menjadi pencapaian tersendiri bagi mereka yang gemar akan
seni.
Sekitar tahun 1990-an, Indonesia berhasil
mendapatkan kue dari pasar konser musisi dunia. Sejak saat itu, banyak konser
bertaraf internasional yang hadir di Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Kini,
Indonesia kembali punya ambisi untuk mendapatkan kue dari pasar pertunjukan
sandiwara kelas dunia.
Singapura sudah lebih dulu berambisi
dalam hal itu. Di sana, berbagai teater Broadway sudah pernah digelar, dari
Lion King hingga Cats. Dikatakan pemerhati seni Bram Kushardjanto, Singapura
bisa lebih dulu mendapatkan kue karena infrastruktur mereka lebih mumpuni.
“Alasan pertama, gedung pertunjukan
dengan standar produksi sekelas teater Broadway tersedia di Singapura.
Jumlahnya juga lebih dari tiga lokasi. Ke-dua, Singapura mampu menghadirkan
penonton dalam jumlah yang sangat banyak, karena sistem turisme di sana juga
sudah bagus sekali,” kata Bram, saat dihubungi oleh CNN Indonesia pada Sabtu
(10/10/2015).
Bram memuji apa yang sudah dilakukan oleh
Singapura, tapi ia ingin agar Indonesia tidak terlena. Pasalnya, akan ada
banyak sekali keuntungan yang Indonesia dapat jika bisa menggelar teater
Broadway di tanahnya sendiri.
“Jumlah penonton yang banyak datang ke
Singapura untuk melihat teater Broadway itu kebanyakan orang Indonesia. Saya
pikir, sudah saatnya para pengusaha di dunia hiburan memikirkan peluang ini.
Masa kita hanya jadi pembeli tiket sih?” ujar Bram.
“Bisa dibayangkan kok uang yang mengalir
di industri teater Broadway ini. Pastinya juga berjumlah sangat besar. Satu
produksi Beauty and the Beast saja bisa memutar miliaran uang,” lanjut Bram.
Bram merasa Indonesia sudah pantas
menjadi tuan rumah teater Broadway. Tidak hanya di Jakarta, berbagai gedung
pertunjukan yang layak pun sudah bertebaran di kota besar lainnya, antara lain
Teater Jakarta, Ciputra Artpreneur, Teater Tanah Airku, Balai Kartini, Nusa Dua
Bali, Bali Safari hingga Teater Besar Institut Seni Indonesia.
“Pasar penonton teater Broadway ada kok.
Di Jakarta dan Bali sudah ada gedung pertunjukan. Saya pikir kalau
distimulisasi, kota lain seperti Surabaya, Bandung, Medan atau Makassar akan
bisa menyusul,” kata Bram.
“Jumlah penonton yang banyak datang ke
Singapura untuk melihat teater Broadway itu kebanyakan orang Indonesia. Saya
pikir, sudah saatnya para pengusaha di dunia hiburan memikirkan peluang ini.
Masa kita hanya jadi pembeli tiket sih?”
Bram Kushardjanto
Lagi-lagi
Pemerintah
Beberapa teater Broadway bertaraf dunia
pernah digelar di Indonesia, salah satunya ialah Beauty and the Beast di Ciputra Artpreneur pada Mei kemarin. Teater
yang tersebut sukses digelar, namun meninggalkan rasa miris di hati Bram.
“Industri di Broadway menjadi besar
karena yang nonton tidak hanya orang Amerika. Broadway menjadi pilihan hiburan
yang penting. Serius sekali buat strateginya. Nah bandingkan di sini, Wayang
Orang Bharata bolak balik mati suri. Pemerintah daerah (Pemda) selama ini
berpartisipasi cuma sebatas meminjamkan gedungnya saja. Tapi tidak ada upaya
untuk menambah jumlah penontonnya,” kata Bram.
“Orang-orang Pemda bilang sudah
dipromosikan. Promosi apa? Masuk brosur pariwisata yang penyebarannya juga
nggak jelas ke mana itu? Strateginya mana? Itu baru Wayang Orang Bharata.
Teater Miss Tjitjih sekarang merana. Tahu enggak mereka? Pemerintah jangan
bisanya cuma nebeng promosi dong,” lanjut Bram.
Kelompok Sandiwara Miss Tjitjih
mempersembahkan seandiwara yang mengisahkan tentang Pangeran Jayakarta dengan
gaya komedi khas Sunda dan sebagai bintang tamunya Fitri Tropica.
Asas “sambil menyelam minum air” agaknya
masih dijunjung tinggi oleh para turis jika bertandang ke suatu daerah. Jika di
Singapura banyak pilihan tempat wisata lain yang bisa dikunjungi setelah
menonton teater Broadway, apa yang bisa ditawarkan oleh Indonesia?
“Jangan takutkan hal tersebut. Indonesia
memiliki banyak tempat wisata lain yang tidak kalah menarik dengan Singapura.
Hanya saja konsep wisatanya perlu digarap dengan serius terlebih dahulu,” kata
Bram.
Setelah Sound of Music digelar di
Indonesia pada bulan ini, Bram masih menanti teater Broadway Phantom of the Opera, Cats, Miss Saigon, We Will
Rock You dan Lion King. Namun
ramainya teater Broadway dipastikan Bram tidak akan melunturkan kebudayaan asli
Indonesia.
“Produksi-produksi internasional itu
justru bisa jadi referensi bagus karena memperkaya produksi dan kreativitas
seniman lokal. Pertanyaannya justru pengatur negara gimana? Mampu enggak
mendorong kesenian lokal tetap maju?” ujar Bram menutup pembicaraan.
Suka Duka
Menjadi Seniman Teater Musikal
Di balik kecerian para pemeran teater
musikal, terdapat cerita suka dan duka dibalik senyum dan semangat mereka.
Untuk menghadirkan sebuah tampilan megah
di atas panggung teater musikal bukan suatu perkara mudah, keringat dan air
mata lah yang menjadi saksi jerih payah mereka.
Seorang penampil teater musikal dari
Jakarta, Arsy Fadillah, menceritakan pengalamannya selama tiga tahun berkarya
di ranah seni pertunjukan dalam bentuk teater musikal.
"Saya mulai tertarik dengan teater
musikal ketika saya masih jadi mahasiswa, waktu itu saya belajar tentang
performing art. Dalam subjek itu ada yang namanya teater musikal," kata
Arsy kepada CNN Indonesia, Jakarta, Sabtu (10/10/2015).
Awalnya, ia mengaku hanya bisa menyanyi.
Namun teater musikal tidak melulu menampilkan seni olah vokal itu, namun juga
mengedepankan aspek akting dan menari.
"Teater musikal membuat saya sadar
bahwa menyanyi bukan lah satu-satunya hal penting, namun menari dan akting juga
harus dilatih," dia menceritakan.
Pada saat masih kuliah, ia dan
teman-temannya sempat membuat projek teater musikal kecil-kecilan. Akan tetapi,
ia mendapatkan dorongan dari teman-temannya untuk ikut audisi dan casting
teater musikal di luar kampusnya.
"Jadi dari cuma project kelas, saya
beranikan diri untuk audisi teater musikal di luar," Arsy menuturkan.
Setelah itu, Arsy, yang sudah ikut serta
dalam lakon teater musikal seperti Once,
Catch Me If You Can dan Love Beyond
12 AM, ini bertemu dengan banyak orang dari teater musikal. Ia mengaku
mendapatkan banyak pengalaman saat itu.
Sebagai aktor teater musikal, banyak suka
dan duka yang ia alami selama tiga tahun belakangan. Menjadi penampil dalam
pagelaran musik itu membutuhkan kerja keras dan kucuran air keringat.
"Kalau lagi tampil, kita harus
lebay, karena tidak seperti di bioskop, para penampil teater musikal kita harus
menjangkau semua penonton dari depan sampai yang belakang," Arsy
menceritakan.
Rasa letih, pulang larut malam, berlatih
dengan keras, adalah konsumsinya sehari-hari. Namun ia tidak merasakan beban
sekalipun, karena pekerjaan yang ia lakukan didasari dengan rasa cinta yang
kuat terhadap teater musikal itu sendiri.
Selain itu, ia mempunyai cerita
"memalukan" ketika tampil di atas panggung. Saat itu, sepatu yang ia
pakai lepas dan menganggu konsentrasinya ketika bernyanyi dan berakting.
"Waktu itu sepatu saya lepas ketika
saya tampil, jadi kita harus memasang sepatu kita tanpa memperlihatkan kalau
itu kesalahan kita," ucapnya.
Pengalaman tak terlupakan lainnya adalah,
ketika Arsy kehabisan suaranya. Setelah berhari-hari tampil nonstop, akhirnya
suara Arsy pun habis, padahal ia masih harus melakoni teater musikal lainnya.
"Setelah beberapa hari tampil, saya
harus bernyanyi lagi namun suara saya habis. Mau gak mau harus saya lypsinc,
dibantu oleh rekan di belakang panggung," tambah Arsy.
Namun, selalu akan ada pelangi setelah
hujan. Kata-kata itu cocok untuk menggambarkan karier Arsy sebagai penampil
teater musikal. Walaupun begitu banyak duka yang ia harus alami, cerita-cerita
bahagia pun juga keluar dari mulutnya.
"Paling bahagia itu, walaupun kita
sudah capek tampil, tapi ketika melihat antusiasme penonton saya langsung
semangat lagi untuk tampil di depan mereka," katanya.
Seringkali Arsy, yang sempat mewakili
Indonesia di Latvia dalam ajang choir, mendapatkan standing ovation ketika
turun dari panggung. Hal tersebut membuat rasa letih dalam dirinya hilang
seketika.
Banyak keuntungan yang Arsy dapatkan
selama ia melakoni hidupnya sebagai penampil teater musikal, ia mengaku
mendapatkan banyak teman dan sahabat serta pelajaran baru.
Ke depannya, Arsy ingin sekali masyarakat
Indonesia lebih sadar akan dunia seni pertunjukan, salah satunya adalah teater
musikal.
Ia juga berharap, bahwa di masa depan,
Indonesia akan memiliki sekolah-sekolah teater yang dapat melahirkan generasi
penerusnya sebagai penampil.
"Semoga saja Indonesia akan menjadi
sarang baru dari pasar teater musikal dunia."
Lebih lanjut, pada Desember nanti, Arsy
akan mengikuti teater musikal Jersey Boys. Jersey Boys sendiri adalah cerita
teater yang sangat terkenal di Broadway, New York, Amerika Serikat.
Mimpi
Indonesia Jadi Magnet Pertunjukan Seni di Asia
Tak perlu lagi jauh-jauh ke New York atau
London untuk menyaksikan gegap gempita pertunjukan teater Broadway. Kini,
seperti halnya konser musik, Indonesia mulai dimasukkan dalam daftar negara yang
dikunjungi saat teater itu berkeliling dunia.
Beauty and
the Beast,
misalnya. Saat mengadakan tur ke Asia, ia memutuskan mampir di Indonesia pada
Mei sampai Juni lalu. Untuk pertama kalinya, seluruh masyarakat Indonesia
berkesempatan menonton langsung gelaran Disney dan Broadway.
Bulan ini, ada Sound of Music. Dibawakan
oleh West End Musical Theater dari London Palladium, Inggris pertunjukan
musikal itu hadir di Indonesia, pertama dan satu-satunya negara di Asean yang
dipilih. Mereka sampai memboyong 10 kontainer peralatan dan 90 kru langsung
dari London.
Hadirnya pertunjukan-pertunjukan seni
dunia itu tak lepas dari dibangunnya gedung teater berstandar internasional
pertama di Indonesia. Beauty and the Beast dan Sound of Music kebetulan
dipentaskan di gedung yang sama, Ciputra Artpreneur yang mulai aktif sebagai
gedung pertunjukan sejak sekitar Agustus 2014.
"Dulu panggung Broadway tak pernah
hadir, karena Indonesia belum punya fasilitas yang dianggap layak. Sekarang
kita memilikinya, terutama audio yang berskala internasional," Direktur
Ciputra Artpreneur Sri Muliani suatu kali pernah mengatakan.
Itu dibenarkan Martinus Johannes,
Marketing Communication Ciputra Artpreneur, yang dihubungi CNN Indonesia, pada
Sabtu (10/10/2015).
"Banyak standar yang harus dipenuhi
untuk mengundang pertunjukan Broadway, dan kesesuaian teater merupakan salah
satu yang terpenting," katanya meyakinkan.
Produser pertunjukan atau salah satu
timnya bahkan sampai harus datang sendiri untuk memastikan gedung yang tersedia
sesuai keinginan mereka.
Standar minimal, Martin menerangkan, biasanya
berkaitan dengan luas panggung, fly tower dengan jumlah fly bar tertentu,
fasilitas follow spot booth dan audiovisual, kapasitas manajemen, manajemen
separasi yang baik, serta black of house yang bisa melayani sampai puluhan kru
dan pemain.
Diakui Martin, tidak mudah memang
mendapat kepercayaan produser pertunjukan sekelas Broadway. Namun sekali
pertunjukan sukses, itu menjadi bukti untuk teater selanjutnya. Saat Beauty and
the Beast, ia bercerita, para pemain pertunjukan sampai kaget dan kagum dengan
apresiasi penonton.
"Mereka sangat terkesan, dan ini
terlihat bahkan sampai komentar-komentar pribadi mereka di media sosial,"
tutur Martin. Tak disangka penonton Indonesia pun "melek" seni dan
sangat menghargai pertunjukan kelas dunia semacam itu. Mereka puas.
Dari situ, jalan menuju pertunjukan
selanjutnya seperti Sound of Music yang kini tengah berlangsung, jadi mudah.
Martin bahkan mengakui adanya produser yang semakin aktif menawarkan
pertunjukan ke Indonesia. Tim internal yang justru harus melakukan riset untuk
menyeleksi.
"Harus sesuai dengan masyarakat
Indonesia, karena kita dunia baru bagi Broadway, dan kami wajib memetakan
perkembangannya agar bisa mengarah ke kemajuan seni pertunjukan
Indonesia," tuturnya.
Saat ditanya tren atau seni pertunjukan
seperti apa yang menjadi pilihan animo masyarakat, Martin tak bisa menjawab.
Katanya, masih terlalu dini untuk mengatakan bahwa pemetaan tren itu sudah ada.
"Tren kita baru mulai terbentuk," ujarnya.
Yang jelas, produser yang kebanyakan
menawarkan pertunjukan ke Indonesia adalah dari New York. Pertunjukan yang
ditawarkan pun mencakup Broadway dan West End. Bukan hanya itu, produser lokal
pun semakin aktif. Meski tak bisa dipungkiri, ada perbedaan antara pertunjukan
lokal dan asing.
"Tapi soal cara dan gaya
menampilkannya saja. Banyak kok produksi profesional lokal yang udah mengerti
keperluan standar teater," kata Martin.
Hanya saja, karena baru menggeliat,
sistem produksi pertunjukan teater Indonesia belum teratur seperti Broadway
atau West End. Persiapan tur Broadway jauh lebih matang. Proses pemasukan
barang dan pengaturan panggung sangat cepat. Semua harus dibuat efisien di
tengah jadwal padat.
"Kami jelas terbantu. Nah, produksi
kita belum terbiasa dengan itu," ujar Martin melanjutkan.
Tak bisa dipungkiri, kehadiran Ciputra
Artpreneur yang berdiri di atas lahan sekira 10 ribu meter persegi itu ibarat
cambuk yang melecut geliat seni pertunjukan Tanah Air. Berlokasi tak jauh dari
tengah kota, gedung itu juga mudah diakses dan dekat dengan pusat-pusat hiburan
lainnya.
Diterangkan Martin, Ciputra Artpreneur
sejatinya bukan hanya gedung pertunjukan semata. Ia juga berfungsi sebagai
museum seni dan galeri.
"Semua dibuat dengan standar
internasional, dengan fasilitas lengkap yang bisa mengakomodir karya seni dan
pertunjukan internasional. Itu mencakup keamanan, peralatan teknis, fasilitas
ruangan, dan lain-lain," ujarnya. Ia menambahkan, ada keunikan khusus yang
disebut fly tower, di atas panggung.
"Gedung teater ini tingginya 22
meter dan mampu mengubah background panggung dalam hitungan detik," Martin
mengatakan. Fly tower memang wajib
ada di gedung pertunjukan. Di Jakarta pun sudah ada beberapa gedung yang
dilengkapi itu. Namun, soal skala dan kelengkapan ia lebih unggul.
Jika diibaratkan di luar negeri, Martin
menyebut Ciputra Artpreneur selayak MasterCard Theater di Marina Bay Sands.
"Saat pembuatan memang survei ke
Italia, Inggris, China, Singapura, dan beberapa negara lain. Konsultannya pun
para ahli yang terlibat pembangunan teater besar dunia," katanya.
Berbekal itu, Martin mengaku siap jika
Indonesia diminta bersaing dengan negara-negara tetangga soal seni pertunjukan.
Ia bahkan berani merebut pasar penonton pertunjukan seni di Singapura. Sebab,
Ciputra Artpreneur bisa memberi pertunjukan dengan kualitas yang sama di dalam
negeri sendiri.
"Pasar besar Singapura misalnya,
sebenarnya ya warga Indonesia. Jadi kami yakin bisa menarik pasar. Kini kita
bisa menonton pertunjukan internasional di Jakarta dengan lebih mudah dan
efisien secara biaya," ujar Martin menekankan.
Ia menambahkan, Ciputra Artpreneur bahkan
punya target menjadi lokasi utama bagi pertunjukan-pertunjukan teater
internasional di Asia.
Air Mata
Bahagia Para Pecinta Teater Musikal
Perasaan haru dan gembira, bercampur
dengan tetesan air mata, menyelimuti para pecinta pagelaran teater musikal yang
diselenggarakan di New York, London, Paris dan Singapura.
Mereka tak sanggup menahan rasa takjub
ketika melihat para aktor memainkan perannya
di atas panggung megah yang disajikan dengan indah.
Beberapa orang yang pernah merasakan
kemeriahan panggung teater musikal di beberapa kota besar di dunia,
menceritakan pengalaman mereka dengan penuh semangat, mungkin karena mereka
masih dapat merasakan atmosfer magis panggung teater musikal yang mereka
hadiri.
Ade Marni, seorang pecinta teater musikal
yang mengaku pernah merasakan megahnya panggung teater musikal di Singapura dan
Australia, menceritakan keseruan yang ia dapatkan ketika terhanyut dalam
kemeriahan pagelaran itu.
"Membuat saya merinding, saya sempat
menangis pada saat menonton teater musikal di Singapura. Saya terbawa suasana
lagu dan ceritanya," kata Ade pada saat dihubungi CNN Indonesia, Jakarta,
pada Jumat (9/10/2015).
Kala itu, Ade menghadiri pagelaran teater
musikal bertajuk Phantom of The Opera dan Lion King. Tidak hanya terharu, Ade
pun dapat kembali merasakan asyiknya menjadi anak kecil lagi saat menonton
teater musikal Lion King.
"Rasanya seperti menjadi anak kecil
lagi, jadi nostalgia nih," Ade menceritakan.
Selain Ade, seorang pecinta teater
musikal lainnya, Fiya Muiz, mengaku juga pernah menonton teater musikal Lion
King. Namun, agaknya ia lebih beruntung dibandingkan Ade. Fiya menonton teater
musikal Lion King di Lyceum Theatre di London, Inggris.
"Pengalaman yang sungguh berbeda,
melebihi dugaan saya, tidak sia-sia saya menghabiskan uang banyak untuk
menonton teater musikal itu," Fiya mengucapkan dengan penuh semangat.
"Produksi, tata panggung, dan
aktornya berada di level yang berbeda, sangat luar biasa," dia
menambahkan.
Sama halnya dengan Ramonita Baradja,
seorang penulis dan pecinta teater musikal itu pernah merasakan dahsyatnya
panggung teater di Royal Theatre Drury Land, Inggris. Kala itu ia menyaksikan
teater musikal Shrek The Musical.
"Saya terharu, akhirnya saya bisa
nonton langsung, salah satu pengalaman yang tidak dapat terulang lagi,"
Ramonita menjelaskan.
Bahkan, ia mengakui, walau diberikan
kesempatan berulang-ulang untuk menonton teater musikal di sana, ia tidak akan
pernah merasa jenuh.
Menurutnya, warga Inggris sendiri tidak
mau menyebut teater musikalnya dengan nama Broadway, mereka memiliki sebutan
tersendiri, yakni West End Shows.
Kesan Ramonita ketika melihat langsung
panggung di sana juga menarik, yang biasanya hanya dapat dilihat dari internet,
akhirnya ia dapat menjadi saksi dari keindahan panggung teater di London.
Cerita-cerita itu hanya akan membuat iri
para pecinta teater musikal di Indonesia yang bermimpi ingin merasakan langsung
pengalaman tak terlupakan itu.
Akan tetapi, kenapa harus jauh-jauh
menonton teater musikal? Indonesia pun memiliki potensi yang sungguh besar
untuk menggelar pagelaran teater musikal yang tidak kalah serunya, mengingat
budaya negeri kita melimpah ruah.
Potensi
Lakon Teater Musikal Indonesia
"Dari dulu, saya sudah berpikir
bahwa Indonesia memiliki potensi pasar yang amat sangat baik untuk menggelar
teater musikal," Ade mengujarkan.
Selain memiliki lahan yang dapat
dijadikan tempat menggelar teater musikal, menurutnya banyak sekali budaya Indonesia
yang dapat diadaptasikan menjadi cerita untuk teater musikal.
"Ya sebut saja Bawang Merah dan Bawang Putih, lalu juga ada Malin Kundang atau Rama
Shinta. Cerita legenda itu dapat dijadikan teater musikal kok,"
tuturnya.
Namun, menurutnya, tingkat kedisiplinan
masyarakat Indonesia pun juga harus ditingkatkan jika ingin mengadakan teater
musikal dengan skala besar.
Ketika ia mengunjungi pagelaran teater
musikal Phantom of The Opera di Marina Bay Sands, Singapura, ia mengatakan
bahwa tingkat keamanannya sangat ketat, sampai-sampai para penonton tidak boleh
mengambil foto ketika acara sedang dimulai.
"Saya sempat datang ke salah satu
teater musikal di Indonesia, tapi banyak penonton yang mengambil foto ketika
acara lagi dilaksanakan, hal itu sangat tidak baik," dia menjelaskan.
Menurutnya, cahaya yang dihasilkan kamera
itu akan mengganggu penonton lainnya, sehingga tingkat kekhusyukan menonton
teater musikal pun mengurang.
Mengaku pernah mengunjungi pagelaran
teater musikal Sound of Music di Jakarta, Ade menegaskan bahwa tata panggung,
kualitas musik dan suara serta ceritanya pun tidak kalah dengan teater musikal
yang diadakan di luar negeri.
"Ngapain kita harus ke luar negeri
untuk nonton teater musikal kalau kita sendiri bisa menyelenggarakannya di negeri
kita sendiri."
Santun
Menonton Seni Pertunjukan
Memiliki opini yang sama dengan Ade,
Ramonita punya cerita lucu mengenai penonton yang mengambil foto disela-sela
teater musikal sedang berlangsung.
"Di Amerika, sempat ada aktor teater
musikal yang kesal dengan penonton karena mengambil foto dan memainkan
handphone saat acara berlangsung, sampai-sampai aktor itu turun dari panggung
dan merampas handphone penonton itu," Ramonita menceritakan.
Tidak hanya penonton yang terganggu,
pemain teater musikal pun menurutnya dapat kehilangan fokus ketika ada cahaya
yang muncul dari kamera foto atau handphone.
"Jadi harus benar-benar disiplin dan
taat peraturan kalau mau nonton teater musikal."
Unsur
Penting dalam Teater Musikal
Indonesia memang memiliki potensi besar
dalam menyelenggarakan teater musikal, namun, menurut para penikmatnya, masih
terdapat beberapa unsur penting yang harus dipenuhi oleh Indonesia.
"Musik, alur cerita, tata panggung,
kostum para artis adalah hal-hal penting yang harus dipenuhi dalam
menyelenggarakan teater musikal," ujar Ade.
Berbeda dengan Ade, Melisa, seorang
pecinta teater musikal Tanah Air lainnya, mengatakan bahwa alur cerita berada
di atas segala-galanya.
Ia menganggap, sebuah teater musikal lokal
tidak perlu mendatangkan artis mancanegara, cukup dengan mendatangkan artis
lokal yang memiliki kelihaian dalam berakting. Akan tetapi, alur cerita yang
dibawa harus menarik, karena alur cerita dianggap sebagai daya tarik tertinggi
dalam masyarakat.
Meski demikian, Melisa berkeluh kesah
terkait kurangnya gedung atau wadah untuk menyelenggarakan teater musikal.
"Kalau Indonesia ingin menjadi pasar
teater musikal," kata Melisa, "perbanyak gedung dan tempat untuk
penyelenggaraannya. Masalah teknis juga harus diperhatikan biar semakin rapi
pelaksanaannya."
Darurat
Gedung Kesenian Khusus Pertunjukan Indonesia
Bagi sebagian pencinta seni, hadirnya
kelompok teater musikal mancanegara, yang menyuguhkan lakon legendaris macam
Sound of Music dan Beauty and The Beast di Indonesia, terbilang menyenangkan.
Selain beroleh pengalaman seru memirsa
lakon favorit, juga kepuasan batin. Utamanya karena kelompok teater musikal
mancanegara memang piawai meramu alur kisah dengan dukungan properti—dari
kostum sampai tata panggung—memadai.
Namun bagi pegiat seni pertunjukan Jay
Subiyakto, yang berpengalaman sebagai art director konser maupun teater
musikal, kehadiran kelompok teater musikal mancanegara di Indonesia tak
selamanya menyenangkan.
“Buat saya, hal itu merugikan kesenian
Indonesia,” kata Jay kepada CNN Indonesia melalui sambungan telepon, pada Jumat
(9/10/2015). “Kita cuma hadir sebagai penonton, dan yang ditonton pun bukan
kelas satu.”
Ditegaskan Jay, bila gedung pertunjukan
di Indonesia hanya terbuka bagi kelompok seni pertunjukan mancanegara, bukannya
menjadi tuan rumah di negeri sendiri, maka lama kelamaan seni pertunjukan
Indonesia bakal mati.
“Seharusnya gedung pertunjukan Indonesia
lebih banyak menampilkan seni pertunjukan khas Indonesia,” kata Jay. Dengan
begitu, kehidupan seniman dan seni pertunjukan Indonesia terus bergeliat dan
berkembang maju.
Pria kelahiran Ankara, Turki, ini
mencontohkan sikap bijak Pemerintah Jepang dan Korea Selatan dalam membangun
infrastruktur demi mempertunjukkan karya seni budaya, sehingga produk domestik
macam K-pop bisa mendunia.
Sayangnya, dalam pandangan Jay, sejauh
ini Indonesia belum memiliki gedung pertunjukan memadai yang didukung
kelengkapan infrastruktur. Ia mencontohkan kesulitan mengganti set properti
dengan cepat di arena panggung sempit.
Jay mengaku prihatin, kebanyakan promotor
dan penonton malah tak menghargai seni budaya lokal yang kita miliki, padahal
pangsa pasarnya tak kalah besar. Terbukti lakon teater musikal Laskar Pelangi
pernah berjaya, bahkan hingga Negeri Jiran.
Sebagaimana dikabarkan sejumlah media
massa, tiket lakon teater musikal yang diadaptasi dari novel karya Andrea
Hirata itu langsung sold out pada hari pertama penjualan. Lakon ini dipentaskan
di Theater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, pada 1–11 Juli 2011.
Lakon yang menyedot sekitar 25.000
penonton ini digarap bersama oleh Miles Productions, Link Entertainment,
Signature Musik Indonesia, dengan melibatkan Mira Lesmana, Riri Riza, Erwin
Gutawa, Hartati, Toto Arto, dan tentu saja Jay.
Jay sendiri memulai kiprahnya, sejak
1990, sebagai sutradara video musik, antara lain untuk musisi Chrisye dan
Anggun. Selain dikenal sebagai penata artistik andal, Jay juga berprofesi
sebagai fotografer.
Pria berambut panjang ini pernah menjadi
penata artistik konser Anggun, Rossa, 3 Diva, Koes Plus, Krisdayanti, Chrisye,
serta David Foster bersama Twilite Orchestra. Juga teater musikal Ariah, Laskar
Pelangi, dan Matah Ati.
Senada dengan Jay, Melisa Mangunsong yang
kerap menonton aksi teater musikal di Indonesia dan mancanegara pun menilai,
tidak perlu mendatangkan artis mancanegara, cukup dengan mendatangkan artis
lokal yang memiliki kelihaian dalam berakting.
"Kalau Indonesia ingin menjadi pasar
teater musikal, perbanyak gedung dan tempat untuk penyelenggaraannya,"
kata Melisa saat dihubungi CNN Indonesia, Sabtu kemarin (10/10/2015).
"Masalah teknis juga harus diperhatikan biar semakin rapi
pelaksanaannya."
Soal ini Jay berpendapat, “Singapura
tidak punya seni budaya asli, tapi punya gedung pertunjukan yang bagus. Masa
kita yang punya seni budaya asli begitu kaya dan beragam malah tidak punya
gedung pertunjukan yang sama bagus?”
Ditambahkan Jay, kebutuhan seniman lokal
bukan sekadar fasilitas gedung pertunjukan yang memadai, melainkan juga biaya
sewa terjangkau. Tingginya harga sewa gedung pertunjukan pun bisa mematikan
kehidupan seniman dan seni Indonesia sendiri.
Bagaimana tidak, harga sewa gedung pertunjukan
yang tinggi itu akan berimbas ke harga tiket pertunjukan. Sementara kebanyakan
orang Indonesia enggan membeli tiket pertunjukan yang relatif mahal.
Selain perkara gedung pertunjukan, hal
lain yang tak kalah penting adalah meramu kisah yang bisa diterima penonton era
sekarang. Bukan semata “tradisional” melainkan ramuan baru yang membuat lakon
tradisional tersimak segar dan baru.
“Kita harus mempertunjukkan kesenian kita
sendiri. Seni kontemporer, seni zaman sekarang, yang memperlihatkan kemampuan
kita sebagai negara maju,” kata Jay yang tak ingin mempertunjukkan seni
Indonesia dalam kemasan kuno.
Sependapat dengan Jay, Melisa pun
berharap, alur cerita teater musikal atau seni pertunjukan yang dibawakan para
seniman harus menarik, karena alur cerita dianggap sebagai daya tarik tertinggi
dalam masyarakat.
Sumber: cnnindonesia.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar